Oleh
: Pepih Nugraha
Inventor (penemu) itu sudah tiada, yang
ada hanya para innovator. Saya pegang benar pandangan ini, setidak-tidaknya
saat mulai menggeluti sosial media sejak 2005. Terlebih lagi di dunia internet,
apa yang disebut para penemu sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya, Anda akan
berhadapan dengan para innovator muda pendiri star-up yang menghasilkan
sejumlah aplikasi dan website yang bermanfaat untuk kehidupan.
Di ranah internet dan bisnis online,
Anda akan selalu berhadapan dengan istilah-istilah baku benchmarking, personal
branding, immitating, dan inovasi. Sebagai salah satu pendiri dan admin pertama
Kompasiana, saya benar-benar memanfaatkan jargon-jargon yang ada di jagat
internet ini. Untuk kepentingan situs atau website yang saya dirikan, tentunya.
Kompasiana (http://kompasiana.com)
adalah blog sosial yang merupakan bagian (rubrik) dari Kompas.com. Di sini
berkumpul 260.000 anggota yang telah terdaftar. Tidak semua dari seluruh
anggota terdaftar itu penulis, sebagian besar di antaranya pembaca dan pemberi
komentar. Akan tetapi yang pasti, 800 hingga 1.000 tulisan warga tayang di
Kompasiana setiap harinya.
Kompasiana adalah “etalase” terbuka
gratis di mana penulis warga menyimpan tulisan karyanya sendiri. Mengapa saya
harus mengambil contoh Kompasiana? Bukankah dengan hanya mengambil satu contoh
akan mengaburkan esensi tulisan? Tentu saja saya akan balik bertanya; adakah
media sosial dengan platform “Menulis” (writing) yang lebih besar dari
Kompasiana?
Bukankah forum Kaskus jauh lebih besar
dan bahkan menjadi situs media sosial terbesar di Indonesia yang juga mengusung
users generated content? Benar, tetapi ada perbedaan kultur di antara dua jenis
media sosial itu. Kompasiana merupakan etalase tulisan warga, sementara Kaskus
merupakan etalase diskusi virtual dengan saling menukar atau berbagi tautan
(link)., baik tautan atas tulisan pribadi di blog miliknya atau tautan dari media-media
online arus utama.
Perbedaan hakikinya, Kompasiana secara
ketat mengharuskan naskah asli penulis, bukan salinan atau copy paste, juga
bukan situs berbagi tautan. Kompasiana benar-benar sebuah media sosial dengan
platform jelas, yakni menulis. Di media warga ini, warga diberi kebebasan
menulis dengan tiga kategori, laporan atau reportase warga (citizen reportage),
opini warga, dan karya fiksi warga.
Di Kompasiana, tidak diperkenankan
menampilkan tulisan orang lain atau berita-berita online arus utama.
Benar-benar harus karya asli si penulisnya sendiri. Dalam perjalanan membangun
dan mengembangkan media sosial yang kemudian berujud blog sosial Kompasiana,
saya banyak melakukan benchmarking terhadap situs jurnalisme warga sebelumnya,
khususnya terhadap Ohmy News di Korea Selatan dan situs lokal Panyingkul yang
lahir di Makassar, Sulawesi Selatan.
Memang di belahan dunia lainnya ada
situs warga seperti OkNation di Thailand, Stomp di Singapura, dan NowPublic di
Kanada. Akan tetapi terhadap Ohmy News yang didirikan Oh Yeon-ho tahun 2000
lalu, saya belajar bagaimana warga bisa digerakkan untuk melaporkan peristiwa
dalam satu wadah bersama.
Satu pelajaran berharga yang saya petik,
bahwa warga sudah bosan terhadap informasi yang mereka dapatkan dari media arus
utama yang dikuasai pemerintah saat itu. Berita atau informasi yang penuh
kamuflase dan tidak jujur, seakan-akan “kebenaran” berada di tangan wartawan
profesional dan editor di Newsroom.
Warga ingin memperoleh kebenaran hakiki
dari suatu peristiwa, yang tidak direkayasa sedemikian rupa sehingga fakta bisa
diputar-balik. Maka yang dilakukan Oh Yeon-ho dengan Ohmy News-nya itu adalah
memberi ruang yang seluas-luasnya bagi warga biasa untuk melaporkan apa yang
mereka lihat dan alami.
Dengan memanfaatkan laporan para
demonstran yang berunjuk rasa di lapangan, Ohmy News hadir dan menemukan
momentumnya. Media warga ini kemudian menjadi booming karena memperoleh timing
saat kejatuhan Roh Tae-wo yang represif itu. Panyingkul sebagai media warga
lokal yang didirikan Lily Y Farid seharusnya menjadi pelopor media jurnalis
warga dan karenanya bisa besar meski lahir di luar Jakarta atau di luar Pulau
Jawa. Saya belajar bagaimana situs yang pada mulanya disambut antusias penulis
Makassar maupun pembacanya seperti kehilangan tenaga, padahal hasrat warga
menulis sebenarnya tidak terbendung lagi.
Dari Ohmy News dan Panyingkulsaya
belajar satu hal penting, yaitu jangan pernah memaksakan warga untuk menjadi
wartawan! Biarkan warga menulis dan melaporkan dengan cara serta gayanya
sendiri, sebab justru di sinilah daya tarik dari sebuah laporan warga. Kalau
warga dilatih menjadi wartawan dan memaksa gaya tulisannya sebagaimana gaya
wartawan profesional, apa bedanya dengan membaca media mainstream? Ohmy News,
misalnya, sejak awal mengedit berita warga yang masuk.
Jelas situs ini menerapkan moderasi yang
ketat, di mana tulisan yang masuk tidak langsung tayang melainkan diedit oleh
jurnalis atau editor di newsroom. Setelah disunting, barulah tulisan warga
ditayangkan. Demikian pula dengan Panyingkul. Warga pewarta di Makassar yang
berkhidmat kepada situs ini memperoleh pendidikan jurnalistik berkala yang
diselenggarakan oleh lembaga pers independen.
Apa yang ditayangkan di Panyingkul
memang sangat sempurna karena menyerupai laporan jurnalis profesional. Akan
tetapi sebagaimana kritik membangun yang disampaikan kepada situs warga ini,
Panyingkul kehilangan “ruh” sebagai media warga dengan gaya serta bahasa
penulisnya yang khas warga biasa.
Belakangan saya menjadi paham, Ohmy News
kesulitan keuangan akibat harus membayar para penulisnya sedangkan berita yang
disajikan telah kehilangan daya pikatnya, sebab pembaca tidak lagi menangkap
hasil kerja warga yang genuine. Panyingkul juga demikian. Situs ini malah mati
sebelum berkembang.
Meniru atau immitating di dunia online
tidaklah berarti kejahatan, melainkan harus dianggap inovasi jika belajar dari
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki keunggulan situs yang akan di-benchmark.
Dari dua media sosial pelopor Ohmy News dan Panyingkul, saya mendapat satu
pelajaran penting, yakni jangan pernah menjadikan warga sebagai wartawan dan
jangan pernah membayar tulisan warga yang ditayangkan di media sosial yang kita
kembangkan.
Membayar penulis warga pernah dilakukan
Asia Blogging Network (ABN) milik blogger Budi Putra. Akan tetapi, situs media
sosial yang juga bisa disebut pelopor ini mati sebelum Kompasiana hadir di
tahun 2008. Sebagai media sosial, pengelola hanya menyediakan etalase bagi
konten warga sebagaimana yang dilakukan Facebook, Twitter, Wordpress, Blogspot,
Pinterest, Tumblr, dan lain-lain, tanpa berpretensi atau bersusah-susah
mendidik warganya menjadi wartawan.
Bukan Wartawan Tentu saja dalam berbagai
kesempatan saya sebagai admin dan pendiri pertama Kompasiana sering mendapatkan
kritikan yang menegaskan bahwa Kompasiana bukanlah situs citizen journalism, ia
tak lebih dari etalase tulisan warga. Apa reaksi saya terhadap kritikan yang
muncul dan sering dilontarkan penggiat media sosial ini? Saya tegaskan; tidak
ada reaksi apa-apa.
Tidak harus menyangkalnya, tidak pula
harus membenarkannya. Akan tetapi, bolehlah saya memberi sedikit gambaran. Di
Kompasiana dengan platform menulis, warga dipersilakan menayangkan tiga jenis
tulisan sebagaimana saya singgung tadi, yakni reportase warga, opini warga, dan
karya fiksi warga.
Pada kenyataannya berdasarkan data
statistik yang terus saya dan tim pantau setiap pekannya, yang paling besar
porsi penayangannya adalah karya fiksi warga (50 persen), opini warga (40
persen), dan paling kecil reportase warga (10 persen). Karya fiksi warga sering
melebihi 50 persen, sedangkan reportase warga mentok di angka 10 persen itu.
Lantas, bagaimana saya menyikapi angka
faktual yang terukur dengan baik ini? Jawabannya bisa dikira-kira; “bunuh diri”
kalau saya memaksakan branding Kompasiana sebagai media jurnalisme warga yang
isinya berupa laporan peristiwa faktual yang biasa ditulis, diliput dan
dilaporkan wartawan profesional media arus utama.
Mengapa? Karena kalau branding
jurnalisme warga itu yang saya paksakan, saya berarti menegasikan keniscayaan
karena saya berpegang pada angka 10 persen yang minim itu. Tanpa harus memakai
embel-embel citizen journalism, toh saya tidak kehilangan trade mark sebagai
media warga (citizen media).
Sedangkan warga biasa yang konsisten
menulis di Kompasiana dengan sendiri memperoleh personal branding. Dalam buku
yang saya tulis, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman dan Pengalaman
terbitan Penerbit Buku Kompas (2012), saya tegaskan bahwa warga yang menulis laporan
peristiwa dan ditayangkan di media sosial, bukanlah wartawan.
Mereka adalah warga biasa yang terlalu
berat menyandang predikat “journalist” atau “journalism” itu sendiri. Untuk itu
dalam buku saya keberatan dengan sebutan citizen journalism yang kalau
diterikan kepada pelakunya disebut citizen journalist. Saya lebih mengusulkan
penggunaan kata citizen reporter (warga pelapor) sebagai ganti kata citizen
journalist.
Mengapa demikian? Bagi saya yang juga
jurnalis profesional, kata “jurnalisme” (journalism) terlalu sakral dan tidak
boleh diumbar sembarangan. Juga tidak boleh buru-buru diterakan begitu saja
kepada warga biasa. Apakah bisa diterima seorang warga yang baru pertama kali
menayangkan hasil laporannya di media sosial bisa disebut begitu saja sebagai
wartawan? No way. Ada pendidikan khusus untuk menjadi jurnalis.
Wartawan juga dibekali kode etik
jurnalistik atau di sini dikenal sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia. Wartawan
juga dinaungi undang-undang pokok pers sebagai aturan main dalam bermedia.
Jadi, tidak semudah itu menjadi wartawan. Warga ya warga. Bahwa dia melakukan
praktik laporan dan penulisan sebagaimana yang dilakukan wartawan profesional,
ya saya harus berani menyebutnya sebagai warga pelapor saja, bukan wartawan.
Kode Etik Masalah kode etik (code of
ethics) juga sering ditanyakan publik peserta pelatihan menulis di berbagai
tempat yang saya hadiri. Saya bahkan sering dianggap kontroversial karena biasa
menjawab “tidak perlu kode etik” apabila warga biasa hendak menulis di media
sosial. Sering saya diberondong pertanyaan susulan agar lebih merinci lagi
jawabannya.
Saya tetap teguh pada pendirian, bahwa
warga biasa menulis di media sosial bukanlah wartawan. Karena bukan wartawan,
tidak perlu menggunakan atau memiliki kode etik wartawan tersendiri. Warga
menulis di media sosial tidak perlu diatur-atur, buang-buang energi saja.
Sebagai ganti dari “kode etik" di dunia maya itu, saya menekankan mereka
menggunakan aturan atau norma hukum universal saja sebagaimana di dunia nyata.
Norma universal di dunia nyata
menyebutkan bahwa berbohong, menghina, menghujat, berjudi, mencuri, dan
prostitusi itu adalah kejahatan. Orang mengatakannya tidak sesuai norma hukum
yang berlaku. Maka jenis-jenis kegiatan yang tidak sesuai norma hukum universal
di dunia nyata, juga tidak boleh dilakukan di dunia maya dalam hal ini di
internet.
Atau pelajari saja butir-butir penting
kode etik wartawan Indonesia yang bisa dijadikan patokan jurnalis profesional
bekerja. Ya, sesederhana itulah. Jadi, saya membekali warga yang bergiat di
media sosial itu semacam sopan-santun saja yang saya sebut netiket atau etiket
berinternet. Antara lain think before you post atau pikirkan baik-baik konten
yang Anda miliki sebelum benar-benar ditayangkan, apakah konten yang Anda
miliki itu melukai perasaan seseorang, menghina satu golongan, mempertentangkan
SARA (suku, agama, ras, antargolongan), atau membunuh karakter seseorang.
Persoalannya, semua ada di ujung jari
untuk menekan tombol “publish” yang kalau tidak dipertimbangkan masak-masak,
beberapa detik kemudian kemungkinan ada orang yang terhina atau golongan yang
terlukai. Apa yang dilakukan Dewan Pers dengan menyusun Pedoman Pemberitaan
Media Siber sudah tepat, sebab memang pemilik atau pengelola media siber itu sendiri
yang harus diberi pedoman, khususnya terkait users generated content atau
konten yang diciptakan dan ditayangkan warga.
Tetapi, bukan mengatur warga biasa
menulis. Untuk itulah di Kompasiana tidak ada moderasi terhadap tulisan warga.
Semua konten warga bisa langsung tayang. Barulah setelah tayang admin
Kompasiana bekerja 24 jam yang saya sebut post moderation.
Biarkan saja warga menulis seekspresif
mungkin karena mereka bukan wartawan. Mereka menulis dan membuat beritanya
sendiri karena mungkin kurang atau tidak puas dengan berita media arus utama
yang ada, yang barangkali di benak warga sudah tercemari kepentingan politik
atau bermotif ekonomi si empunya media.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar