Raja
Banjar tercenung dengan wajah murung di anjungan perahu kerajaan yang tengah
berlayar. Matanya menatap ombak lautan dan burung camar yang beterbangan di
kejauhan. Hatinya risau.
Pekan
lalu, nakhoda perahu dagang asal Hindustan bersama anak buahnya datang ke
istana. Gugup dan terbata-bata, nakhoda keling itu melapor. Di perairan muara
Kerajaan Banjar, tanpa sebab yang jelas, perahu yang dikemudikannya kandas.
Itu
adalah laporan yang sudah kesekian kalinya ia terima, baik yang langsung datang
dari korban maupun yang dari laporan aparat kerajaan. Kejadian aneh itu juga
sering didengarnya dari nelayan dan pelaut dari kerajaan lain. Dalam selimut
kabut, sampan dan perahu mereka tiba-tiba kandas.
Kejadian
aneh itu biasanya malam hari. Saat diperiksa, di bawah sampan atau perahu tak
ditemukan batu karang maupun gosong. Lebih aneh lagi, di tengah kabut dan
halimun itu terdengar bunyi gamelan bertalu-talu. Padahal, itu di lautan, tak
ada pulau dan daratan!
Di
anjungan, Raja Banjar bertopang dagu.
Misteri
perahu kandas itu membuatnya berpikir keras. Dalam sidang di istana, ia
memerintahkan panglima dan prajurit kerajaan ikut bersamanya untuk menguak
misteri itu. Sebagai raja, ia harus mampu mengatasi persoalan rakyatnya.
Wilayah
laut dan kabut yang misterius itu masih jauh.
Perahu
akan tiba di tujuan menjelang tengah malam. Setelah salat isya dan salat sunat
dua rakaat, Raja Banjar mengajak Panglima Perang makan malam bersamanya.
“Pamanda, aku akan istirahat sejenak. Awasi prajurit yang bertugas malam ini.
Aku tak mau ada prajurit yang hanya menjadi benalu dan lalai saat
menjalankan tugas. Bila memasuki perairan itu, semuanya harus
waspada...”
“Segala
titah paduka, hamba laksanakan,” sahut Panglima Perang.
Menjelang tengah malam, perahu layar memasuki muara laut Kerajaan Pagatan.
Pesisir pantai kerajaan kecil itu tampak samar-samar di kejauhan. Tiap tahun,
raja yang berasal dari keturunan Kerajaan Bugis itu dengan setia menyerahkan
upeti ke istana Kerajaan Banjar.
Permukaan laut yang sebelumnya bergelombang, kini tenang. Laut bagai hamparan
kain, rata tanpa riak. Saat itulah, ketika kabut luruh semakin tebal, nakhoda
heran. Perahu tak bisa jalan! Kandas. Seakan ada kekuatan luar biasa yang
menahannya.
Bersamaan dengan itu, sayup-sayup terdengar bunyi gamelan. Ditingkah suara
tembang, bunyi gamelan itu terdengar kian nyaring, padu dan harmonis.
“Di mana
bunyi gamelan itu, nakhoda?” tanya Panglima Perang yang entah sejak kapan sudah
berdiri di belakang nakhoda. Haluan dan buritan perahu sudah dipenuhi prajurit.
Dengan obor di tangan kiri dan tombak atau mandau di tangan kanan, mata
mereka berusaha keras menembus kabut.
“Saya
tidak tahu, paduka. Mungkin di sana...” Nakhoda menunjuk seberang haluan.
Tangannya gemetaran. Ia ketakutan!
Panglima
Perang mengalihkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk nakhoda, tapi tak
tampak apa-apa. Hanya kabut dan halimun yang kian tebal menyungkup perahu.
Bunyi gamelan dan suara tembang mendayu-dayu.
“Subhanallah,
merdu sekali bunyi gamelan dan tembang itu. Terampil sekali tangan yang
memainkannya.Suara tembangnya pun merdu dan menghanyutkan. Ingin rasanya
kuundang mereka untuk main di istana...”
“Oh,
baginda!” Panglima Perang dan nakhoda serempak berseru, terkejut atas kehadiran
junjungannya.
“Aku
sudah terjaga saat mendengar bunyi gamelan ini, pamanda panglima. Tadi aku
menengok keluar dari jendela kabin. Di situ, suaranya jelas sekali. Tapi,
aku tak melihat apa pun.”
“Baginda, bunyi gamelan dan tembang itu mulai sayup-sayup!” bisik nakhoda.
“Subuh
hampir tiba, nakhoda,” sahut Raja Banjar. Dengan wajah berbinar, seakan
mendapat kesimpulan yang menggembirakan, ia berseru: “Subhanallah! Aku
mulai memahami misteri ini...”
“Misteri
apa, baginda?” Panglima Perang bingung, heran dan penasaran.
“Mereka
sedang ada hajatan. Ada perhelatan! Seperti di alam kita, di alam mereka pun
rupanya pertunjukan berakhir menjelang subuh! Kau mengerti, pamanda?”
Entah
mengerti atau tidak, Panglima Perang dan nakhoda mengangguk bersamaan.
“Kita
harus menguak misteri ini, pamanda panglima!” seru Raja Banjar dengan
bersemangat. Ia meminta Panglima Perang mengumpulkan prajurit untuk mendirikan
salat subuh berjamaah.
Usai
salat wajib, Raja Banjar mendirikan salat sunat dua rakaat. Dalam doa, ia
memohon petunjuk dan perlindungan. Memohon agar Allah membukakan misteri itu.
Ajaib!
Bagai tirai kain yang sobek, tiba-tiba kabut dan halimun terkoyak! Di kejauhan,
sebuah pulau dan daratan terbentang, dengan gunung yang menjulang!
“Bunyi
gamelan itu tampaknya berasal dari sana,” kata Raja Banjar sambil berdiri dari
tempatnya salat. “Nakhoda, perahu terasa bergoyang. Apakah air laut sudah mulai
pasang?”
“Benar,
paduka.”
“Kita
berlabuh di sana. Pamanda panglima, kita turun berdua. Nakhoda dan prajurit di
perahu saja. Berjaga-jaga.”
Setelah
perahu merapat di tepi pantai, anak buah nakhoda dan para prajurit menurunkan
sampan. Dalam kabut tipis yang mengambang di permukaan air, Raja Banjar menaiki
sampan yang dikayuh Panglima Perang.
Aneh! Di
pantai tampak dermaga, perahu, sampan dan kesibukan para nelayan yang sedang
bekerja memindahkan ikan-ikan hasil tangkapan!
Ketika
Raja Banjar dan Panglima Perang menginjakkan kaki di pasir pantai, muncul
keajaiban lain. Di depan mereka telah berdiri pria gagah berbusana mewah yang
diapit dua pengawal.
“Assalamu’alaikum...,”
ucap Raja Banjar sembari mengangkat tangannya.
“Salam,
paduka. Selamat datang di Kerajaan Pulau Halimun. Hamba Panglima Perang di
negeri pulau ini. Hamba diutus pemimpin kami, Tumenggung Datu Belang
Ilat, untuk menyambut paduka.”
“Tumenggung Datu Belang Ilat?” Panglima Perang Kerajaan Banjar heran. Ia
mengenal kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi baru kali ini mendengar nama
kerajaan dengan nama pemimpin seperti itu.
“Ya,
tuan panglima. Bukankah paduka ini Raja Banjar dan Panglima Perang? Kami
mendapat kehormatan dikunjungi. Mari menemui pemimpin kami...”
Sementara Raja Banjar dan Panglima Perang dalam perjalanan, di balai sidang
istana Kerajaan Pulau Halimun terjadi perdebatan. Tampak hadir Datu Ning
Karang Kabunan, Datu Ning Karang Bainsang, Datu Ning Karang
Jangkar, Datu Ning Kurung, Datu Ning Karang Kintang dan para
pemuka adat.
Sidang
dipimpin langsung oleh Tumenggung Datu Belang Ilat. (Julukan belang
ilat berasal dari lidah pemimpin yang sakti mandraguna itu, yang berwarna
hitam kemerahan.)
“Saudara
saudara... Halimun telah terkoyak. Kita tak mungkin lagi menyembunyikan diri
dalam selimut kabut. Mungkin inilah takdir kita. Kita tak bisa menghindarinya.
Entah ilmu apa yang ia miliki, hingga Raja Banjar itu dapat menembus halimun
negeri kita. Bagaimana pendapat datu-datu dan pemuka adat?” tanya
Tumenggung Datu Belang Ilat.
“Ramalan
leluhur kita, bahwa pulau ini akan dikuasai bangsa lain yang kepercayaannya
berbeda dengan kita, mendekati kenyataan. Jadi, waspadalah!” sahut seorang
pemuka adat.
“Adat
budaya leluhur kita akan musnah, ananda Tumenggung!” tambah pemuka adat
lainnya. “Dewata akan murka. Kita akan menerima hukumannya!”
“Maaf
ampun, kanda Tumenggung,” ucap Datu Ning Karang Jangkar. “Mengapa kita
tidak menjadikan ini kesempatan untuk melakukan perubahan?”
“Benar,
kakanda,” sahut Datu Ning Kurung. “Mengapa mati-matian mempertahankan
adat budaya warisan leluhur, bila hati kita menyangsikannya?”
“Ini
sudah keterlaluan!” seru pemuka adat. “Apakah kita ingin mengulang sejarah dan
bencana seperti yang dialami nenek moyang kita? Mereka dahulu musnah akibat
pertikaian dan sengketa, antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana...”
“Ya,”
sahut pemuka adat lainnya, “padahal di zaman Paduka Yang Mulia Raja
Pakurindang, negeri kita tenang dan...
Belum
sempat pemuka adat menyelesaikan kata-katanya, di pintu masuk balai sidang
terdengar suara: ”Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh...”
Peserta
sidang serempak berdiri, menoleh kepada pemilik suara itu.
“Salam,
paduka Raja Banjar...,” sahut Datu Ning Karang Kabunan.
Raja
Banjar dan panglima perangnya, dikawal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun,
memasuki balai sidang.
“Apakah
kedatangan kami mengganggu, Tumenggung?”
“Oh,
tidak, paduka. Silakan duduk. Kami sedang membicarakan kehebatan paduka yang
berhasil menembus kabut dan halimun yang melindungi negeri kami. Paduka
benar-benar sakti.”
“Tidak,
Tumenggung. Semua atas izin Allah. Hanya kepada-Nya aku menyembah dan hanya
kepada-Nya aku memohon pertolongan.”
“Maaf,
siapa yang paduka maksudkan?” tanya pemuka adat.
“Allah.
Dialah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kami menyembah-Nya, menaati segala
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia maha pengasih dan maha penyayang, maha
pemurah dan maha pengampun terhadap hamba-Nya yang berdosa...”
“Menarik
sekali. Apa nama kepercayaan paduka itu?” tanya Tumenggung Datu Belang
Ilat.
“Islam.”
“Ya,
dewata... Ramalan itu menjadi kenyataan!” seru pemuka adat.
“Pamanda...?!” Tumenggung Datu Belang Ilat tersentak melihat pemuka adat
yang seakan terpukul, terhenyak di kursinya.
“Maafkan
kami, ananda Tumenggung. Ini soal keyakinan. Soal pilihan. Jika ada yang ingin
menganut keyakinan seperti yang dianut Raja Banjar ini, kami tidak melarang.
Tapi, perkenankan kami menganut keyakinan seperti yang telah kami anut selama
ini. Kami akan mengasingkan diri di pedalaman yang sunyi dan gunung yang
tinggi...,” sahut pemuka adat.
Melihat
suasana kikuk itu, Raja Banjar berdiri dari tempat duduknya. “Pamanda
Tumenggung dan pemuka adat yang saya hormati... Saya mohon maaf bila kehadiran
kami menimbulkan perselisihan di antara kalian.”
“Oh,
tidak, paduka,” sahut Datu Ning Karang Bainsang. “Duduklah kembali.
Perbedaan pendapat tidak dilarang di Kerajaan Pulau Halimun ini. Seluruh
keputusan dan peraturan memang harus melalui pembahasan di persidangan.”
“Kami
merasa tidak enak...”
“Jangan
sungkan, paduka,” Datu Ning Kurung meyakinkan, yang lain
mengangguk-angguk mengiyakan.
“Cara
mengatasi perbedaan pendapat yang seperti itu juga diajarkan dalam Islam.
Malahan, perbedaan dianggap sebagai rahmat. Tak ada paksaan dalam Islam.”
“Kami
makin tertarik, paduka,” sahut Datu Ning Karang Kintang. “Apa saja
syarat bagi pemeluknya?”
Dengan
lancar, Raja Banjar menjelaskan asal usul, riwayat, sejarah dan syarat yang
diwajibkan bagi umat Islam, termasuk tata cara beribadah dan sebagainya. Tanpa
sadar, Raja Banjar telah dikerumuni tokoh-tokoh dan pimpinan Kerajaan Pulau
Halimun yang tertarik dengan pemaparannya. Waktu berlalu tanpa terasa.
Pemaparan itu disela rehat, saat Raja Banjar mendirikan salat zuhur, ashar,
magrib dan isya.
Ketika Raja Banjar salat, para tokoh dan pemimpin Kerajaan Pulau Halimun
memerhatikan dengan saksama.
Setelah
makan malam bersama, Raja Banjar menyampaikan niatnya untuk pamit dan kembali
ke perahu. Namun, Tumenggung Datu Belang Ilat menahannya.
“Nanti dulu, paduka. Sebagai hiburan, kami akan menampilkan musik gamelan...”
Gamelan!
Suara
gamelan dari istana Kerajaan Pulau Halimun inilah yang telah menghebohkan
banyak nakhoda, nelayan dan pelaut itu!
Sepanjang
malam, Raja Banjar dan panglimanya menyaksikan pertunjukan gamelan dan tembang
dari para nayaga istana Kerajaan Pulau Halimun.
Di
perahu, nakhoda dan para prajurit pun mendengarnya. Bunyi tabuhan dan lantunan
tembang mengalun seirama gelombang lautan, seiring dengan kabut dan halimun
yang turun perlahan.
Keesokan
harinya, sebelum melepas kepergian Raja Banjar dan Panglima Perang, Tumenggung Datu
Belang Ilat menyampaikan keinginan rakyat Kerajaan Pulau Halimun memeluk Islam.
“Sebelum
menyerahkan Kerajaan Pulau Halimun dalam kewenangan Kerajaan Banjar, ada tujuh
syarat yang harus diingat, paduka,” kata Tumenggung Datu Belang Ilat,
“Dan paduka harus bersumpah untuk menaatinya.”
“Aku
bersumpah. Insya Allah...”
“Pertama, paduka berwenang memerintah rakyat kami, tapi harus dengan adil dan
bijaksana. Kedua, kepada pelanggar aturan dan perundang-undangan berilah
hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Ketiga, paduka harus memperlakukan
rakyat kami seperti paduka memperlakukan keluarga sendiri. Seumpama paduka
duduk di kursi, rakyat juga harus duduk di kursi; walaupun tidak sebaik kursi
paduka.
“Keempat, paduka tak boleh menghukum rakyat yang tidak bersalah. Kelima, paduka
harus baik dan jujur. Rakyat harus mendapat keadilan dan perlindungan atas hak
milik, hak atas pekerjaan dan ketenangan dalam menjalankan adat dan budaya dan
kepercayaannya masing-masing.
“Keenam,
paduka tak boleh merusak, merampas atau membawa harta kekayaan milik rakyat
Kerajaan Pulau Halimun untuk kepentingan pribadi, apalagi membawanya ke luar
pulau ini. Ketujuh, paduka tak boleh
sewenang-wenang. “Bila
paduka melanggar sumpah ini, kami akan mengutuk paduka menjadi manusia hina dan
nista, dirundung penyakit dan bencana yang tak ada habisnya....” ***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar