Pada
zaman dahulu, di Desa Sigam hidup sepasang suami-istri. Mereka hidup dari
bercocok tanam dan tinggal di sebuah pondok di kaki gunung. Meskipun hidup
sederhana, mereka bahagia.
Mereka
memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di ladang,
kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan memetik
buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan
berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung.
Pada
suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan Gunung
Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari perangkap yang
mereka pasang hari
sebelumnya.
“Sudahlah, tak usah dikejar. Kita pulang saja. Hari sudah senja. Nanti Ayah-
Ibu cemas...,” kata Ambang kepada adiknya.
“Kita
cari lagi! Tadi aku melihatnya lari ke sini!” Anding menunjuk semak belukar di
balik sebatang pohon besar. Dikuaknya semak belukar berduri itu. Karena
tergesa-gesa, belukar berduri itu menggores keningnya. Darah pun menetes.
“Cepatlah! Kalau tidak ada, kita pulang saja. Aku sudah lelah, haus, lapar!”
seru Ambang. Dengan kesal, ia duduk bersandar di batang pohon besar itu.
“Horeee,
dapat! Ini dia, burungnya!” Anding tertawa gembira, keluar dari semak-semak dan
mengacungkan hasil buruannya. “Lumayan buat lauk makan!”
“Hei,
keningmu berdarah! Sini, kubersihkan dulu lukanya...”
“Eh,
tunggu dulu! Kakak lapar?” Usai mengikat kaki burung, Anding mengamati pohon
besar di samping mereka. “Kakak tunggu saja di sini, aku akan memetik buah kuranji...”
Tanpa menunggu jawaban lagi, dengan tangkas ia memanjat.
Setelah
menjatuhkan dua biji buah kuranji, Anding segera turun. Mereka mengupas
buah itu dan dengan lahap memakannya. Karena dialah yang memetik, Anding merasa
berhak memakan buah yang lebih besar, yang berwarna merah. Ambang memakan yang
kecil, yang putih. Walaupun kecil, tapi buah kuranji terkecil di zaman
dahulu ukurannya rata-rata sebesar buah kelapa.
Ketika
tengah asyik makan, bulu tengkuk mereka tiba-tiba berdiri karena perubahan
suasana di sekitarnya. Hutan mendadak sepi. Mencekam. Kicauan burung dan suara
binatang hutan lainnya tak ada lagi. Sunyi sekali. Yang terdengar hanya suara
napas mereka.
Saat
memakan buah kuranji itu, aneh, perasaan mereka tiba-tiba berubah.
Ambang yang memakan kuranji putih, sekujur tubuhnya terasa dingin, lebih
dingin daripada es. Sebaliknya, Anding menggelepar-gelepar kepanasan. Sekujur
tubuhnya merah menyala, panas membara. Tak sanggup menahan rasa dingin dan
panas di tubuh masing-masing, keduanya pingsan.
Dalam keadaan
tak sadar, mereka mendengar suara:
“Hai,
anak-anak... Kalian telah melanggar amanat orangtua. Kalian akan mendapat
hukuman. Mulai saat ini, kalian tak dapat bersama lagi selamanya. Sebab, kalau
Anding marah, tubuhnya akan panas membara. Panas yang dapat membakar lingkungan
sekitarnya. Hanya Ambang yang dapat meredamnya, sebab tubuhnya sedingin es.
Namun, bila itu terjadi, kalian akan tewas...”
Ketika
siuman, dua kakak-beradik itu bergegas pulang dengan ketakutan.
Di
pondok, Ambang menceritakan kejadian itu kepada kedua orangtuanya. Ayahnya
terkesima mendengarkan, Ibu langsung menangis
sesenggukan.
“Aku
sudah melarang kalian bermain di hutan Gunung Sebatung, apalagi memakan buah
itu. Tapi, kalian telah melanggarnya....” Ayah menyesalkan. Matanya
berkaca-kaca. “Mungkin ini sudah takdir kalian. Aku tak bisa berbuat
apa-apa.”
“Sekarang, kita harus bagaimana?” tanya Ibu. “Ayah, jangan pisahkan anak kita!”
“Ini
keputusan sulit, tapi terpaksa harus diambil. Ambang, kau tetap tinggal di
sini, bersama kami. Anding, engkau terpaksa harus pergi, Nak. Kalau tidak,
kalian berdua akan celaka...”
“Dia
pergi ke mana? Dia masih kecil!” Ibu menangis keras dan memeluk tubuh Anding
erat-erat, tak rela berpisah dengan anak yang dilahirkannya.
“Biarlah, Bu. Ini memang salahku. Akulah yang memetik buah itu. Esok pagi, aku
akan pergi,” sahut
Anding.
Beberapa
tahun kemudian, Desa Sigam maju dengan pesat. Penduduk dari daerah lain banyak
yang pindah ke desa itu, sebab tanahnya subur. Selain berladang dan berkebun,
penduduk mencari penghasilan dengan berburu, berdagang kulit binatang, mencari
rotan, damar, madu dan hasil hutan lainnya.
Pada
suatu hari, seorang pemuda asing tiba di desa itu. Kepada pemilik penginapan,
ia mengaku berdagang kulit binatang. Pemilik penginapan memberinya kamar yang
menghadap ke sebuah rumah besar, rumah orang terpandang di desa itu.
Suatu
pagi, dari beranda kamar penginapannya, pemuda itu melihat seorang perempuan
cantik berambut panjang sedang membersihkan taman di halaman rumah besar itu.
Setelah selesai menyapu, ia berdiri di tepi kolam, tersenyum memandangi
bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Pemuda itu takjub melihat perempuan itu.
Terpesona oleh kecantikannya.
Tapi,
perempuan itu tak pernah menoleh, seakan tidak tahu ada orang yang dengan
diam-diam memerhatikannya. Tak acuh, ia meneruskan pekerjaannya hingga selesai,
lalu masuk rumah. Hal itu berlangsung setiap pagi.
Setelah
tiga hari, pemuda itu tak tahan lagi.
“Gadis
cantik, siapa namamu? Aku ingin mengenalmu...”
Perempuan itu terperanjat.
Ia
sedang tersenyum senang memandang bunga-bunga teratai yang mekar di kolam
ketika sekonyong-konyong ada orang asing datang, menyeruak dari rimbun
dedaunan. Wajahnya cukup tampan, tapi ada sesuatu yang aneh. Rambutnya tipis,
sorot matanya merah menyala, seakan menyimpan bara.
“Ayolah,”
sambung pemuda itu lagi lebih berani, sambil berjalan mengitari kolam,
menghampiri. “Aku orang-orang baik-baik. Aku tidak bermaksud jahat, apalagi
mempermainkanmu. Kalau kau mau, aku akan langsung melamarmu.”
Tanpa
menjawab sepatah kata pun, perempuan itu bergegas pergi. Pemuda itu berlari
mengejarnya. Tapi, pintu rumah langsung ditutup, tepat di depan matanya.
Giginya gemeletuk. Darahnya langsung mendidih. Ia tersinggung dan marah sekali.
Keesokan
harinya, pemuda itu datang lagi ke tepi kolam. Tapi, begitu melihatnya,
perempuan cantik itu langsung pergi. Merasa terhina, pemuda itu nekat.
Saat perempuan itu bergegas ke rumah, ia langsung menangkap
tangannya. Saat itu, seorang pelayan lewat dan melaporkan kejadian itu kepada
majikannya di dalam rumah.
Ketika
perempuan itu menjerit dan meronta-ronta, tiba-tiba sebuah dorongan menjatuhkan
tubuh pemuda itu ke tepi kolam.
“Hei,
lepaskan tangan istriku! Mau apa kamu?!”
Perempuan itu langsung berlindung di balik punggung seorang pemuda yang baru
datang. Di sudut taman, beberapa pelayan memerhatikan.
“Siapa
kamu?! Beraninya kamu mencampuri urusanku?!” Pemuda itu berdiri dengan marah.
Tubuhnya bergetar. Matanya membara. Merah menyala.
“Hei,
akulah yang berhak bertanya. Ini rumah dan taman kami. Kata pembantuku, sudah
beberapa hari ini kamu mengganggu istriku. Siapa kamu?”
“Kau tak
pantas jadi suaminya! Aku mampu membelikannya taman dan istana yang lebih baik
dan lebih besar daripada ini. Kalau kau tak mau menyerahkannya padaku, mari
berkelahi sebagai lelaki!” sahut pemuda itu sambil memasang kuda-kuda. Tubuhnya
tampak merah dan panas sekali, melebihi lahar gunung berapi.
“Hei,
tunggu dulu! Rasanya, aku mengenalmu... Kamu Anding, adikku?”
“Omong
kosong! Aku bukan orang sini!”
“Ya,
kamu adikku! Ini aku. Kakakmu, Ambang! Tidak salah lagi, kamu adikku yang pergi
dulu! Aku ingat itu, ada bekas luka di keningmu!”
“Persetan
dengan bualanmu! Jangan coba menggangguku!” Sambil berteriak, pemuda itu
melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Ambang.
Karena
tidak siap dengan serangan mendadak itu, Ambang terjengkang roboh. Istrinya
menjerit ketakutan. Para pelayan lari berhamburan.
Di siang
bolong itu, tiba-tiba petir menyambar. Langit mendadak mendung. Awan hitam
menggantung. Gelegar guntur dan petir sambung-menyambung, lalu hujan deras
turun. Terkena siraman air hujan, tubuh pemuda asing itu berasap.
“Kamu
harus menyerahkannya padaku!” Dengan ganas dan beringas, pemuda itu
menendangi tubuh Ambang yang lemah lunglai, terluka dan tak berdaya.
“Jangan!
Jangan sakiti dia, tolonglah...” Perempuan itu menangis dan menjerit-jerit, berusaha
melindungi wajah suaminya dari tendangan dan pukulan. “Apa pun permintaanmu,
akan kuturuti. Tapi, tolong jangan sakiti dia...”
“Aku
akan membunuhnya! Kalau masih hidup, dia akan menimbulkan masalah! Pergilah!”
Tepat
ketika pemuda asing itu kembali akan melancarkan pukulan, perempuan itu
merangkul dan mendorongnya sekuat tenaga. Keduanya tercebur ke dalam kolam.
Bagaikan
besi panas yang dicelupkan ke air, tubuh pemuda asing itu tiba-tiba mendesis
dan mengeluarkan asap tebal. Ia berkelojotan di dalam air. Menjerit-jerit
kesakitan. Air kolam pun langsung mendidih, panas sekali! Sepanas air yang
dimasak di kuali.
Air di
kolam mendidih itu dengan cepat meluap dan membanjiri desa.
Melihat
adik dan istrinya tenggelam di kolam mendidih, Ambang terjun ke dalamnya,
berusaha menolong mereka. Tapi, ia hanya mampu menyelamatkan istrinya.
Diseretnya tubuh istrinya, mendorongnya ke atas kolam dan memintanya segera
lari ke atas bukit. Setelah istrinya pergi, ia berusaha naik ke pinggir kolam.
Namun, ia sudah kehabisan tenaga.
Akibat
luka parah yang dideritanya, Ambang tak mampu lagi bergerak. Dengan rasa sesal
mendalam, dirangkulnya tubuh Anding. Perlahan, tubuh keduanya mengambang
dan tenggelam ke dasar kolam.
Ajaib!
Dengan berlalunya waktu, air di kolam itu berkurang panasnya, menjadi
hangat-hangat kuku.
Seakan
menangisi kejadian itu, hujan deras turun tiga hari tiga malam, disertai angin
kencang dan banjir bandang. Tanah di lereng-lereng bukit longsor, pohon-pohon
tumbang. Sebagian rumah penduduk hancur dan hanyut terseret arus
banjir.
Konon,
yang tersisa dari kolam itu kemudian hanya sebuah sumur. Masyarakat menyebutnya
Sumur Manggurak (mendidih). Di hari libur, banyak orang yang datang
untuk berendam dan mandi di situ. Airnya dianggap berkhasiat menyembuhkan
berbagai penyakit kulit.***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar