Oleh : Herpin Dewanto
Melihat buku dicampakkan dan dianggap
sebagai barang yang tak berguna, Sutejo (49) menjadi gelisah. Maka, selama 23
tahun terakhir, ia mengajak masyarakat Ponorogo, Jawa Timur, berdamai dengan
buku. Ia mengajak masyarakat membaca sekaligus menulis.
Tahun ini, Sutejo memasuki babak penting
dari perjuangan panjang Sutejo dalam menggerakkan literasi di "Kota
Reog" itu. Sejak September 2016, ia merintis Sekolah Literasi Gratis
(SLG), yakni layanan pendidikan gratis bagi semua kalangan, terutama para
pelajar, mahasiswa, dan guru.
SLG ini merupakan program yang dirancang
untuk satu tahun hingga Agustus 2017 di kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, tempat Sutejo mengajar. Beberapa penulis,
sastrawan, pustakawan, dan wartawan diundang sebagai pemateri untuk mengisi
program itu secara bergantian. SLG berlangsung setiap Minggu, mulai dari pukul
08.00 hingga pukul 15.00.
Sutejo merasa beruntung ketika yayasan
yang menaungi STKIP PGRI Ponorogo bersedia memberi bantuan dana Rp 500 juta
karena menilai program tersebut memiliki nilai sosial dan memang dibutuhkan
warga Ponorogo.
Sutejo mengalokasikan dana bantuan itu
sebanyak Rp 150 juta untuk program Hibah Literasi. Ini adalah bagian dari SLG,
yaitu donasi 10.000 buku kepada sekolah tingkat SMA/SMK/MA. Tidak hanya di
Ponorogo, pembagian buku gratis itu juga dilakukan di Pacitan, Wonogiri,
Trenggalek, dan Madiun.
Buku yang dibagikan antara lain buku
karya Sutejo yang umumnya bertema penulisan artikel dan sastra. Sampai saat
ini, Sutejo telah menulis 20 judul buku yang ia cetak sendiri serta dipasarkan
ke komunitas pendidik dan penulis.
"Tahun pertama ini, saya ingin
pemateri yang hadir dalam SLG dapat menginspirasi peserta untuk menulis. Pada
tahun kedua, saya ingin lebih masuk ke teknis penulisan," kata Sutejo.
Minggu (9/10), ia mengundang guru SMA
Kolese De Britto Yogyakarta sekaligus penulis buku, J Sumardianta. Sumardianta
bercerita banyak mengenai proses kreatif menulis artikel dan buku. Jumlah
peserta yang hadir sekitar 100 orang, sebagian besar perempuan.
Menurut Sutejo, peserta yang mendaftar
mencapai 600 orang. Padahal, kapasitas kelas hanya sekitar 150 orang. Maka,
supaya adil, setiap peserta hanya diperbolehkan mengikuti sesi pelatihan selama
satu bulan.
Dari
Komunitas
Sebelum menggagas dan menggelar SLG itu,
Sutejo mulai menggerakkan literasi di Ponorogo dengan membangun
komunitas-komunitas. Semua berawal pada 1993 ketika Sutejo baru saja
menyelesaikan pendidikan S-1 di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Malang yang sekarang bernama Universitas Negeri Malang. Bersama beberapa rekan
guru, ia membentuk komunitas Jaring Sastra.
Melalui komunitas ini, Sutejo mengajak
anggotanya membaca dan menulis puisi. Mereka kemudian sering tampil membaca
puisi di berbagai acara.
Pada 2000, komunitas Jaring Sastra
bermetamorfosis menjadi Komunitas Ukel, sebuah komunitas literasi yang anggotanya
lebih luas, yaitu mencakup mahasiswa, pelajar, masyarakat umum, guru, dan
pustakawan. Nama Ukel diambil dari Jalan Ukel yang merupakan alamat STKIP PGRI
Ponorogo. Ada sekitar 45 orang yang menjadi anggota komunitas itu.
Dari Komunitas Ukel lahir banyak penulis
artikel yang produktif. Mereka juga sering memenangi berbagai sayembara
menulis. Sutejo selalu berpesan kepada anggota komunitas untuk selalu mengukur
kemampuan dengan mengikuti lomba menulis.
September 2016, Sutejo mulai melibatkan
pemerintah daerah dalam gerakan literasi ini melalui proyek "Menulis Surat
untuk Bupati" yang dilakukan bersama sebuah surat kabar lokal. Sebanyak
1.500 pelajar ia ajak beramai-ramai menulis surat kepada Bupati Ponorogo Ipong
Muchlissoni. Sutejo puas karena pemda mulai menyadari pentingnya literasi.
Sutejo
Lahir:
Ponorogo, 10 Februari 1967
Istri:
Siti Kutsijah (49)
Anak:
Afifah Wahda Tyas Pramudita (22)
Barbara Abdul Kahfi (19)
Caesar Adlu Hakim (16)
Pekerjaan:
Dosen Kopertis VII Surabaya
(Diperbantukan di STKIP PGRI Ponorogo sejak 1992)
Merawat
Motivasi
Kesuksesan Sutejo menggerakkan literasi
selama bertahun-tahun terletak pada kemampuannya merawat motivasi seseorang
untuk menulis. Hal itu ia lakukan dengan menjadi pendengar yang baik. Ia
membuka pintu rumahnya 24 jam bagi siapa saja yang ingin bercerita.
"Biasanya mahasiswa saya datang dan
bercerita mengenai persoalan apa pun. Bahkan, tengah malam mereka datang saya
terima," katanya.
Ketika diajak berbicara, Sutejo akan
diam dan memperhatikan lawan bicaranya dengan saksama. Begitu berbicara,
kata-katanya mengalir pelan dengan suara yang teduh. Dengan kemampuan itu,
Sutejo mampu mengubah persoalan-persoalan para mahasiswanya itu menjadi bahan
bakar untuk menulis.
"Saya sendiri menganggap menulis
sebagai terapi untuk keluar dari beban hidup," ujar Sutejo. Ia lalu
terdiam sejenak dan menahan tangis ketika mulai menceritakan masa kecilnya yang
susah, hidup dalam kemiskinan, dan harus menjual tas keresek.
Sutejo merasa masih melihat bayangan
masa kecilnya itu di dalam kehidupan masyarakat Ponorogo saat ini. Hal ini yang
membulatkan tekadnya untuk menjadi penggerak literasi. Ia gelisah ketika
melihat tanah kelahirannya masih dijuluki kantong tenaga kerja Indonesia (TKI)
di Jawa Timur. Banyak orang yang pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi
pekerja kasar atau pembantu rumah tangga, sementara kemajuan di kampung halaman
seolah tidak terasa.
Sutejo lalu berpikir, kemajuan itu akan
cepat terasa jika warga mendapatkan pendidikan yang lebih baik atau pelatihan
keterampilan. Usaha-usaha baru akan bermunculan dan merangsang lapangan kerja
baru. Warga Ponorogo tidak perlu lagi pergi jauh untuk mencari uang.
Namun, menyodorkan gagasan tentang
membaca dan menulis kepada masyarakat sebagai jalan keluar dari kesulitan bukanlah
pekerjaan mudah. Sutejo harus berhadapan dengan cara pandang yang salah
mengenai kegiatan membaca.
"Masih banyak orangtua yang berkata
kepada anaknya yang sedang membaca buku kurang lebih seperti ini, 'Daripada
tidak ada kerjaan mending bantu bapak/ibu'," katanya.
Akibatnya, budaya membaca tidak
terbentuk. Anak-anak muda di kota itu cenderung menghabiskan banyak waktu untuk
nongkrong dan tidak melakukan kegiatan yang produktif.
Celakanya, di lingkungan sekolah, Sutejo
menemukan banyak guru tidak suka membaca dan praktis tidak mendorong siswanya
untuk membaca. "Kalau guru tidak suka membaca, lalu apa yang bisa
diharapkan dari muridnya," ujarnya.
Setidaknya, anak-anak muda yang berada
di dekat Sutejo saat ini adalah para calon guru dan penggerak literasi yang
sudah merasakan keajaiban proses menulis. Sutejo yakin, masa depan Ponorogo
akan jauh lebih baik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar