Oleh : Kornelis Kewa Ama
Sekitar 20 tahun lalu, Ngorageko dan
Lekogo adalah kampung bertanah tandus. Berkat tangan Sebastian Tande, tanah
tandus itu berubah menjadi hutan yang memberikan kesejukan sekaligus
kesejahteraan kepada banyak orang.
Hutan seluas 20 hektar itu berada di
Kampung Ngorageko dan Kampung Lekogo yang masuk wilayah Desa Keligejo,
Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Di hutan yang berada di
lahan miring Bukit Aimere itu tumbuh pohon cengkeh, kemiri, pisang, kopi,
mangga, nangka, vanili, cokelat, mahoni, sengon, merbau, angsana, dan tanaman
berumur panjang lainnya.
Aneka burung dan binatang hidup di
antara rerimbunan pohon. Udara terasa sejuk segar meski pada siang hari yang
panas. Sementara itu, suara daun-daun pepohonan yang tertiup angin kencang
terdengar seperti nyanyian. Ini seperti surga kecil yang belum lama hadir.
Sebelum dihijaukan oleh Sebastian Tande,
wilayah ini bertanah tandus. Jika musim hujan tiba, tanah tandus itu menjadi
labil dan mengancam keselamatan warga. Pada 1981, misalnya, tanah miring di
kawasan itu longsor dan menewaskan empat warga Kampung Ngorageko.
Sebastian Tande yang merupakan petani
tulen tinggal di wilayah itu sejak 1995. Melihat tanah di sana begitu tandus
pada musim kemarau dan rawan longsor pada musim hujan, ia berinisiatif menanam
berbagai jenis tanaman bernilai ekonomi. Ia memanfaatkan lahan di antara rumah
penduduk yang terpencar-pencar.
Awalnya, ia berpikir usaha kerasnya itu
akan sia-sia. Namun, ia menanam dan terus menanam tanpa lelah. Ternyata, bibit
tanaman justru tumbuh subur. ”Saya menanam secara bertahap, sedikit demi
sedikit,” kata Sebastian Tande di Bajawa, pertengahan Agustus lalu.
Hingga 2016, lahan tandus yang telah
ditanami dan ”disulap” jadi wilayah hijau mencapai sekitar 20 hektar. Lahan
seluas itu bukan hanya milik Sebastian, melainkan juga milik sejumlah warga
Kampung Ngorageko dan Lekogo.
Awalnya, Sebastian Tande menanami lahan
tandus itu sendirian. Belakangan, warga lain mulai ikut dalam gerakan
penghijauan itu. Sebastian lantas membentuk dan memimpin kelompok tani ”Hutan
Mandiri”. Kelompok itu terdiri atas 30 anggota yang sebagian besar lulusan
sekolah menengah atas yang belum memiliki pekerjaan tetap.
Melalui kelompok tani itu, Sebastian
Tande memberikan pemahaman kepada anggota kelompok dan warga kampung tentang
pentingnya hutan. Ia juga melatih mereka untuk mencintai hutan dan hidup dari
hasil hutan.
Ia meyakinkan para penduduk bahwa aneka
tanaman keras sesungguhnya bisa tumbuh di seluruh NTT. Hanya saja selama ini
warga belum tahu bagaimana membudidayakan aneka tanaman tersebut di lahan-lahan
kering yang tersebar di NTT.
Ia percaya, meski tidak memiliki sungai,
tetap ada air di bawah permukaan tanah. Dengan begitu, warga bisa bergotong
royong mengebor tanah guna mendapatkan air yang bisa dimanfaatkan untuk
pertanian. Pemerintah juga bisa membangun sejumlah embung sebagai sumber air
pertanian.
Namun, cara terbaik untuk menghasilkan
sumber air, menurut Sebastian, adalah dengan menghijaukan daerah-daerah yang
gersang. Alasannya, akar-akar tanaman bisa mengikat air. ”Jadi, kalau tanaman
tumbuh subur di satu daerah, pasti daerah itu bisa menghasilkan sumber air,”
ujar Sebastian.
Sebastian Tande
Lahir:
Bajawa, 22 Januari 1955
Istri:
Monika Roga
Anak:
Olivia Moe (28)
Marthen Surib (27)
Debrito Niki (25)
dan Hermina Wula (21)
Pendidikan:
Lulus Sekolah Dasar
Pekerjaan:
Petani, Ketua Kelompok Tani Hutan
Mandiri
Penghargaan:
Petani Teladan Kabupaten Ngada 2007
Kalpataru Kabupaten Ngada 2008
Kalpataru Provinsi NTT 2009
Panen sepanjang tahun
Sejak awal, Sebastian Tande memilih
menanam tanaman bernilai ekonomi untuk menghijaukan lahan tandus di kampungnya.
Ia menanam aneka tanaman keras, seperti jati, mahoni, bambu, sengon, kemiri,
cengkeh, angsana, merbau, cokelat, dan mangga.
Di sela-sela tanaman keras, ia juga
menanam pisang, vanili, padi, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Tanaman
berumur pendek ini memberikan penghasilan lebih cepat. Dalam tiga bulan,
tanaman itu sudah bisa dipanen untuk kebutuhan sehari-hari.
Dengan menanam aneka tanaman yang
berumur pendek dan panjang, Sebastian dan warga bisa mendapatkan penghasilan
dari lahan pertanian mereka secara berurutan nyaris sepanjang tahun. Setiap
bulan, mereka bisa panen pisang. Juli-Agustus, mereka panen vanili.
Juli-September, mereka panen cengkeh, cokelat, dan kopi. Oktober-Desember,
mereka panen mangga.
Setiap tahun, secara bergantian, mereka
bisa mendapatkan uang dari sengon yang bisa dipanen pada usia lima tahun.
Sebastian juga sudah menikmati hasil panen cengkeh, kemiri, cokelat, kopi, dan
nangka.
Aneka hasil panen itu ia jual dengan
harga yang lumayan. Cengkeh ia jual Rp 98.000 per kilogram, kemiri Rp 25.000
per kilogram, cokelat Rp 60.000 per kilogram, kopi Rp 45.000 per kilogram,
nangka Rp 10.000-Rp 30.000 per buah, dan mangga Rp 20.000 per kilogram. Harga
ini berlaku di tempat produksi. Jika diantar ke Bajawa yang terletak 25
kilometer dari Desa Keligejo, harganya lebih tinggi lagi.
”Saya juga sudah panen jati, sengon, dan
mahoni, tetapi tanaman lain butuh beberapa tahun lagi untuk dipanen. Saya lagi
cari bibit pohon jabon. Menurut cerita orang, tanaman itu bisa dipanen pada
usia dua-tiga tahun. Saya sudah mencari ke Badan Lingkungan Hidup dan Dinas
Kehutanan Ngada, tetapi tidak dapat,” kata Sebastian Tande.
Dengan musim panen yang seolah tanpa
henti itu, Sebastian Tande menjadi lebih sejahtera ketimbang sebelumnya. Ia,
misalnya, berhasil menyekolahkan tiga anaknya hingga ke tingkat perguruan
tinggi di Yogyakarta dan Surabaya. Ia juga membangun rumah keramik layak huni
di sisi jalan utama Trans-Flores, yakni antara Aimere dan Bajawa. Di samping
rumah itu dia bangun pula sebuah warung makan, warung kopi, dan buah-buahan.
Ia mempekerjakan tiga warga dari desa
tersebut. Dua orang bertugas mengurus tanaman, termasuk memanen hasil,
menjemur, membersihkan, dan mengepak untuk dijual. Satu orang lagi bertugas
membantu di warung makan dan warung kopi. Mereka bekerja pukul 09.00-16.00 Wita
dan diberi honor masing-masing Rp 1.250.000 per bulan.
Kerja keras Sebastian Tande selama
bertahun-tahun sudah diakui oleh pemerintah. Ia memperoleh Kalpataru dari
Pemerintah Kabupaten Ngada pada 2008 dan Kalpataru dari Pemerintah Provinsi
Nusa Tenggara Timur pada 2009.
Namun, lebih penting dari itu adalah
tanah tandus di Desa Keligejo kini telah hijau. Tanah yang dulu sering membawa
bencana itu kini membawa berkah sepanjang tahun.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar