Rabu, 16 Januari 2019

Hilangnya Kota Sebelimbingan

Kamis, 17 Januari 2019

            Pada zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan.
            Konon, empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan Belanda melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka tiba di pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau Laut.
            Dari pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada penduduk setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan Belanda ada di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan ke Pulau Jawa, dibuang atau dipenjara.
            Penduduk pantai menyarankan agar mereka bertani di Desa Sebelimbingan. Di desa kecil itu hanya ada beberapa pondok yang dihuni beberapa keluarga. Masih berupa hutan, hanya sebagian kecil yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
            Untuk tempat berteduh, mereka membangun pondok. Selama enam bulan pertama, dengan bekal uang yang dibawa, mereka membeli lahan, alat-alat pertanian dan bahan makanan, menanam sayuran dan umbi-umbian.
            Pada suatu hari, saat mengolah tanah, cangkul Sudarmo membentur benda keras. Dengan penasaran dan hati-hati, ia menggali benda itu. Setelah lapisan tanah dan batu-batuan di atasnya diangkat, tampak benda hitam legam yang tadi mengenai cangkulnya.
            Sudarmo memungut benda hitam itu dan melihatnya dengan saksama. “Muradi, Sukarmo, Sastro...! Kemari! Lihat ini!” serunya kepada tiga temannya yang tengah membersihkan semak belukar, membakar ranting dan daun-daun kering.
            Khawatir terjadi sesuatu pada Sudarmo, ketiganya bergegas menghampiri.
            “Apa itu?” Sastro bingung melihat sekepal benda hitam di tangan Sudarmo.
            “Batu bara...,” jawab Sukarmo. Diambilnya benda itu dari tangan Sudarmo, membolak-baliknya.
            Dahulu, ayah Sukarmo bekerja sebagai mandor kereta pengangkut tebu di sebuah pabrik gula di Jawa. Lokomotif kereta itu digerakkan tenaga batu bara. Waktu kecil, ia pernah diajak ayahnya naik kereta itu dan melihat beberapa kuli memasukkan batu hitam itu ke tungku pembakarannya.
            “Kita akan kaya raya!” seru Sudarmo gembira. “Kita harus mencari pemodal untuk menambangnya, hasilnya kita jual ke kapal uap dan pabrik gula!”
            Sejak penemuan itu, Desa Sebelimbingan menjadi ramai. Orang-orang dari berbagai penjuru berdatangan. Hanya dalam hitungan bulan, dua pengusaha keturunan Tionghoa berkongsi membiayai penambangan batu bara itu, menyediakan alat-alat tambang yang dibutuhkan.
            Untuk memperluas tambang, lahan dan hutan dibeli dari penduduk. Sebagai penemu, mereka berempat mendapat bagian yang sama. Mendapat rejeki yang tak disangka-sangka itu, mereka bersyukur. Sebagai muslim, mereka terpanggil untuk membangun tempat ibadah. Mushola pun didirikan.
            Setelah keadaan membaik, Sudarmo, Sukarmo dan Sastro menjemput anak-istri mereka di Tanah Jawa. Mereka kembali dengan membawa keluarga dan kerabat dekat yang akan bekerja sebagai kuli. Hanya Muradi yang masih sendiri.            
            Dengan kapal uap, para kuli beserta keluarganya masing-masing didatangkan langsung dari Tanah Jawa. Mereka dipekerjakan membangun pabrik pengolahan batu bara. Sebagai pelengkap sarana dan prasarana, jalan dan dermaga pun dibangun. Karena setiap keluarga membutuhkan tempat tinggal, kompleks permukiman didirikan.
            Ketika tambang batu bara itu mulai berproduksi, suatu hari serombongan serdadu Belanda datang. Dengan bersenjata lengkap, mereka menemui Tuan A Cai dan Tuan A Seng.
            Entah apa yang dibicarakan, tapi Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi waswas melihat serdadu Belanda yang tampak siap siaga di pintu kantor. Mereka waswas, kalau-kalau rahasia mereka telah terungkap dan mereka akan ditangkap.
            Sepulangnya rombongan serdadu Belanda itu, Tuan A Chai dan Tuan A Seng mengajak Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi bertukar pikiran.
            Keempatnya merasa lega setelah Tuan A Chai, sambil tersenyum, berkata, “Tuan Robert Suurhof mengajak kita berkongsi, memperbesar pertambangan ini. Mereka setuju dengan syarat yang kita ajukan dan akan menjamin keamanan...”
            “Dan kita tetap mendapat bagian seperti yang sudah kita terima, ditambah bonus lainnya,” tambah Tuan A Seng dengan gembira. “Mereka menanamkan modal. Sebagian lahan akan dijadikan boerderij[1]). Pekerjaan kita akan menjadi lebih ringan. Orang-orang Belanda akan menangani semuanya, dari penambangan hingga pemasaran. Kita jadi mandornya...”
            Beberapa pekan kemudian, mesin-mesin pertambangan yang lebih modern didatangkan. Gedung, kantor, rumah sakit dan rumah-rumah beton dibangun, untuk tempat tinggal orang-orang Belanda yang akan mengawasi langsung proses produksi, sejak penambangan, uji kendali mutu dan pengapalan antarpulau.
            Beberapa tahun kemudian, Sebelimbingan menjadi kota yang makmur. Barang-barang mewah dan bahan keperluan sehari-hari didatangkan langsung dari Tanah Jawa, Andalas dan Selebes, melalui kapal uap yang rutin singgah dalam  perdagangan antarpulau.
            Belanda juga membangun sarana hiburan, gedung dansa dan tempat-tempat perjudian. Itu memang siasat yang licik dan cerdik, agar uang yang mengalir dari kuli tambang tetap masuk ke saku mereka dan dapat digunakan untuk membiayai daerah jajahannya di Hindia Belanda.
            Masalah datang bersamaan dengan kemakmuran.
            Pada suatu malam, jeritan perempuan dari gedung kediaman pimpinan pertambangan, Tuan Robert Suurhof, membuat para serdadu di gardu jaga berlarian.
            Cahaya senter berseliweran, diiringi salak anjing dan suara tembakan. Para serdadu mengejar sesosok bayangan yang dengan cepat menghilang ke dalam hutan.
            Dalam sekejap, penduduk Sebelimbingan terjaga dari tidurnya. Sebagian warga mendatangi kediaman Tuan Robert Suurhof. Dengan hanya berpiyama, Belanda totok itu marah-marah dan mengumpat dalam bahasa nenek moyangnya.
            Pagi harinya seluruh penduduk Sebelimbingan tahu, malam itu Mevrouw Annelies, istri Tuan Robert Suurhof, kemalingan. Seluruh perhiasan yang tersimpan di lemari kamarnya digondol maling.
            Itu adalah pencurian ketujuh dalam tiga bulan terakhir, selain perkelahian akibat minuman keras yang kian sering terjadi di antara sesama kuli tambang. Pelacuran pun kian marak, karena jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki.
            “Kita harus mengatasi masalah ini. Akhlak warga sudah rusak sekali!” kata Sastro kepada tiga rekannya. “Kita sudah mulai tua. Keadaan ini tak baik bagi anak-cucu kita. Kalau dibiarkan, Sebelimbingan akan dilaknat Tuhan. Mushola kini selalu sepi. Tidak ada lagi yang sembahyang dan mengaji... ”
            “Ya, tapi bagaimana caranya? Kita tak punya kuasa. Semua ditentukan Tuan Robert,” sahut Sudarmo. “Aku pernah membicarakan ini dengan Tuan A Chai. Dia sudah menyampaikannya.  Tapi, Tuan Robert tidak peduli.”
            “Kita harus bicara langsung!” tukas Sukarmo. “Tentu saja dia tak peduli soal akhlak warga. Baginya, yang penting kuli dan tambang menghasilkan uang. Tapi, jiwa prajurit kita tak bisa membenarkannya! Kau setuju, Muradi?”
            Dengan tubuh limbung akibat terlalu banyak menenggak alkohol, Muradi menyahut, “Ah, aku sudah cukup senang begini. Terserah kalian saja...”
            Tiga bulan kemudian, bersama Tuan A Chai dan Tuan A Seng, mereka menemui Tuan Robert Suurhof di kantornya. Pemimpin tambang dan boerderij itu baru kembali dari perjalanan ke Tanah Jawa, Andalas dan Selebes.
            “Bagus sekali kowe orang datang!” seru Tuan Robert Suurhof sambil menyodorkan botol jenewer, yang langsung disambut Muradi, Tuan A Chai dan Tuan A Seng. “Ik tak usah panggil kowe orang lagi untuk omong soal ini.”
            “Ada kabar apa, Tuan?” tanya Tuan A Seng.
            Jawaban Tuan Robert Suurhof membuat mereka terkejut. “Gubernur Jenderal Starkenborgh Stachouwer di Batavia bilang, batu bara di sini tinggal sedikit. Mutunya sudah tak bagus en tambang ini harus ditutup. Kalau diteruskan, gubernemen bilang rugi. Tidak seimbang antara bea yang keluar, dengan hasilnya. Tambang baru telah ditemukan. Di Ombilin, Andalas...”
            “Tapi, Tuan...,” Sastro memberanikan diri menyela.
            “Inlander seperti kowe tak usah membantah! Gubernemen tahu apa yang harus dikerjakan. Tahun depan, tambang en boerderij ini akan brenti. Kalau mau, kowe orang boleh teruskan. Atau, kowe bisa jadi mandor di Ombilin, sebagai kuli kontrak biasa. Keadaan mulai tidak aman. Nippon akan serang Hindia Belanda... ”
            Seperti dikatakan Tuan Robert Suurhof, setahun kemudian peralatan tambang dibongkar dan dikapalkan ke Andalas. Orang-orang Belanda dan kuli-kuli kontrak, yang menerima tawaran Tuan Robert Suurhof, menumpang di kapal yang sama. Perpisahan antara mereka yang pergi dan yang tetap tinggal, amat mengharukan.  
            Meskipun dengan jumlah kuli dan hasil tambang yang kian sedikit, penambangan batu bara tetap berlangsung. Beberapa tahun kemudian, setelah Perang Dunia II berakhir dan kepulauan Nusantara menjadi Republik Indonesia, sebuah peristiwa penting terjadi di Sebelimbingan.
            Malam itu, ketika kuli-kuli sedang berkumpul di tempat hiburan dan arena perjudian, tiba-tiba terdengar pekikan, disusul suara teriakan dan rentetan tembakan dari atas gunung.
            Entah datang dari mana, puluhan lelaki bersenjata api tiba-tiba telah menguasai Sebelimbingan. Mereka membakar dan mengobrak-abrik tempat hiburan dan perjudian. Gerombolan! Dalam remang cahaya obor, penduduk dikumpulkan, dipaksa berbaris dan berjongkok di lapangan.
            “Kami lasykar Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas... Kami menjalankan perintah junjungan kami, Ibnu Hajar, membasmi tempat-tempat maksiat di Bumi Lambung Mangkurat. Sebelimbingan dalam kekuasaan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia! Tak ada lagi pertambangan dan kemaksiatan...!” teriak salah seorang di antara mereka sambil mengacungkan senjata.
            Ketika ada penduduk yang terlambat mematuhi perintah berkumpul, anggota gerombolan itu tanpa belas kasihan melayangkan popor senapan. Anak-anak dan perempuan menangis dan menjerit ketakutan.
            Diiringi ancaman, teriakan dan tembakan, mereka membakar pertambangan, kantor, rumah sakit, gedung dansa, tempat-tempat perjudian dan permukiman. Nyala api membesar menerangi langit malam, diiringi tangisan perempuan dan anak-anak. Seiring dengan padamnya api di pagi hari, gerombolan itu menghilang di belantara Pegunungan Meratus.
            Tanpa aksi bumi hangus gerombolan gerilyawan itu pun Sebelimbingan sudah seperti lampu kehabisan minyak. Cahaya kemakmuran telah padam. Sehabis perang, keadaan ekonomi seluruh negara di dunia dalam keadaan sulit. Batu bara tidak dibutuhkan lagi. Mesin diesel yang menjalankan pabrik, kereta api, kapal dan mobil, sudah menggunakan solar. Kapal uap yang memakai batu bara tak ada lagi.   
            Dengan berlalunya waktu, Sebelimbingan seakan kembali ke titik nol. Kembali seperti sebelumnya, sebelum ditemukannya batu bara. Namun, beberapa bangunan yang tersisa dan banyaknya jumlah warga keturunan Jawa di sana menjadi tanda, bahwa di masa lalu ia adalah daerah yang kaya dan sejahtera.***
                
  TENTANG PENYUSUN CERITA RAKYAT KOTABARU

M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru (1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru (2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru (2006).

M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.

Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Rumah Malam Sabtu

 Jumat, 26 April 2024 Suasana di dalam rumah saya, pada hari Jumat (26/04/2024) malam Sabtu sekitar pukul 22.15 WITA. (ahu)