Menurut sahibul hikayat, pada zaman dahulu ada seorang datu yang
sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya Datu Mabrur. Ia
bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.
Siang-malam ia bersamadi di batu karang, di antara percikan buih, debur
ombak, angin, gelombang dan badai topan. Ia memohon kepada Sang Pencipta agar
diberi sebuah pulau. Pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan
keturunannya, kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca
dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelimuti tubuhnya. Siang hari, terik
matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain.
Ia tidak pernah makan, terkecuali meminum air hujan dan embun yang turun.
Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar
tiba-tiba muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya. Tanpa beringsut
dari tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan
mendadak itu.
Ikan itu terpelanting dan jatuh di karang. Setelah jatuh ke air, ikan itu
menyerang lagi. Demikian berulang-ulang. Di sekeliling karang, ribuan ikan lain
mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam, seakan prajurit
siap tempur.
Pada serangannya yang terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu
Mabrur membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?”
“Aku
ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat
lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi,
engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku takluk...,” katanya, megap-megap.
Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela-sela karang
tajam.
“Jadi,
itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya, Datu.
Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami
akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Datu
Mabrur mengangguk.
Dipandanginya ikan-ikan yang berenang di sekeliling karang itu. Gigi, sirip dan
sisik mereka berkilauan saat melompat di permukaan laut. Siang menjelang.
Matahari mulai garang.
Ini hari
terakhir pertapaannya, tapi belum ada tanda-tanda permohonannya akan terkabul.
Pulau yang diimpikannya belum tampak. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya
birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala.
“Datu,
tolonglah aku. Obati luka-lukaku dan kembalikanlah aku ke laut. Kalau terlalu
lama di darat, aku bisa mati. Atas nama rakyatku, aku berjanji akan mengabdi
padamu, bila engkau menolongku...” Raja Ikan Todak mengiba-iba. Seolah sulit
bernapas, insangnya membuka dan menutup.
“Baiklah,” Datu Mabrur berdiri. “Sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya, aku
akan menolongmu.”
“Apa pun
permintaanmu, kami akan memenuhinya. Datu ingin istana bawah laut yang
terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyung dan gurita? Ingin
berkeliling dunia, bersama ikan paus dan lumba-lumba?”
“Tidak.
Aku tak punya keinginan pribadi, tapi untuk masa depan anak-cucuku nanti....”
Lalu, Datu Mabrur menceritakan maksud pertapaannya selama ini.
“Kami
akan memenuhi permintaanmu!”
“Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”
“Akan
kukerahkan rakyatku, seluruh penghuni lautan dan samudera. Sebelum matahari
terbit esok pagi, impianmu akan terwujud. Aku bersumpah!”
“Wah...
Kamu bersumpah?”
“Ya! Aku
takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Datu
Mabrur tak dapat membayangkan, bagaimana Raja Ikan Todak akan memenuhi
sumpahnya itu. “Baiklah. Tapi kita harus membuat perjanjian: sejak sekarang
kita harus sa-ijaan, seiring sejalan. Seia sekata, sampai ke anak-cucu
kita. Kita harus rakat mufakat, bantu membantu, bahu membahu. Setuju?”
“Setuju,
Datu...,” sahut Raja Ikan Todak yang tergolek, lemah. Ia sangat
membutuhkan air.
Mendengar jawaban itu, Datu Mabrur tersenyum.
Dengan
hati-hati, dilepaskannya tubuh Raja Ikan Todak dari jepitan karang, lalu
diusapnya lembut.
Ajaib!
Dalam sekejap, darah dan luka di sekujur tubuh Raja Ikan Todak itu mengering!
Kulitnya licin kembali seperti semula, seakan tak pernah luka. Ikan itu menggerak-gerakkan
sirip dan ekornya dengan gembira.
Dengan
lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat Raja Ikan Todak
itu dan mengembalikannya ke laut. Ribuan ikan yang tadi mengepung karang, kini
berenang mengerumuninya, melompat-lompat bersuka ria.
“Sa-ijaan!”
seru Raja Ikan Todak sambil melompat di permukaan laut.
“Sa-ijaan!”
sahut Datu Mabrur.
Setelah
lompatan ketiga, Raja Ikan Todak, bersama ribuan ikan yang mengiringinya,
menyelam ke dalam lautan.
Sebelum
tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur
dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut.
Gemuruh perlahan, tapi pasti.
Laut
tenang, gelombang tak ada, hanya alunan ombak dan riak-riak kecil saja.
Riak-riak itu kian memanjang ke segenap penjuru. Langit terang benderang oleh
ribuan bintang dan cahaya purnama, hingga Datu Mabrur dapat dengan jelas
menyaksikan peristiwa di depan matanya.
Gemuruh
suara itu terdengar bersamaan dengan timbulnya sebuah daratan, dari dasar laut!
Kian lama, permukaan daratan itu kian tampak. Naik dan terus naik! Lalu,
seluruhnya timbul ke permukaan!
Di bawah
permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan
daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan!
Sa-ijaan! Sa-ijaaan...!”
Datu
Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja Ikan Todak telah memenuhi
sumpahnya!
Bersamaan dengan terbitnya matahari pagi, daratan itu telah timbul sepenuhnya.
Berupa sebuah pulau. Lengkap dengan ngarai, lembah, perbukitan dan pegunungan.
Tanahnya tampak subur. Pulau kecil yang makmur.
Datu Mabrur senang dan gembira. Impiannya tentang pulau yang
akan menjadi tempat tinggal bagi anak-cucu dan keturunannya, telah menjadi
kenyataan. Permohonannya telah dikabulkan. Dengan memanjatkan puji dan syukur
kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari
dasar laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan
ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru.***
TENTANG PENYUSUN
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar