Senin, 13 April 2015

Pergerakan Perempuan dalam Penulisan Kreatif

Selasa, 14 April 2015


Oleh : Yvonne de Fretes


(Disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16 s.d 19 September 2011)


1.Perempuan dalam Karya
            Perempuan Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan kaum pria hampir dalam semua lapangan kehidupan tak terkecuali dalam dunia tulis-menulis. Sejak abad ke-17 bahkan sudah ada perempuan penulis (dalam hal ini penulis puisi) yaitu Sultanah Safiatuddin di Aceh, kemudian di abad ke 19 muncul Siti Aisah we tenriollle di Sulawesi yang dikenal dengan puisi panjangnya (7000 hal) yang ditulis dalam bahasa Bugis, La Galigo. Dari Sunda pada akhir abad ke 19 muncul Raden Ayu Lesminingrat. Ada beberapa perempuan setelah itu tapi yang sangat terkenal dan perlu dicatat adalah Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dengan karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang.
            Sedangkan dalam sejarah sastra Indonesia boleh dibilang diawali oleh Seleguri (nama asli) atau Sariamin (nama samaran) yang lalu lebih dikenal dengan nama Selasih (kelahiran Sumatera Barat 1909) yang kemudian diikuti dengan beberapa nama seperti Hamidah (1915-1953) dengan novel Kehilangan Mestika. Maria Amin asal Bengkulu (berkarya tahun 1940-an), diikuti dengan Walujati dan S Rukiah, keduanya dari Jawa Barat.
            Sekilas tampak bahwa memang perkembangannya agak lamban disebabkan karena memang dunia kepenulisan pada saat itu masih dimonopoli laki-laki, meskipun Majalah Wanita (Jakarta) dan majalah Dunia Wanita (Medan ) sudah ada sekitar 1950-1956 an.
            Barulah pada awal tahun 1970-an yang boleh dibilang sebagai the first booming women writer dengan munculnya perempuan-perempuan penulis seperti La Rose, NH Dini, Titie Said (meskipun pada 1953 sudah ada karyanya).
            Fenomena ini muncul bersamaan dengan munculnya majalah-majalah wanita antara lain seperti Femina (1972), Kartini, Pertiwi, Sartika, Famili, yang merupakan wadah bagi para perempuan penulis untuk berekspresi. Mereka lantas merasa menemukan domain tempatnya menyuarakan suara hati sekaligus mengembangkan bakat dan minatnya dalam dunia tulis menulis. Belum ada organisasi secara khusus pada saat itu, para perempuan berupaya secara sendiri-sendiri melahirkan karya dan mempublikasikannya kepada pembaca yang mayoritas tentu saja adalah perempuan. Karya perempuan penulis juga mulai tampak diberbagai media cetak.
            Periode 1980-an mulai dirasakan perlu adanya wadah yang menghimpun para penulis dan pengarang. Maka lahirlah organisasi Himpunan Pengarang Indonesia AKSARA pada tahun 1981 atas prakarsa beberapa penulis / pengarang pada waktu itu antara lain La Rose, Titie Said, Sari Narulita, K Usman, Titiek WS, pokoknya hampir semua pengarang terkenal pada waktu itu disusul dengan terdaftarnya para pengarang seperti Hamsad Rangkuti, Gerson Poyk, Korrie Layun Rampan, Yvonne de Fretes, Saut Poltak Tambunan, Pipiet Senja, dll, sebagai anggota yang kemudian menjadi pengurus. Bila HPI Aksara beranggotakan pengarang baik perempuan maupun pria, tidak demikian dengan organisasi yang muncul hanya beberapa waktu setelah itu tepatnya pada tahun 1985 yang khusus untuk mewadahi para perempuan penulis yaitu Wanita Penulis Indonesia (kami masih menggunakan kata wanita yang lebih marak pada kurun waktu itu daripada istilah perempuan)
            Menjelang tahun 2000 muncul lagi sebuah fenomena baru yang sangat menggembirakan yaitu dengan munculnya perempuan-perempuan penulis yang lebih muda, dengan latar belakang budaya dan pendidikan yang variatif. Tentu saja dengan letupan-letupan karya yang begitu ekspresif, beragam, beberapa diantaranya sangat intens dan dalam , dan beberapa diantaranya juga cenderung sangat terbuka sehingga terkesan vulgar.
            Betapapun adalah merupakan hak individual untuk menguraikan apa saja secara terbuka, tertulis, terpublikatif berdasarkan nilai budaya dan moral yang dimilikinya secara pribadi. Fenomena ini oleh saya boleh dibilang sebagai the second booming woman writers. Nama-nama seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Rahmaniah, terus menghiasi blantika dunia perempuan penulis dengan karya-karyanya yang kadang menimbulkan kernyit di dahi sebagian pembacanya.
            Seiring dengan itu semakin banyaknya stasiun televisi turut menopang kehadiran perempuan penulis dan penampilan mereka yang identik dengan aura glamour turut menambah pesona dan bisa menciptakan penggemar tersendiri. Bisa dikata perempuan penulis khususnya yang muncul di era itu sejajar popularitasnya dengan artis film dan musik. Sebuah gejala yang tentu saja membanggakan setelah sekian lama ada kesan bahwa dunia kepenulisan adalah dunia sunyi. Lihat saja penampilan Ayu, Dewi, Djenar, pada jajaran selebriti. Suatu waktu malah mereka pernah dijuluki penulis berbau wangi (jelas mereka akrab dengan parfum bukan). Muda, ceria, mempesona, itulah pribadi mereka. Terbuka, ekspresif, vulgar, itulah karya mereka.
            Kemudian dengan perkembangan dan pertumbuhan era digital yang begitu pesat, memunculkan karya-karya sastra cyber. Dipelopori oleh Medy Lukito dan kawan-kawan mereka mendirikan Multimedia Sastra Cyber yang memberi ruang bagi para peminat yang ingin mempublikasikan karyanya lewat media elektronik.
Fenomena ini terus melaju hingga kini, di zaman facebook. Penemuan canggih mahasiswa Harvard itu benar-benar telah membuat perubahan besar dalam berkomunikasi antara lain juga dalam dunia tulis-menulis. Dunia maya ini malah telah melahirkan penulis-penulis baru (kebanyakan mereka adalah perempuan) bahkan telah berhasil melahirkan komunitas-komunitas dan telah berhasil menerbitkan beberapa antologi puisi maupun cerpen. Bukan main. Sebuah fenomena yang menarik. Kesimpulan :
1 st booming 1970-an
2 nd booming 2000-an
Terakhir booming facebooker writers

2.Kapan dan Dimana Perempuan Berkarya ?
            Atau adakah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki dalam proses kreatif ? Sastra memang tidak mengenal gender tapi mengapa ada kesenjangan dalam jumlah antara perempuan dengan laki-laki yang wara-wiri di dunia ini.
            Apakah memang lebih banyak tantangan yang bakal dihadapi seorang perempuan ? Apalagi bila perempuan itu adalah juga seorang isteri dan ibu ? Kapan mau menulis diantara kesibukan mengurus suami dan anak. Bagaimana kreativitas bisa berjalan. Sebaliknya, mengapa posisi sebagai isteri dan ibu dijadikan alasan untuk tidak kreatif. Saya mengenal beberapa perempuan yang justru diusia ketika putera-puterinya sudah meningkat remaja kembali menekuni kegiatan menulis yang memang sudah digemarinya sejak lama.
            Proses kreatif seorang dengan yang lain tentu saja berbeda, begitu juga dalam dunia kepenulisan. Tapi saya meyakni suatu hal, ialah bahwa kesenangan dan kegemaran menulis itu dimulai dari kesenangan dan kegemaran membaca. Dan itu dimulai sejak masa anak atau remaja. Bila kita memang senang menulis pasti ada waktunya kesenangan itu menemukan waktu sekaligus lahan yang tepat. Lingkungan bisa sangat berpengaruh dan tentu saja kegemaran sekaligus lahan yang tepat. Lingkungan bisa sangat berpengaruh dan tentu saja kegemaran itu tak luput dari pengalaman pasang surut. Masaklah yang juga saya alami. Dimana setelah melewati urun waktu yang cukup lama maka ketika bekerja senbagai wartawan pada sebuah majalah di Jakarta (1981), kegemaran menulis kembali menggeliat. Di samping sibuk menulis artikel dan merangkum hasil wawancara, menyempatkan diri untuk menulis puisi dan cerpen yang dimuat di media massa. Baru pada tahun 1994 terbitlah antologi puisi saya yang pertama. Disusul 1995 : kumpulan cerpen tunggal (BDL), dll. Begitulah sampai sekarang kurang kebih ada 30-an antologi (berdua, bersama) dan terbit diberbagai daerah di Indonesia (Lampung, Bengkulu, Aceh, bahkan Malaysia). Pada umumnya puisi dan cerpen. Mengapa tidak menulis novel ? Ya, mengapa ? Salah seorang teman pernah berkata : “ Pantas saja novelmu tidak terbit-terbit, bacaanmu novel lawas penulis dunia sih, acuannya ketinggian.” Mungkin ada benarnya (Milan Kundera, Paulo Chelho adalah novel-novel favorit). Disamping itu saya terus terang merasa kurang punya nafas panjang (yang dibutuhkan sebuah novel), begitu saya memulai sebuah kisah dan mengangkat sebuah konflik saya lantas ingin cepat-cepat menuntaskannya. Its another problem !
            Waktu dan tempat juga terkait erat dengan proses kreatif. Ini pun berbeda satu dengan lainnya. Saya mencoba ambil contoh para sastrawan dunia :
            Nadine Gordimer, 1923 Afsel, (Yahudi-Inggris), pemenang Nobel Sastra 1991. Nadine gemar ke perpustakaan dan bisa menulis kapan saja dan dimana saja, meskipin lebih memilih kamar kerja.
            Simone de Beauvoir 1908-1980 (Perancis) yang menolak pernikahan dan memilih untuk hidup bersama Jean-Paul Sartre (atheis). Sejak anak-anak senang membaca. Sebagai rutinitasnya setiap hari : pukul 10.00-13.00 menulis, setelah minum teh dan baca majalah di pagi hari. Setelah 13.00 mengunjungi teman-teman atau sekedar shopping.
            Maya Angelou (1928, AS), penulis puisi, novel, otobiografi, skenario, esai, kolom, dll. Termasuk sutradara perempuan pertama di Hollywood punya kebiasaan unik. Maya biasanya memulai dengan ritual kecil : ruang yang apik, kamus, bunga yang wangi, juga dihiasi alunan musik dan sebotol sherry. Maya bahkan sering menyewa kamar hotel bukan untuk ditiduri tapi untuk menulis dari pagi sampai sore tanpa terganggu.
            Bagaimana dengan Anda dan saya ? Butuh motivasi ? Motivasi ada dua : internal dan eksternal. Internal termasuk mood yang berasal dari dalam diri kita sendiri, jangan menunggu tapi ciptakanlah mood itu. Dan kalau bicara tentang motivasi eksternal ya kita berbicara tentang lingkungan, juga tentang komunitas. Bila membaca coretan Mas DAM dan melihat sendiri kegiatan teman-teman, sering menerbitkan buku, menghadiri even-even penting nasional maupun internasional, luar biasa Kalsel. Pertanyaannya ada berapa perempuan yang juga merambah dan berkiprah di wilayah ini. Maaf saya kurang mengetahui peta pergerakan sastra khususnya pergerakan perempuan penulis di Kalsel. Tapi saya yakin ada beberapa nama yang perlu barangkali kita sebutkan disini. Yang kiranya dapat menjadi cikal bakal lahirnya lebih banyak perempuan yang mencintai sastra dan dunia tulis menulis di masa datang.

3.Perlukah Sebuah Komunitas ?
            Yang terbuka bagi siapa saja yang gemar menulis, karena dengan adanya komunitas, motivasi kita bisa berpacu. Lewat komunitas kita bisa saling asuh, saling asah, disamping terus meningkatkan keterampilan kita dalam menulis. Membuat workshop menulis bagi remaja, atau langsung terjun ke sekolah-sekolah. Bakat itu ada diluar sana, temukanlah. Virus membaca dan menulis perlu ditularkan kepada siapa saja, dimana saja.
            Kalsel sebagai gudangnya para sastrawan tentu sadar akan hal ini, dapat kita lihat dari begitu banyaknya komunitas sastra yang bahkan sudah ada sejak tahun 1980-an. Misalnya Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, dll (dari catatan Mas DAM). Juga iklim berkarya tumbuh pesat di wilayah ini dengan penerbitan buku-buku, diantaranya 142 Penyair Menuju Bulan, Gumam-nya Asa, dll.
            Kembali sebuah pertanyaan : bagaimana dengan para perempuan penulis maupun  perempuan penyair Kalsel ? Adakah mereka memerlukan sebuah komunitas tersendiri ? Ataukah memang mereka tidak membutuhkannya sama sekali. Mari kita tanya mereka. Wanita Penulis Indonesia terbuka bagi siapa saja, provinsi mana saja.***

Note : Semoga penyajian yang sederhana ini mengakrabkan silaturrahim antara kita, Jakarta – Barabai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana di Rumah Malam Sabtu

 Jumat, 26 April 2024 Suasana di dalam rumah saya, pada hari Jumat (26/04/2024) malam Sabtu sekitar pukul 22.15 WITA. (ahu)