Selasa, 28 April 2015

Penetrasi yang Menganyam Kehancuran

Selasa, 28 April 2015


Judul : Menolak Panggilan Pulang
Penulis : Ngarto Februana
Jenis Buku : Fiksi
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta
Cetakan I : Juli 2000
Tebal : 207 Halaman


Tidak semua perubahan dan kemajuan memetik buah yang manis. Saat sebuah komunitas maupun individu diterjang datangnya perubahan baru yang tidak terantisipasi, maka yang terjadi justru kegamangan. Ternyata, tidak ada yang lebih dahsyat dari kehancuran yang disebabkan oleh meleburnya penetrasi sebuah kultur. Kehancuran ini dapat terjadi dalam sosok individu maupun komunitas.

Desa Malinau adalah bagian dari tiga belas desa di Kecamatan Loksado, perbukitan Meratus, Kalimantan Selatan. Di dalamnya, hidup sekelompok warga Dayak Meratus yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang turun-temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tidak heran jika kemajuan pembangunan desa itu pun berjalan sangat lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk mempertahankan adat, akhirnya menggiring masyarakat Malinau pada sebuah pemikiran yang selalu skeptis dan penuh curiga pada setiap orang yang datang dari luar Meratus.

Ketika Rohaimi, salah satu staf  Dinas Sosial di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, datang ke desa itu pada tahun 1981 untuk menawarkan cara bercocok tanam dengan sistem pemupukan dan menggunakan cangkul, justru ditanggapi curiga oleh masyarakat Dayak Meratus. Penghulu Dingit, tetuha adat Malinau, menolak tawaran itu. Lima tahun kemudian, saat Rohaimi datang kembali ke Malinau, ia menawarkan diri menjadi orangtua asuh bagi Utay, anak tunggal penghulu Dingit, supaya dapat bersekolah di Kandangan. Meski semula curiga, akhirnya Dingit memperbolehkan anaknya bersekolah di kota. Utay pun pergi meninggalkan teman-teman sepermainannya, termasuk Aruni, anak gadis penghulu Balai Jalay yang telah menjadi jodohnya secara adat.

Bayangan kemapanan, sedikit demi sedikit, memperbesar semangat pemberontakan dalam diri Utay. Anak penghulu yang disegani di Desa Malinau itu pun telah berubah. Utay berubah dari anak kampung yang terbelakang, menjadi pemuda terpelajar yang angkuh. Adat istiadat tidak lagi dihiraukannya. Iming-iming sepeda motor, gemerlapan kota, dan niatnya menikahi Aruni, membuat Utay akhirnya nekat.

Ia menipu perusahaannya dengan memberikan laporan palsu bahwa warga Desa Malinau setuju bekerja sama dengan PT Rimba Nusantara untuk menanam pohon tanaman industri. Malinau pun geger dan pertikaian tidak terhindarkan. Utay ditangkap dan dihukum secara adat. Penyesalan dan keterpurukannya semakin menjadi, apalagi setelah tahu Aruni hamil. Di tengah penyesalannya, gemerlapan kota timbul lagi mendesak batinnya. Dendamnya pun berkobar, menyulut keinginannya lari dari Malinau.

Bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Selain itu, dengan bahasanya yang lugas pengarang mampu menciptakan suasana mistis dan menampilkan banyak konflik.

Membaca novel ini seperti menjelajah ke suatu tempat asing yang tidak terpikirkan. Cekaman adat Dayak Meratus yang mistis dan kolot sangat terasa dari paparan berbagai bentuk ritual yang dilakukan warga Malinau. Jalinan cinta Utay dan Aruni dijadikan penulisnya sebagai jembatan untuk mengilustrasikan ruwetnya pertemuan budaya yang saling berlawanan.

Novel ini tampaknya lebih mengedepankan aspek ilmu melalui pendekatan budaya. Namun sayang sekali, banyak konflik menarik yang mestinya bisa digarap lebih detail dan menarik, justru hanya ditampilkan secara ilustratif. Padahal, pertemuan antara adat Malinau yang kolot dengan kehidupan kota yang begitu kompromistis dan bisa menajdi pemicu sebuah konflik yang tajam dan dramatis. Proses penetrasi budaya yang melebur dalam diri Utay itulah yang tidak digarap penulis dengan seksama. Meskipun demikian, dari sisi paparan data tentang sebuah komunitas, tampak jelas penguasaan penulis tentang “rimba” yang dimasukinya.***


Oleh : Lily Bertha Kartika
Disadur dari : Tabloid Mingguan Semanggi, Edisi 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...