Oleh : Korrie Layun Rampan
(Disampaikan pada Aruh Sastra
Kalimantan Selatan IV, di Amuntai, Hulu Sungai Utara, 14 s.d 16 Desember 2007)
Pada waktu pembentukan Negara
Republik Indonesia, Kalimantan merupakan salah satu provinsi bersama provinsi
lainnya seperti Sunda Kecil, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Jawa Barat, Jawa
Timur-dengan ibukotanya Banjarmasin yang berada di Kalimantan Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, Kalimantan
dibagi menjadi empat provinsi. Oleh karena itu jika dibandingkan provinsi
lainnya di Kalimantan, Kalimantan Selatan jauh lebih maju, karena Kalimantan
Selatan merupakan pusat Kalimantan. Demikian juga dalam hal penulisan sastra.
Kalimantan Selatan merupakan gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di
Kalimantan, kini daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya
dengan sastrawan asal Jawa Tengah.
Sastra Indonesia di Kalsel lahir
pada tahun 30-an. Jika dibandingkan dengan penulisan dan penerbitan buku Balai
Pustaka, Kalsel hanya terlambat 10 tahun, jika patokannya adalah penerbitan
novel Merari Siregar Azab dan Sengsara yang terbit tahun 1920 (dalam kolofon
terbitan 2001, BP menyebutnya terbit pertama kali, 1927) atau novel Siti
Nurbaya Marah Rusli yang terbit tahun 1922. Para pengarang awal dari Kalsel ini
ialah Yustan Aziddin, Merayu Sukma, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadharyah M,
Danil Bangsawan, dll. Kemunculan para pengarang ini - usia dan waktunya - bersamaan denagn lahirnya Pujangga Baru,
meskipun oleh HB Jassin tak satu pun nama pengarang ini masuk ke dalam antologi
Pujangga Baru Prosa dan Puisi, walaupun Merayu Sukma dan Ramlan Marlim sempat
menerbitkan novel mereka di Medan dan Yogyakarta.
Pada umumnya para sastrawan awal ini
juga aktif dalam kegiatan politik untuk mencapai Indonesia merdeka. Oleh karena
itu, beberapa dari mereka, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, menghilang seperti tanpa
jejak. Namun sebagian lagi, justru muncul lebih intensif pada tahun 40-an dan
50-an, dan menembus media massa berwibawa di Jakarta seperti Siasat /
Gelanggang dan Mimbar Indonesia seperti Artum Artha yang kemudian menerbitkan
novel Gadis Zaman Kartini (1949), Tahanan yang Hilang (1950), dan Kepada
Kekasihku Rochayanah (1951). Generasi ini diikuti oleh para sastrawan selanjutnya seperti Maseri Matali, Asyikin Noor
Zuhri, Masrin Mastur, dan lain-lain. Meskipun belum sempat menerbitkan karyanya
di dalam buku tersendiri, Maseri Matali sempat disinggung HB Jassin dalam buku
Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai penyair berbakat dari Kalimantan.
Dekade 50-an dan 60-an merupakan
kebangkitan sastrawan Kalsel, karena pada periode ini muncul sejumlah media
cetak yang tersebar di seluruh Indonesia. Disamping media hiburan, media massa
sastra juga tersebar di seluruh Indonesia seperti Mimbar Indonesia, Siasat,
Zenith, Waktu, Kisah, Indonesia, Budaya, Gadjah Mada, Merdeka, Konfrontasi,
Basis, Medya, Prosa, Cerita, Roman, dll. Para pengarang yang telah muncul pada
dekade sebelumnya, makin berkembang pada dekade ini serta sejumlah sastrawan muda
menyusul. Diantara mereka terdapat nama Hijaz Yamani, Ramta Martha, Azn
Ariffin, Dachry Oskandar, D Zauhidie, Taufiqurrachman, Yustan Aziddin, Salim
Fachry, Solichin Hasan, Syamsul Suhud, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh,
Aliansyah Ludji, Sir Rosihan, Syamsul Bahriar AA, Rustam Effendi Karel, Achmad
Yachim, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, dll.
Generasi ini disamping menulis untuk
media massa di luar Kalsel mereka juga memiliki media massa sendiri, yaitu
majalah bulanan Pahatan. Majalah ini didirikan Ikatan Pencinta Seni Sastra pada
tahun 1954 oleh sejumlah sastrawan diantaranya HM Imansyah, Taufiqurrachman,
Adham Burhan, dan Achmad Yachim. Sebelumnya, para sastrawan ini sudah didukung
media publikasi berupa rubrik Untaian Mutiara RRI Banjarmasin yang mengudara
sejak 1953 yang banyak meluncurkan pembacaan puisi. Dari Untaian Mutiara ini
mendorong terbentuknya organisasi Ikatan Penggemar Deklamasi (1955) yang
didirikan oleh Syamsul Suhud, Korsen Salman, Rustam Effendi Karel, M Gafuri
Arsyad, dll di Banjarmasin. IPD merupakan motor penggerak berbagai lomba
deklamasi di Banjarmasin, baik untuk umum maupun pelajar. Sementara itu, pada
tahun 1958 didirikan majalah Bandarmasih oleh Sholihin, Artum Artha, M Idwar Saleh, dll sebagai
pengganti Pahatan yang tak terbit lagi. Baik di Untaian Mutiara, Pahatan dan
Bandarmasih lahir sejumlah sastrawan baru seperti Mh Hadharyach Roch, AS Ibahy,
Gusti Muhammad Farid, Bachtar Suryani, Murjani Bawi, dll. Nama-nama ini makin
berkembang dalam dekade selanjutnya, terutama oleh dorongan terbitnya antologi
Perkenalan di Dalam Sajak (1963) yang berisi puisi-puisi para penyair dari seluruh Kalimantan yang didahului oleh
penerbitan Imajinasi (1960) kumpulan puisi D Zauhidie. Para penyair lainnya
menerbitkan juga karya mereka dalam kumpulan tunggal seperti Bachtar Suryani
(Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968).
Kumpulan yang terakhir ini diterbitkan atas inisiatif D Zauhidie, karena penyairnya sudah meninggal
dunia, 27/28 Desember 1968. Para sastrawan ini juga ditunjang oleh terbitnya
majalah sastra Horison dan majalah kebudayaan umum Budaya Jaya di Jakarta.
Perkembangan pada tahun 70-an sangat
pesat karena ditunjang oleh munculnya organisasi kesenian berupa Dewan Kesenian serta berkembang suburnya
media massa cetak. Para sastrawan yang muncul pada dekade ini diantaranya adalah
Ajamuddin Tifani, Andi Amrullah, Eza Thabry Husano, A Rasyidi Umar, Ibrahim
Yati, Sabrie Hermantedo, Hamami Adabi, Ruslan Barkahy, S Surya, B Sanderta, Ismail
Effendi, Arsyad Indradi, Abdussamad SA, Ibramsyah Barbary, A Mujahidin S, Ulie
S Sbastian, M Amin Azhardhie, Adjim Arijadi, Swastinah AA, A Rahman, Johan
Kalayan, Yan Pieter AK, Dardy C
Hendrawan, Syamsudin Jr, Ian Emti, Hamberan Syahbana, M Mochtar Marwan, Arifin Hamdi, MS Sailillah, R Rangga, A
Dimyatie Riesma, Sarkian Noor Hadie, Roeck Syamsuri Saberi, Mas Husaini Meratus, Uda Djarani, Ahmad Fahrawi,
Tarman Effendi Tarsyad, Burhanuddin Soebely, dll. Pada dekade ini dapat diterbitkan sejumlah
buku sastra diantaranya antologi
puisi Air Bah (1974), 10 Penyair HSU (1974), Banjarbaru Kotaku (1974), Penjuru
Angin (1978), Tanah Huma (1978), Gardu (1979), dan Riak-Riak Barito (1979).
Kumpulan puisi tunggal diantaranya adalah Sajak-Sajak Pop (Sabrie Hermantedo,
1972), Problema-Problema (Ajamudin Tifani, 1974), Demi Buah Tin dan Zaitun
(Andi Amrullah, 1974), Taman si Muslim Kecil (Syamsiar Seman, 1978), Titian Musim (Andi Amrullah, 1978),
Sketsa Banjarmasin (Bachtar Suryani, 1979). Di Jakarta, terbit sejumlah novel
Ian Emti dari Penerbit Cypress (di bawah redaksi Korrie Layun Rampan) seperti Pada Sebuah
Kapal, Perawan Tapi Hamil, Dosen Komersil dan Insan-Insan Pop. Hal penting
lainnya dari dekade ini adalah
lahirnya Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan pada 19
September 1979 yang dimotori oleh Artum Artha, Asyikin Noor Zuhri, Yustan
Aziddin, Andi Amrullah, Syamsul Suhud, Ajamuddin Tifani, Rusli Haudy, Bachtar
Suryani, A Mujahidin S, M Armin Azhardhie, dll. Secara nasional, dekade ini diisi oleh beberapa
pertemuan sastrawan di Jakarta dan kota lainnya yang memberi semangat dan inspirasi bagi sastrawan lokal.
Dekade 80-an dan 90-an merupakan dua
dekade yang menampakkan perkembangan
sangat pesat. Bukan hanya perkembangan kuantitas sastrawan dan karya sastra,
tapi juga perkembangan kualitas sastra. Jika nama dan karya mereka ini
dideretkan akan memakan beberapa halaman buku, diantaranya ialah Maman S Tawie,
Tajuddin Noor Ganie, Sri Supeni, Micky Hidayat, M Rifani Djamhari, Ariffin Noor
Hasby, Jarkasi, Eddy Wahyuddin, Jamal T Suryanata, Fajar Gemilang, Syarkian Noor Hadie, Si Mawar Jingga, Seroja Murni, Farida Ariani, G Siswanto, M Suriani
Shiddiq, dll. Diantara karya mereka diterbitkan dalam buku Bandarmasih, Siklus
5 Penyair Muda 83, Puisi ASEAN, Tenunan Hari Esok, Kilau Zamrud Khatulistiwa, Arafah, Surat Dari Langit, Hari
Sudah Senja, Forum 4 Penyair Muda
Banjarmasin 85, Pesta Puisi 86, Mengenang Darmansyah Zauhidie, Puisi Banjarmasin 1986, Puisi Banjarmasin 1987,
Selagi Ombak Mengejar Pantai 6, Perjalanan Panjang, Jejak Cermin Suatu Senja,
Jam, Dawat, Palangsaran, Dahaga-B.Post 1981, Bah, Tis, Gaung Kami, Banjarmasin
Kota Kita, Terminal, Langkah Dibagi Langkah Terus ke Depan, Elit Penyair Kalsel
1979-1985, dan Menanti. Beberapa penyair yang menerbitkan karya sendiri terdapat nama-nama Ismed M Muning, Ahmad Fahrawi, Radius Ardanias Hadariah,
Maman S Tawie, Tarman Effendi Tarsyad, Micky Hidayat, Tajuddin Noor Ganie, Kony
Fahran, Sri Supeni, Rieta Imran, M Rifani Djamhari, A Kusairi, Burhanuddin Soebely, Miziansyah J, Eko Suryadi WS, R Rangga,
MS Sailillah, YS Agus Suseno, Nayanata, dan S Surya.
Meskipun para sastrawan Kalsel ini
menulis semua genre sastra, namun genre puisi yang paling subur. Hampir semua
penyair Kalsel – dengan satu atau beberapa puisi – telah pernah disertakan
dalam suatu antologi bersama yang diterbitkan baik di Jakarta, Banjarmasin, dan kota-kota lainnya di
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Namun hingga kini belum ditemukan cerpenis, esais, dan kritikus sastra yang menerbitkan karya
mereka dalam suatu buku khusus, baik pribadi maupun di dalam antologi bersama
para sastrawan Kalsel. Setelah diadakan sayembara mengarang oleh Pusat
Perbukuan Depdiknas, Jakarta, sejak awal 1990-an, beberapa nama keluar dari sayembara
tersebut, seperti Uda Djarani EM, Iwan Yusi, Jamal T Suryanata, dan lain-lain.
Namun sayembara ini tidak berpretensi sastra, hanya berupa buku bacaan untuk
sekolah tingkat SD, SLTP, dan SMU. Secara khusus satu cerpen Ajamuddin Tifani
Petaka Teluk Mendung dipilih Satyagraha Hoerip untuk antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986), dan satu cerpen
berikut sejumlah puisi Jamal T Suryanata disertakan Korrie Layun Rampan untuk
antologi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000) dan antologi puisi Percakapan Batu. Beberapa sastrawan seperti
Merayu Sukma, Rahmat Marlim, Syamsul Suhud, Goemberan Saleh, Ian Emti, dan
Alainsyah Ludji pernah menerbitkan novel mereka baik di Jakarta, Banjarmasin,
Bandung, Jogjakarta, dan Medan. Atas penerbitan itu,
khususnya Merayu Sukma, pernah dimasukkan Professor Dr Roolvink sebagai pengarang picisan atau kitsch,
karena ia menerbitkan novel-novelnya di Medan dengan harga sepicis. Novelis
Kalsel yang kini sedang berkembang pesat dengan memenangkan sayembara penulisan
cerita bersambung Femina adalah Burhanuddin Soebely. Disamping dikenal sebagai
penyair, Burhanuddin Soebely adalah prosais yang menjanjikan masa depan.
Jika dilihat dari pengucapan dan wawasan estetik puisi para penyair
Kalsel dapat dikatakan bahwa kebangkitan sastra puisi di daerah ini mulai
berpuncak pada Hijaz Yamani dan D Zauhidie. Puisi-puisi Hijaz Yamani mampu ke
luar dari pengucapan esoterik lokal ke dalam pengucapan yang universal berkat tema-tema keagamaan dan tema
keakuannya yang mencirikan penemuannya pada sejarah lokal. Sajak-sajaknya yang paling
akhir banyak melukiskan solidaritas kemanusiaan yang tidak dibelenggu oleh
ras, etnik, bangsa, dan agama. Ia mampu ke luar dari tembok dogmatis sehingga sajak-sajaknya lebih berpusat pada
sosioreligius yang berancang pada religiusitas. Sementara D Zauhidie merupakan puncak
yang lain dalam dekade yang sama
dengan Hijaz Yamani. Penyair ini melejit ke puncak sastra
di Kalsel lewat sajak-sajaknya yang
bercanda dengan maut. Beberapa sajaknya yang dipilih untuk antologi Tanah Huma
(1978), dan Tonggak (1987), merupakan sajak-sajak kematian yang dilihat dari
segi humor. Banyak penyair yang menulis epitaf bagi dirinya sendiri, tapi Zauhidie justru menulis lelucon, seakan-akan kematian bukanlah hal yang
hebat dan mengerikan, kematian adalah suatu suasana berlelap yang indah.
Pengucapan penyair ini yang menekankan pada tragedi dan metafora, mengangkat hal
keseharian menjadi hal-hal yang berharga, dan menjadi persoalan universal.
Suasana lokal digalinya menjadi bagian kehidupan yang mencerminkan bahwa
manusia dan kemanusiaan tak berbeda di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Hanya manusia
sendiri yang membuat kotak pemisah, sementara secara naluri manusia hal yang sama : cinta. Cinta
itu yang membuat manusia dapat bersatu, dan cinta juga membuat manusia bisa
saling bermusuhan dan berbunuhan. Cinta yang bersifat chauvinistic akan
mematikan, tapi cinta dalam arti humanistik akan membangun kehidupan manusia di seluruh dunia. Inti sajak-sajak
Zauhidie mengungkapkan hal yang
demikian itu.
Puncak kedua dari kepenyairan di Kalsel (Hijaz Yamani dan D Zauhidie dapat dikatakan satu puncak) ditempati
Ajamuddin Tifani. Penyair ini sama
sekali tidak terbelenggu pada sifat esoterik dan nuansa lokal yang
membelenggu pengucapannya. Sajak-sajaknya ke luar dari mainstream kepenyairan
lokal yang banyak memuja alam,
sejarah etnik, eksostisme rendah dari romantisme, dogma agama, serta persoalan-persoalan lokal yang melahirkan melodramatisme. Sajak-sajak Ajamuddin Tifani merupakan
puisi yang sama kedudukan dan nilainya dengan puisi-puisis dunia yang
mencirikan keuniversalan kemanusiaan. Persoalan yang dikemukakannya
adalah persoalan hakiki tentang cinta, erotisme, iman,
individualitas kemanusiaan, rasa sepi, perjuangan yang tak
kunjung usai, agama, persoalan sosial kemasyarakatan, kemiskinan, moral, dan sebagainya.
Puisi-puisi itu diucapkan dengan cara yang indah, lentur, dengan kata-kata yang ekonomis dan
terpilih, dengan menggunakan perangkat-perangkat sastra yang baku
seperti metafora, simile, bunyi, derap, persajakan, dan sebagainya dan
mencirikan penemuan bahasa yang individual.
Puncak ketiga, masih bersaing para
penyair yang senang berproses,
diantaranya Jamal T Suryanata telah
masuk di dalam Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, 2000) yang disusul oleh Micky Hidayat, Maman S Tawie, dan Ariffin
Noor Hasby (dalam jilid kedua), YS Agus Suseno dan sejumlah nama lain yang akan
masuk jilid ketiga. Mereka ini masih
akan diuji oleh waktu karena mereka masih berproses. Tapi secara sekilas, itulah
perjalanan sastra selama lebih kurang 80 tahun di Kalsel yang bisa di rekontruksi
secara global dan sederhana.
Jika ditinjau secara historis, penulisan
sastra di Kalimantan Timur relatif lebih muda dari penulisan sastra
Indonesia. Jika penulisan sastra Indonesia
dimulai pada awal tahun 1900, maka
penulisan sastra di Kalimantan Timur dimulai pada paro akhir tahun
1940-an. Para penyair awal ini dapat dianggap sebagai pembuka jalan bagi para
sastrawan yang datang lebih
kemudian. Diantara mereka tercatat nama Ahmad Dahlan (yang sering menggunakan
nama samaran D Adham), Kadrie Oening, M
Suhana, Oemar Mayyah, Burhan Dahlan, dll. Kelompok ini jika mau digolongkan ke
dalam suatu angkatan sastra khususnya jika ditilik dari segi usia mereka tergolong ke dalam angkatan 45. Akan tetapi dari
segi pengucapannnya, mereka masih tergolong ke dalam Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan Pujangga Baru,
dimana bentuk-bentuk puisi kebanyakan menggunakan pola persajakan pantun dan
syair dan bentuk prosa masih dekat dengan pola hikayat dan riwayat.
Generasi yang datang lebih kemudian tercatat nama
Ahmad Noor, Djumri Obeng, Masdari Ahmad, HM Ardin Katung, dan lain-lain. Dari generasi ini hanya dua
sastrawan yang sempat muncul di majalah Sastra pimpinan HB Jassin, yaitu Djumri
Obeng dan Awang Shabriansyah. Diantara mereka, Djumri Obeng sangat menonjol
dengan mempublikasikan beragam
genre karya sastra seperti cerpen,
puisi, novelet, drama, dan novel. Cerpennya Langit Hitam yang dimuat majalah
Sastra kemudian dipilih untuk sebuah antologi dwibahasa : Indonesia – Perancis.
Novelnya Dunia Belum Kiamat dan novel otobiografis Merah Putih di Langit Sanga-Sanga termasuk novel yang
menarik perhatian, khususnya mengenai latar Kalimantan Timur. Para sastrawan ini telah keluar dari mainstream
amanat atau tendens, tetapi mereka lebih mementingkan ide keindahan dan
pemikiran yang ditanam di dalam karya sebagai pusat tema. Generasi ini jika
dimasukkan ke dalam angkatan sastra, mereka tergolong ke dalam Angkatan 66.
Para pengarang yang menyusul kemudian, tercatat nama Ani AS,
Syamsul Munir Asnawie, Hamdi AK BA, Johansyah Balham, Ibrahim Konong, Sudin
Hadimulya, Arkanita, Sattar Miskan, Sarwani Miskan, Mugni Baharuddin, Hamidin,
Syarifudin Basran, Karno Wahid, dan
lain-lain. Diantara mereka Ani AS ( A Rizani Asnawi), Mugni Baharuddin, dan
Karno Wahid pernah menerbitkan kumpulan puisi tunggal. Para pengarang ini
muncul dengan dukungan mingguan Sampe yang terbit di Samarinda. Jika dimasukkan ke dalam suatu angkatan
sastra, mereka ini dapat digolongkan ke dalam Angkatan 70 atau Angkatan 80.
Setelah generasi ini lahir generasi
DKS yang mencatat nama-nama Yadi AM, Adam A Chiefni, Fiece Esf, Dimas Hono,
Budi Warga, MS Koloq, Sukardi Wahyudi, Tatang Dino Hero, Syafruddin Pernyata,
Nanang Rijono, dll. Diantara para sastrawan ini, disamping menulis karya sastra juga giat dibidang teater.
Pada paroan kedua tahun 1970-an, pernah muncul beberapa grup teater yang didukung oleh para sastrawan dan teaterawan yang meramaikan kawasan Kaltim, khususnya di
kota-kota besar. Nama-nama seperti Sattar Miskan, Ibrahim Konong, Aziz Farani,
Mugeni, Abdul Rahim Hasibuan,
Yongki, Saiful M, Rizal Effendi, dll merupakan pekerja sastra sekaligus pekerja
teater. Sementara bidang publikasi juga memegang peran, sebagaimana yang dilakukaan
oleh Syafril Teha Noer yang mengelola media DKS : Arus. Peran media massa cukup
besar dalam menunjang kehadiran dan eksistensi para sastrawan, sebagaimana yang
dilakukan Sampe, Manuntung (kemudian menjadi Kaltim Post), Suara Kaltim, dan
sejumlah media massa lainnya yang kurang terpantau oleh penulis. Sejumlah
sastrawan yang disebut paling kahir ini, jika mengikuti pengelompokkan didalam
suatu angkatan sastra, mereka dapat digolongkan sebagai Angkatan 2000 dalam sastra
Indonesia.
Jika ditilik dari segi pengucapan, pada masing-masing generasi
sastrawan yang disebut diatas, tampaknya kurang menunjukkan pembaruan bentuk.
Kebanyakan mereka mengikuti mainstream
sastra nasional yang secara kuat mengimbaskan pengaruhnya kepada para sastrawan
lokal. Namun secara tematik,
karya-karya para sastrawan ini menunjukkan penerobosan ke dalam pemikiran yang cukup mumpuni, karena
mencerminkan keuniversalan tema-tema kemanusiaan. Sejak Ahmad Dahlan yang
menyajakkan romantik revolusi,
berkembang pada Ahmad Nor yang bernyanyi tentang penerimaan individu terhadap
nasib di dalam nuansa religius, lalu meluas pada Djumri Obeng dengan ragam
genre sastra yang dipilihnya, tetapi selalu berujung pada
warna lokal yang kental, berlanjut pada Ani
AS (Ahmad Rizani Asnawi-mantan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi
Kalimantan Timur) yang menyadari dan menempatkan makna religius, kebajikan, dan kebenaran di tengah hiruk-pikuknya penghargaan
manusia terhadap hal-hal fisik yang membawa dampak terhadap kesesatan
moral sehingga tokoh-tokohnya akhirnya selalu bertanya-tanya
tentang eksistensi diri. Dalam variasi yang lain, sajak-sajak Karno Wahid, Andi
Baharudin, Roedy Harjo Widjono AMZ, cerpen-cerpen dan sajak Syafruddin
Pernyata, Ign Sawabi, Nanang Rijono, Zulhamdani AS, Herman A Salam, Pardi,
Shantined, Jafar Haruna, Arif Er Rachman, Atik Sri Rahayu, Atik Sulistyowati,
Erna Wati, Hasan Aspahani, Novieta Dura, Maya Wulan, Fitriani Um Salva, Gita
Lydia, Muthi’ Masfu’ah, Abdillah, Syafe’i, Tri Lestari Soemariyono, Ade Ikhsan,
Erni Suparti, Hanafi, Muhammad Fajar, Uni Sagena, Alya Kashfy, Daian,
Hermiyana, Dian Herawati Situmorang, Eni Ayu Sulistowati, Kartika Heriyani,
Khoiriyyatuzzahro, Mega Ayu Mustika, Miranti Rasyid, Sari Azis, Siti Maleha,
Wuri Handayani, Muhammad Syafiq, Numi, dan lain-lain melanjutkan tema-tema yang
berkembang dari hal-hal keseharian, ke persoalan kemanusian yang lebih luas
sehingga mampu ke luar dari mikrokosmos tematik ke dalam makrokosmos ruang gerak pemikiran yang dilandasi sifat-sifat dasar dunia profan ke dunia transedental.
Dengan pergerakan semacam itu, kehidupan sastra lokal atau kesusastraan Kalimantan
Timur selalu memiliki pertautannya dengan karya sastra nasional. Para pembaru
sastra Indonesia seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal
Malna, Seno Gumira Ajidarma, tampaknya
menjadi model bagi masing-masing generasi sastrawan yang berkiprah pada
zamannya. Dengan demikian, tampak bahwa karya sastra sastrawan Kalimantan Timur
berada pada strata pelapisan yang cenderung impresif, kurang mampu menembus
lapisan permukaan sastra nasional. Hal ini dapat ditandai-jika media itu dapat
dijadikan ukuran-bahwa tak satupun sastrawan dari Kalimantan Timur (yang lahir
dan terus menetap di Kalimantan Timur) yang mempublikasikan karya mereka di ruang seni budaya harian Kompas maupun
majalah sastra Horison. Dengan kurang publikatifnya karya sastra Kalimantan Timur ini,
maka nama-nama mereka tidak muncul di dalam antologi bergengsi sastra Indonesia modern, misalnya yang disusun HB Jassin, Ajip
Rosidi, Satyagraha Hoerip, Taufiq Ismail, Pamusuk Eneste, Linus Suryadi AG,
maupun Korrie Layun Rampan.
Pertumbuhan dan perkembangan sastra
di Kalimantan Barat, tidaklah sesubur di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1950-an dan
1960-an yang muncul secara nasional hanya Munawar Kalahan, Herry Hanwari,
Soesani A, dan Yusakh Ananda. Yang paling menonjol hanya Yusakh Ananda dan
dipuji HB Jassin sebagai pelukis alam sunyi Kalimantan. Cerpen-cerpennya yang
kemudian disertakan HB Jassin dalam antologi Angkatan 66 : Prosa dan Puisi (1968), diantaranya dibukukan dalam
kumpulan cerpen Demikianlah Pada Mulanya (1980) menunjukkan konsistensinya di dunia
sastra. Tidak seperti sejumlah pengarang yang lahir lebih kemudian-diantaranya
Aan S Kawisar dan Dharmawati TST-yang hijrah ke Jakarta, Yusakh Ananda-yang nama aslinya Zubier Muchtar-secara
terus-menerus menetap di Kalimantan Barat. Meskipun ia tidaklah terlalu subur,
namun dua cerpennya Kampungku yang Sunyi dan Yang Masih Kuingat menarik
perhatian dunia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Perancis.
Periode awal tumbuh dan berkembangnya
kesusastraan Indonesia modern di
Kalimantan Barat dipuncaki oleh karya-karya fiksi Yusakh Ananda. Cerpen-cerpen
Yusakh yang mencerminkan
kehidupan wong cilik di kawasan ini (mungkin Sambas tempat kelahirannya, 1934) mengguik rasa trenyuh
dan simpati yang
dalam terhadap nasib dan peruntungan. Fiksi-fiksi yang diangkat dari realitas sehari-hari mencerminkan
pandangan naturalistik yang dianut
pengarang ini, membawa pembaca kepada alam dan manusia yang menjadi sumber
ceritanya. HB Jassin dan Ajip Rosidi memberikan penghargaan yang
pantas untuk cerpenis yang sampai hari tuanya tetap
setia mempublikasikan karya-karyanya. Atas dedikasinya dan kualitas
karya-karyanya itu maka kumpulan cerpennya Demikanlah Pada Mulanya secara
khusus dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam Cerita Pendek Indonesia, Buku II, seri khusus kritik
cerpen.
Pada periode yang sama, Yusakh Anada
didampingi oleh rekannya, seorang penyair kuat dari Kalimantan Barat, Munawar Kalahan. Meskipun terlebih dahulu kembali ke alam baka, namun Munawar Kalahan
sempat melahirkan sajak-sajak yang berkualitas. Persambungan dari mereka ini lebih banyak muncul di media massa lokal seperti koran dan radio setempat. Tercatat nama-nama
seperti : Khairani Harfisari, Sulaiman Pirawan, Sataruddin Ramli, Effendi Asmara
Zola, dan lan-lain yang jumlahnya tidak banyak. Regenerasi memang agak lambat, sebab baru tahun awal
1980-an generasi baru muncul lewat komunits Kompak (Kelompok Penulis Pontianak) yang diproklamasikan 1 April 1984, oleh Sembilan
sastrawan : Aant S Kawisar, Aroyo Arno Morario, Diant MST, Dharmawati TST,
Mizar Bazarvio, Odhy’s, Tulus Sumaryadi, Tadjoel Khalwaty AS, dan Zailani
Abdullah. Dalam perkembangannya , Kompak melahirkan para pengarang seperti
Yudhiswara, Wyaz Ibn Sinentang, Chandra Argadinata, Mizan AR, Suwarto S, Uray
Kasrtarani Has, Nie’s Alantas, dan lain-lain. Dan oleh perkembangan media massa, baik daerah
maupun pusat (Jakarta), bermunculanlah nama-nama Mayzar Seylendra, Aspan
Ananda, Pradono, Mulyadi, Syarif Zolkarnaen Shahab, Yoseph Oedilo Oendoen,
Harun Das Putra, dan lain-lain. Karya-karya mereka ini tersebar di Harian Akcaya di Pontianak dan sejumlah media massa di
Jakarta seperti Horison, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, Femina,
Kartini, Swadesi, Mutiara, Merdeka, Pelita, dll. Diantara para penulis ini
Odhy’s sempat dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam buku Jejak Langkah Sastra Indonesia. Pada tahun 2005-sebelum
meninggal di India, Mei 2005-sajak-sajak Odhy’s dipilih Korrie Layun Rampan
untuk antologi Percakapan Batu-antologi para penyair Kalimantan, judul itui
diambil dari salah satu
judul sajak Odhy’s Percakapan Batu-yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta
dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia.
Puncak sastra mutakhir di Kalimantan
Barat ditempati dua penyair yang keduanya sudah almarhum : Odhy’s (1955-2005)
dan Yudhiswara (1957-2006) yang sempat mempublikasikan puisi-puisi mereka di media
massa Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, Brunei Darussalam, dan Malaysia, disamping telah
membukukan sajak-sajak itu, baik dalam antologi bersama maupun dalam buku tersendiri. Odhy’s-yang nama sebenarnya Muhammad Zuhdi
Saad-sempat menerbitkan 15 kumpulan puisi tunggal dan bersama. Sementara Yudhiswara
menerbitkan 9 kumpulan puisi diantaranya Hujan Lolos Dari Sela Jari dan Jakarta Dalam Puisi
Indonesia (2000) yang dieditori Korrie
Layun Rampan—diantaranya dimuat majalah Horison—dan dalam Bunga Rampai Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia, Buku II
(juga susunan Korrie Layun Rampan). Sajak-sajak Odhy’s mencerminkan penggaliannya
terhadap alam lingkungan lokal, adat
istiadat, dan dunia keimanan.
Sajak-sajaknya yang paling akhir banyak menyiratkan tentang nuansa religius
yang berbicara tentang mati, kehidupan kekal di akhirat, Tuhan, para nabi, dan
tamsil-tamsil kehidupan yang berbahagia. Sementara Yudhiswara sama-sama banyak menampilkan tema-tema maut dan kehidupan alam kubu, sebagaimana sajaknya
Perenungan Makam yang dikutip Korrie Layun Rampan untuk Buku II Bunga Rampai Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia, seperti yang diturunkan berikut
ini.
PERENUNGAN
MAKAM
Setelah
pemakaman memulangkan tubuhmu
membawaku
di alammu
di
alam renung
kematian
saling susul-menyusul
cerita-cerita
nisbi telah dihentikan
sehabis
keranda
itukah
bus kota terakhir
ah,
ada saja derak menggigil
pergi
ke muara
melayat
para nelayan
yang
mati kesunyian di atas biduk
dengan
ikan yang masih menggelepar
itukah
diri kita
ada-ada
saja pertanyaan nakalmu
setelah
pemakaman berakhir
tak
ada kembang
tak
ada nisan
sebab
makam bukan perjalanan terakhir
mengaliri
darah sehabis hidup
dari
akar sampai ke pucuk
kembalinya
ke makam
di
cermin aku harus ikhlaskan
segala
tangan kaki dan muka
lidah
dan jantung menjadi tanah
16/08/97
Agak sulit menyusuri jejak-jejak
sastra di Kalimantan Tengah,
dibandingkan pada tiga provinsi lainnya di Kalimantan. Meskipun Tjilik Riwut
dapat dianggap sebagai seniman-budayawan-sastrawan, namun sajak-sajak yang
ditulisnya kurang memadai dalam jumlah dan bobot. Pada buku Sastrawan Indonesia, Buku IV, ada dibicarakan
sejumlah puisi dan riwayat hidupnya, khususnya sebagai pioner—dalam segala
hal—di Kalimantan Tengah, namun pembicaraan itu
hanya bersifat global. D Zauhidie (1934-1984) numpang lahir di Muara Teweh, tetapi kiprah sastranya banyak dilakukan di
Kandangan, Kalsel. JJ Kusni yang berasal dari Kasongan, tetapi karena persoalan politik harus menjadi sastrawan eksil di
mancanegara dan terakhir menetap di Perancis. Kumpulan puisinya yang paling
akhir Sansana Anak Naga merekontruksikan pengalaman-pengalaman mistis dan pengalaman real yang dilalui pujangga Indonesia-Dayak yang menjadi doktor terbuang di Eropa. Kebanyakan sajaknya berupa protes sosial, sesuai dengan misi realisme-sosialis yang cenderung
menggunakan karya sastra sebagai media perlawanan. Diluar sajak-sajaknya yang
berbicara tentang pergulatan etnik, pencarian identitas suku, dan mitos leluhur
; sajak-sajak lainnya yang berhubungan dengan kondisi sejarah hitam bangsa, mencerminkan suatu perlawanan sastrawi.
Publikasi yang bisa didapat penulis
amat sedikit, sehingga informasi mutakhir
dari kawasan ini sangat minim. Ada sejumlah puisi yang dimuat Palangka Pos dan
media massa lainnya berasal dari provinsi ini, namun publikasi itu tidak dapat
dijadikan sumber sastra, karena kualitasnya kurang meyakinkan. Sumber-sumber
yang pantas diperhitungkan, selain JJ Kusni adalah Badar Sulaiman Usin (1927) dan
Yoko S Passandaran (1953). Sajak-sajak Badar banyak
berbicara tentang hutan, alam, lingkungan hidup, dan manusia terasing di tengah alam.
Puluhan manuskrip puisinya yang dikirim kepada penulis mencerminkan
pencarian dan kegelisahannya terhadap penetrasi teknologi canggih yang kemudian membawa dampak dehumanisasi.
Sajak-sajak itu diucapkan secara sahaja, membayangkan kebersahajaan penyairnya
yang berasal dari Pulang Pisau, dan kemudian bermukim di bantaran Sungai Kahayan di Pahandut, dan meninggal di Palangkaraya. Penyair ini, memperlihatkan
posisinya pada perbatasan zaman lampau, Generasi 45 dengan dunia
persajakan modern yang berkembang hingga Angkatan 2000. Sejumlah buletin yang
diterbitkannya di Palangkaraya—bersama teman-temannya—memperlihatkan upayanya
untuk mengembangkan sastra di wilayah itu. Namun sayang, hingga ia meninggal dunia,
belum satu pun buku puisi dan
prosanya yang sudah diterbitkan
dalam bentuk buku.
Yoko S Passandaran—yang nama aslinya
Johanes Joko Santoso Passandaran—adalah arek Jawa Timur yang lama bermukim di
Jogjakarta, dan kemudian Kuala Kapuas dan Palangkaraya.
Disamping mengajar di Universitas Palangkaraya, di kota yang terakhir ini ia bersama Badar dan rekan-rekan membangun komunitas sastra, namun,
semenjak Yoko kembali lagi ke Jogjakarta awal tahun 2000-an, apresiasi sastra di kota itu makin senyap.
Sajak-sajak Yoko, sebagaimana yang
tersebar diberbagai media dan buku stensilan, berbicara tentang angin, laut,
Tuhan, sahabat, cinta, dunia rumah tangga, persahabatan, kesetiakawanan sosial,
dsb. Pengucapannya lembut, imajinatif, rapi, santun, dengan kesetiaannya pada
rima dan irama. Sajak-sajaknya mencerminkan sifat paternalistik—mungkin
pengaruhnya sebagai guru, dosen—memperlihatkan dedikasi, dan perjuangannya
membangun personalitas di tengah manusia lain. Hubungan-hubungan yang manusiawi
antara persona dengan alam dijamin dalam nuansa liris yang patetik, sebagaimana
sajaknya Angin Selat I yang menunjukkan penemuaannya pada bahasa, seperti dapat
dibaca di bawah ini.
ANGIN
SELAT I
Angin
telah pergi sejak senja
bermalam-malam
panjang hampa kata
tanpa
bintang-bintang dan lentera
Sepi
yang tertinggal di ekor kapal
senantiasa
merenggut kelepak layar
semakin
jauh, semakin samar
Engkau
itu tiba-tiba berkabar
tentang
kangen yang terkapar
di
selatan Selat Makassar ?
1975
Oleh karena hanya tiga nama ini yang
penulis anggap representatif mewakili wilayah ini, maka pada ketiganya puncak
sastra di kawasan ini JJ Kusni tak diragukan dedikasi dan daya tahannya, bahkan
hingga tinggal di Eropa, ia tetap bersajak. Badar, sampai akhir hidupnya tetap
giat dalam sastra, bahkan sempat memenangkan salah satu sayembara penulis
cerpen di majalah Sarinah, Jakarta. Yoko S Passandaran memang belum sepenuhnya
mengembangkan bakat sastra, namun hasil yang sudah dicapai seperti yang tampak
dari buku-buku puisinya : Kwatrin-Kwatrin Lautan (1975), Darmaga II (1975),
Bulaksumur Malioboro (1975) dan lain-lain menampakkan ia memiliki masa depan
yang cerah. Ketiga penyair ini merupakan jantung sastra Kalimantan Tengah
hingga hari-hari terakhir ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar