Rabu, 16 Januari 2019

Mencari Putri Papu dari Kerajaan Bajau

Kamis, 17 Januari 2019

            Putri Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan Bajau yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan dan dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
            Bagaimana hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar saat  mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal mereka sudah mengikat janji setia, sehidup semati.
            “Nelayan miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah menjodohkannya dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”
            Kata-kata ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai disayat sembilu.
            Dikawal para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau mengumpat dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu mendengar semua itu dari balik pintu.
            Putri Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.
            Sebagai putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala  senggang, di saat jenuh menenun, merancang pakaian atau menata perabotan, didampingi seorang pelayan, ia sering meninggalkan istana dan bergaul dengan rakyat jelata. Karena sifatnya itu, rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.
            Pada suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu tengah memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan wajahnya yang tampan.
            Karena tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya.
            “Kenapa sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu pertanyaan yang biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.
            “Tidak. Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak ikan yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.
            “Mengapa tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus saja. Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan rakyatnya.”
            Mendengar jawaban lantang itu, Maruni menoleh.
            Ia menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya. Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.
            “Kau tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia heran, mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang berhadapan dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.
            Jantung Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia tersipu-sipu. Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya seperti perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.
            Sejak itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya. Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan. Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.
            Atas laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.
            “Sekarang juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di sini! Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih di sini, kau akan dihukum mati!” 
            Mendengar titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan ibundanya. Di kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi, ia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.
            Permaisuri Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri bukan penduduk asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di seberang lautan. Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.
            Namun, ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.
            “Sudahlah, anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah itu, istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai, menuntunnya masuk kamar.
            Tengah malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh yang membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin, badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan anak-anak.
            Raja sudah tak berada di kamar.
            Ia sudah di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi perintah untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.
            Hujan, badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir pantai itu dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan bergelora.
            Gelombang-gelombang sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai, menghanyutkan perahu, sampan dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian pantai dilulur ombak dan dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah seekor naga raksasa yang menelan mangsanya.
            Permaisuri teringat Putri Papu.
            Bergegas, dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur, bantal dan selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.
            “Anakku, Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis. Tergopoh-gopoh, diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar lainnya. Dua prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau disalahkan apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.
            Keesokan harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu hilang! Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan, akan diberikan imbalan.
            Ruangan istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa reruntuhan. Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya dihanyutkan air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang jelas. Putri Papu lenyap tanpa bekas.
            Karena terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh tabib istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku, Papu... Papuuu....” 
            Setelah tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau mengumpulkan seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana yang terbuat dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan sedih, ia bertitah:
            “Saat matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke laut. Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum bertemu! Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa perabotanmu! Jangan kembali tanpa izinku!”
            Mendengar titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan mengumpulkan anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah keluarga, terdiri dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan anak-anak. 
            Karena titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap keluarga dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta. Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.
            Karena tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan musik alahai juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala sunyi, siapa tahu mereka takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus menjalankan titah itu. Harus menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup menanggung malu.
            Dengan dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan rakyat Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu itu berpencar ke seluruh penjuru.
            Bila malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi tidak tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang hari, mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.
            Waktu terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di saat tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu... Papuuu...!”
            Selama dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan melahirkan, orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak boleh tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.
            Sampai kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu  dihanyutkan ombak lautan. Mungkin ia sedang menunggu untuk ditemukan. Tidak ada yang pernah berpikir sampai kapan pencarian itu akan berakhir. Mereka sudah menganggapnya takdir.
            Orang-orang Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu dan   lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan dan samudera sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa Rampa (Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan), Rampa Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan Pulau Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara Pasir (Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur).*** 
                       
            
TENTANG PENYUSUN CERITA RAKYAT KOTABARU

M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru (1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru (2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru (2006).

M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.

Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Rumah Malam Sabtu

 Jumat, 26 April 2024 Suasana di dalam rumah saya, pada hari Jumat (26/04/2024) malam Sabtu sekitar pukul 22.15 WITA. (ahu)