Oleh : Loki Santoso
Di
antara gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua pasang kaki
telanjang pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukit di
sepanjang pesisir sungai.
“Jek adhoh to kang gone sing diparani kui?” tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo, embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“ jawab Marto Kuncung, sambil terus melangkah.
Di kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
“Kae` koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“ sahut Muhiman.
Keduanya bergegas ke gubuk itu.
“Kulo nuwuuun….“ Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang, bekas panen bulan lalu.
“Kulo nuwun…,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam. Pemilik pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi, Pak…,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman…“
“Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk masuk ke gubuk berukuran empat meter per segi, yang beratap ilalang dan berdinding kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya yang membawa buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya, terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
“Umanyaaa…! Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan…,” Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya, mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati puncak gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
***
Nyala lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu bercakap-cakap.
”Terima kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kami ingin membantu Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
“Kami tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun, cukup,” sahut Marto Kuncung.
“Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karena telah membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat ke situ.
***
Kokok ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari tidur beralaskan tikar purun . Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya hari baru.
Muhiman membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang. ”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan pisang goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa menanak nasi…,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
***
Tiga pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap untuk ditanami.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
“Tidak ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit Batu Kumpai.
“Kalau panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”
”Ke pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
Milir mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk. Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga menjual hasilnya.
Beberapa waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah panen.
“Besok kita jual ke pasar…,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih, Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto Kuncung.
“Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
Di bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai, tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan di antara mereka, dengan punggung menggendong lanjung . Saat mereka tiba di Pasar Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
Setelah kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu…”
Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan masing-masing.
Muhiman yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan tingkah lakunya yang tampak kebingungan.
”Handak manukar apa pian, Cil?” tanya seorang pedagang.
Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhiman hanya menjawab singkat, “Inggih…”
Jawaban Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
“Sampian matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?” Pedagang lain menghujani Muhiman dengan pertanyaan.
“Inggih, inggih….”
“Andika urang mana?”
Meskipun bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama, makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan terbata-bata.
“Bapak berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero , Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo…. Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
“Njero kono, adhoh.”
“Ooo… Ya, ya, ya…”
Para pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan, meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”. Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian menyebutnya “Jaro”.
Sejak saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.***
“Jek adhoh to kang gone sing diparani kui?” tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo, embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“ jawab Marto Kuncung, sambil terus melangkah.
Di kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
“Kae` koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“ sahut Muhiman.
Keduanya bergegas ke gubuk itu.
“Kulo nuwuuun….“ Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang, bekas panen bulan lalu.
“Kulo nuwun…,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam. Pemilik pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi, Pak…,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman…“
“Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk masuk ke gubuk berukuran empat meter per segi, yang beratap ilalang dan berdinding kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya yang membawa buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya, terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
“Umanyaaa…! Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan…,” Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya, mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati puncak gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
***
Nyala lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu bercakap-cakap.
”Terima kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kami ingin membantu Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
“Kami tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun, cukup,” sahut Marto Kuncung.
“Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karena telah membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat ke situ.
***
Kokok ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari tidur beralaskan tikar purun . Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya hari baru.
Muhiman membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang. ”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan pisang goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa menanak nasi…,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
***
Tiga pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap untuk ditanami.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
“Tidak ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit Batu Kumpai.
“Kalau panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”
”Ke pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
Milir mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk. Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga menjual hasilnya.
Beberapa waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah panen.
“Besok kita jual ke pasar…,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih, Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto Kuncung.
“Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
Di bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai, tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan di antara mereka, dengan punggung menggendong lanjung . Saat mereka tiba di Pasar Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
Setelah kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu…”
Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan masing-masing.
Muhiman yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan tingkah lakunya yang tampak kebingungan.
”Handak manukar apa pian, Cil?” tanya seorang pedagang.
Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhiman hanya menjawab singkat, “Inggih…”
Jawaban Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
“Sampian matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?” Pedagang lain menghujani Muhiman dengan pertanyaan.
“Inggih, inggih….”
“Andika urang mana?”
Meskipun bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama, makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan terbata-bata.
“Bapak berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero , Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo…. Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
“Njero kono, adhoh.”
“Ooo… Ya, ya, ya…”
Para pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan, meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”. Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian menyebutnya “Jaro”.
Sejak saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar