Oleh : Dian Dewi Purnamasari
Daripada duduk di menara gading
universitas, dosen dan ahli limbah cair Abie Wiwoho Hantoro lebih suka ke
lapangan. Ia sering "blusukan" untuk mengajarkan bagaimana mengelola
air tinja dengan baik. Bayarannya cukup 2M alias "makasih Mas".
Abie Wiwoho (68) adalah seorang
peneliti, dosen, konsultan, dan praktisi di bidang pengolahan limbah cair. Di
usianya yang tidak muda lagi, ia masih aktif mengajar di Politeknik Kesehatan
Jakarta.
Mantan penjahit pakaian dan petugas
pengawas air minum serta jamban keluarga itu menghabiskan sebagian besar
hidupnya untuk mempelajari tinja, septic tank atau tangki septik, dan
air limbah. Ia tertarik mempelajari bidang yang terkesan "tidak keren"
tapi sangat penting itu karena prihatin melihat air buangan limbah rumah tangga
mencemari lingkungan.
Ia juga menemukan tangki septik di rumah
warga ataupun instansi pemerintah sebagian besar tidak layak. Itu semua akan
berdampak terhadap kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Berbekal buku berjudul Excreta
Disposal for Rural Areas and Small Communities, ia mempelajari aneka
teknik membuat desain tangki septik atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
dengan biofilter. Dari situ, ia bisa merancang tangki septik yang baik,
praktis, dan murah sehingga bisa diterapkan oleh siapa pun.
Untuk mengembangkan tangki septik di
lingkungan padat penduduk perkotaan, ayah tiga anak ini memperkenalkan tanki
septik komunal menggunakan formula "Wiro Sableng" 212. Asal tahu
saja, Wiro Sableng 212 adalah tokoh imajiner dalam seri novel silat. Abie
menggunakan formula 212 untuk mematok ukuran tangki septik, yakni panjang 2
meter, lebar 1 meter, dan kedalaman 2 meter.
Dengan ukuran seperti ini, tangki septik
rancangan Abie bisa dibangun di bawah ruang tamu, kamar, ataupun di bagian
rumah lain. Penghuni rumah tidak perlu khawatir karena IPAL ini tidak
menimbulkan bau.
Pasalnya, air tinja dan limbah cair
lainnya telah diolah menjadi lebih bersih dan jernih. Air limbah itu sudah
diuji di laboratorium dan bisa memenuhi standar baku mutu air untuk dibuang ke
sungai, dimanfaatkan sebagai penggelontor peturasan (flushing), atau
untuk menyiram tanaman.
Abie memanfaatkan bahan-bahan bekas
untuk membangun IPAL komunalnya, antara lain cangkang kerang, batok kelapa, dan
botol bekas air minuman. Bahan-bahan itu digunakan untuk mengembangkan bakteri
yang bisa mengurai air kotor menjadi jernih.
"Selama ini, masyarakat banyak
menggunakan material pabrikan yang mahal. Saya menawarkan pembuatan IPAL yang
lebih murah karena bisa memanfaatkan sampah, yaitu botol plastik dan batok
kelapa," ujar Abie Wiwoho sembari menunjukkan alat kerjanya di workshop
Politeknik Kesehatan Jakarta, Jumat (14/10/2016).
Abie bisa menekan biaya pembuatan IPAL
komunal dari umumnya Rp 50 juta-Rp 60 juta per meter kubik menjadi Rp 10
juta-Rp 15 juta. Ia menyebutnya sebagai sistem IPAL komunal dengan anggaran
mepet alias kepepet.
IPAL komunal dengan sistem biofilter
rancangan Abie ini telah digunakan di banyak rumah sakit, puskesmas, ataupun
permukiman kumuh, seperti Penjaringan dan Semper Barat, Jakarta Utara.
Ia terus membuka pintu bagi siapa saja
yang ingin belajar mengembangkan tangki septik biofilter. "Tinggal panggil
saya. Enggak usah mikir bayarannya, mau diberi teh botol atau 2M (makasih
Mas) saya mau mengajari," seloroh Abie sembari tertawa.
Mantri WC
ABIE WIWOHO HANTORO
Tempat, Tanggal Lahir:
Ponorogo, 28 November 1948
Pendidikan:
D-4 Poltekkes Jakarta
S-2 Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Istri:
Ratnaningsih (50)
Anak:
Gery Ahmadi Hantoro (28), Ziko Haray
Hantoro (25), Shinta Aulia Hantoro (22)
Pekerjaan:
Dosen PAPLC (Penyehatan Air dan
Pengelolaan Limbah Cair) Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II
Organisasi:
HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia)
Sebelum tinggal di Jakarta, Abie adalah
perantau di Manado, Sulawesi Utara. Ia bekerja sebagai petugas pengawas air
minum dan jamban keluarga. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai mantri WC (water
closet).
Saat itu, ia menemukan banyak orang
terserang penyakit yang disebabkan oleh buruknya sistem sanitasi, seperti
diare, infeksi, dan gangguan pencernaan. Bagaimana tidak, masih banyak orang
yang membuang hajat di kebun ataupun di empang. Abie tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali menyarankan masyarakat agar memperbaiki sanitasi lingkungan secara
swadaya.
Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja
sebagai dosen di Politeknik Kesehatan Jakarta, ia memiliki waktu dan kesempatan
untuk belajar lebih tentang bagaimana mengelola limbah domestik dengan baik. Ia
bisa datang ke perpustakaan kapan saja. Karena belum punya rumah, ia kerap
menginap di ruang workshop Politeknik Kesehatan Jakarta. Di situlah,
ia bekerja keras untuk menemukan inovasi sistem biofilter komunal.
Ia meneliti sistem itu hingga 15 tahun.
Karena sering gagal, ia bahkan dijuluki "raja gagal" dan kerap
ditertawakan oleh rekan sesama dosen. Setelah jatuh bangun, pada 2013 ia
akhirnya berhasil dan menjadi seorang finalis Lomba Teknologi Tepat Guna
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Abie terus memupuk keahliannya sebagai
peneliti dan praktisi pengolahan limbah cair hingga ia dijuluki orang-orang di
sekitarnya sebagai "dewa air".
Lelucon
Bertahun-tahun bergaul dengan limbah
cair dan air tinja, Abie tidak pernah merasa jijik. Ia bebas saja
memperbincangkan hal-hal terkait dengan jamban dan tinja termasuk dengan
keluarganya. Ia juga kerap membawa pulang cerita-cerita lucu dari lapangan yang
membuat istri dan anak-anaknya tertawa terpingkal-pingkal.
Ia, misalnya, memiliki cerita lucu di
mana ia bisa mendamaikan dua keluarga yang berseteru lantaran persoalan jamban.
Saat ia pulang kampung, ada dua keluarganya bertengkar karena ada yang sedang
menggali sumur, sementara yang lainnya sedang menggali tangki septik. Jarak
antara sumur dan tangki septik hanya 2 meter. Dua orang yang berselisih itu pun
bertengkar hebat, bahkan saling mengancam dengan senjata tajam.
Kepada dua orang yang sedang naik pitam
itu, Abie memperkenalkan sistem tangki septik biofilter. Ia meyakinkan bahwa
tangki septik bisa dibangun di dekat sumur apabila disekat dengan beton dan
instalasinya benar.
Umumnya, masyarakat memang mengenal
aturan tangki septik harus berjarak lebih dari 10 meter dari sumber air tanah.
Akan tetapi, dengan sistem tangki septik biofilter yang ia kembangkan, Abie
menjamin sumber air bersih tersebut tidak akan tercemar.
Setelah mendengarkan penjelasannya,
keluarga itu pun sepakat membuat tangki septik biofilter. Mereka akhirnya
berdamai dan tak lagi bertengkar tentang sumur dan tangki septik setelah
bertahun-tahun.
Mimpi Abie kini tidak muluk-muluk. Ia
hanya ingin melihat masyarakat Jakarta memiliki tangki septik komunal dengan
sistem biofilter. Ia yakin, jika sistem ini diterapkan secara luas, sanitasi
lingkungan dan kualitas air sungai di Jakarta akan meningkat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar