Melalui
pesta perkawinan yang meriah dan berlangsung empat puluh hari empat puluh
malam, Putri Perak resmi menjadi istri Raja Sambu Batung. Sebagai permaisuri,
namanya menjadi Putri Perak Intirawan. Rakyat Kerajaan Pulau Halimun gembira
dan bersuka ria. Selama pesta, aneka hidangan dan segala jenis hiburan
disajikan.
Kegembiraan rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal
Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan
senjata andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau
jantan, ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di
dalam maupun di luar kerajaan.
Usai
pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan
kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri sebagai raja
baru di Kerajaan Pulau Halimun, menggantikan Raja Pakurindang yang mengundurkan
diri untuk bertapa, ia sekaligus akan berbulan madu.
“Selama aku
bepergian, pimpinan kerajaan sementara kuserahkan kepada adinda Sambu Ranjana,”
titah Raja Sambu Batung. “Ayahanda Panglima Ranggas Kanibungan dan pamanda
Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit kerajaan akan ikut bersamaku,
juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri dan Punggawa
Mardapan...”
Keesokan
harinya, perahu yang ditumpangi Raja Sambu Batung, Putri Perak Intirawan dan
rombongan, berlayar. Perjalanan direncanakan tujuh bulan, dengan tujuan akhir
Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir, rombongan singgah di
pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun hanya kerajaan kecil
di pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya menghasilkan hubungan perdagangan
antarkerajaan, tapi penting untuk memperkuat tali silaturahmi.
Setelah
sepekan berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung memanggil empat
punggawanya untuk membicarakan rencana pulang.
“Pamanda
punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana caranya,”
titah Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang bersembah sujud di
hadapannya.
“Hamba,
paduka,” jawab Punggawa Margalap. “Kalau kami boleh tahu, mengapa? Tanpa perlu
singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.”
“Permaisuri sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut.
Janinnya mungkin akan terganggu. Alasan lain...”
“Ya,
pamanda,” sambung permaisuri. “Aku mengidam buah durian.”
“Durian?”
“Ya.
Tadi malam aku bermimpi makan durian. Lezat sekali. Buahnya besar-besar dan
harum. Dagingnya tebal. Kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...”
Karena
permintaan raja dan permaisuri sama artinya dengan perintah, empat punggawa
Kerajaan Pulau Halimun itu tak berani membantah. Apalagi, itu permintaan dari
perempuan hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari pengalaman istri
masing-masing.
Agar
perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada Raja
Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas rombongan
Raja Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di hutan, Raja
Kutai Kertanegara mengutus dua warganya sebagai penunjuk
jalan.
Sepanjang
perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri Perak
Intirawan tak henti-hentinya mengingatkan punggawa dan prajurit agar
memerhatikan sekitarnya; kalau-kalau ada pohon durian yang tengah berbuah.
Saat
melewati dusun dan perkampungan, prajurit disebar untuk mencari keterangan dari
penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya, Putri
Perak Intirawan diharuskan memakan buah durian yang dipetik langsung dari
pohonnya.
Pada
suatu hari, rombongan memasuki wilayah Goa Ranggang (sekarang bernama
Garunggang dan duriannya terkenal sebagai durian Tanjung Batu). Medan jalan
yang harus dilalui sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang lebat,
lorong gunung batu dan terowongan di dalamnya tak dapat dilalui dengan berdiri
tegak. Terowongan itu hanya dapat dilewati dengan membungkuk (daerah itu
sekarang bernama Bungkukan).
Ketika
rombongan memasuki rimba belantara, empat punggawa dengan wajah cemas mengajak
Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon besar,
menghindari tatapan mata anggota rombongan lainnya. Saat itu, prajurit-prajurit
melompat kegirangan tatkala melihat buah durian yang besar-besar bergantungan
di pohonnya. Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan memetiknya.
“Maaf
ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah rawan. Ini daerah kekuasaan Pangga
Dewa!” Punggawa Margalap waswas. Matanya jelalatan, melihat kesana-kemari.
“Siapa
dia?”
“Raja
begal yang terkenal, paduka!” sambung Punggawa Marsiri. “Ia sakti mandraguna
dan terkenal sadis. Kabarnya, tak ada yang mampu mengalahkannya!”
“Penduduk dusun harus membayar upeti kepadanya,” sambung Punggawa Mardapan. “Ia
suka perempuan. Istri dan selirnya puluhan!”
Jeritan
permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan prajurit pengawalnya mengejutkan
Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat, bergegas
menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, dari balik semak belukar
dan pepohonan, muncul ratusan orang bertampang garang!
Raja
Sambu Batung dengan sigap melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit, atas
perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak dan
perisai disiagakan.
“Maaf,
siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami?” tanya Raja Sambu Batung
kepada pria tinggi besar bertampang sangar yang menyeringai, yang tampaknya
pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.
“Kalian
rombongan kerajaan, heh?! “
“Ya,”
Punggawa Marbatuan maju selangkah, “rombongan Kerajaan Pulau Halimun. Ini
Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam
perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?”
“Puih!
Aku tak punya raja di sini! Di hutan ini, akulah raja! Akulah dewa!” Dalam
satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja Sambu Batung dan
permaisuri. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri Perak Intirawan.
“Saudara, boleh aku bicara?” Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa,
membujuknya. Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa
mengikuti Raja Sambu Batung yang mengajaknya bicara empat mata di balik semak
belukar. Raja Sambu Batung menceritakan riwayat perjalanan, permaisuri yang
hamil muda dan sedang mengidam durian.
Mendengar penjelasan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa tersenyum penuh arti. Ia
memperbolehkan permaisuri memakan durian yang tumbuh di daerah
kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat itu akan disampaikannya setelah
Putri Perak Intirawan dan anggota rombongan selesai makan durian.
Sementara Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya menikmati durian di
bawah pohon, Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, di sebuah
goa terpencil, di tempat tersembunyi.
Setelah
memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga Dewa
menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat itu, tubuh Raja Sambu Batung dan empat
punggawanya langsung bergetar menahan marah.
“Kami
membawa banyak emas dan permata. Ambillah semuanya, asalkan bukan itu,” sahut
Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam, ia
mampu mengendalikan diri.
“Tidak!
Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda!
Serahkan istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam
keadaan hidup!” jawab Pangga Dewa dengan mata melotot.
Gigi
Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa
menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawa takkan sanggup melawan
ratusan anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu
langsung kepada istrinya, Raja Sambu Batung minta waktu sejenak.
“Esok
pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!” teriak
Pangga Dewa.
Kepada
permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan Pangga Dewa,
sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak Intirawan marah
besar. Darah panglima perang yang mengalir di tubuhnya menggelegak. Namun,
mengingat janin dalam perutnya, ia berusaha menahan diri.
Bersama
empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah malam, permaisuri
dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah empat
punggawa berhasil melumpuhkan para penjaga, anak buah Pangga Dewa. Dalam jarak
tertentu, Raja Sambu Batung bersama prajuritnya menyusul.
Pagi
harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para tawanan
kabur. Dengan marah, ia membawa anak buahnya mengejar rombongan dari Kerajaan
Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan
Raja Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama
empat punggawa telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tapi
Raja Sambu Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak
kian terdesak. Semangat tempur mereka kalah jauh dengan anak buah Pangga Dewa
yang terbiasa hidup di hutan. Untuk menghindari lebih banyak lagi prajuritnya
tewas, Raja Sambu Batung berteriak lantang untuk menghentikan pertempuan.
Sambu
Batung menantang Pangga Dewa bertarung satu lawan satu. Dengan pongah, Pangga
Dewa meladeni tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun berlangsung.
Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.
Saat
Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung. Angin
yang merobohkan ratusan anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan pohon-pohon
bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menghumbalang bersamaan dengan
datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan meluap-luap,
kapak besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur
berkeping-keping.
Dari
jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa dan
Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan
terhuyung-huyung.
Dalam
satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di
antara keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian
pendatang baru yang tidak dikenalnya itu.
“Hei,
kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur!” seru Pangga Dewa.
“Perbuatanmu yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut
campur! Sekarang, terimalah hukumanmu!”
Sebuah
serangan yang telak, cepat dan mematikan tak mampu dielakkan Pangga Dewa.
Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang seketika
tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka itu. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya
membelah tubuh Pangga Dewa, sekaligus batang pohon nangka itu.
Karena
Pangga Dewa sakti mandraguna, tubuhnya yang terbelah dua dan batang pohon
nangka itu dikubur di tempat terpisah. Para prajurit khawatir: bila dikubur di
satu tempat, raja begal itu akan bangkit lagi. Dengan memisahkannya, itu tak
mungkin terjadi.
Konon,
dua tempat penguburan jenazah Pangga Dewa itu menjadi Tanjung Pangga dan
Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka
Besar dan Pulau Nangka Kecil.***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar