Rabu, 16 Januari 2019

Asal Mula Sumur Manggurak di Desa Sigam

Kamis, 17 Januari 2019

            Pada zaman dahulu, di Desa Sigam hidup sepasang suami-istri. Mereka hidup dari bercocok tanam dan tinggal di sebuah pondok di kaki gunung. Meskipun hidup sederhana, mereka bahagia. 
            Mereka memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di ladang, kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan memetik buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung.
            Pada suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan Gunung Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari perangkap yang mereka pasang hari sebelumnya.           
            “Sudahlah, tak usah dikejar. Kita pulang saja. Hari sudah senja. Nanti Ayah- Ibu cemas...,” kata Ambang kepada adiknya.
            “Kita cari lagi! Tadi aku melihatnya lari ke sini!” Anding menunjuk semak belukar di balik sebatang pohon besar. Dikuaknya semak belukar berduri itu. Karena tergesa-gesa, belukar berduri itu menggores keningnya. Darah pun menetes.
            “Cepatlah! Kalau tidak ada, kita pulang saja. Aku sudah lelah, haus, lapar!” seru Ambang. Dengan kesal, ia duduk bersandar di batang pohon besar itu.
            “Horeee, dapat! Ini dia, burungnya!” Anding tertawa gembira, keluar dari semak-semak dan mengacungkan hasil buruannya. “Lumayan buat lauk makan!”
            “Hei, keningmu berdarah! Sini, kubersihkan dulu lukanya...”
            “Eh, tunggu dulu! Kakak lapar?” Usai mengikat kaki burung, Anding mengamati pohon besar di samping mereka. “Kakak tunggu saja di sini, aku akan memetik buah kuranji...” Tanpa menunggu jawaban lagi, dengan tangkas ia memanjat.
            Setelah menjatuhkan dua biji buah kuranji, Anding segera turun. Mereka mengupas buah itu dan dengan lahap memakannya. Karena dialah yang memetik, Anding merasa berhak memakan buah yang lebih besar, yang berwarna merah. Ambang memakan yang kecil, yang putih. Walaupun kecil, tapi buah kuranji terkecil di zaman dahulu ukurannya rata-rata sebesar buah kelapa.
            Ketika tengah asyik makan, bulu tengkuk mereka tiba-tiba berdiri karena perubahan suasana di sekitarnya. Hutan mendadak sepi. Mencekam. Kicauan burung dan suara binatang hutan lainnya tak ada lagi. Sunyi sekali. Yang terdengar hanya suara napas mereka.
            Saat memakan buah kuranji itu, aneh, perasaan mereka tiba-tiba berubah. Ambang yang memakan kuranji putih, sekujur tubuhnya terasa dingin, lebih dingin daripada es. Sebaliknya, Anding menggelepar-gelepar kepanasan. Sekujur tubuhnya merah menyala, panas membara. Tak sanggup menahan rasa dingin dan panas di tubuh masing-masing, keduanya pingsan.
            Dalam keadaan tak sadar, mereka mendengar suara:
            “Hai, anak-anak... Kalian telah melanggar amanat orangtua. Kalian akan mendapat hukuman. Mulai saat ini, kalian tak dapat bersama lagi selamanya. Sebab, kalau Anding marah, tubuhnya akan panas membara. Panas yang dapat membakar lingkungan sekitarnya. Hanya Ambang yang dapat meredamnya, sebab tubuhnya sedingin es. Namun, bila itu terjadi, kalian akan tewas...”
            Ketika siuman, dua kakak-beradik itu bergegas pulang dengan ketakutan.
            Di pondok, Ambang menceritakan kejadian itu kepada kedua orangtuanya. Ayahnya terkesima mendengarkan, Ibu langsung menangis sesenggukan.    
            “Aku sudah melarang kalian bermain di hutan Gunung Sebatung, apalagi memakan buah itu. Tapi, kalian telah melanggarnya....” Ayah menyesalkan. Matanya berkaca-kaca. “Mungkin ini sudah takdir kalian. Aku tak bisa berbuat apa-apa.”      
            “Sekarang, kita harus bagaimana?” tanya Ibu. “Ayah, jangan pisahkan anak kita!”
            “Ini keputusan sulit, tapi terpaksa harus diambil. Ambang, kau tetap tinggal di sini, bersama kami. Anding, engkau terpaksa harus pergi, Nak. Kalau tidak, kalian berdua akan celaka...”
            “Dia pergi ke mana? Dia masih kecil!” Ibu menangis keras dan memeluk tubuh Anding erat-erat, tak rela berpisah dengan anak yang dilahirkannya.
            “Biarlah, Bu. Ini memang salahku. Akulah yang memetik buah itu. Esok pagi, aku akan pergi,” sahut Anding.          
            Beberapa tahun kemudian, Desa Sigam maju dengan pesat. Penduduk dari daerah lain banyak yang pindah ke desa itu, sebab tanahnya subur. Selain berladang dan berkebun, penduduk mencari penghasilan dengan berburu, berdagang kulit binatang, mencari rotan, damar, madu dan hasil hutan lainnya.
            Pada suatu hari, seorang pemuda asing tiba di desa itu. Kepada pemilik penginapan, ia mengaku berdagang kulit binatang. Pemilik penginapan memberinya kamar yang menghadap ke sebuah rumah besar, rumah orang terpandang di desa itu.
            Suatu pagi, dari beranda kamar penginapannya, pemuda itu melihat seorang perempuan cantik berambut panjang sedang membersihkan taman di halaman rumah besar itu. Setelah selesai menyapu, ia berdiri di tepi kolam, tersenyum memandangi bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Pemuda itu takjub melihat perempuan itu. Terpesona oleh kecantikannya.
            Tapi, perempuan itu tak pernah menoleh, seakan tidak tahu ada orang yang dengan diam-diam memerhatikannya. Tak acuh, ia meneruskan pekerjaannya hingga selesai, lalu masuk rumah. Hal itu berlangsung setiap pagi.
            Setelah tiga hari, pemuda itu tak tahan lagi.
            “Gadis cantik, siapa namamu? Aku ingin mengenalmu...”
            Perempuan itu terperanjat.
            Ia sedang tersenyum senang memandang bunga-bunga teratai yang mekar di kolam ketika sekonyong-konyong ada orang asing datang, menyeruak dari rimbun dedaunan. Wajahnya cukup tampan, tapi ada sesuatu yang aneh. Rambutnya tipis, sorot matanya merah menyala, seakan menyimpan bara.
            “Ayolah,” sambung pemuda itu lagi lebih berani, sambil berjalan mengitari kolam, menghampiri. “Aku orang-orang baik-baik. Aku tidak bermaksud jahat, apalagi mempermainkanmu. Kalau kau mau, aku akan langsung melamarmu.”
            Tanpa menjawab sepatah kata pun, perempuan itu bergegas pergi. Pemuda itu berlari mengejarnya. Tapi, pintu rumah langsung ditutup, tepat di depan matanya. Giginya gemeletuk. Darahnya langsung mendidih. Ia tersinggung dan marah sekali.
            Keesokan harinya, pemuda itu datang lagi ke tepi kolam. Tapi, begitu melihatnya, perempuan cantik itu langsung pergi. Merasa terhina, pemuda itu nekat.     Saat perempuan itu bergegas ke rumah, ia langsung menangkap tangannya. Saat itu, seorang pelayan lewat dan melaporkan kejadian itu kepada majikannya di dalam rumah.
            Ketika perempuan itu menjerit dan meronta-ronta, tiba-tiba sebuah dorongan menjatuhkan tubuh pemuda itu ke tepi kolam.   
            “Hei, lepaskan tangan istriku! Mau apa kamu?!”
            Perempuan itu langsung berlindung di balik punggung seorang pemuda yang baru datang. Di sudut taman, beberapa pelayan memerhatikan.
            “Siapa kamu?! Beraninya kamu mencampuri urusanku?!” Pemuda itu berdiri dengan marah. Tubuhnya bergetar. Matanya membara. Merah menyala.
            “Hei, akulah yang berhak bertanya. Ini rumah dan taman kami. Kata pembantuku, sudah beberapa hari ini kamu mengganggu istriku. Siapa kamu?”
            “Kau tak pantas jadi suaminya! Aku mampu membelikannya taman dan istana yang lebih baik dan lebih besar daripada ini. Kalau kau tak mau menyerahkannya padaku, mari berkelahi sebagai lelaki!” sahut pemuda itu sambil memasang kuda-kuda. Tubuhnya tampak merah dan panas sekali, melebihi lahar gunung berapi.
            “Hei, tunggu dulu! Rasanya, aku mengenalmu... Kamu Anding, adikku?”
            “Omong kosong! Aku bukan orang sini!”
            “Ya, kamu adikku! Ini aku. Kakakmu, Ambang! Tidak salah lagi, kamu adikku yang pergi dulu! Aku ingat itu, ada bekas luka di keningmu!”
            “Persetan dengan bualanmu! Jangan coba menggangguku!” Sambil berteriak, pemuda itu melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Ambang.
            Karena tidak siap dengan serangan mendadak itu, Ambang terjengkang roboh. Istrinya menjerit ketakutan. Para pelayan lari berhamburan.
            Di siang bolong itu, tiba-tiba petir menyambar. Langit mendadak mendung. Awan hitam menggantung. Gelegar guntur dan petir sambung-menyambung, lalu hujan deras turun. Terkena siraman air hujan, tubuh pemuda asing itu berasap.
            “Kamu harus menyerahkannya padaku!” Dengan ganas dan beringas, pemuda itu  menendangi tubuh Ambang yang lemah lunglai, terluka dan tak berdaya.
            “Jangan! Jangan sakiti dia, tolonglah...” Perempuan itu menangis dan menjerit-jerit, berusaha melindungi wajah suaminya dari tendangan dan pukulan. “Apa pun permintaanmu, akan kuturuti. Tapi, tolong jangan sakiti dia...” 
            “Aku akan membunuhnya! Kalau masih hidup, dia akan menimbulkan masalah! Pergilah!”
            Tepat ketika pemuda asing itu kembali akan melancarkan pukulan, perempuan itu merangkul dan mendorongnya sekuat tenaga. Keduanya tercebur ke dalam kolam.
            Bagaikan besi panas yang dicelupkan ke air, tubuh pemuda asing itu tiba-tiba mendesis dan mengeluarkan asap tebal. Ia berkelojotan di dalam air. Menjerit-jerit kesakitan. Air kolam pun langsung mendidih, panas sekali! Sepanas air yang dimasak di kuali.       
            Air di kolam mendidih itu dengan cepat meluap dan membanjiri desa.
            Melihat adik dan istrinya tenggelam di kolam mendidih, Ambang terjun ke dalamnya, berusaha menolong mereka. Tapi, ia hanya mampu menyelamatkan istrinya. Diseretnya tubuh istrinya, mendorongnya ke atas kolam dan memintanya segera lari ke atas bukit. Setelah istrinya pergi, ia berusaha naik ke pinggir kolam. Namun, ia sudah kehabisan tenaga.
            Akibat luka parah yang dideritanya, Ambang tak mampu lagi bergerak. Dengan rasa sesal mendalam, dirangkulnya tubuh Anding. Perlahan, tubuh keduanya  mengambang dan tenggelam ke dasar kolam.
            Ajaib! Dengan berlalunya waktu, air di kolam itu berkurang panasnya, menjadi hangat-hangat kuku.
            Seakan menangisi kejadian itu, hujan deras turun tiga hari tiga malam, disertai angin kencang dan banjir bandang. Tanah di lereng-lereng bukit longsor, pohon-pohon tumbang. Sebagian rumah penduduk hancur dan hanyut terseret arus banjir.   
            Konon, yang tersisa dari kolam itu kemudian hanya sebuah sumur. Masyarakat menyebutnya Sumur Manggurak (mendidih). Di hari libur, banyak orang yang datang untuk berendam dan mandi di situ. Airnya dianggap berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit.***

TENTANG PENYUSUN CERITA RAKYAT KOTABARU

M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru (1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru (2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru (2006).

M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.

Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Rumah Malam Sabtu

 Jumat, 26 April 2024 Suasana di dalam rumah saya, pada hari Jumat (26/04/2024) malam Sabtu sekitar pukul 22.15 WITA. (ahu)