Rabu, 16 Januari 2019

Naga Partala di Goa Temuluang

Kamis, 17 Januari 2019

            Sudah beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma warisan orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak belukar, tapi ia enggan membersihkannya.
            Setiap pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk mencangkung,  tercenung di pintu pondoknya. Matanya memandang hampa. Tak ada semangat untuk bekerja. Seolah apa pun yang dikerjakannya, akan sia-sia. Lengkingan monyet-monyet yang bergelantungan, berkelahi dan berkejar-kejaran di pepohonan, tidak menarik perhatiannya.
            Beberapa hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong lehernya, dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga Partala. Itu adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan masyarakat Dusun Bangkalaan Dayak.
            Setiap tahun, seorang perawan akan dibawa ke Goa Temuluang, goa keramat yang menyimpan cahaya dewa. Ketua adat akan memotong leher korban dengan mandau. Setelah putus, tubuh dan kepala itu dilemparkan ke dalam goa. Dan cahaya dewa terus akan menyala.
            Konon, cahaya itu berasal dari mata dewa yang dijaga Datu Naga Partala. Cahaya itu tanda persembahan telah diterima, dan selama setahun masyarakat dusun akan terhindar dari segala marabahaya.
            “Aku ikhlas dipilih sebagai korban, tapi bagaimana dengan kakanda?” tanya gadis itu dengan suara pilu. Wajahnya sendu.
            Seusai musyawarah adat itu, malam harinya Buntar menyelinap ke bilik Mantir, kekasihnya. Tangga depan dan belakang rumah panggung yang dihuni ketua adat dan seluruh warga Dusun Bangkalaan Dayak itu dijaga beberapa pemuda.           Dengan mengendap-endap, Buntar masuk ke kolong rumah panggung.
            Di bawah kolong yang gelap itu tersimpan padi dan alat-alat pertanian, juga kandang ternak. Sambil membunyikan suara burung malam yang telah disepakati sebagai isyarat, Buntar menunggu di bawah kolong, dekat kandang babi. Mantir membuka lantai bambu di biliknya, dan Buntar segera naik ke atas.
            Dalam remang cahaya pelita, mereka berbisik-bisik.
            “Aku tak rela kau dikorbankan,” kata Buntar. “Aku akan mencari jalan. Aku akan membebaskanmu.”
            “Ini sudah takdirku. Sudah adat kita turun temurun, sejak nenek moyang kita. Kita tak  bisa menolaknya. Kalau tidak dilaksanakan, kita akan mendapat kutukan!”
            “Ssst...! Tenanglah. Percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Seandainya gagal juga, lebih baik kita mati bersama....” Dalam keremangan, Buntar menatap Mantir, menanamkan kepercayaan pada diri kekasihnya itu. Itu adalah tatapan mata yang sama, seperti saat pertama kali mereka bertemu, di malam pesta muda-mudi, sehabis musim panen lalu.
            Seekor monyet yang jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah, membuyarkan lamunan Buntar. Perkelahian di antara kawanan monyet itu telah menelan korban. Tampaknya, yang kalah adalah seekor induk. Kepala dan lengannya berdarah, tapi ia tetap mendekap bayinya di dada. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri, berupaya memanjat batang pohon lagi. Tapi, ia limbung dan jatuh.
            Monyet itu menyeringai, menjerit dan mencakar-cakar ketika Buntar hendak menolongnya. Karena lukanya cukup parah, akhirnya ia menyerah dan membiarkan Buntar menangkapnya.
            Saat itulah Buntar mendapat gagasan.
            Sambil membersihkan luka di tubuh monyet itu dengan tumbuhan obat, ia terus berpikir. Sepulang dari rantau, ia melihat banyak hal tetap tidak berubah dari dusun kelahirannya.
            Letaknya yang terpencil di pedalaman dan sukar dicapai, membuatnya selalu tertinggal. Dusun Bangkalaan Dayak tidak banyak berubah. Segalanya  masih sama seperti saat ditinggalkannya dahulu, sepuluh tahun lalu.
            Saat berusia dua belas tahun, pamannya yang tinggal di negeri seberang mengajaknya pergi. Dengan berat hati, kedua orangtuanya mengizinkan.
            Musim panen lalu, ia kembali setelah kedua orangtuanya dikabarkan diserang penyakit aneh yang mewabah di dusun itu. Sebelum itu, adiknya telah lebih dahulu meninggal. Sebulan setelah ia datang,  kedua orangtuanya pun berpulang.
            Dari pengetahuan yang didapatnya di rantau, ia tahu penyakit itu disebabkan gigitan nyamuk. Itulah yang dikatakannya kepada warga. Tapi, ketua adat dan warga menyangkalnya. Mereka mengatakan, itu akibat kutukan, karena masyarakat lalai  mempersembahkan korban.
            Buntar tersenyum. Ia punya rencana. Ia tahu, mustahil mengubah adat istiadat yang dianut masyarakat dalam waktu singkat. Ia harus menyusun siasat.
            Setelah melepaskan monyet yang terluka itu, Buntar naik ke pondok mengambil sumpit, mandau dan keranjang perbekalan. Semangat baru terpancar dari senyum di wajahnya. Ia menuruni anak tangga pondok dengan langkah pasti, menapaki lereng bukit dengan gesit.
            Tengah hari ia tiba di goa yang dikeramatkan itu.
            Di muara goa itu mengalir sungai yang panjangnya sekitar lima kilometer, dengan sebuah pulau kecil di atasnya. Goa itu memiliki dua pintu masuk. Di atasnya, batu-batu stalaktit menjulur, seperti jeruji, berwarna-warni.
            Ketika kecil, Buntar bersama beberapa kawannya pernah mengintip upacara persembahan korban itu. Upacara itu terlarang bagi anak-anak, tapi mereka nekat. Dikelilingi para tetua adat yang duduk merapal mantra, ketua adat menari-nari. Seorang perawan meringkuk dengan tangan dan kaki terikat.
            Setelah kerasukan roh leluhur, dengan sampan yang dikayuh beberapa pemuda, ketua adat berdiri di mulut goa, meracau dalam bahasa dewa-dewa. Di sampan lain, tetua adat menggotong tubuh perawan yang akan dikorbankan.
            Ketua adat mengacungkan mandau ke angkasa. Detik berikutnya, kilatan  mandau melayang di udara, dan kepala korban sudah terpisah dari badannya. Saat detik itu berlangsung, Buntar memalingkan wajahnya.
            Dengan rasa penasaran, Buntar menaiki sampan kecil yang tertambat di tepi sungai dan mendayungnya ke mulut goa. Dinding goa itu licin sekali. Lebarnya sekitar lima belas meter, dengan tinggi sepuluh meter. Dindingnya percampuran antara batu ampar, batu granit dan batu kapur berwarna merah tembaga, kuning dan putih. 
            Buntar memberanikan diri masuk lebih dalam. Ia terperanjat saat ribuan kelelawar beterbangan ke arahnya, menuju mulut goa. Mungkin terkejut dengan kehadirannya.
            Beberapa meter di dalam goa, ia terpana. Seberkas cahaya menyilaukan datang dari atas goa. Dalam kegelapan, cahaya itu terang sekali, menyorot ke dinding goa dan memantul laksana cermin. Di kejauhan, cahayanya merah menyala, bagai mata seekor naga raksasa!
            Siang hari, sebelum upacara, Mantir menangis.
            Air mata membasahi pipinya. Hatinya kian sedih, sebab sudah beberapa hari Buntar tak tampak. Setelah pertemuan mereka yang terakhir, Buntar menghilang.
            Di kamar, tetua adat perempuan membedaki wajah Mantir. Menghiasinya dan mengenakan pakaian adat, seakan ia pengantin yang akan dipersandingkan. Di ruangan tengah rumah panggung itu, masyarakat dan tetua adat berkumpul, selamatan tolak bala. Mereka memohon kepada dewa-dewa agar upacara berjalan tanpa rintangan.
            Setelah semuanya siap, ketua adat memimpin warga berangkat ke tempat upacara. Melalui jalan setapak di hutan dan menyusuri pinggir sungai, iring-iringan itu tiba di depan Goa Temuluang. Tubuh Mantir yang lemah lunglai diturunkan dari usungan.
            Ketika beberapa pemuda tengah menyiapkan sampan untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara:
            “Hai, manusia... Aku ingin persembahan korban untukku diganti....”
            Orang-orang terkejut dan menoleh ke asal suara, di mulut goa. Suara itu berat dan seram sekali. Menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri.
            “Siapa itu?” ketua adat memberanikan diri bertanya sambil menghunus tombaknya. Waspada. Diikuti para pemuda.
            “Aku Datu Naga Partala. Penunggu goa. Penerima persembahan dari kalian. Aku bosan darah perawan! Aku ingin darah hewan...!”
            “Darah hewan?” tanya pemuka adat, menghalangi ketua adat dan beberapa pemuda yang dengan tombak di tangan bermaksud menaiki sampan menuju goa.
            “Ya! Sajikan darah ayam, kambing dan kerbau, sebagai ganti darah perawan. Sajikan seperti selama ini. Masak dagingnya untuk pesta warga! Bagi yang tidak mematuhinya, akan kukutuk dan kuturunkan bala...!”
            Bersamaan dengan itu, ribuan ekor kelelawar tiba-tiba beterbangan, berhamburan keluar dari sarangnya di dalam goa. Suaranya memekakkan telinga. Mereka memenuhi angkasa. Langit menjadi gelap gulita. Orang-orang panik dan ketakutan, tunggang langgang berlarian.          
            Setelah semua orang pergi, Buntar keluar dari dalam goa sambil tersenyum. Tangannya memainkan ketapel. Benda kecil itulah yang tadi membangunkan ribuan kelelawar dari tidurnya. Dari liang lain di atas goa, ia ketapel sarang mereka. Hewan-hewan malam itu pun terkejut dan terbang berhamburan, seakan kesetanan.
            Ia yakin, usahanya mengubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di dusunnya lambat laun akan berhasil. Sambil melangkah pulang, ia membayangkan senyum manis Mantir.***    

TENTANG PENYUSUN CERITA RAKYAT KOTABARU

M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru (1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru (2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru (2006).

M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.

Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Rusdiansyah (Kelas VIII MTsN 3 HSS)

 Sabtu, 23 November 2024 Dengan Rusdiansyah, atau biasa disapa Iyan, siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selata...