Pada
zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan
gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran
itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan.
Konon,
empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan Belanda
melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka tiba di
pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau Laut.
Dari
pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada penduduk
setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari kehidupan
yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan Belanda ada
di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan ke Pulau
Jawa, dibuang atau dipenjara.
Penduduk
pantai menyarankan agar mereka bertani di Desa Sebelimbingan. Di desa kecil itu
hanya ada beberapa pondok yang dihuni beberapa keluarga. Masih berupa hutan,
hanya sebagian kecil yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Untuk
tempat berteduh, mereka membangun pondok. Selama enam bulan pertama, dengan
bekal uang yang dibawa, mereka membeli lahan, alat-alat pertanian dan bahan
makanan, menanam sayuran dan umbi-umbian.
Pada
suatu hari, saat mengolah tanah, cangkul Sudarmo membentur benda keras. Dengan
penasaran dan hati-hati, ia menggali benda itu. Setelah lapisan tanah dan
batu-batuan di atasnya diangkat, tampak benda hitam legam yang tadi mengenai
cangkulnya.
Sudarmo
memungut benda hitam itu dan melihatnya dengan saksama. “Muradi, Sukarmo,
Sastro...! Kemari! Lihat ini!” serunya kepada tiga temannya yang tengah
membersihkan semak belukar, membakar ranting dan daun-daun kering.
Khawatir
terjadi sesuatu pada Sudarmo, ketiganya bergegas menghampiri.
“Apa
itu?” Sastro bingung melihat sekepal benda hitam di tangan Sudarmo.
“Batu
bara...,” jawab Sukarmo. Diambilnya benda itu dari tangan Sudarmo,
membolak-baliknya.
Dahulu,
ayah Sukarmo bekerja sebagai mandor kereta pengangkut tebu di sebuah pabrik
gula di Jawa. Lokomotif kereta itu digerakkan tenaga batu bara. Waktu kecil, ia
pernah diajak ayahnya naik kereta itu dan melihat beberapa kuli memasukkan batu
hitam itu ke tungku pembakarannya.
“Kita
akan kaya raya!” seru Sudarmo gembira. “Kita harus mencari pemodal untuk
menambangnya, hasilnya kita jual ke kapal uap dan pabrik gula!”
Sejak
penemuan itu, Desa Sebelimbingan menjadi ramai. Orang-orang dari berbagai
penjuru berdatangan. Hanya dalam hitungan bulan, dua pengusaha keturunan
Tionghoa berkongsi membiayai penambangan batu bara itu, menyediakan alat-alat
tambang yang dibutuhkan.
Untuk
memperluas tambang, lahan dan hutan dibeli dari penduduk. Sebagai penemu,
mereka berempat mendapat bagian yang sama. Mendapat rejeki yang tak
disangka-sangka itu, mereka bersyukur. Sebagai muslim, mereka terpanggil untuk
membangun tempat ibadah. Mushola pun didirikan.
Setelah
keadaan membaik, Sudarmo, Sukarmo dan Sastro menjemput anak-istri mereka di
Tanah Jawa. Mereka kembali dengan membawa keluarga dan kerabat dekat yang akan
bekerja sebagai kuli. Hanya Muradi yang masih sendiri.
Dengan
kapal uap, para kuli beserta keluarganya masing-masing didatangkan langsung
dari Tanah Jawa. Mereka dipekerjakan membangun pabrik pengolahan batu bara.
Sebagai pelengkap sarana dan prasarana, jalan dan dermaga pun dibangun. Karena setiap
keluarga membutuhkan tempat tinggal, kompleks permukiman didirikan.
Ketika
tambang batu bara itu mulai berproduksi, suatu hari serombongan serdadu Belanda
datang. Dengan bersenjata lengkap, mereka menemui Tuan A Cai dan Tuan A Seng.
Entah
apa yang dibicarakan, tapi Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi waswas melihat
serdadu Belanda yang tampak siap siaga di pintu kantor. Mereka waswas,
kalau-kalau rahasia mereka telah terungkap dan mereka akan ditangkap.
Sepulangnya rombongan serdadu Belanda itu, Tuan A Chai dan Tuan A Seng mengajak
Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi bertukar pikiran.
Keempatnya merasa lega setelah Tuan A Chai, sambil tersenyum, berkata, “Tuan
Robert Suurhof mengajak kita berkongsi, memperbesar pertambangan ini. Mereka
setuju dengan syarat yang kita ajukan dan akan menjamin keamanan...”
“Dan
kita tetap mendapat bagian seperti yang sudah kita terima, ditambah bonus
lainnya,” tambah Tuan A Seng dengan gembira. “Mereka menanamkan modal. Sebagian
lahan akan dijadikan boerderij[1]). Pekerjaan kita akan menjadi lebih
ringan. Orang-orang Belanda akan menangani semuanya, dari penambangan hingga
pemasaran. Kita jadi mandornya...”
Beberapa
pekan kemudian, mesin-mesin pertambangan yang lebih modern didatangkan. Gedung,
kantor, rumah sakit dan rumah-rumah beton dibangun, untuk tempat tinggal
orang-orang Belanda yang akan mengawasi langsung proses produksi, sejak
penambangan, uji kendali mutu dan pengapalan antarpulau.
Beberapa
tahun kemudian, Sebelimbingan menjadi kota yang makmur. Barang-barang mewah dan
bahan keperluan sehari-hari didatangkan langsung dari Tanah Jawa, Andalas dan
Selebes, melalui kapal uap yang rutin singgah dalam perdagangan
antarpulau.
Belanda
juga membangun sarana hiburan, gedung dansa dan tempat-tempat perjudian. Itu
memang siasat yang licik dan cerdik, agar uang yang mengalir dari kuli tambang
tetap masuk ke saku mereka dan dapat digunakan untuk membiayai daerah
jajahannya di Hindia Belanda.
Masalah
datang bersamaan dengan kemakmuran.
Pada
suatu malam, jeritan perempuan dari gedung kediaman pimpinan pertambangan, Tuan
Robert Suurhof, membuat para serdadu di gardu jaga berlarian.
Cahaya
senter berseliweran, diiringi salak anjing dan suara tembakan. Para serdadu
mengejar sesosok bayangan yang dengan cepat menghilang ke dalam hutan.
Dalam
sekejap, penduduk Sebelimbingan terjaga dari tidurnya. Sebagian warga mendatangi
kediaman Tuan Robert Suurhof. Dengan hanya berpiyama, Belanda totok itu
marah-marah dan mengumpat dalam bahasa nenek moyangnya.
Pagi
harinya seluruh penduduk Sebelimbingan tahu, malam itu Mevrouw Annelies,
istri Tuan Robert Suurhof, kemalingan. Seluruh perhiasan yang tersimpan di
lemari kamarnya digondol maling.
Itu
adalah pencurian ketujuh dalam tiga bulan terakhir, selain perkelahian akibat
minuman keras yang kian sering terjadi di antara sesama kuli tambang. Pelacuran
pun kian marak, karena jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki.
“Kita
harus mengatasi masalah ini. Akhlak warga sudah rusak sekali!” kata Sastro
kepada tiga rekannya. “Kita sudah mulai tua. Keadaan ini tak baik bagi
anak-cucu kita. Kalau dibiarkan, Sebelimbingan akan dilaknat Tuhan. Mushola
kini selalu sepi. Tidak ada lagi yang sembahyang dan mengaji... ”
“Ya,
tapi bagaimana caranya? Kita tak punya kuasa. Semua ditentukan Tuan Robert,”
sahut Sudarmo. “Aku pernah membicarakan ini dengan Tuan A Chai. Dia sudah
menyampaikannya. Tapi, Tuan Robert tidak peduli.”
“Kita
harus bicara langsung!” tukas Sukarmo. “Tentu saja dia tak peduli soal akhlak
warga. Baginya, yang penting kuli dan tambang menghasilkan uang. Tapi, jiwa
prajurit kita tak bisa membenarkannya! Kau setuju, Muradi?”
Dengan
tubuh limbung akibat terlalu banyak menenggak alkohol, Muradi menyahut, “Ah,
aku sudah cukup senang begini. Terserah kalian saja...”
Tiga
bulan kemudian, bersama Tuan A Chai dan Tuan A Seng, mereka menemui Tuan Robert
Suurhof di kantornya. Pemimpin tambang dan boerderij itu baru kembali
dari perjalanan ke Tanah Jawa, Andalas dan Selebes.
“Bagus
sekali kowe orang datang!” seru Tuan Robert Suurhof sambil menyodorkan
botol jenewer, yang langsung disambut Muradi, Tuan A Chai dan Tuan A Seng. “Ik
tak usah panggil kowe orang lagi untuk omong soal ini.”
“Ada
kabar apa, Tuan?” tanya Tuan A Seng.
Jawaban
Tuan Robert Suurhof membuat mereka terkejut. “Gubernur Jenderal Starkenborgh
Stachouwer di Batavia bilang, batu bara di sini tinggal sedikit. Mutunya sudah
tak bagus en tambang ini harus ditutup. Kalau diteruskan, gubernemen
bilang rugi. Tidak seimbang antara bea yang keluar, dengan hasilnya. Tambang
baru telah ditemukan. Di Ombilin, Andalas...”
“Tapi,
Tuan...,” Sastro memberanikan diri menyela.
“Inlander
seperti kowe tak usah membantah! Gubernemen tahu apa yang harus
dikerjakan. Tahun depan, tambang en boerderij ini akan brenti.
Kalau mau, kowe orang boleh teruskan. Atau, kowe bisa jadi mandor
di Ombilin, sebagai kuli kontrak biasa. Keadaan mulai tidak aman. Nippon akan
serang Hindia Belanda... ”
Seperti
dikatakan Tuan Robert Suurhof, setahun kemudian peralatan tambang dibongkar dan
dikapalkan ke Andalas. Orang-orang Belanda dan kuli-kuli kontrak, yang menerima
tawaran Tuan Robert Suurhof, menumpang di kapal yang sama. Perpisahan antara
mereka yang pergi dan yang tetap tinggal, amat mengharukan.
Meskipun
dengan jumlah kuli dan hasil tambang yang kian sedikit, penambangan batu bara
tetap berlangsung. Beberapa tahun kemudian, setelah Perang Dunia II berakhir
dan kepulauan Nusantara menjadi Republik Indonesia, sebuah peristiwa penting
terjadi di Sebelimbingan.
Malam
itu, ketika kuli-kuli sedang berkumpul di tempat hiburan dan arena perjudian,
tiba-tiba terdengar pekikan, disusul suara teriakan dan rentetan tembakan dari
atas gunung.
Entah
datang dari mana, puluhan lelaki bersenjata api tiba-tiba telah menguasai
Sebelimbingan. Mereka membakar dan mengobrak-abrik tempat hiburan dan
perjudian. Gerombolan! Dalam remang cahaya obor, penduduk dikumpulkan, dipaksa
berbaris dan berjongkok di lapangan.
“Kami
lasykar Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas... Kami menjalankan perintah
junjungan kami, Ibnu Hajar, membasmi tempat-tempat maksiat di Bumi Lambung
Mangkurat. Sebelimbingan dalam kekuasaan Darul Islam dan Tentara Islam
Indonesia! Tak ada lagi pertambangan dan kemaksiatan...!” teriak salah seorang
di antara mereka sambil mengacungkan senjata.
Ketika
ada penduduk yang terlambat mematuhi perintah berkumpul, anggota gerombolan itu
tanpa belas kasihan melayangkan popor senapan. Anak-anak dan perempuan menangis
dan menjerit ketakutan.
Diiringi
ancaman, teriakan dan tembakan, mereka membakar pertambangan, kantor, rumah
sakit, gedung dansa, tempat-tempat perjudian dan permukiman. Nyala api membesar
menerangi langit malam, diiringi tangisan perempuan dan anak-anak. Seiring
dengan padamnya api di pagi hari, gerombolan itu menghilang di belantara
Pegunungan Meratus.
Tanpa
aksi bumi hangus gerombolan gerilyawan itu pun Sebelimbingan sudah seperti
lampu kehabisan minyak. Cahaya kemakmuran telah padam. Sehabis perang, keadaan
ekonomi seluruh negara di dunia dalam keadaan sulit. Batu bara tidak dibutuhkan
lagi. Mesin diesel yang menjalankan pabrik, kereta api, kapal dan mobil, sudah
menggunakan solar. Kapal uap yang memakai batu bara tak ada
lagi.
Dengan
berlalunya waktu, Sebelimbingan seakan kembali ke titik nol. Kembali seperti
sebelumnya, sebelum ditemukannya batu bara. Namun, beberapa bangunan yang
tersisa dan banyaknya jumlah warga keturunan Jawa di sana menjadi tanda, bahwa
di masa lalu ia adalah daerah yang kaya dan sejahtera.***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar