Oleh : Mahfuzh Amin
Alkisah,
dahulu kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang
sekarang bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu
Garang, karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu amat zalim. Ia suka
memeras keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagai selir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana, untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana. Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecuali menggunakan tangga. Raja memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambung, hingga setinggi pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi, harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di seberang rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut itu hanya embun, yang biasanya turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap di jendela kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.
Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang. Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun kembali ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat yang hadir dalam pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.***
Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagai selir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana, untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana. Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecuali menggunakan tangga. Raja memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambung, hingga setinggi pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi, harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di seberang rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut itu hanya embun, yang biasanya turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap di jendela kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.
Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang. Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun kembali ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat yang hadir dalam pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar