Selasa, 08 November 2016

Menggali Cadas Demi Setetes Air

Selasa, 8 November 2016


Oleh : Cornelius Helmy

Dua laki-laki tua itu, Harun dan Atang, terus memupuk semangat untuk menaklukkan batu cadas Gunung Galunggung. Berbekal linggis, mereka memimpin warga melubangi dinding tebing demi mengalirkan air dari gunung ke desa.

Berdiri di parit kecil di sisi Curug Meber—salah satu air terjun Gunung Galunggung—Harun membiarkan tubuh kurusnya basah kuyup dihajar hujan. Laki-laki itu telah berusia 86 tahun, tetapi masih memperlihatkan sisa-sisa kegagahan masa mudanya. Bersama 20 anggota Paguyuban Cinila-Sariwangi, Harun mengencangkan otot, mencangkul tanah, dan menusukkan linggis ke tebing batu.

Harun dan warga Cinila-Sariwangi sepuluh tahun terakhir ini meretas mimpi untuk mengalirkan air Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat, ke permukiman warga di Cinila-Sariwangi. Untuk itu, mereka bekerja keras melubangi tebing batu seinci demi seinci dengan bekal cangkul dan linggis.

Pagi itu, pertengahan Oktober lalu, Harun memimpin warga melanjutkan pekerjaan yang masih banyak tersisa. Seperti sebilah golok yang melingkar di pinggangnya, mata Harun tajam mengawasi mereka yang sedang bekerja. Sesekali, Harun memberi contoh cara mencangkul dan menggali dengan benar.

Akan tetapi, dingin yang datang bersama hujan pagi itu sulit diusir oleh Harun. Berada di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan, dingin menusuk tubuh rentanya. Bibirnya kerap bergetar, uap panas keluar setiap kali dia berbicara.

”Semangat Abah Harun jadi modal besar bagi kami melubangi tebing gunung untuk membuat saluran air. Biar sudah tua, semangatnya jauh lebih muda dari usianya,” kata Ibin (38), anggota Paguyuban Cinila-Sariwangi.

Harun hanya tersenyum mendengar pujian itu. Tangannya tetap mengayunkan linggis dan menancapkannya dalam-dalam ke tubuh tebing dengan sudut kemiringan nyaris 90 derajat itu. Tebing yang dimaksud berada di kawasan Dinding Ari di kaki Gunung Galunggung.

Seperti banyak kawasan Galunggung lainnya, Dinding Ari berlimpah air. Namun, air itu tidak dapat dimanfaatkan warga Sariwangi karena terjebak di balik dinding tebing setinggi 10 meter. Air yang sangat berharga itu jatuh begitu saja ke dasar Sungai Cinila sedalam 50 meter dari tempat warga bekerja.

Tanpa aliran air, warga sulit membangun kehidupan yang sejahtera. Kebun-kebun warga hanya ditanami pohon albasia yang panen lima tahun sekali. Jangan harap melihat hamparan sawah hijau di sana. ”Banyak warga akhirnya bekerja jadi buruh di sawah orang lain atau buruh bangunan di kota,” kata Ketua Paguyuban Cinila-Sariwangi Supriadi.

Bosan dengan kondisi itu, warga bersepakat membobol dinding tebing demi mendapatkan air. Untuk mewujudkannya, mereka mengajak Harun yang punya pengalaman panjang mengalirkan air gunung. Ajakan itu langsung diterima Harun dengan satu alasan, ”Saya ingin seperti harimau. Sebelum mati harus meninggalkan belang.”

Kolaborasi Harun-Atang
Kisah ketangguhan Harun nyaris tak terdengar di Tasikmalaya. Kiprahnya tak seramai kisah Mak Eroh dan Abdul Rojak yang membobol tebing untuk membuat saluran air di Cisayong dan Pancatengah, Tasikmalaya. Jasa Eroh dan Abdul Rojak diabadikan dalam patung di pusat Kota Tasikmalaya.

Padahal, kiprah Harun tak sembarangan. Tahun 1965, ia telah memimpin enam tetangganya membuat saluran air sepanjang 6 kilometer selama setahun. Air dialirkan dari Sungai Cikunten menuju sebagian Desa Malaganti dan Desa Jayaratu, Kecamatan Sukawangi. Kini 1.000 orang merasakan nikmat air untuk irigasi dan keperluan lain. ”Pekerjaan paling sulit adalah membuat terowongan berdinding batu sekitar 1 kilometer,” katanya.

Ia tak mendapat uang atau harta untuk pekerjaan yang melelahkan dan berbahaya itu. Sampai saat ini, ia tetap petani miskin yang tak memiliki lahan sendiri. Meski begitu, ia tetap bahagia karena bisa membuat banyak orang hidup lebih sejahtera.

Sepak terjang Harun menumbuhkan inspirasi. Atang, yang masih belia saat ikut menggali dinding bersama Harun 51 tahun lalu, memimpin dua penggalian saluran air pada 1990 dari Sungai Ciparay menuju rumahnya di Desa Cidugaleun, Kecamatan Cigalontang, sejauh 8 kilometer.

Atang
Lahir:
Tasikmalaya, 1951
Pendidikan:
SD
Pekerjaan:
Petani

Harun
Lahir:
Tasikmalaya, 1930
Pendidikan:
SD
Pekerjaan:
Petani

Sekitar 16 tahun kemudian, ia kembali membuat saluran air dari Air Terjun Cimeber menuju empat desa di Kecamatan Sariwangi sejauh 6 kilometer. ”Saluran-saluran air itu kini mengairi sawah seluas 2.000-an hektar. Rata-rata 1.000 meter persegi sawah menghasilkan 1 kuintal padi setiap panen. Dalam setahun, warga bisa panen tiga kali,” kata Atang.

Seperti reuni, Atang kini kembali berkolaborasi dengan Harun dalam ”proyek” di Dinding Ari sejak 2006. Keduanya sepakat, pekerjaan kali ini jauh lebih sulit. Upaya mereka menembus dinding selama 10 tahun terakhir, lanjut Atang, baru menghasilkan saluran air sepanjang 750 meter dengan lebar 1 meter dan tinggi 1-1,5 meter. Penyebabnya, banyak batuan besar dan jurang di Dinding Ari.

Selain membutuhkan waktu lama, kerja keras itu juga menghabiskan banyak peralatan. Setidaknya 150 cangkul dan 100 linggis menjadi aus karena dipakai menghajar tebing batu. ”Semua alat itu dibeli dari iuran warga. Pengajuan bantuan kepada pemerintah tak ada jawabannya,” kata Atang.

Mereka juga harus beraksi lebih ekstrem dengan nyawa sebagai taruhan. Di tebing curam, para penggali mesti bergelantungan dengan tumpuan tali tambang yang diikat pada pohon besar. Diikat tali di pinggang, warga hanya punya dua pilihan, berhasil melubangi gunung atau jatuh ke jurang.

Pengalaman Harun kehilangan seorang rekannya saat penggalian tahun 1965 dijadikan pelajaran. Harun membuat aturan sederhana agar maut menjauh dari warga yang sedang bekerja. Ia melarang warga sendirian menggali dengan menghadap tebing. Alasannya, longsor sulit diterka jika warga sendirian bekerja dalam posisi itu. ”Solusinya, kami harus menggali dari samping dan harus ada teman yang mengawasi,” katanya.

Harun juga meminta warga menutup tanah basah bekas penggalian dengan tanah kering. Tanah basah, menurut Harun, mudah longsor.

Terakhir, Harun menekankan pentingnya pembuatan bendungan dengan menyusun batuan beragam ukuran. Ia tetap mempertahankan celah antarbatu agar beban bendungan dalam menampung air berkurang. ”Saat menyisakan sedikit pintu keluar air, beban bendungan jadi lebih ringan. Hal ini membuat bendungan tidak mudah jebol,” katanya.

Peduli
Tak terasa, pekerjaan yang mereka mulai sekitar pukul 09.00 usai saat jarum jam menunjukkan pukul 16.00. Hujan perlahan reda meski awan hitam masih menggantung di angkasa.

Sembari melepas jas hujan dari selembar plastik usang, Atang mengaku optimistis saluran air akan rampung empat tahun lagi. Pasalnya, bagian area pekerjaan yang tersisa didominasi tanah, bukan batuan besar dan keras.

Semangat warga juga jadi pendorong semangat mereka. Sebanyak 10-20 orang selalu datang dan bekerja saat jadwal penggalian kembali dilakukan. Di antara mereka ada Nyonya Ojoy (55), warga Cidugaleun. Ia merasa punya ”utang” yang harus dia balas dengan membantu Atang dan Harun.

”Dari saluran yang dibuat (Harun) tahun 1965, saya memiliki kebun yang kini berubah jadi sawah. Dibandingkan warga yang belum dijamah air, penghasilan saya setiap bulan lebih besar. Akan sangat baik jika warga lain merasakan hal yang sama,” katanya.

Mendengar niat mulia itu, Atang dan Harun semakin yakin. Securam apa pun tebing, sekeras apa pun dinding penuh batu cadas, mereka bisa menaklukkannya bersama-sama.

”Kami tidak akan menyesal jika harus menghabiskan waktu lama. Kami juga tidak ingin menyerah. Air ini untuk anak cucu kita kelak,” kata Atang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koridor Bangunan di MTsN 3 HSS Senin Siang

 Selasa, 24 September 2024 Koridor bangunan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), yang ada di Desa Angkinang Sel...