Esai : Zulfaisal Putera
Jika bicara soal
Kota Kandangan, maka ada banyak hal yang terbayang. Yang paling enak dulu tentu
kulinernya yang maunjai. Katupat Kandangan, karau bersantan dengan iwak
haruan-nya; Dodol, hitam manis legit dan pasti asli; Lamang, lemak, gurih, dan
bergetah plus telur asin alias intalu jaruk lezat dan kaya protein; Dan yang
satu ini, khas banget, Samu, ikan yang ditabur beras yang disangrai bercampur
garam.
Yang asyik
dilihat dari Kandangan adalah wanitanya yang dikenal cantik dan berkulit kuning
langsat. Kecantikannya konon melebihi wanita lainnya di banua ini. Dalam
istilahnya disebut Pariwantan, paling bungas, dari lacit sampai hambayang.
Percayalah, saking cantiknya, bayangannya pun terlihat cantik. Berbanggalah
yang beristri wanita Kandangan.
Kandangan juga
memiliki nilai kesejarahan di zaman perjuangan. Kota ini menjadi basis
perlawanan geriliyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang dipimpin
Brigjend H. Hasan Basry terhadap penjajahan Belandan dan NICA. Tanah ini juga
lahirkan banyak tokoh pejuang seperti Temenggung Antaluddin, Panglima Dambung,
Singakarsa, Aluh Idut, dan beberapa.
Kandangan
dikenal sebagai tanah jawara. Konon, dulu, di daerah ini ada banyak jagau.
Sejumlah orang orang yang berani, temperamental, dan takmau kalah. Mereka ke
mana mana membawa pisau di pinggang dan siap melawan siapa pun yang menantang.
Takheran jika selalu terdengar kabar ada urang bakalahi, barukat, batampar,
basuduk, batimpas, dan babunuhan. Entahlah sekarang apa masih berkesan begitu.
Ngeri, juga!
Namun, di balik
semua kelezatan, keindahan, kesejarahan, dan kengerian itu, dari kota seluas
106,7 km² ini tumbuh dan berkembang seni dan budaya yang begitu lebat. Pada era
1960-1970, Kandangan sempat dijuluki ‘Jogjakarta’-nya Kalimantan karena semua
kegiatan seni kuat bergeliat. Salah satu yang paling lekat pertumbuhan seni di
kota ini adalah sastra.
Kandangan
dianggap sebagai lumbung sastra di Kalsel. Sejumlah nama menoreh pena sejarah
dalam perkembangan sastra di Indonesia. Darmansyah Zauhidie
(1934-1984), Djarani E.M. alias Uda Djarani (1941-2005), dan Burhanuddin
Soebely (1957-2012) adalah sastrawan yang tumbuh dan berkarya di Kandangan.
Dari mereka tercipta banyak karya sastra besar.
Kandangan adalah
satu satunya kota di Banua, dan mungkin di Kalimantan yang sangat menghormati
sastrawan. Bentuk penghormatan itu terlihat dengan adanya monumen yang
bertuliskan secara lengkap sebuah puisi karya Darmansyah Zauhidie, “Kandangan
Kotaku Manis”. Bahkan, sebuah panggung terbuka untuk berbagai kegiatan budaya,
diberi nama sastrawan tersebut.
Kandangan juga
pioner soal sastra di banua. Kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang tahun
ini sudah pelaksanaan ke-12, pertama kali digelar di kota ini pada tahun 2004.
Dan tahun 2015 ini, tepatnya 27 November, pertama kalinya sebuah acara
peluncuran (tiga) buku sastra dilaksanakan secara besar besaran dengan
mengundang ratusan sastrawan dari 13 Kabupaten Kota di Banua.
Apalagi soal
Kandangan? Takhabis dibahas dalam sejumput tulisan. Namun, kota ini telah
memberikan banyak catatan dan pelajaran bagi banua. Bukan hanya hal hal yang
saya tuturkan, tetapi juga kearifannya dalam menjaga entitas lokal dan
menuangkannya dalam berbagai karya. Kota ini memang ‘genit’ dalam segala hal
dan ini yang membuat banyak orang rindu untuk mengunjunginya lagi. Perlulah
kita sama sama nyeletuk “Kandangan, Cing ai!” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar