Judul : Menolak Panggilan Pulang
Penulis : Ngarto Februana
Jenis Buku : Fiksi
Penerbit : Media Pressindo,
Yogyakarta
Cetakan I : Juli 2000
Tebal : 207 Halaman
Tidak
semua perubahan dan kemajuan memetik buah yang manis. Saat sebuah komunitas maupun individu diterjang datangnya
perubahan baru yang tidak terantisipasi, maka yang terjadi justru kegamangan. Ternyata, tidak ada yang lebih
dahsyat dari kehancuran yang disebabkan
oleh meleburnya penetrasi sebuah kultur.
Kehancuran ini dapat terjadi dalam sosok individu maupun komunitas.
Desa
Malinau adalah bagian dari tiga belas
desa di Kecamatan Loksado, perbukitan Meratus, Kalimantan Selatan. Di dalamnya, hidup
sekelompok warga Dayak Meratus yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang
turun-temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tidak heran jika kemajuan pembangunan desa itu pun
berjalan sangat lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk
mempertahankan adat, akhirnya menggiring
masyarakat Malinau pada sebuah
pemikiran yang selalu skeptis dan penuh curiga pada setiap
orang yang datang dari luar
Meratus.
Ketika
Rohaimi, salah satu staf Dinas Sosial di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, datang ke desa itu
pada tahun 1981 untuk menawarkan cara
bercocok tanam dengan sistem pemupukan
dan menggunakan cangkul, justru ditanggapi curiga oleh masyarakat Dayak Meratus. Penghulu Dingit,
tetuha adat Malinau, menolak tawaran itu. Lima tahun kemudian, saat Rohaimi datang kembali ke Malinau, ia
menawarkan diri menjadi orangtua asuh bagi Utay, anak tunggal penghulu Dingit,
supaya dapat bersekolah di Kandangan. Meski semula curiga, akhirnya Dingit memperbolehkan anaknya bersekolah di kota. Utay pun pergi
meninggalkan teman-teman sepermainannya, termasuk Aruni, anak gadis penghulu
Balai Jalay yang telah menjadi jodohnya secara adat.
Bayangan
kemapanan, sedikit demi sedikit, memperbesar semangat
pemberontakan dalam diri Utay. Anak penghulu yang disegani di Desa Malinau itu pun telah berubah. Utay berubah
dari anak kampung yang
terbelakang, menjadi pemuda terpelajar
yang angkuh. Adat istiadat tidak lagi dihiraukannya. Iming-iming sepeda motor, gemerlapan kota, dan niatnya
menikahi Aruni, membuat Utay akhirnya
nekat.
Ia
menipu perusahaannya dengan
memberikan laporan palsu bahwa warga
Desa Malinau setuju bekerja sama dengan PT Rimba Nusantara untuk menanam pohon
tanaman industri. Malinau pun
geger dan pertikaian tidak terhindarkan. Utay ditangkap dan dihukum secara
adat. Penyesalan dan keterpurukannya semakin menjadi, apalagi setelah tahu
Aruni hamil. Di tengah penyesalannya, gemerlapan kota timbul lagi mendesak batinnya. Dendamnya pun
berkobar, menyulut keinginannya lari dari Malinau.
Bahasa
yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah bahasa yang lugas dan mudah
dimengerti. Selain itu, dengan bahasanya yang lugas pengarang mampu menciptakan suasana mistis dan menampilkan banyak
konflik.
Membaca
novel ini seperti menjelajah ke suatu tempat asing yang tidak terpikirkan.
Cekaman adat Dayak Meratus yang mistis dan kolot sangat terasa dari paparan berbagai bentuk ritual yang dilakukan warga Malinau. Jalinan
cinta Utay dan Aruni dijadikan penulisnya sebagai jembatan untuk mengilustrasikan ruwetnya pertemuan
budaya yang saling berlawanan.
Novel
ini tampaknya lebih mengedepankan aspek ilmu melalui pendekatan budaya. Namun sayang sekali, banyak konflik menarik yang mestinya bisa digarap lebih detail
dan menarik, justru hanya ditampilkan
secara ilustratif. Padahal,
pertemuan antara adat Malinau yang kolot dengan kehidupan kota yang begitu kompromistis
dan bisa menajdi pemicu sebuah konflik yang tajam dan dramatis. Proses
penetrasi budaya yang melebur dalam diri Utay itulah yang tidak digarap penulis
dengan seksama. Meskipun demikian, dari sisi paparan data tentang sebuah
komunitas, tampak jelas penguasaan penulis tentang “rimba” yang dimasukinya.***
Oleh : Lily Bertha Kartika
Disadur dari : Tabloid Mingguan
Semanggi, Edisi 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar