Oleh : Cornelius Helmy
Dua laki-laki tua itu, Harun dan Atang,
terus memupuk semangat untuk menaklukkan batu cadas Gunung Galunggung. Berbekal
linggis, mereka memimpin warga melubangi dinding tebing demi mengalirkan air
dari gunung ke desa.
Berdiri di parit kecil di sisi Curug
Meber—salah satu air terjun Gunung Galunggung—Harun membiarkan tubuh kurusnya
basah kuyup dihajar hujan. Laki-laki itu telah berusia 86 tahun, tetapi masih
memperlihatkan sisa-sisa kegagahan masa mudanya. Bersama 20 anggota Paguyuban
Cinila-Sariwangi, Harun mengencangkan otot, mencangkul tanah, dan menusukkan
linggis ke tebing batu.
Harun dan warga Cinila-Sariwangi sepuluh
tahun terakhir ini meretas mimpi untuk mengalirkan air Gunung Galunggung,
Tasikmalaya, Jawa Barat, ke permukiman warga di Cinila-Sariwangi. Untuk itu,
mereka bekerja keras melubangi tebing batu seinci demi seinci dengan bekal
cangkul dan linggis.
Pagi itu, pertengahan Oktober lalu,
Harun memimpin warga melanjutkan pekerjaan yang masih banyak tersisa. Seperti
sebilah golok yang melingkar di pinggangnya, mata Harun tajam mengawasi mereka
yang sedang bekerja. Sesekali, Harun memberi contoh cara mencangkul dan
menggali dengan benar.
Akan tetapi, dingin yang datang bersama
hujan pagi itu sulit diusir oleh Harun. Berada di ketinggian sekitar 1.500
meter di atas permukaan, dingin menusuk tubuh rentanya. Bibirnya kerap
bergetar, uap panas keluar setiap kali dia berbicara.
”Semangat Abah Harun jadi modal besar
bagi kami melubangi tebing gunung untuk membuat saluran air. Biar sudah tua,
semangatnya jauh lebih muda dari usianya,” kata Ibin (38), anggota Paguyuban
Cinila-Sariwangi.
Harun hanya tersenyum mendengar pujian
itu. Tangannya tetap mengayunkan linggis dan menancapkannya dalam-dalam ke
tubuh tebing dengan sudut kemiringan nyaris 90 derajat itu. Tebing yang
dimaksud berada di kawasan Dinding Ari di kaki Gunung Galunggung.
Seperti banyak kawasan Galunggung
lainnya, Dinding Ari berlimpah air. Namun, air itu tidak dapat dimanfaatkan
warga Sariwangi karena terjebak di balik dinding tebing setinggi 10 meter. Air
yang sangat berharga itu jatuh begitu saja ke dasar Sungai Cinila sedalam 50
meter dari tempat warga bekerja.
Tanpa aliran air, warga sulit membangun kehidupan
yang sejahtera. Kebun-kebun warga hanya ditanami pohon albasia yang panen lima
tahun sekali. Jangan harap melihat hamparan sawah hijau di sana. ”Banyak warga
akhirnya bekerja jadi buruh di sawah orang lain atau buruh bangunan di kota,”
kata Ketua Paguyuban Cinila-Sariwangi Supriadi.
Bosan dengan kondisi itu, warga
bersepakat membobol dinding tebing demi mendapatkan air. Untuk mewujudkannya,
mereka mengajak Harun yang punya pengalaman panjang mengalirkan air gunung.
Ajakan itu langsung diterima Harun dengan satu alasan, ”Saya ingin seperti
harimau. Sebelum mati harus meninggalkan belang.”
Kolaborasi Harun-Atang
Kisah ketangguhan Harun nyaris tak
terdengar di Tasikmalaya. Kiprahnya tak seramai kisah Mak Eroh dan Abdul Rojak
yang membobol tebing untuk membuat saluran air di Cisayong dan Pancatengah,
Tasikmalaya. Jasa Eroh dan Abdul Rojak diabadikan dalam patung di pusat Kota
Tasikmalaya.
Padahal, kiprah Harun tak sembarangan.
Tahun 1965, ia telah memimpin enam tetangganya membuat saluran air sepanjang 6
kilometer selama setahun. Air dialirkan dari Sungai Cikunten menuju sebagian
Desa Malaganti dan Desa Jayaratu, Kecamatan Sukawangi. Kini 1.000 orang
merasakan nikmat air untuk irigasi dan keperluan lain. ”Pekerjaan paling sulit
adalah membuat terowongan berdinding batu sekitar 1 kilometer,” katanya.
Ia tak mendapat uang atau harta untuk
pekerjaan yang melelahkan dan berbahaya itu. Sampai saat ini, ia tetap petani
miskin yang tak memiliki lahan sendiri. Meski begitu, ia tetap bahagia karena
bisa membuat banyak orang hidup lebih sejahtera.
Sepak terjang Harun menumbuhkan
inspirasi. Atang, yang masih belia saat ikut menggali dinding bersama Harun 51
tahun lalu, memimpin dua penggalian saluran air pada 1990 dari Sungai Ciparay
menuju rumahnya di Desa Cidugaleun, Kecamatan Cigalontang, sejauh 8 kilometer.
Atang
Lahir:
Tasikmalaya, 1951
Pendidikan:
SD
Pekerjaan:
Petani
Harun
Lahir:
Tasikmalaya, 1930
Pendidikan:
SD
Pekerjaan:
Petani
Sekitar 16 tahun kemudian, ia kembali
membuat saluran air dari Air Terjun Cimeber menuju empat desa di Kecamatan
Sariwangi sejauh 6 kilometer. ”Saluran-saluran air itu kini mengairi sawah
seluas 2.000-an hektar. Rata-rata 1.000 meter persegi sawah menghasilkan 1
kuintal padi setiap panen. Dalam setahun, warga bisa panen tiga kali,” kata
Atang.
Seperti reuni, Atang kini kembali
berkolaborasi dengan Harun dalam ”proyek” di Dinding Ari sejak 2006. Keduanya
sepakat, pekerjaan kali ini jauh lebih sulit. Upaya mereka menembus dinding
selama 10 tahun terakhir, lanjut Atang, baru menghasilkan saluran air sepanjang
750 meter dengan lebar 1 meter dan tinggi 1-1,5 meter. Penyebabnya, banyak
batuan besar dan jurang di Dinding Ari.
Selain membutuhkan waktu lama, kerja
keras itu juga menghabiskan banyak peralatan. Setidaknya 150 cangkul dan 100
linggis menjadi aus karena dipakai menghajar tebing batu. ”Semua alat itu
dibeli dari iuran warga. Pengajuan bantuan kepada pemerintah tak ada
jawabannya,” kata Atang.
Mereka juga harus beraksi lebih ekstrem
dengan nyawa sebagai taruhan. Di tebing curam, para penggali mesti
bergelantungan dengan tumpuan tali tambang yang diikat pada pohon besar. Diikat
tali di pinggang, warga hanya punya dua pilihan, berhasil melubangi gunung atau
jatuh ke jurang.
Pengalaman Harun kehilangan seorang
rekannya saat penggalian tahun 1965 dijadikan pelajaran. Harun membuat aturan
sederhana agar maut menjauh dari warga yang sedang bekerja. Ia melarang warga
sendirian menggali dengan menghadap tebing. Alasannya, longsor sulit diterka
jika warga sendirian bekerja dalam posisi itu. ”Solusinya, kami harus menggali
dari samping dan harus ada teman yang mengawasi,” katanya.
Harun juga meminta warga menutup tanah
basah bekas penggalian dengan tanah kering. Tanah basah, menurut Harun, mudah
longsor.
Terakhir, Harun menekankan pentingnya
pembuatan bendungan dengan menyusun batuan beragam ukuran. Ia tetap
mempertahankan celah antarbatu agar beban bendungan dalam menampung air
berkurang. ”Saat menyisakan sedikit pintu keluar air, beban bendungan jadi
lebih ringan. Hal ini membuat bendungan tidak mudah jebol,” katanya.
Peduli
Tak terasa, pekerjaan yang mereka mulai
sekitar pukul 09.00 usai saat jarum jam menunjukkan pukul 16.00. Hujan perlahan
reda meski awan hitam masih menggantung di angkasa.
Sembari melepas jas hujan dari selembar
plastik usang, Atang mengaku optimistis saluran air akan rampung empat tahun
lagi. Pasalnya, bagian area pekerjaan yang tersisa didominasi tanah, bukan
batuan besar dan keras.
Semangat warga juga jadi pendorong
semangat mereka. Sebanyak 10-20 orang selalu datang dan bekerja saat jadwal
penggalian kembali dilakukan. Di antara mereka ada Nyonya Ojoy (55), warga
Cidugaleun. Ia merasa punya ”utang” yang harus dia balas dengan membantu Atang
dan Harun.
”Dari saluran yang dibuat (Harun) tahun
1965, saya memiliki kebun yang kini berubah jadi sawah. Dibandingkan warga yang
belum dijamah air, penghasilan saya setiap bulan lebih besar. Akan sangat baik
jika warga lain merasakan hal yang sama,” katanya.
Mendengar niat mulia itu, Atang dan
Harun semakin yakin. Securam apa pun tebing, sekeras apa pun dinding penuh batu
cadas, mereka bisa menaklukkannya bersama-sama.
”Kami tidak akan menyesal jika harus
menghabiskan waktu lama. Kami juga tidak ingin menyerah. Air ini untuk anak
cucu kita kelak,” kata Atang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar