Oleh : Drs HM Hasbi Salim
(Disampaikan pada forum seminar
Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 14
s.d 16 Desember 2007)
I.PENDAHULUAN
Sebelum saya membahas lebih jauh
materi yang diminta oleh panitia, yaitu Pertumbuhan, Pembinaan dan Perkembangan
Cerpen Indonesia Modern di Kabupaten Hulu Sungai Utara, ada dua istilah yang
perlu dipertegas terlebih dahulu, yaitu istilah cerpen dan cerpen Indonesia
modern.
1.Cerpen
Cerpen adalah akronim dari Cerita
Pendek. Cerita pendek termasuk dalam kategori sastra yang merupakan kisah
pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan
memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika).
Menurut Edgar Alam Poe menyatakan
bahwa cerita pendek adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali
duduk, kira-kira setengah hingga dua jam. Sesuai dengan sifatnya yang pendek
dan sederhana cerpen bisa dibaca daam waktu singkat dan sambilan. Misalnya
orang yang sedang menunggu keberangkatan kapal di pelabuhan, menunggu bus di
halte, menunggu giliran saat membayar rekening air di PDAM, dsb.
Cerita pendek tergolong prosa fiksi
yang mempunyai unsur-unsur seperti penokohan, tema, alur, latar dan gaya
bahasa. Jalannya peristiwa di dalam cerpen lebih padat. Sementara latar maupun
kilas baliknya disinggung sambil lalu saja.
Akhir-akhir ini, genre sastra cerita
pendek kian populer, ini terbukti dengan kian banyaknya dipublikasikan di media
massa seperti melaui majalah, tabloid, surat kabar, internet dan buku (antologi cerpen).
2.Cerpen Indonesia Modern
Harris Effendi Thahar dalam bukunya
yang berjudul Kiat Menulis Cerita Pendek secara eksplisit menuturkan bahwa
cerita-cerita pendek seperti dongeng, legenda, dan sejenisnya adalah termasuk
cerita pendek lama. Sedangkan cerita pendek yang menyangkut masalah kekinian
bahkan keseharian dengan Bahasa Indonesia mutakhir dapat digolongkan cerpen
modern.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa cerpen Indonesia modern adalah cerita pendek yang diangkat dari kenyataan
sehari-hari pada saat ini dengan menggunakan Bahasa Indonesia masa kini.
Tanpa bermaksud mengurangi rasa
hormat kepada panitia. Izinkan saya tertarik untuk lebih sering menggunakan
istilah cerpen (cerita pendek) saja tanpa embel-embel modern. Karena, yang ini
rasanya lebih akrab di telinga kita.
II.PERTUMBUHAN
Sesungguhnya, jika berbicara tentang
pertumbuhan cerpen modern di Hulu Sungai Utara (HSU) kita tidak bisa melepaskan
diri dari membicarakan masalah cerpen lama. Sebab, sebagaimana dimaklumi HSU
terkenal dengan sastra lisan, salah satunya adalah bakisah (bercerita secara
lisan, dengan cerita yang tergolong relatif pendek).
Untuk urusan bakisah, maka kita akan
menemukan sederet nama tokoh atau sastrawan di bidang ini di kabupaten ini,
seperti H Anwar Hadi (alm) dari Panangkalaan, Guru H Mursidi dari Hambuku, dll.
Jika ditelusuri secara historis,
maka ada benang merah antara kemampuan bercerpen yang kita kenal sekarang
dengan tradisi bakisah pada waktu dulu. Sebab keduanya mempunyai unsur-unsur
penting yang sama seperti ; alur, karakter, konflik, resolusi, dsb.
Sekitar tahun 60-an orang-orang
sering berkumpul di rumah pengantin yang sering disebut malam bajaga pangantin.
Dalam acara tersebut diadakan parade bahkan kompetisi bercerita atau batanding
kisah. Kehebatan para penutur cerita pada waktu itu antara lain ; jika si A
bercerita dengan tema Pengantin Baru, maka si B, si C dan seterusnya akan mengangkat
tema yang sama pula diluar kepala atau tanpa teks secara bergiliran. Seiring
dengan itu, adapula bakisah dengan pencerita tunggal. Dimana seorang yang ahli
bertutur menyampaikan cerita di tengah massa dengan gayanya yang khas (seperti
dalang).
Sayangnya, sastra lisan ini kini
hampir punah. Ada sedikit tersisa namun dapat dihitung dengan jari.
Kadang-kadang masih dilaksanakan di pedesaan, itupun dikemas dalam sebuah acara
tabligh akbar dalam rangka pencarian dana untuk majid, mushala, madrasah, dsb.
Ini sering dikenal dengan sebutan malam amal atau malam saprah amal.
Cerita-cerita yang dipaparkan pun pada umumnya adalah cerita-cerita Islami
seperti tentang Nabi Yusuf dan Julaiha, Masithah, dsb.
Lambat laun muncullah kesadaran para
sastrawan untuk membukukan cerita-cerita yang bersambung dari mulut ke mulut
itu. Sehingga muncullah gerakan menulis cerita. Untuk cerita legenda kita kenal
Anggraini Antemas dengan salah satu karya beliau Legenda Candi Agung, untuk
cerita Islami kita kenal KH Husin Nafarin, MA dengan salah satu buku beliau
Bunga Rampai Kisah-Kisah dari Timur Tengah, untuk kisah kita kenal Bapak Harun
Al Rasyid dalam bukunya Batanding Kisah di Malam Pengantin. Selain itu, kita
kenal Raji Abkar (Fakhrurraji Asmuni) dengan buku beliau yang berjudul Mengenal
Datu-Datu Kalimantan.
Selanjutnya satu dua orang mencoba
menulis cerita yang disebarkan ke sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh
Bapak Harun Al Rasyid, Sudarni dan Fitriansyah. Rasanya tidak berlebihan kalau
saya katakaa bahwa atas jasa para sastrawan yang mulai menulis dan hasilnya
disebarkan ke sekolah-sekolah memberikan sedikit andil untuk tumbuh kembangnya
semangat bercerpen dikalangan anak-anak muda (sebut anak-anak sekolah).
Dari media radio diam-diam
berkembang pula cerpen. Namun sayangnya para penyiar radio terkadang ambil
mudah saja dengan cara mengambil cerpen yang dipublikasikan di media massa,
bukan mencipta secara khusus.
III.PEMBINAAN
Secara jujur saya katakan bahwa
hampir tidak ada pembinaan yang terencana terhadap para penulis cerpen di
daerah ini. Mereka pada umumnya muncul dan berkembang secara pribadi dan
sendiri-sendiri.
Akhir-akhir ini ada sedikit angin
segar, dimana para sastrawan daerah ini berhimpun dalam wadah yag bernama Dewan
Kesenian Daerah (DKD) dan sanggar, salah satunya adalah Sanggar Payung Kembang,
yang diketuai oleh Bapak Harun Al Rasyid dengan salah satu materi kegiatannya
adalah membuat antologi cerpen, mengadakan lomba batanding kisah, membaca
cerpen, sinopsis, dll.
IV.PERKEMBANGAN
Walaupun agak tersendat-sendat,
sastra tulis nampaknya terus berkembang juga, sehingga bermunculan sederet nama
cerpenis pendatang baru yang nampak bertalenta tinggi. Dalam hal ini sebut saja
nama para muda seperti Aliansyah Jumbawuya (wartawan Tabloid Serambi Ummah rubrik
sastra), Raji Akbar, Nailiya Nikmah, Fitria Handayani, Endang Fitriani (salah
satu pemenang Lomba Menulis Cerpen Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan pada
Aruh Sastra Kalimantan Selatan III Tahun 2006 di Kotabaru) dan beberapa
cerpenis lainnya yang tidak mungkin untuk dituliskan seluruhnya disini.
V.PERMASALAHAN
Dari pengamatanan penulis ada
sejumlah permasalahan yang dialami dalam dunia percerpenan. Permasalahan
tersebut antara lain :
1.Kurangnya dukungan dari pemerintah
misalnya penyediaan tempat atau fasilitas kegiatan.
2.Masih terbatasnya media untuk
mempublikasikan buah karya berupa cerpen di media massa (cetak dan elektronik).
3.Kurangnya porsi materi cerpen
dalam kurikulum di sekolah seperti di SD/MI, SLTP/MTs dan SLTA/MA. Padahal ini
merupakan jalur paling strategis untuk menciptakan generasi yang apresiatif
terhadap karya sastra, bahkan boleh jadi pabriknya cerpenis masa depan.
4.Keuntungan finasial yang belum
menjanjikan. Misalnya honor menulis cerpen yang belum memadai.
5.Kurangnya pembinaan dari lembaga
kesenian seperti DKD.
6.Belum terbentuknya komunitas
cerpenis yang mapan sebagai wadah bertukar pendapat dan berkarya bersama.
Seperti Forum Lingkar Pena.
VI.PEMECAHAN MASALAH
Ada sejumlah jalan keluar yang perlu
diambil untuk memecahkan permasalahan di atas. Antara lain :
1.Menggalakkan peran pemerintah
melalui kebijakan-kebijakan yang membantu secara langsung maupun tidak,
misalnya ; menyediakan fasilitas, menyelenggarakan kegiatan lomba penulisan dan
pembacaan cerpen.
2.Menambah media yang mau
mempublikasikan karya cerpen atau karya sastra pada umumnya.
3.Menambah porsi pengajaran sastra
di sekolah, dalam hal ini termasuk cerpen. Bahkan jika memungkinkan mengadakan
kegiatan ekstra kurikuler secara tersendiri.
4.Perlunya penghargaan finansial
yang memadai dari media massa dan pemerintah.
5.Pembinaan dari DKD secara langsung
dan intensif baik melalui pelatihan, up grading, workshop, temu cerpenis, dsb.
6.Perlunya pembentukan komunitas
cerpenis di Kabupaten HSU untuk mendorong mereka berkarya dan meningkatkan
kualitas hasil karya.
VII. PENUTUP
Barangkali banyak hal yang belum
termuat dalam tulisan ini yang seharusnya dimasukkan, maka dengan kerendahan
hati saya berharap forum ini bisa menambahkannya.
Kalau boleh saya berharap, kiranya
seminar sehari ini menghasilakan sejumlah terobosan baru yang lebih bermakna
bagi kita semua baik insan sastra (baca : sastarawan) maupun masyarakat
penikmat sastra pada umumnya. Sebab, saya yakin permasalahan yang dialami di
Kabupaten HSU tidak jauh berbeda dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi
di kabupaten lain di Kalsel.
Untuk itu perlu dibuat semacam
rekomendasi yang bisa disampaikan kepada sejumlah pihak yang terkait, seperti
pemerintah daerah, DKD, sanggar, media massa (cetak dan elektronik), LSM dan
pihak-pihak lainnya yang dirasa perlu dan memungkinkan. Sekian.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar