Setelah bekerja keras semalam suntuk, Datu Mabrur melepas lelah sejenak
di lepas pantai Kerajaan Pagatan. Matahari pagi telah terbit di ufuk timur,
menyinari lautan dan pasir pantai tempat Datu Mabrur duduk mengaso.
Dalam satu malam, ia telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan empat puluh
satu batang pohon kayu ulin ke Kerajaan Banjar.
Beberapa hari lalu, Patih Balit dari Kerajaan Banjar datang menemuinya. Utusan
yang dikawal sejumlah prajurit itu menyampaikan amanat sultan mereka. Sultan
Suriansyah ingin membeli batang pohon kayu ulin.
Kata Patih Balit, Sultan Suriansyah ingin agar batang-batang pohon kayu ulin
itu dikirimkan ke Kerajaan Banjar dalam tempo tiga hari.
Batang-batang kayu besi itu akan digunakan sebagai tiang guru untuk membangun
masjid, tempat ibadah bagi rakyat Kerajaan Banjar yang baru memeluk agama
Islam, di Muara Kuin.
Karena batang pohon kayu ulin yang terbaik di dunia berasal dari Pulau
Halimun, Sultan Suriansyah sanggup membelinya, berapa pun harganya.
Patih Balit memperlihatkan pundi-pundi berisi intan, berlian, jamrut, yakut,
nilam biduri dan emas murni yang mereka bawa, sebagai alat pembayarannya.
Melihat itu, Datu Mabrur cuma tersenyum. Ia meminta utusan itu
menyimpan kembali harta bendanya dan menyanggupi permintaan Sultan Suriansyah.
Tanpa syarat apapun. Itu dilakukannya semata-mata sebagai sahabat.
Datu Mabrur meminta utusan itu segera pulang dan menunggu. Ia berjanji
akan mengantarkan sendiri batang-batang pohon kayu ulin itu.
Setelah utusan itu pulang dan matahari terbenam di ufuk barat, seorang diri Datu
Mabrur mencabut batang-batang pohon ulin yang sudah tua di hutan. Setelah
itu, ia langsung menggotong dan mengantarkannya ke Kerajaan Banjar.
Setiap kali, ia menggotong tiga batang. Batang pohon yang besarnya
rata-rata sepelukan orang dewasa dan panjang sembilan meter itu, dua
diletakkannya di bahu, satu di kepala. Dengan kesaktiannya, Datu Mabrur
melesat secepat kilat ke Kerajaan Banjar. Hal itu dikerjakannya berulang kali,
hingga empat puluh satu batang pohon kayu ulin itu selesai diantarkannya
sebelum terbit fajar.
Namun, setiap kali pulang dari Kerajaan Banjar dan
kembali ke Pulau Halimun, selalu ada pemandangan yang membuatnya tidak enak.
Itulah yang kini membebani pikirannya.
Sambil
berdiri di pasir pantai Kerajaan Pagatan, ia memandangi Pulau Halimun. Di
kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang kurang. Di sebelah utara, Gunung Sebatung
tampak berdiri kokoh. Tetapi, di sebelah selatan tidak ada gunung yang
menjulang. Pemandangan yang tidak seimbang.
Datu
Mabrur teringat Datu Pujung.
Datu
Mabrur ingin merundingkan masalah itu dengan Datu Pujung, yang tengah
bersamadi di goa pertapaannya di Pulau Halimun.
Dengan
kesaktiannya, mereka melakukan pembicaraan jarak jauh.
Duduk
bersila di atas ombak laut di tepian pantai, Datu Mabrur bersamadi.
Dalam samadinya, ia menyampaikan pemandangan yang dilihatnya dari tempat itu
dan meminta pendapat Datu Pujung.
“Aku pun
sudah lama melihatnya!” sahut Datu Pujung dalam samadinya. “Di Pulau
Halimun ini tidak ada gunung yang tinggi! Padahal itu penting sekali! Sebagai
rambu bagi nelayan dan petunjuk dalam pelayaran!”
“Lalu,
apa yang sebaiknya kita lakukan?” Datu Mabrur sebenarnya ingin
mengusulkan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia tahu, tidak ada yang dapat memerintah Datu
Pujung. Tidak ada yang berani menguji kesaktiannya. Orang yang kulitnya sehitam
jelaga dan buruk rupa itu sulit ditebak. Kalau bicara, suaranya sekeras
halilintar, meledak-ledak. Datu Pujung mudah tersinggung.
“Kau
punya usul, Mabrur?!”
“Ya...” Datu
Mabrur gembira, tak menduga Datu Pujung meminta sarannya.
“Apa
usulmu, heh?!”
“Bagaimana kalau kita mencari satu gunung lagi, dan meletakkannya di sana, di
sebelah selatan?”
“Di mana
mencarinya?! Siapa yang mengerjakannya?! Apakah kita kerjakan bersama-sama?!”
“Siapa
lagi yang sanggup mengerjakannya selain Datu Pujung? Aku akan menunggu
di pantai Pulau Halimun. Bagi datu, mudah saja mencari gunung berapi
yang sudah mati di Jawadwipa, lalu mengangkutnya. Bagaimana?”
“Tunggu
aku di Pulau Halimun! Sebelum bintang pertama terbit malam ini, aku akan
kembali!”
“Baiklah,” sahut Datu Mabrur.
Tanpa
bicara lagi, Datu Pujung mengambil galah saktinya. Galah itu panjang
sekali. Ujungnya menggapai awan. Dengan galah itu, Datu Pujung melompat
dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari sungai ke laut, dari laut ke
samudera, dari satu pulau ke pulau lainnya.
Sebelum
matahari terbenam, Datu Mabrur sudah kembali berada di Pulau Halimun.
Sekilas, dalam cahaya jingga matahari senja, ia melihat bayangan Datu
Pujung berkelebat di kejauhan. Ayunan ujung galahnya menjolok angkasa.
Menghamburkan awan, menjadi hujan. Janggut dan jubahnya berkibaran.
Di
pantai Pulau Halimun, sebelum bintang malam terbit, Datu Mabrur
mendengar desir angin dan suara ombak yang aneh. Seakan topan dan badai akan
menjelma prahara. Tetapi, tidak. Ternyata, suara itu berasal dari riak dan
kecipak ombak yang timbul dari langkah Datu Pujung yang datang memanggul
gunung!
Di atas
riak ombak lautan, Datu Pujung berjalan sambil memanggul sebuah gunung
yang tinggi dan besar sekali. Gunung itu diikatkan di ujung galahnya. Ia letih
sekali, tapi tak mau ditampakkannya. Saat berhadapan dengan Datu Mabrur,
ia berusaha keras tersenyum.
Karena
wajahnya jelek sekali, yang tampak bukannya senyum yang sedap dipandang,
tapi seringai yang aneh dan menyeramkan.
“Engkau
benar-benar hebat!” sambut Datu Mabrur. “Engkau telah menepati janji.
Engkau kembali, sebelum bintang terbit malam ini. Istirahatlah dahulu, datu.”
Datu
Pujung tidak mempedulikan sambutan dan pujian Datu Mabrur.
Diempaskannya galah saktinya dengan serampangan. Empasan itu membuat gunung di
ujung galahnya jatuh berdebur di tengah lautan.
Gelombang pasang yang terjadi akibat jatuhnya gunung itu menenggelamkan
pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halimun. Air laut yang membuncah ke udara
dan jatuh berderai membuat Pulau Halimun sesaat bagai dilanda hujan badai.
“Aku
masih kuat, tidak perlu istirahat! Kita segera bekerja!” kata Datu
Pujung sambil menggerak-gerakkan otot leher dan bahunya yang pegal-pegal.
“Bagaimana caranya, datu?”
“Dengan
galahku, kita panggul gunung ini berdua! Aku di ujung sini, engkau di ujung
sana! Gunungnya kita ikat di tengah!”
“Baiklah,” sahut Datu Mabrur.
Keduanya
berjalan di atas air laut dan mengikatkan gunung itu di tengah galah. Setelah
terikat, mereka memanggulnya. Datu Pujung di depan, Datu Mabrur
di belakang. Dalam temaram cahaya bintang, tubuh keduanya membesar, seakan
raksasa, hampir sebesar gunung yang mereka panggul.
Ketika
keduanya tengah berada di sebelah barat Pulau Halimun, tiba-tiba tali pengikat
gunung itu putus. Gunung itu jatuh berdebum. Melesak ke bumi. Tanah, debu,
pasir, batu, ranting, daun-daun dan pepohonan beterbangan ke udara. Sesaat,
langit menjadi gelap gulita.
Datu
Pujung langsung melesat menemui Datu Mabrur. “Aduh, kenapa bisa
begini?!” katanya dengan wajah cemberut. Kesal dan marah.
“Tenanglah, datu. Kita istirahat dulu....” Datu Mabrur berusaha
menyabarkan.
“Engkau
tunggu saja di sini! Aku akan mencari tali! Aku akan minta bantuan
siluman-siluman di Pulau Sembilan, Pulau Kerayaan dan Kerajaan Pagatan! Kita
harus menyelesaikannya malam ini juga! Tidak bisa ditunda!”
Tanpa
menunggu jawaban lagi, Datu Pujung melesat dengan galahnya.
Datu
Mabrur tercenung. Bintang-bintang terbit dan bertaburan di langit, ditemani
bulan sabit. Ia mengamati gunung itu dari segala sudut. Dari sisi timur, barat,
utara dan selatan. Didakinya gunung itu dan dengan cermat mengukur
ketinggiannya.
Saat
itulah Datu Mabrur melihat: puncak gunung itu sudah tidak ada lagi.
Rompal. Robek. Bagian yang rompal itu persis di bekas tempat tali pengikat.
Rupanya, ketika putus, talinya langsung memapas puncak gunung. Kalau dilihat
dari kejauhan, bentuknya seperti jambangan bunga.
“Datu
Mabrur! Gunung ini tidak usah dipindahkan lagi! Kita biarkan saja di sini!”
Tiba-tiba, entah lewat mana, Datu Pujung sudah ada lagi di samping Datu
Mabrur.
“Mengapa? Bukankah kita akan meletakkannya di sebelah selatan?”
“Aku
sudah memandangnya dari segala sudut, dari luar Pulau Halimun! Dari pantai
Kerajaan Pagatan, Pulau Kerayaan dan Pulau Sembilan! Letak gunung ini sudah
tepat, meskipun berada di sebelah barat!”
“Kalau
begitu, baiklah.”
“Jangan
hanya ‘baiklah’, ‘baiklah’! Engkau setuju, tidak?! Jangan sampai terpaksa!
Kalau memang tidak setuju, bilang saja!”
“Aku setuju
sekali. Sekarang, izinkan aku yang memberi nama gunung ini.”
“Pilih
yang sesuai dengan bentuknya! Apa namanya?!”
“Gunung
Jambangan.”
TENTANG PENYUSUN
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat,
Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik
Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang terkenal, Halin.
Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak anak-anak menekuni seni
musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon dan biola. Ia juga
menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main teater. Pimpinan Orkes Melayu
Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira
(1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD Kotabaru (1995-sekarang). Menerima
Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997), Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud
Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel (2005). Sering diminta sebagai
juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten Kotabaru dan di provinsi Kalimantan
Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Menulis
puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan di Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar
Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal maupun
bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga B.Post
’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah Kota
(2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di Batas
Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006), semuanya
terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi kesenian,
kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88, ketua
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua Dewan
Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan 1998-2004)
dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Sempat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah Seni
Gubernur Kalsel (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar