Jumat, 04 Desember 2015

Kandangan, Cing ai !

Jum'at, 4 Desember 2015


Esai : Zulfaisal Putera

Jika bicara soal Kota Kandangan, maka ada banyak hal yang terbayang. Yang paling enak dulu tentu kulinernya yang maunjai. Katupat Kandangan, karau bersantan dengan iwak haruan-nya; Dodol, hitam manis legit dan pasti asli; Lamang, lemak, gurih, dan bergetah plus telur asin alias intalu jaruk lezat dan kaya protein; Dan yang satu ini, khas banget, Samu, ikan yang ditabur beras yang disangrai bercampur garam.

Yang asyik dilihat dari Kandangan adalah wanitanya yang dikenal cantik dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya konon melebihi wanita lainnya di banua ini. Dalam istilahnya disebut Pariwantan, paling bungas, dari lacit sampai hambayang. Percayalah, saking cantiknya, bayangannya pun terlihat cantik. Berbanggalah yang beristri wanita Kandangan.

Kandangan juga memiliki nilai kesejarahan di zaman perjuangan. Kota ini menjadi basis perlawanan geriliyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang dipimpin Brigjend H. Hasan Basry terhadap penjajahan Belandan dan NICA. Tanah ini juga lahirkan banyak tokoh pejuang seperti Temenggung Antaluddin, Panglima Dambung, Singakarsa, Aluh Idut, dan beberapa.

Kandangan dikenal sebagai tanah jawara. Konon, dulu, di daerah ini ada banyak jagau. Sejumlah orang orang yang berani, temperamental, dan takmau kalah. Mereka ke mana mana membawa pisau di pinggang dan siap melawan siapa pun yang menantang. Takheran jika selalu terdengar kabar ada urang bakalahi, barukat, batampar, basuduk, batimpas, dan babunuhan. Entahlah sekarang apa masih berkesan begitu. Ngeri, juga!

Namun, di balik semua kelezatan, keindahan, kesejarahan, dan kengerian itu, dari kota seluas 106,7 km² ini tumbuh dan berkembang seni dan budaya yang begitu lebat. Pada era 1960-1970, Kandangan sempat dijuluki ‘Jogjakarta’-nya Kalimantan karena semua kegiatan seni kuat bergeliat. Salah satu yang paling lekat pertumbuhan seni di kota ini adalah sastra.

Kandangan dianggap sebagai lumbung sastra di Kalsel. Sejumlah nama menoreh pena sejarah dalam perkembangan sastra di Indonesia. Darmansyah Zauhidie (1934-1984), Djarani E.M. alias Uda Djarani (1941-2005), dan Burhanuddin Soebely (1957-2012) adalah sastrawan yang tumbuh dan berkarya di Kandangan. Dari mereka tercipta banyak karya sastra besar.

Kandangan adalah satu satunya kota di Banua, dan mungkin di Kalimantan yang sangat menghormati sastrawan. Bentuk penghormatan itu terlihat dengan adanya monumen yang bertuliskan secara lengkap sebuah puisi karya Darmansyah Zauhidie, “Kandangan Kotaku Manis”. Bahkan, sebuah panggung terbuka untuk berbagai kegiatan budaya, diberi nama sastrawan tersebut.

Kandangan juga pioner soal sastra di banua. Kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang tahun ini sudah pelaksanaan ke-12, pertama kali digelar di kota ini pada tahun 2004. Dan tahun 2015 ini, tepatnya 27 November, pertama kalinya sebuah acara peluncuran (tiga) buku sastra dilaksanakan secara besar besaran dengan mengundang ratusan sastrawan dari 13 Kabupaten Kota di Banua.

Apalagi soal Kandangan? Takhabis dibahas dalam sejumput tulisan. Namun, kota ini telah memberikan banyak catatan dan pelajaran bagi banua. Bukan hanya hal hal yang saya tuturkan, tetapi juga kearifannya dalam menjaga entitas lokal dan menuangkannya dalam berbagai karya. Kota ini memang ‘genit’ dalam segala hal dan ini yang membuat banyak orang rindu untuk mengunjunginya lagi. Perlulah kita sama sama nyeletuk “Kandangan, Cing ai!” ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manyaratus Bini Kani Malam Selasa di Desa Angkinang Selatan

 Senin, 25 November 2024 Usai shalat fardhu Isya, pada hari Senin (25/11/2024) malam Selasa ada aruh Manyaratus Samsiati binti Tapri atau Bi...