Sudah
beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma warisan
orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak belukar, tapi
ia enggan membersihkannya.
Setiap
pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk mencangkung,
tercenung di pintu pondoknya. Matanya memandang hampa. Tak ada semangat untuk
bekerja. Seolah apa pun yang dikerjakannya, akan sia-sia. Lengkingan
monyet-monyet yang bergelantungan, berkelahi dan berkejar-kejaran di pepohonan,
tidak menarik perhatiannya.
Beberapa
hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong lehernya,
dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga Partala. Itu
adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan masyarakat
Dusun Bangkalaan Dayak.
Setiap
tahun, seorang perawan akan dibawa ke Goa Temuluang, goa keramat yang menyimpan
cahaya dewa. Ketua adat akan memotong leher korban dengan mandau.
Setelah putus, tubuh dan kepala itu dilemparkan ke dalam goa. Dan cahaya dewa
terus akan menyala.
Konon,
cahaya itu berasal dari mata dewa yang dijaga Datu Naga Partala. Cahaya
itu tanda persembahan telah diterima, dan selama setahun masyarakat dusun akan
terhindar dari segala marabahaya.
“Aku
ikhlas dipilih sebagai korban, tapi bagaimana dengan kakanda?” tanya gadis itu
dengan suara pilu. Wajahnya sendu.
Seusai
musyawarah adat itu, malam harinya Buntar menyelinap ke bilik Mantir,
kekasihnya. Tangga depan dan belakang rumah panggung yang dihuni ketua adat dan
seluruh warga Dusun Bangkalaan Dayak itu dijaga beberapa pemuda.
Dengan mengendap-endap,
Buntar masuk ke kolong rumah panggung.
Di bawah
kolong yang gelap itu tersimpan padi dan alat-alat pertanian, juga kandang
ternak. Sambil membunyikan suara burung malam yang telah disepakati sebagai
isyarat, Buntar menunggu di bawah kolong, dekat kandang babi. Mantir membuka
lantai bambu di biliknya, dan Buntar segera naik ke atas.
Dalam
remang cahaya pelita, mereka berbisik-bisik.
“Aku tak
rela kau dikorbankan,” kata Buntar. “Aku akan mencari jalan. Aku akan
membebaskanmu.”
“Ini
sudah takdirku. Sudah adat kita turun temurun, sejak nenek moyang kita. Kita
tak bisa menolaknya. Kalau tidak dilaksanakan, kita akan mendapat
kutukan!”
“Ssst...!
Tenanglah. Percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Seandainya
gagal juga, lebih baik kita mati bersama....” Dalam keremangan, Buntar menatap
Mantir, menanamkan kepercayaan pada diri kekasihnya itu. Itu adalah tatapan
mata yang sama, seperti saat pertama kali mereka bertemu, di malam pesta
muda-mudi, sehabis musim panen lalu.
Seekor
monyet yang jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah, membuyarkan lamunan Buntar.
Perkelahian di antara kawanan monyet itu telah menelan korban. Tampaknya, yang
kalah adalah seekor induk. Kepala dan lengannya berdarah, tapi ia tetap
mendekap bayinya di dada. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri, berupaya
memanjat batang pohon lagi. Tapi, ia limbung dan jatuh.
Monyet
itu menyeringai, menjerit dan mencakar-cakar ketika Buntar hendak menolongnya.
Karena lukanya cukup parah, akhirnya ia menyerah dan membiarkan Buntar
menangkapnya.
Saat
itulah Buntar mendapat gagasan.
Sambil
membersihkan luka di tubuh monyet itu dengan tumbuhan obat, ia terus berpikir.
Sepulang dari rantau, ia melihat banyak hal tetap tidak berubah dari dusun
kelahirannya.
Letaknya
yang terpencil di pedalaman dan sukar dicapai, membuatnya selalu tertinggal.
Dusun Bangkalaan Dayak tidak banyak berubah. Segalanya masih sama seperti
saat ditinggalkannya dahulu, sepuluh tahun lalu.
Saat
berusia dua belas tahun, pamannya yang tinggal di negeri seberang mengajaknya
pergi. Dengan berat hati, kedua orangtuanya mengizinkan.
Musim
panen lalu, ia kembali setelah kedua orangtuanya dikabarkan diserang penyakit
aneh yang mewabah di dusun itu. Sebelum itu, adiknya telah lebih dahulu
meninggal. Sebulan setelah ia datang, kedua orangtuanya pun berpulang.
Dari
pengetahuan yang didapatnya di rantau, ia tahu penyakit itu disebabkan gigitan
nyamuk. Itulah yang dikatakannya kepada warga. Tapi, ketua adat dan warga
menyangkalnya. Mereka mengatakan, itu akibat kutukan, karena masyarakat
lalai mempersembahkan korban.
Buntar
tersenyum. Ia punya rencana. Ia tahu, mustahil mengubah adat istiadat yang
dianut masyarakat dalam waktu singkat. Ia harus menyusun siasat.
Setelah
melepaskan monyet yang terluka itu, Buntar naik ke pondok mengambil sumpit, mandau
dan keranjang perbekalan. Semangat baru terpancar dari senyum di wajahnya. Ia
menuruni anak tangga pondok dengan langkah pasti, menapaki lereng bukit dengan
gesit.
Tengah
hari ia tiba di goa yang dikeramatkan itu.
Di muara
goa itu mengalir sungai yang panjangnya sekitar lima kilometer, dengan sebuah
pulau kecil di atasnya. Goa itu memiliki dua pintu masuk. Di atasnya, batu-batu
stalaktit menjulur, seperti jeruji, berwarna-warni.
Ketika
kecil, Buntar bersama beberapa kawannya pernah mengintip upacara persembahan
korban itu. Upacara itu terlarang bagi anak-anak, tapi mereka nekat.
Dikelilingi para tetua adat yang duduk merapal mantra, ketua adat menari-nari.
Seorang perawan meringkuk dengan tangan dan kaki terikat.
Setelah
kerasukan roh leluhur, dengan sampan yang dikayuh beberapa pemuda, ketua adat
berdiri di mulut goa, meracau dalam bahasa dewa-dewa. Di sampan lain, tetua
adat menggotong tubuh perawan yang akan dikorbankan.
Ketua
adat mengacungkan mandau ke angkasa. Detik berikutnya, kilatan mandau
melayang di udara, dan kepala korban sudah terpisah dari badannya. Saat detik
itu berlangsung, Buntar memalingkan wajahnya.
Dengan
rasa penasaran, Buntar menaiki sampan kecil yang tertambat di tepi sungai dan
mendayungnya ke mulut goa. Dinding goa itu licin sekali. Lebarnya sekitar lima
belas meter, dengan tinggi sepuluh meter. Dindingnya percampuran antara batu
ampar, batu granit dan batu kapur berwarna merah tembaga, kuning dan
putih.
Buntar
memberanikan diri masuk lebih dalam. Ia terperanjat saat ribuan kelelawar
beterbangan ke arahnya, menuju mulut goa. Mungkin terkejut dengan kehadirannya.
Beberapa
meter di dalam goa, ia terpana. Seberkas cahaya menyilaukan datang dari atas
goa. Dalam kegelapan, cahaya itu terang sekali, menyorot ke dinding goa dan
memantul laksana cermin. Di kejauhan, cahayanya merah menyala, bagai mata
seekor naga raksasa!
Siang
hari, sebelum upacara, Mantir menangis.
Air mata
membasahi pipinya. Hatinya kian sedih, sebab sudah beberapa hari Buntar tak
tampak. Setelah pertemuan mereka yang terakhir, Buntar menghilang.
Di
kamar, tetua adat perempuan membedaki wajah Mantir. Menghiasinya dan mengenakan
pakaian adat, seakan ia pengantin yang akan dipersandingkan. Di ruangan tengah
rumah panggung itu, masyarakat dan tetua adat berkumpul, selamatan tolak bala.
Mereka memohon kepada dewa-dewa agar upacara berjalan tanpa rintangan.
Setelah
semuanya siap, ketua adat memimpin warga berangkat ke tempat upacara. Melalui
jalan setapak di hutan dan menyusuri pinggir sungai, iring-iringan itu tiba di
depan Goa Temuluang. Tubuh Mantir yang lemah lunglai diturunkan dari usungan.
Ketika
beberapa pemuda tengah menyiapkan sampan untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar
suara:
“Hai,
manusia... Aku ingin persembahan korban untukku diganti....”
Orang-orang terkejut dan menoleh ke asal suara, di mulut goa. Suara itu berat
dan seram sekali. Menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri.
“Siapa
itu?” ketua adat memberanikan diri bertanya sambil menghunus tombaknya.
Waspada. Diikuti para pemuda.
“Aku Datu
Naga Partala. Penunggu goa. Penerima persembahan dari kalian. Aku bosan darah
perawan! Aku ingin darah hewan...!”
“Darah
hewan?” tanya pemuka adat, menghalangi ketua adat dan beberapa pemuda yang
dengan tombak di tangan bermaksud menaiki sampan menuju goa.
“Ya!
Sajikan darah ayam, kambing dan kerbau, sebagai ganti darah perawan. Sajikan
seperti selama ini. Masak dagingnya untuk pesta warga! Bagi yang tidak
mematuhinya, akan kukutuk dan kuturunkan bala...!”
Bersamaan dengan itu, ribuan ekor kelelawar tiba-tiba beterbangan, berhamburan
keluar dari sarangnya di dalam goa. Suaranya memekakkan telinga. Mereka
memenuhi angkasa. Langit menjadi gelap gulita. Orang-orang panik dan ketakutan,
tunggang langgang berlarian.
Setelah
semua orang pergi, Buntar keluar dari dalam goa sambil tersenyum. Tangannya
memainkan ketapel. Benda kecil itulah yang tadi membangunkan ribuan kelelawar
dari tidurnya. Dari liang lain di atas goa, ia ketapel sarang mereka. Hewan-hewan
malam itu pun terkejut dan terbang berhamburan, seakan kesetanan.
Ia
yakin, usahanya mengubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di dusunnya
lambat laun akan berhasil. Sambil melangkah pulang, ia membayangkan senyum
manis Mantir.***
TENTANG PENYUSUN
CERITA RAKYAT KOTABARU
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar