Oleh : Yvonne de Fretes
(Disampaikan pada Aruh Sastra
Kalimantan Selatan VIII di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16 s.d 19
September 2011)
1.Perempuan
dalam Karya
Perempuan Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang
sama pentingnya dengan kaum pria hampir dalam semua lapangan
kehidupan tak terkecuali dalam dunia tulis-menulis. Sejak abad ke-17 bahkan
sudah ada perempuan penulis (dalam hal ini penulis puisi) yaitu Sultanah
Safiatuddin di Aceh, kemudian di abad
ke 19 muncul Siti Aisah we
tenriollle di Sulawesi yang dikenal dengan puisi panjangnya (7000 hal) yang ditulis dalam bahasa Bugis,
La Galigo. Dari Sunda pada akhir abad ke 19 muncul Raden Ayu Lesminingrat. Ada
beberapa perempuan setelah itu tapi yang sangat terkenal dan perlu dicatat
adalah Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dengan karyanya Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Sedangkan dalam sejarah sastra Indonesia boleh dibilang diawali oleh
Seleguri (nama asli) atau Sariamin (nama samaran) yang lalu lebih dikenal dengan
nama Selasih (kelahiran Sumatera Barat 1909) yang kemudian diikuti dengan beberapa nama
seperti Hamidah (1915-1953) dengan novel Kehilangan Mestika. Maria Amin asal Bengkulu (berkarya
tahun 1940-an), diikuti dengan Walujati dan S Rukiah, keduanya dari Jawa Barat.
Sekilas tampak bahwa memang
perkembangannya agak lamban disebabkan karena memang dunia kepenulisan pada
saat itu masih dimonopoli laki-laki, meskipun Majalah Wanita (Jakarta) dan majalah
Dunia Wanita (Medan ) sudah ada sekitar 1950-1956 an.
Barulah pada awal tahun
1970-an yang boleh dibilang sebagai the first booming women
writer dengan munculnya perempuan-perempuan penulis seperti La Rose, NH
Dini, Titie Said (meskipun pada 1953 sudah ada karyanya).
Fenomena ini muncul bersamaan dengan
munculnya majalah-majalah wanita antara lain seperti Femina (1972), Kartini,
Pertiwi, Sartika, Famili, yang merupakan wadah bagi para perempuan penulis
untuk berekspresi. Mereka lantas merasa menemukan domain tempatnya menyuarakan
suara hati sekaligus mengembangkan bakat dan minatnya dalam dunia tulis
menulis. Belum ada organisasi secara khusus pada saat itu, para perempuan
berupaya secara sendiri-sendiri melahirkan karya dan mempublikasikannya kepada
pembaca yang mayoritas tentu saja adalah perempuan. Karya perempuan penulis
juga mulai tampak diberbagai media cetak.
Periode 1980-an mulai dirasakan
perlu adanya wadah yang menghimpun para penulis dan pengarang. Maka lahirlah
organisasi Himpunan Pengarang Indonesia AKSARA pada tahun 1981 atas prakarsa
beberapa penulis / pengarang pada waktu itu antara lain La Rose, Titie Said,
Sari Narulita, K Usman, Titiek WS, pokoknya hampir semua pengarang terkenal
pada waktu itu disusul dengan terdaftarnya para pengarang seperti Hamsad
Rangkuti, Gerson Poyk, Korrie Layun Rampan, Yvonne de Fretes, Saut Poltak
Tambunan, Pipiet Senja, dll, sebagai anggota yang kemudian menjadi pengurus.
Bila HPI Aksara beranggotakan pengarang baik perempuan maupun pria, tidak
demikian dengan organisasi yang muncul hanya beberapa waktu setelah itu
tepatnya pada tahun 1985 yang khusus untuk mewadahi para perempuan penulis
yaitu Wanita Penulis Indonesia (kami masih menggunakan kata wanita yang lebih
marak pada kurun waktu itu daripada istilah perempuan)
Menjelang tahun 2000 muncul lagi sebuah
fenomena baru yang sangat menggembirakan yaitu dengan munculnya
perempuan-perempuan penulis yang lebih muda, dengan latar belakang budaya dan
pendidikan yang variatif. Tentu saja dengan letupan-letupan karya yang begitu
ekspresif, beragam, beberapa diantaranya sangat intens dan dalam , dan beberapa
diantaranya juga cenderung sangat terbuka sehingga terkesan vulgar.
Betapapun adalah merupakan hak
individual untuk menguraikan apa saja secara terbuka, tertulis, terpublikatif
berdasarkan nilai budaya dan moral yang dimilikinya secara pribadi. Fenomena
ini oleh saya boleh dibilang sebagai the
second booming woman writers. Nama-nama seperti Ayu Utami, Dewi Lestari,
Djenar Maesa Ayu, Rahmaniah, terus menghiasi blantika dunia perempuan penulis
dengan karya-karyanya yang kadang menimbulkan kernyit di dahi sebagian
pembacanya.
Seiring dengan itu semakin banyaknya
stasiun televisi turut menopang kehadiran perempuan penulis dan penampilan
mereka yang identik dengan aura glamour turut menambah pesona dan bisa menciptakan
penggemar tersendiri. Bisa dikata perempuan penulis khususnya yang muncul di era itu sejajar
popularitasnya dengan artis film
dan musik. Sebuah gejala yang tentu saja membanggakan setelah sekian lama ada
kesan bahwa dunia kepenulisan adalah dunia sunyi. Lihat saja penampilan Ayu,
Dewi, Djenar, pada jajaran selebriti. Suatu waktu malah mereka pernah dijuluki
penulis berbau wangi (jelas mereka akrab dengan parfum bukan). Muda, ceria,
mempesona, itulah pribadi mereka. Terbuka, ekspresif, vulgar, itulah karya
mereka.
Kemudian dengan perkembangan dan
pertumbuhan era digital yang begitu pesat, memunculkan karya-karya sastra
cyber. Dipelopori oleh Medy Lukito dan kawan-kawan mereka mendirikan Multimedia
Sastra Cyber yang memberi ruang bagi para peminat yang ingin mempublikasikan
karyanya lewat media elektronik.
Fenomena ini terus melaju hingga kini, di
zaman facebook. Penemuan canggih mahasiswa Harvard itu benar-benar telah membuat
perubahan besar dalam berkomunikasi antara lain juga dalam dunia tulis-menulis. Dunia maya ini malah
telah melahirkan penulis-penulis baru (kebanyakan mereka adalah perempuan)
bahkan telah berhasil melahirkan komunitas-komunitas dan telah berhasil
menerbitkan beberapa antologi puisi maupun cerpen. Bukan main. Sebuah fenomena
yang menarik. Kesimpulan :
1 st booming 1970-an
2 nd booming 2000-an
Terakhir booming facebooker writers
2.Kapan
dan Dimana Perempuan Berkarya ?
Atau adakah perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki dalam proses kreatif ? Sastra memang tidak mengenal
gender tapi mengapa ada kesenjangan dalam jumlah antara perempuan dengan
laki-laki yang wara-wiri di dunia ini.
Apakah memang lebih banyak tantangan
yang bakal dihadapi seorang perempuan ? Apalagi bila perempuan itu adalah juga
seorang isteri dan ibu ? Kapan mau menulis diantara kesibukan mengurus suami
dan anak. Bagaimana kreativitas bisa berjalan. Sebaliknya, mengapa posisi
sebagai isteri dan ibu dijadikan alasan untuk tidak kreatif. Saya mengenal
beberapa perempuan yang justru diusia ketika putera-puterinya sudah meningkat
remaja kembali menekuni kegiatan menulis yang memang sudah digemarinya sejak
lama.
Proses kreatif seorang dengan yang
lain tentu saja berbeda, begitu juga dalam dunia kepenulisan. Tapi saya meyakni
suatu hal, ialah bahwa kesenangan dan kegemaran menulis itu dimulai dari
kesenangan dan kegemaran membaca. Dan itu dimulai sejak masa anak atau remaja.
Bila kita memang senang menulis pasti ada waktunya kesenangan itu menemukan
waktu sekaligus lahan yang tepat. Lingkungan bisa sangat berpengaruh dan tentu
saja kegemaran sekaligus lahan yang tepat. Lingkungan bisa sangat berpengaruh
dan tentu saja kegemaran itu tak luput dari pengalaman pasang surut. Masaklah
yang juga saya alami. Dimana setelah melewati urun waktu yang cukup lama maka
ketika bekerja senbagai wartawan pada sebuah majalah di Jakarta (1981),
kegemaran menulis kembali menggeliat. Di samping sibuk menulis artikel dan
merangkum hasil wawancara, menyempatkan diri untuk menulis puisi dan cerpen
yang dimuat di media massa. Baru pada tahun 1994 terbitlah antologi puisi saya
yang pertama. Disusul 1995 : kumpulan cerpen tunggal (BDL), dll. Begitulah
sampai sekarang kurang kebih ada 30-an antologi (berdua, bersama) dan terbit
diberbagai daerah di Indonesia (Lampung, Bengkulu, Aceh, bahkan Malaysia). Pada
umumnya puisi dan cerpen. Mengapa tidak menulis novel ? Ya, mengapa ? Salah
seorang teman pernah berkata : “ Pantas saja novelmu tidak terbit-terbit,
bacaanmu novel lawas penulis dunia sih, acuannya ketinggian.” Mungkin ada
benarnya (Milan Kundera, Paulo Chelho adalah novel-novel favorit). Disamping
itu saya terus terang merasa kurang punya nafas panjang (yang dibutuhkan sebuah
novel), begitu saya memulai sebuah kisah dan mengangkat sebuah konflik saya
lantas ingin cepat-cepat menuntaskannya. Its
another problem !
Waktu dan tempat juga terkait erat
dengan proses kreatif. Ini pun berbeda satu dengan lainnya. Saya mencoba ambil
contoh para sastrawan dunia :
Nadine Gordimer, 1923 Afsel,
(Yahudi-Inggris), pemenang Nobel Sastra 1991. Nadine gemar ke perpustakaan dan
bisa menulis kapan saja dan dimana saja, meskipin lebih memilih kamar kerja.
Simone de Beauvoir 1908-1980
(Perancis) yang menolak pernikahan dan memilih untuk hidup bersama Jean-Paul
Sartre (atheis). Sejak anak-anak senang membaca. Sebagai rutinitasnya setiap
hari : pukul 10.00-13.00 menulis, setelah minum teh dan baca majalah di pagi
hari. Setelah 13.00 mengunjungi teman-teman atau sekedar shopping.
Maya Angelou (1928, AS), penulis
puisi, novel, otobiografi, skenario, esai, kolom, dll. Termasuk sutradara
perempuan pertama di Hollywood punya kebiasaan unik. Maya biasanya memulai
dengan ritual kecil : ruang yang apik, kamus, bunga yang wangi, juga dihiasi
alunan musik dan sebotol sherry. Maya bahkan sering menyewa kamar hotel bukan
untuk ditiduri tapi untuk menulis dari pagi sampai sore tanpa terganggu.
Bagaimana dengan Anda dan saya ?
Butuh motivasi ? Motivasi ada dua : internal dan eksternal. Internal termasuk mood yang berasal dari dalam diri kita
sendiri, jangan menunggu tapi ciptakanlah mood
itu. Dan kalau bicara tentang motivasi eksternal ya kita berbicara tentang
lingkungan, juga tentang komunitas. Bila membaca coretan Mas DAM dan melihat sendiri
kegiatan teman-teman, sering menerbitkan buku, menghadiri even-even penting nasional maupun internasional, luar
biasa Kalsel. Pertanyaannya ada berapa perempuan yang juga merambah dan
berkiprah di wilayah ini. Maaf saya kurang mengetahui peta pergerakan sastra
khususnya pergerakan perempuan penulis di Kalsel. Tapi saya yakin ada beberapa
nama yang perlu barangkali kita sebutkan disini. Yang kiranya dapat menjadi
cikal bakal lahirnya lebih banyak perempuan yang mencintai sastra dan dunia
tulis menulis di masa datang.
3.Perlukah
Sebuah Komunitas ?
Yang terbuka bagi siapa saja yang
gemar menulis, karena dengan adanya komunitas, motivasi kita bisa berpacu.
Lewat komunitas kita bisa saling asuh, saling asah, disamping terus
meningkatkan keterampilan kita dalam menulis. Membuat workshop menulis bagi
remaja, atau langsung terjun ke sekolah-sekolah. Bakat itu ada diluar sana,
temukanlah. Virus membaca dan menulis perlu ditularkan kepada siapa saja,
dimana saja.
Kalsel sebagai gudangnya para
sastrawan tentu sadar akan hal ini, dapat kita lihat dari begitu banyaknya
komunitas sastra yang bahkan sudah ada sejak tahun 1980-an. Misalnya Himpunan
Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, dll (dari
catatan Mas DAM). Juga iklim berkarya tumbuh pesat di wilayah ini dengan
penerbitan buku-buku, diantaranya 142 Penyair Menuju Bulan, Gumam-nya Asa, dll.
Kembali sebuah pertanyaan :
bagaimana dengan para perempuan penulis maupun
perempuan penyair Kalsel ? Adakah mereka memerlukan sebuah komunitas
tersendiri ? Ataukah memang mereka tidak membutuhkannya sama sekali. Mari kita
tanya mereka. Wanita Penulis Indonesia terbuka bagi siapa saja, provinsi mana
saja.***
Note : Semoga penyajian yang
sederhana ini mengakrabkan silaturrahim antara kita, Jakarta – Barabai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar