Rabu, 16 Januari 2019

Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa

Kamis, 17 Januari 2019

            Melalui pesta perkawinan yang meriah dan berlangsung empat puluh hari empat puluh malam, Putri Perak resmi menjadi istri Raja Sambu Batung. Sebagai permaisuri, namanya menjadi Putri Perak Intirawan. Rakyat Kerajaan Pulau Halimun gembira dan bersuka ria. Selama pesta, aneka hidangan dan segala jenis hiburan disajikan.
            Kegembiraan rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan senjata andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan, ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di dalam maupun di luar kerajaan.      
            Usai pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri sebagai raja baru di Kerajaan Pulau Halimun, menggantikan Raja Pakurindang yang mengundurkan diri untuk bertapa, ia sekaligus akan berbulan madu.
            “Selama aku bepergian, pimpinan kerajaan sementara kuserahkan kepada adinda Sambu Ranjana,” titah Raja Sambu Batung. “Ayahanda Panglima Ranggas Kanibungan dan pamanda Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit kerajaan akan ikut bersamaku, juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri dan Punggawa Mardapan...”
            Keesokan harinya, perahu yang ditumpangi Raja Sambu Batung, Putri Perak Intirawan dan rombongan, berlayar. Perjalanan direncanakan tujuh bulan, dengan tujuan akhir Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir, rombongan singgah di pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun hanya kerajaan kecil di pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya menghasilkan hubungan perdagangan antarkerajaan, tapi penting untuk memperkuat tali silaturahmi.
            Setelah sepekan berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung memanggil empat punggawanya untuk membicarakan rencana pulang.
            “Pamanda punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana caranya,” titah Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang bersembah sujud di hadapannya.
            “Hamba, paduka,” jawab Punggawa Margalap. “Kalau kami boleh tahu, mengapa? Tanpa perlu singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.”
            “Permaisuri sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut. Janinnya mungkin akan terganggu. Alasan lain...”
            “Ya, pamanda,” sambung permaisuri. “Aku mengidam buah durian.”
            “Durian?”
            “Ya. Tadi malam aku bermimpi makan durian. Lezat sekali. Buahnya besar-besar dan harum. Dagingnya tebal. Kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...”
            Karena permintaan raja dan permaisuri sama artinya dengan perintah, empat punggawa Kerajaan Pulau Halimun itu tak berani membantah. Apalagi, itu permintaan dari perempuan hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari pengalaman istri masing-masing.
            Agar perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada Raja Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas rombongan Raja Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di hutan, Raja Kutai Kertanegara mengutus dua warganya sebagai penunjuk jalan.       
            Sepanjang perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri Perak Intirawan tak henti-hentinya mengingatkan punggawa dan prajurit agar memerhatikan sekitarnya; kalau-kalau ada pohon durian yang tengah berbuah.
            Saat melewati dusun dan perkampungan, prajurit disebar untuk mencari keterangan dari penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya, Putri Perak Intirawan diharuskan memakan buah durian yang dipetik langsung dari pohonnya.
            Pada suatu hari, rombongan memasuki wilayah Goa Ranggang (sekarang bernama Garunggang dan duriannya terkenal sebagai durian Tanjung Batu). Medan jalan yang harus dilalui sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang lebat, lorong gunung batu dan terowongan di dalamnya tak dapat dilalui dengan berdiri tegak. Terowongan itu hanya dapat dilewati dengan membungkuk (daerah itu sekarang bernama Bungkukan).
            Ketika rombongan memasuki rimba belantara, empat punggawa dengan wajah cemas mengajak Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon besar, menghindari tatapan mata anggota rombongan lainnya. Saat itu, prajurit-prajurit melompat kegirangan tatkala melihat buah durian yang besar-besar bergantungan di pohonnya. Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan memetiknya.
            “Maaf ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah rawan. Ini daerah kekuasaan Pangga Dewa!” Punggawa Margalap waswas. Matanya jelalatan, melihat kesana-kemari.
            “Siapa dia?”
            “Raja begal yang terkenal, paduka!” sambung Punggawa Marsiri. “Ia sakti mandraguna dan terkenal sadis. Kabarnya, tak ada yang mampu mengalahkannya!”
            “Penduduk dusun harus membayar upeti kepadanya,” sambung Punggawa Mardapan. “Ia suka perempuan. Istri dan selirnya puluhan!”
            Jeritan permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan prajurit pengawalnya mengejutkan Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat, bergegas menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, dari balik semak belukar dan pepohonan, muncul ratusan orang bertampang garang!
            Raja Sambu Batung dengan sigap melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit, atas perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak dan perisai disiagakan.
            “Maaf, siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami?” tanya Raja Sambu Batung kepada pria tinggi besar bertampang sangar yang menyeringai, yang tampaknya pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.
            “Kalian rombongan kerajaan, heh?!
            “Ya,” Punggawa Marbatuan maju selangkah, “rombongan Kerajaan Pulau Halimun. Ini Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?”
            “Puih! Aku tak punya raja di sini! Di hutan ini, akulah raja! Akulah dewa!” Dalam satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja Sambu Batung dan permaisuri. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri Perak Intirawan.
            “Saudara, boleh aku bicara?” Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa, membujuknya. Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa mengikuti Raja Sambu Batung yang mengajaknya bicara empat mata di balik semak belukar. Raja Sambu Batung menceritakan riwayat perjalanan, permaisuri yang hamil muda dan sedang mengidam durian.
            Mendengar penjelasan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa tersenyum penuh arti. Ia memperbolehkan permaisuri memakan durian yang tumbuh di daerah  kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat itu akan disampaikannya setelah Putri Perak Intirawan dan anggota rombongan selesai makan durian.
            Sementara Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya menikmati durian di bawah pohon, Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, di sebuah goa terpencil, di tempat tersembunyi.
            Setelah memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga Dewa menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat itu, tubuh Raja Sambu Batung dan empat punggawanya langsung bergetar menahan marah.
            “Kami membawa banyak emas dan permata. Ambillah semuanya, asalkan bukan itu,” sahut Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam, ia mampu mengendalikan diri.
            “Tidak! Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda! Serahkan istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam keadaan hidup!” jawab Pangga Dewa dengan mata melotot.
            Gigi Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawa takkan sanggup melawan ratusan anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu langsung kepada istrinya, Raja Sambu Batung minta waktu sejenak.
            “Esok pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!” teriak Pangga Dewa.
            Kepada permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan Pangga Dewa, sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak Intirawan marah besar. Darah panglima perang yang mengalir di tubuhnya menggelegak. Namun, mengingat janin dalam perutnya, ia berusaha menahan diri.
            Bersama empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah malam, permaisuri dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah empat punggawa berhasil melumpuhkan para penjaga, anak buah Pangga Dewa. Dalam jarak tertentu, Raja Sambu Batung bersama prajuritnya menyusul.
            Pagi harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para tawanan kabur. Dengan marah, ia membawa anak buahnya mengejar rombongan dari Kerajaan Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan Raja Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama empat punggawa telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.
            Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tapi Raja Sambu Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak kian terdesak. Semangat tempur mereka kalah jauh dengan anak buah Pangga Dewa yang terbiasa hidup di hutan. Untuk menghindari lebih banyak lagi prajuritnya tewas, Raja Sambu Batung berteriak lantang untuk menghentikan pertempuan.
            Sambu Batung menantang Pangga Dewa bertarung satu lawan satu. Dengan pongah, Pangga Dewa meladeni tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun berlangsung. Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.
            Saat Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung. Angin yang merobohkan ratusan anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan pohon-pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menghumbalang bersamaan dengan datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan meluap-luap, kapak besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur berkeping-keping.
            Dari jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa dan Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan terhuyung-huyung.
            Dalam satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di antara keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian pendatang baru yang tidak dikenalnya itu.
            “Hei, kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur!” seru Pangga Dewa.
            “Perbuatanmu yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut campur! Sekarang, terimalah hukumanmu!”
            Sebuah serangan yang telak, cepat dan mematikan tak mampu dielakkan Pangga Dewa. Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang seketika tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya membelah tubuh Pangga Dewa, sekaligus batang pohon nangka itu.
            Karena Pangga Dewa sakti mandraguna, tubuhnya yang terbelah dua dan batang pohon nangka itu dikubur di tempat terpisah. Para prajurit khawatir: bila dikubur di satu tempat, raja begal itu akan bangkit lagi. Dengan memisahkannya, itu tak mungkin terjadi.
            Konon, dua tempat penguburan jenazah Pangga Dewa itu menjadi Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka Besar dan Pulau Nangka Kecil.***

TENTANG PENYUSUN CERITA RAKYAT KOTABARU

M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru (1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru (2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru (2006).

M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.

Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Rumah Malam Sabtu

 Jumat, 26 April 2024 Suasana di dalam rumah saya, pada hari Jumat (26/04/2024) malam Sabtu sekitar pukul 22.15 WITA. (ahu)