Putri
Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan Bajau
yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan dan
dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Bagaimana hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar
saat mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal mereka sudah mengikat
janji setia, sehidup semati.
“Nelayan
miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah menjodohkannya
dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”
Kata-kata ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai
disayat sembilu.
Dikawal
para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau mengumpat
dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu mendengar
semua itu dari balik pintu.
Putri
Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.
Sebagai
putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala senggang,
di saat jenuh menenun, merancang pakaian atau menata perabotan, didampingi
seorang pelayan, ia sering meninggalkan istana dan bergaul dengan rakyat
jelata. Karena sifatnya itu, rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.
Pada
suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu tengah
memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan
wajahnya yang tampan.
Karena
tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak menyadari
kehadiran orang lain di sekitarnya.
“Kenapa
sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu pertanyaan yang
biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.
“Tidak.
Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak ikan
yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.
“Mengapa
tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus saja.
Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan rakyatnya.”
Mendengar jawaban lantang itu, Maruni menoleh.
Ia
menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya.
Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara
tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.
“Kau
tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia heran,
mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang berhadapan
dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.
Jantung
Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia tersipu-sipu.
Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya seperti
perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang
menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.
Sejak
itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya.
Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan.
Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan
mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.
Atas
laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja
murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian
terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.
“Sekarang juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di
sini! Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih
di sini, kau akan dihukum mati!”
Mendengar titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan
ibundanya. Di kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi,
ia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.
Permaisuri Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri
bukan penduduk asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di
seberang lautan. Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.
Namun,
ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan
menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.
“Sudahlah, anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah
itu, istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai,
menuntunnya masuk kamar.
Tengah
malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh yang
membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin,
badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara
hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan
anak-anak.
Raja
sudah tak berada di kamar.
Ia sudah
di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi perintah
untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.
Hujan,
badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir pantai itu
dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan bergelora.
Gelombang-gelombang sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai,
menghanyutkan perahu, sampan dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian
pantai dilulur ombak dan dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah
seekor naga raksasa yang menelan mangsanya.
Permaisuri teringat Putri Papu.
Bergegas, dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur,
bantal dan selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.
“Anakku,
Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis. Tergopoh-gopoh,
diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar lainnya. Dua
prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau disalahkan
apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.
Keesokan
harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu hilang!
Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar seluruh
prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan, akan
diberikan imbalan.
Ruangan
istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa reruntuhan.
Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya dihanyutkan
air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang jelas. Putri Papu
lenyap tanpa bekas.
Karena
terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh tabib
istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum
mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku,
Papu... Papuuu....”
Setelah
tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau mengumpulkan
seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana yang terbuat
dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan sedih, ia
bertitah:
“Saat
matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke laut.
Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum bertemu!
Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa perabotanmu!
Jangan kembali tanpa izinku!”
Mendengar titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan
mengumpulkan anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah
keluarga, terdiri dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan
anak-anak.
Karena
titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap keluarga
dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta.
Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.
Karena
tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan musik alahai
juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala sunyi, siapa tahu mereka
takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus menjalankan titah itu. Harus
menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup menanggung malu.
Dengan
dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan rakyat
Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu itu
berpencar ke seluruh penjuru.
Bila
malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi tidak
tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang hari,
mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup
sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.
Waktu
terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di saat
tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu...
Papuuu...!”
Selama
dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan melahirkan,
orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak boleh
tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.
Sampai
kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu dihanyutkan
ombak lautan. Mungkin ia sedang menunggu untuk ditemukan. Tidak ada yang pernah
berpikir sampai kapan pencarian itu akan berakhir. Mereka sudah menganggapnya
takdir.
Orang-orang Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu
dan lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan dan samudera
sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa Rampa
(Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan), Rampa
Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan Pulau
Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara Pasir
(Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur).***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar