Kamis, 12 September 2019

Menengok Lebih Dekat Sejarah Kampung Longawang

Jumat, 13 September 2019



Longawang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan. Asal mula nama Longawang tidak banyak di ketahui, namum diduga dari istilah campuran bahasa Belanda dan lokal yang berarti kampung yang panjang.



Tidak diketahui secara pasti tahun berapa mulai berdirinya, namun Desa Longawang merupakan salah satu desa tertua di kawasan Kecamatan Telaga Langsat dan Kecamatan Angkinang. Sebelum dimekarkan, sekitar tahun 1970-an, Longawang terdiri dari empat dusun yakni : Longawang, Pandulangan, Tambirahun dan Gumbil dengan lokasi pemukiman antar dusun masih terpisah secara berkelompok.



Longawang waktu itu dihubungkan dengan daerah luar melalui sungai. Transportasi sungai merupakan transportasi utama masyarakat berupa jukung. Sungai utama yang membentang yaitu mulai Sungai Telaga Pacat disambung dengan Sungai Panguruh, Sungai Tabat Timbuk, Sungai Pangambau dan terus ke arah rawa tembus ke Nagara.



Kondisi tofografi landai dengan tanah alluvial yang subur. Sehingga masyarakat setempat mengandalkan mata pencariannya pada sektor pertanian dan mencari ikan. Pada masa pendudukan Belanda, Longawang merupakan salah satu pusat perkebunan karet di Kalimantan Selatan dengan kehidupan masyarakat yang makmur.



Menurut para tutuha kampung masa kejayaan desa tersebut terjadi pada zaman pendudukan Belanda. Pemerintah Belanda melakukan pembinaan petani karet dengan bibit yang didatangkan langsung dari Malaysia dan Sumatera. Bahkan Belanda memberikan insentif tahunan kepada masyarakat yang memiliki luasan kebun melebihi satu hektare berupa gula dan uang.



Longawang pada saat itu memiliki pasar terbesar di sekitarnya. Karena menjadi pusat bisnis di daerahnya sehingga di desa itu di temukan orang-orang luar yang ikut berbisnis seperti dari Cina dan Arab. Kondisi rumah tertata rapi dengan bentuk standar berupa rumah Banjar yang terbuat dari kayu ulin.



Namun setelah pendudukan Jepang di tahun 1940-an kondisinya berubah total. Longawang menjadi daerah yang miskin, dimana hasil karet sudah tidak bisa menjadi andalan ekonomi masyarakatnya. Mereka harus menebang semua kebun karet untuk ditanami tanaman kebutuhan pokok seperti ubi kayu, jagung dan padi.



Kondisi Longawang makin diperparah pada saat terjadi masa Pemberontakan Ibnu Hajar, dimana desa tersebut masuk ke dalam daerah operasi militer sehingga masyarakat tidak bisa lagi berusaha dengan tenang dan harus mengosongkan kampung ketika malam hari dengan mengungsi ke wilayah yang lebih aman, yakni di Angkinang, karena di sana ada pos penjagaan tentara dan polisi pada masa itu.



Pada tahun 1960-an para pemberontak membakar desa tersebut sebagai balas dendam atas penangkapan banyak anggota pemberontak oleh tentara. Kebakaran menghabiskan pasar induk dan menjalar hampir seluruh perumahan di desa tersebut.



Kondisi ini mengakibatkan peninggalan kejayaan kampung ini berupa rumah-rumah Banjar yang mewah sudah tidak ditemukan. Terakhir pada tahun 1980-an masih di jumpai ada enam buah rumah adat Banjar asli yang tersisa namun pada saat ini semua sudah dimodifikasi menjadi rumah semi modern.



Hampir di pelosok Desa Longawang akan ditemui dengan mudah warung teh. Warung teh merupakan pusat bertukar informasi masyarakat desa dari seluruh lapisan usia. Warung teh buka sejak pukul 04.00 WITA untuk melayani masyarakat yang ingin ke kota, menjual hasil pertanian (istilah setempat labuh), aktivitas terpadat dimulai sejak masyarakat keluar dari Mushala / Masjid setelah shalat Subuh.



Hampir 80% masyarakat memanfaatkan warung teh untuk aktivitas sarapan. Berikutnya sekitar pukul 10.00-11.00 WITA warung kembali ramai oleh mereka yang rehat dari kegiatan pagi seperti menyadap pohon karet atau bertani lainnya, kemudian warung akan ramai lagi pada sore hari setelah shalat Ashar dengan menu khas berupa wadai pais, guguduh pisang manurun, untuk, ardat (ubi goreng), cincin, apam, dll.



Masyarakat religius sangat terlihat dari interaksi yang dilakukan. Tegur sapa orang-orang tua dan candaan seusai shalat di Masjid atau Langgar (Mushala). Hampir semua kaum lelaki yang sudah berumur melakukan shalat di Langgar atau Masjid khususnya untuk shalat Maghrib, Isya dan Subuh. Sedangkan shalat Dzuhur dan Ashar mereka umumnya shalat di ladang atau tempat kerja lainnya.



Banyak kesenian tradisional yang sudah hilang seperti bamanda, madihin, bagipang, kuntau dan rabana. Generasi sekarang sudah tidak lagi akrab dengan kesenian-kesenian tersebut. Sangat disayangkan tidak ada generasi penerus yang melestarikannya. Padahal pada masanya kesenian-kesenian itu merupakan sarana untuk penyebaran akhlak yang baik, nasehat agama dan ajang penyampaian informasi lainnya.



Tahun 2015 Desa Longawang tidak terlalu banyak mengalami perubahan dengan tahun-tahun sebelumnya. Lambatnya perkembangan itu disebabkan oleh kondisi masyarakat yang homogen sehingga faktor persaingan individu tidak terlihat dan masyarakat cenderung tidak berorientasi materi yang berlebihan. Bagi mereka bisa bertani padi setahun sekali sudah cukup untuk makan, satu tahun selebihnya mereka bertanam palawija untuk kebutuhan tambahan.



Sebagai salah satu kampung tua, Desa Longawang sudah berperan mencetak generasi yang sekarang tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia bahkan sampai ke Negeri Jiran, seperti Brunei Darussalam dan Malaysia. Beberapa dari tutuha kampung juga ada yang menetap di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Hadral Maut.***





Sumber : Abu Alya / zahro2000.wordpress.com

(Dengan sedikit ada penyesuaian atau perubahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Rusdiansyah (Kelas VIII MTsN 3 HSS)

 Sabtu, 23 November 2024 Dengan Rusdiansyah, atau biasa disapa Iyan, siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selata...