Raja Pakurindang di Kerajaan Pulau Halimun memiliki dua putra mahkota yang
gagah perkasa dan tampan rupawan. Sang kakak bernama Sambu Batung, adiknya
Sambu Ranjana.
Kakak-beradik itu memiliki sifat yang amat bertolak belakang, seperti bumi
dengan langit. Sambu Batung lincah dan mudah bergaul, bersifat terbuka dan
senang dengan hal-hal baru. Sambu Ranjana berperangai sebaliknya: pendiam,
tertutup, tidak suka bergaul, tidak suka keramaian dan apa adanya.
Di bawah kepemimpinan Raja Pakurindang, rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup
rukun, makmur, aman dan sentosa. Mereka suka bergotong royong dan selalu
berbagi dalam kebersamaan. Kebutuhan sandang pangan mereka hasilkan sendiri.
Karena tinggal di satu pulau, mereka saling mengenal. Tidak ada rahasia di
antara mereka. Semuanya seperti satu keluarga.
Rakyat Kerajaan Pulau Halimun tidak pernah berhubungan dengan penduduk
pulau lain, sebab tidak pernah ada penduduk dari pulau lain yang datang ke
pulau itu. Dari luar, Kerajaan Pulau Halimun memang tidak tampak, sebab selalu
diselimuti kabut. Nelayan dari pulau-pulau lain yang melintas hanya melihat
halimun di tengah laut.
Pada suatu hari, Raja Pakurindang bertitah agar seluruh aparatnya berkumpul di
istana, karena ia akan menyampaikan hal penting.
“Karena rakyat sudah hidup sejahtera dan aku kian tua, sudah saatnya aku
meninggalkan istana. Aku akan bertapa,” sabda Raja Pakurindang.
“Paduka akan bertapa di mana?” Panglima Ranggas Kanibungan bertanya sambil
bersembah sujud. Karena tubuhnya tinggi dan besar sekali, lantai istana
bergetar oleh langkahnya. Senjatanya, kapak raksasa yang beratnya sama dengan
seekor kerbau jantan, tersandang di bahunya.
“Di pulau ini juga. Di puncak gunung yang diselimuti mega.”
“Maaf ampun, paduka. Bagaimana kalau paduka tak ada? Siapa yang akan bertahta?”
Sambu Luan, penasihat raja, bertanya sambil
mengusap-usap kumisnya.
“Putraku Sambu Batung akan bertahta dan menjalankan pemerintahan. Tentu
saja dengan bantuan kalian, panglima dan para punggawa. Tetapi, walaupun aku
nanti tak lagi bermukim di sini, bukan berarti aku akan menghilang sama sekali.
Dari puncak gunung, aku akan memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan
memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”
“Apa yang harus kami lakukan, ayahanda?” tanya Sambu Batung.
“Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana. Rukunlah dengan Sambu Ranjana.
Kalian harus memberi teladan, agar menjadi panutan. Bukankah sebelum
mangkat dahulu, mendiang ibundamu sudah mengajarkan hal itu?”
Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk.
Tidak ada tawar-menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima, yang semula hendak
bicara, mengurungkan niatnya. Ia sadar, kalau Raja Pakurindang telah
meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana, mempersiapkan
keperluan terakhir sebelum bertapa, tak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Padahal, masalah yang akan disampaikannya penting sekali.
Sebagai orang yang sudah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi,
anak kandungnya, amat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang telah
menjodohkan Sambu Ranjana dengan putrinya itu!
Ia juga mendengar kabar bahwa Sambu Batung menaruh hati pada Putri Perak, anak
Panglima Ranggas Kanibungan. Celakanya, Putri Perak mencintai Sambu Ranjana!
Lebih celaka lagi, Sambu Ranjana diam-diam menaruh hati pada Putri Sewangi!
Untuk mengurai benang kusut itu dan menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di
kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia
dengan Sambu Luan, untuk minta nasihat. Ia terdorong melakukan hal itu, sebab
terkait dengan nasib putrinya sendiri, Putri Sewangi.
Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan, bahwa ia sering mendengar
kasak-kusuk: secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung sering memaksa bertemu
dengan Putri Perak, bahkan pernah menerobos masuk ke Taman Putri! Para pengawal
tak ada yang berani menghalangi.
Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat
apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak
dapat dipecahkan. Setelah mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir
sekian lama, penasihat kerajaan itu mengangkat bahunya, tak bisa berbuat
apa-apa.
Keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan
Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu
hanya sampai di kaki gunung. Setelah itu, tak ada lagi yang berani mendaki.
Konon, gunung itu angker sekali, dihuni berbagai binatang buas, raksasa,
siluman dan makhluk-makhluk gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang
berani mendaki hingga ke puncaknya.
Syahdan, setelah tiga hari tiga malam bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam
jarak tiga meter di sekitar Raja Pakurindang merunduk ke arahnya, seolah
memberi hormat. Setelah tujuh hari tujuh malam, semak belukar dan pepohonan
besar yang berjarak tujuh meter melakukan hal serupa.
Hal itu berlangsung terus menerus, sampai dengan pepohonan yang berjarak
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan meter! Semuanya merunduk,
seakan bersembah sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan
pepohonan itu berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.
Seperti saat dipimpin Raja Pakurindang, di bawah kepemimpinan Sambu Batung pun
rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup tenteram, damai, aman, makmur dan sentosa.
Sebagai pendamping hidup, ia menyunting Putri Perak. Pesta perkawinan
berlangsung dengan meriah dan dirayakan seluruh rakyat kerajaan.
Beberapa tahun kemudian, suatu hari terjadi peristiwa genting.
Dalam sidang di istana yang dihadiri seluruh aparat kerajaan, terjadi
pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda cara
dalam mengatasi persoalan. Dari penjuru desa, aparat kerajaan mendapat laporan
tentang terjadinya peristiwa yang mengancam kelangsungan hidup warga.
Sidang berjalan tegang. Hanya beberapa orang yang berani bicara, yakni Panglima
Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.
“Ananda berdua, pamanda harap sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari
cara mengatasinya...,” usul Sambu Luan.
“Tidak, pamanda! Kanda Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!”
Sambu Ranjana berteriak. Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk,
mengiyakan. “Di kerajaan ini tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak
halimun, terkecuali dia orang berpengaruh. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan
kedamaian dengan memasukkan budaya luar!”
Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu per satu,
terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung,
lainnya memihak Sambu Ranjana.
“Dalam keadaan genting ini, kita jangan terpecah belah,” Panglima Ranggas
Kanibungan berusaha menengahi. “Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak
berdasar. Pamanda harap...”
“Cukup, pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan
menantu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita
kepada orang asing dengan membuka diri pada kerajaan lain!”
Mendengar sikap adiknya yang tidak sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung
tak mampu lagi menahan amarah. Apalagi, kata-kata kasar itu ditujukan kepada
mertua, sekaligus guru, yang dihormatinya.
Jeritan istrinya, Putri Perak, tak dihiraukannya lagi. Dengan sekali lompat,
Sambu Batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Ketika ia akan membuka
mulut, semua orang dikejutkan oleh suara gemuruh, disusul guncangan keras.
Mendadak, udara terasa panas menyengat. Seketika, suasana jadi kacau balau.
Setelah guncangan mereda, kecemasan membayang di wajah seluruh aparat kerajaan
ketika melihat serombongan warga berdesakan memasuki balai sidang.
“Mohon ampun, paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal ini. Tapi
kami tak bisa masuk, karena harus menyelamatkan diri...”
Dengan isak tangis, mereka melapor. Tanpa sebab musabab yang jelas, hewan
ternak mereka mati mendadak. Tanaman, pepohonan, sawah, ladang dan kebun
menjadi kering kerontang.
“Kami mohon perlindungan, paduka. Bencana telah melanda. Tanda-tanda dan
isyarat sudah terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar
bendera merah!”
Sambu Batung dan seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka tertegun. Tenggelam
dalam ketakutan. Mereka ingat amanat Raja Pakurindang: “Jika di puncak gunung
berkibar bendera putih, itu pertanda datangnya kedamaian dan kemakmuran. Jika
bendera kuning, pertanda kekeringan dan penyakit. Kalau benderanya berwarna
merah, itu pertanda akan datangnya bencana dan malapetaka...”
Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera menghaturkan
sembah. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan nyata untuk
melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.
Namun, Sambu Batung tetap membisu.
Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi, lebih kuat dan
lebih panas daripada tadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang
menyengat, lantai, dinding dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu
per satu. Sambu Ranjana berteriak, “Sambu
Batung, kau pengkhianat! Kau telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini
salahmu!”
“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi! Mari bersatu mengatasi masalah
ini!” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi. Bersama Punggawa Sembilan, ia
berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana
yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan
jahat ini!”
Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah perintah.
Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah. Keduanya menggabungkan diri
dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung
di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan. Panglima Ranggas
Kanibungan di tengah.
Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun
kekuatan batin, menyalurkannya melalui tangan masing-masing dan serempak
memukulkannya sekuat tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah
arus panas berapi yang berpusar di hadapan, berpusar seperti angin puting
beliung. Apa pun yang dilintasinya akan roboh dan tergulung.
Tetapi, bukannya berhenti, arus panas berapi itu malahan berbalik dan
memantulkan pukulan yang mereka lancarkan! Mereka terlempar, jauh sekali,
terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet-lecet. Kapak
besar Ranggas Kanibungan pun terpental. Jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.
Setelah bertarung tujuh hari tujuh malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian,
mereka sadar tak mungkin mengalahkan kekuatan jahat itu. Saat itulah, ketika
langit mendadak gelap dan hujan deras turun, di angkasa terdengar suara. Suara
yang amat mereka kenal. Suara Raja Pakurindang!
“Wahai warga Pulau Halimun... Percuma kalian melawan. Ini sudah takdir. Tak ada
yang harus disalahkan. Dan kalian, anakku, dengarkanlah titahku...”
“Hamba, ayahanda....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut, lemah
dan gemetar.
“Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan
keinginanmu membuka diri dan membaur di alam nyata... Dan engkau, Sambu
Ranjana, tinggallah di selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui
jalan hidup yang kalian tempuh. Namun, ingat, meskipun hidup di alam berbeda,
kalian harus tetap rukun. Harus tetap bantu membantu dan saling mengingatkan...”
“Pesan ayahanda akan kami junjung....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak
menyahut.
Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat dan petir membelah angkasa.
Hujan turun deras sekali, menciptakan banjir. Dari puncak gunung, air
menggelontor, bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan dan
pepohonan.
Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, tercerabut hingga akarnya,
dihanyutkan air dan dengan cepat meluncur ke permukiman penduduk, melanda
istana, menerjang apa pun yang menghalangi jalannya.
Banjir besar itu juga menghanyutkan Putri Sewangi.
Putri Sewangi menangis sedih berkepanjangan karena kasihnya yang tak sampai
kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang menghanyutkannya di
sebatang pohon. Arus air membawanya ke laut. Dalam gemuruh guntur, petir,
angin, hujan dan badai, ia menangis tak henti-henti.
Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata.
Serudung itu diterbangkan angin, jauh sekali. Kelak, ia menjadi Pulau Serudung.
Dalam duka dan nestapa, ia bersumpah takkan bersuami dan akan mengasingkan
diri.
Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma pulau tersendiri, Pulau Sewangi.
Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun, ia
masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang menjadi Gunung Jambangan.
Gunung Jambangan masih berdekatan dengan Sambu Ranjana, yang menjadi Gunung
Saranjana. Gunung yang penuh misteri dan teka-teki. Sambu Batung menjadi Gunung
Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.
Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut,
ia terdampar di tempat yang kemudian bernama Desa Lontar. Punggawa Sembilan,
yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan dan
Markalambahu hanyut paling jauh dan menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian
yang mereka miliki melebur menjadi satu, menjadi Pulau Sebuku.***
TENTANG PENYUSUN
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar