Selasa, 08 November 2016

Berdamai dengan Buku

Selasa, 8 November 2016




Oleh : Herpin Dewanto

Melihat buku dicampakkan dan dianggap sebagai barang yang tak berguna, Sutejo (49) menjadi gelisah. Maka, selama 23 tahun terakhir, ia mengajak masyarakat Ponorogo, Jawa Timur, berdamai dengan buku. Ia mengajak masyarakat membaca sekaligus menulis.

Tahun ini, Sutejo memasuki babak penting dari perjuangan panjang Sutejo dalam menggerakkan literasi di "Kota Reog" itu. Sejak September 2016, ia merintis Sekolah Literasi Gratis (SLG), yakni layanan pendidikan gratis bagi semua kalangan, terutama para pelajar, mahasiswa, dan guru. 

SLG ini merupakan program yang dirancang untuk satu tahun hingga Agustus 2017 di kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, tempat Sutejo mengajar. Beberapa penulis, sastrawan, pustakawan, dan wartawan diundang sebagai pemateri untuk mengisi program itu secara bergantian. SLG berlangsung setiap Minggu, mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00.

Sutejo merasa beruntung ketika yayasan yang menaungi STKIP PGRI Ponorogo bersedia memberi bantuan dana Rp 500 juta karena menilai program tersebut memiliki nilai sosial dan memang dibutuhkan warga Ponorogo.

Sutejo mengalokasikan dana bantuan itu sebanyak Rp 150 juta untuk program Hibah Literasi. Ini adalah bagian dari SLG, yaitu donasi 10.000 buku kepada sekolah tingkat SMA/SMK/MA. Tidak hanya di Ponorogo, pembagian buku gratis itu juga dilakukan di Pacitan, Wonogiri, Trenggalek, dan Madiun.

Buku yang dibagikan antara lain buku karya Sutejo yang umumnya bertema penulisan artikel dan sastra. Sampai saat ini, Sutejo telah menulis 20 judul buku yang ia cetak sendiri serta dipasarkan ke komunitas pendidik dan penulis.

"Tahun pertama ini, saya ingin pemateri yang hadir dalam SLG dapat menginspirasi peserta untuk menulis. Pada tahun kedua, saya ingin lebih masuk ke teknis penulisan," kata Sutejo.

Minggu (9/10), ia mengundang guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta sekaligus penulis buku, J Sumardianta. Sumardianta bercerita banyak mengenai proses kreatif menulis artikel dan buku. Jumlah peserta yang hadir sekitar 100 orang, sebagian besar perempuan.

Menurut Sutejo, peserta yang mendaftar mencapai 600 orang. Padahal, kapasitas kelas hanya sekitar 150 orang. Maka, supaya adil, setiap peserta hanya diperbolehkan mengikuti sesi pelatihan selama satu bulan.

Dari Komunitas
Sebelum menggagas dan menggelar SLG itu, Sutejo mulai menggerakkan literasi di Ponorogo dengan membangun komunitas-komunitas. Semua berawal pada 1993 ketika Sutejo baru saja menyelesaikan pendidikan S-1 di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang yang sekarang bernama Universitas Negeri Malang. Bersama beberapa rekan guru, ia membentuk komunitas Jaring Sastra.

Melalui komunitas ini, Sutejo mengajak anggotanya membaca dan menulis puisi. Mereka kemudian sering tampil membaca puisi di berbagai acara.

Pada 2000, komunitas Jaring Sastra bermetamorfosis menjadi Komunitas Ukel, sebuah komunitas literasi yang anggotanya lebih luas, yaitu mencakup mahasiswa, pelajar, masyarakat umum, guru, dan pustakawan. Nama Ukel diambil dari Jalan Ukel yang merupakan alamat STKIP PGRI Ponorogo. Ada sekitar 45 orang yang menjadi anggota komunitas itu.

Dari Komunitas Ukel lahir banyak penulis artikel yang produktif. Mereka juga sering memenangi berbagai sayembara menulis. Sutejo selalu berpesan kepada anggota komunitas untuk selalu mengukur kemampuan dengan mengikuti lomba menulis.

September 2016, Sutejo mulai melibatkan pemerintah daerah dalam gerakan literasi ini melalui proyek "Menulis Surat untuk Bupati" yang dilakukan bersama sebuah surat kabar lokal. Sebanyak 1.500 pelajar ia ajak beramai-ramai menulis surat kepada Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni. Sutejo puas karena pemda mulai menyadari pentingnya literasi.

Sutejo
Lahir:
Ponorogo, 10 Februari 1967
Istri:
Siti Kutsijah (49)
Anak:
Afifah Wahda Tyas Pramudita (22)
Barbara Abdul Kahfi (19)
Caesar Adlu Hakim (16)
Pekerjaan:
Dosen Kopertis VII Surabaya (Diperbantukan di STKIP PGRI Ponorogo sejak 1992)

Merawat Motivasi
Kesuksesan Sutejo menggerakkan literasi selama bertahun-tahun terletak pada kemampuannya merawat motivasi seseorang untuk menulis. Hal itu ia lakukan dengan menjadi pendengar yang baik. Ia membuka pintu rumahnya 24 jam bagi siapa saja yang ingin bercerita.

"Biasanya mahasiswa saya datang dan bercerita mengenai persoalan apa pun. Bahkan, tengah malam mereka datang saya terima," katanya.

Ketika diajak berbicara, Sutejo akan diam dan memperhatikan lawan bicaranya dengan saksama. Begitu berbicara, kata-katanya mengalir pelan dengan suara yang teduh. Dengan kemampuan itu, Sutejo mampu mengubah persoalan-persoalan para mahasiswanya itu menjadi bahan bakar untuk menulis.
"Saya sendiri menganggap menulis sebagai terapi untuk keluar dari beban hidup," ujar Sutejo. Ia lalu terdiam sejenak dan menahan tangis ketika mulai menceritakan masa kecilnya yang susah, hidup dalam kemiskinan, dan harus menjual tas keresek.

Sutejo merasa masih melihat bayangan masa kecilnya itu di dalam kehidupan masyarakat Ponorogo saat ini. Hal ini yang membulatkan tekadnya untuk menjadi penggerak literasi. Ia gelisah ketika melihat tanah kelahirannya masih dijuluki kantong tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jawa Timur. Banyak orang yang pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi pekerja kasar atau pembantu rumah tangga, sementara kemajuan di kampung halaman seolah tidak terasa.

Sutejo lalu berpikir, kemajuan itu akan cepat terasa jika warga mendapatkan pendidikan yang lebih baik atau pelatihan keterampilan. Usaha-usaha baru akan bermunculan dan merangsang lapangan kerja baru. Warga Ponorogo tidak perlu lagi pergi jauh untuk mencari uang.

Namun, menyodorkan gagasan tentang membaca dan menulis kepada masyarakat sebagai jalan keluar dari kesulitan bukanlah pekerjaan mudah. Sutejo harus berhadapan dengan cara pandang yang salah mengenai kegiatan membaca.

"Masih banyak orangtua yang berkata kepada anaknya yang sedang membaca buku kurang lebih seperti ini, 'Daripada tidak ada kerjaan mending bantu bapak/ibu'," katanya.

Akibatnya, budaya membaca tidak terbentuk. Anak-anak muda di kota itu cenderung menghabiskan banyak waktu untuk nongkrong dan tidak melakukan kegiatan yang produktif.

Celakanya, di lingkungan sekolah, Sutejo menemukan banyak guru tidak suka membaca dan praktis tidak mendorong siswanya untuk membaca. "Kalau guru tidak suka membaca, lalu apa yang bisa diharapkan dari muridnya," ujarnya.

Setidaknya, anak-anak muda yang berada di dekat Sutejo saat ini adalah para calon guru dan penggerak literasi yang sudah merasakan keajaiban proses menulis. Sutejo yakin, masa depan Ponorogo akan jauh lebih baik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saruan Maulidirrasul 1446 H / 2024 M di Tempat Bapak Abdurrahman Pangambau Hilir Luar Selasa Pagi

 Selasa, 24 September 2024 Bersama Fauzan Zainury dan Rahman Alack, saya menghadiri peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1446 H / 2024 ...