Rabu, 01 April 2015

Kalimantan Dalam Sastra Indonesia

Kamis, 2 April 2015


Oleh : Korrie Layun Rampan

(Disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, di Amuntai, Hulu Sungai Utara, 14 s.d 16 Desember 2007)

            Pada waktu pembentukan Negara Republik Indonesia, Kalimantan merupakan salah satu provinsi bersama provinsi lainnya seperti Sunda Kecil, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Jawa Barat, Jawa Timur-dengan ibukotanya Banjarmasin yang berada di Kalimantan Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi. Oleh karena itu jika dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, Kalimantan Selatan jauh lebih maju, karena Kalimantan Selatan merupakan pusat Kalimantan. Demikian juga dalam hal penulisan sastra. Kalimantan Selatan merupakan gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal Jawa Tengah.
            Sastra Indonesia di Kalsel lahir pada tahun 30-an. Jika dibandingkan dengan penulisan dan penerbitan buku Balai Pustaka, Kalsel hanya terlambat 10 tahun, jika patokannya adalah penerbitan novel Merari Siregar Azab dan Sengsara yang terbit tahun 1920 (dalam kolofon terbitan 2001, BP menyebutnya terbit pertama kali, 1927) atau novel Siti Nurbaya Marah Rusli yang terbit tahun 1922. Para pengarang awal dari Kalsel ini ialah Yustan Aziddin, Merayu Sukma, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadharyah M, Danil Bangsawan, dll. Kemunculan para pengarang ini - usia dan waktunya -  bersamaan denagn lahirnya Pujangga Baru, meskipun oleh HB Jassin tak satu pun nama pengarang ini masuk ke dalam antologi Pujangga Baru Prosa dan Puisi, walaupun Merayu Sukma dan Ramlan Marlim sempat menerbitkan novel mereka di Medan dan Yogyakarta.
            Pada umumnya para sastrawan awal ini juga aktif dalam kegiatan politik untuk mencapai Indonesia merdeka. Oleh karena itu, beberapa dari mereka, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,  menghilang seperti tanpa jejak. Namun sebagian lagi, justru muncul lebih intensif pada tahun 40-an dan 50-an, dan menembus media massa berwibawa di Jakarta seperti Siasat / Gelanggang dan Mimbar Indonesia seperti Artum Artha yang kemudian menerbitkan novel Gadis Zaman Kartini (1949), Tahanan yang Hilang (1950), dan Kepada Kekasihku Rochayanah (1951). Generasi ini diikuti oleh para sastrawan selanjutnya seperti Maseri Matali, Asyikin Noor Zuhri, Masrin Mastur, dan lain-lain. Meskipun belum sempat menerbitkan karyanya di dalam buku tersendiri, Maseri Matali sempat disinggung HB Jassin dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai penyair berbakat dari Kalimantan.
            Dekade 50-an dan 60-an merupakan kebangkitan sastrawan Kalsel, karena pada periode ini muncul sejumlah media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia. Disamping media hiburan, media massa sastra juga tersebar di seluruh Indonesia seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Waktu, Kisah, Indonesia, Budaya, Gadjah Mada, Merdeka, Konfrontasi, Basis, Medya, Prosa, Cerita, Roman, dll. Para pengarang yang telah muncul pada dekade sebelumnya, makin berkembang pada dekade ini serta sejumlah sastrawan muda menyusul. Diantara mereka terdapat nama Hijaz Yamani, Ramta Martha, Azn Ariffin, Dachry Oskandar, D Zauhidie, Taufiqurrachman, Yustan Aziddin, Salim Fachry, Solichin Hasan, Syamsul Suhud, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh, Aliansyah Ludji, Sir Rosihan, Syamsul Bahriar AA, Rustam Effendi Karel, Achmad Yachim, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, dll.
            Generasi ini disamping menulis untuk media massa di luar Kalsel mereka juga memiliki media massa sendiri, yaitu majalah bulanan Pahatan. Majalah ini didirikan Ikatan Pencinta Seni Sastra pada tahun 1954 oleh sejumlah sastrawan diantaranya HM Imansyah, Taufiqurrachman, Adham Burhan, dan Achmad Yachim. Sebelumnya, para sastrawan ini sudah didukung media publikasi berupa rubrik Untaian Mutiara RRI Banjarmasin yang mengudara sejak 1953 yang banyak meluncurkan pembacaan puisi. Dari Untaian Mutiara ini mendorong terbentuknya organisasi Ikatan Penggemar Deklamasi (1955) yang didirikan oleh Syamsul Suhud, Korsen Salman, Rustam Effendi Karel, M Gafuri Arsyad, dll di Banjarmasin. IPD merupakan motor penggerak berbagai lomba deklamasi di Banjarmasin, baik untuk umum maupun pelajar. Sementara itu, pada tahun 1958 didirikan majalah Bandarmasih oleh Sholihin, Artum Artha, M Idwar Saleh, dll sebagai pengganti Pahatan yang tak terbit lagi. Baik di Untaian Mutiara, Pahatan dan Bandarmasih lahir sejumlah sastrawan baru seperti Mh Hadharyach Roch, AS Ibahy, Gusti Muhammad Farid, Bachtar Suryani, Murjani Bawi, dll. Nama-nama ini makin berkembang dalam dekade selanjutnya, terutama oleh dorongan terbitnya antologi Perkenalan di Dalam Sajak (1963) yang berisi puisi-puisi para penyair dari seluruh Kalimantan yang didahului oleh penerbitan Imajinasi (1960) kumpulan puisi D Zauhidie. Para penyair lainnya menerbitkan juga karya mereka dalam kumpulan tunggal seperti Bachtar Suryani (Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968). Kumpulan yang terakhir ini diterbitkan atas inisiatif  D Zauhidie, karena penyairnya sudah meninggal dunia, 27/28 Desember 1968. Para sastrawan ini juga ditunjang oleh terbitnya majalah sastra Horison dan majalah kebudayaan umum Budaya Jaya di Jakarta.
            Perkembangan pada tahun 70-an sangat pesat karena ditunjang oleh munculnya organisasi kesenian berupa Dewan Kesenian serta berkembang suburnya media massa cetak. Para sastrawan yang muncul pada dekade ini diantaranya adalah Ajamuddin Tifani, Andi Amrullah, Eza Thabry Husano, A Rasyidi Umar, Ibrahim Yati, Sabrie Hermantedo, Hamami Adabi, Ruslan Barkahy, S Surya, B Sanderta, Ismail Effendi, Arsyad Indradi, Abdussamad SA, Ibramsyah Barbary, A Mujahidin S, Ulie S Sbastian, M Amin Azhardhie, Adjim Arijadi, Swastinah AA, A Rahman, Johan Kalayan,  Yan Pieter AK, Dardy C Hendrawan, Syamsudin Jr, Ian Emti, Hamberan Syahbana, M Mochtar Marwan, Arifin Hamdi, MS Sailillah, R Rangga, A Dimyatie Riesma, Sarkian Noor Hadie, Roeck Syamsuri Saberi, Mas Husaini Meratus, Uda Djarani, Ahmad Fahrawi, Tarman Effendi Tarsyad, Burhanuddin Soebely, dll. Pada dekade ini dapat diterbitkan sejumlah buku sastra diantaranya antologi puisi Air Bah (1974), 10 Penyair HSU (1974), Banjarbaru Kotaku (1974), Penjuru Angin (1978), Tanah Huma (1978), Gardu (1979), dan Riak-Riak Barito (1979). Kumpulan puisi tunggal diantaranya adalah Sajak-Sajak Pop (Sabrie Hermantedo, 1972), Problema-Problema (Ajamudin Tifani, 1974), Demi Buah Tin dan Zaitun (Andi Amrullah, 1974), Taman si Muslim Kecil (Syamsiar Seman, 1978), Titian Musim (Andi Amrullah, 1978), Sketsa Banjarmasin (Bachtar Suryani, 1979). Di Jakarta, terbit sejumlah novel Ian Emti dari Penerbit Cypress (di bawah redaksi Korrie Layun Rampan) seperti Pada Sebuah Kapal, Perawan Tapi Hamil, Dosen Komersil dan Insan-Insan Pop. Hal penting lainnya dari dekade ini adalah lahirnya Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan pada 19 September 1979 yang dimotori oleh Artum Artha, Asyikin Noor Zuhri, Yustan Aziddin, Andi Amrullah, Syamsul Suhud, Ajamuddin Tifani, Rusli Haudy, Bachtar Suryani, A Mujahidin S, M Armin Azhardhie, dll. Secara nasional, dekade ini diisi oleh beberapa pertemuan sastrawan di Jakarta dan kota lainnya yang memberi semangat dan inspirasi bagi sastrawan lokal.
            Dekade 80-an dan 90-an merupakan dua dekade yang menampakkan perkembangan sangat pesat. Bukan hanya perkembangan kuantitas sastrawan dan karya sastra, tapi juga perkembangan kualitas sastra. Jika nama dan karya mereka ini dideretkan akan memakan beberapa halaman buku, diantaranya ialah Maman S Tawie, Tajuddin Noor Ganie, Sri Supeni, Micky Hidayat, M Rifani Djamhari, Ariffin Noor Hasby, Jarkasi, Eddy Wahyuddin, Jamal T Suryanata, Fajar Gemilang, Syarkian Noor Hadie, Si Mawar Jingga, Seroja Murni, Farida Ariani, G Siswanto, M Suriani Shiddiq, dll. Diantara karya mereka diterbitkan dalam buku Bandarmasih, Siklus 5 Penyair Muda 83, Puisi ASEAN, Tenunan Hari Esok, Kilau Zamrud Khatulistiwa, Arafah, Surat Dari Langit, Hari Sudah Senja, Forum 4 Penyair Muda Banjarmasin 85, Pesta Puisi 86, Mengenang Darmansyah Zauhidie, Puisi Banjarmasin 1986, Puisi Banjarmasin 1987, Selagi Ombak Mengejar Pantai 6, Perjalanan Panjang, Jejak Cermin Suatu Senja, Jam, Dawat, Palangsaran, Dahaga-B.Post 1981, Bah, Tis, Gaung Kami, Banjarmasin Kota Kita, Terminal, Langkah Dibagi Langkah Terus ke Depan, Elit Penyair Kalsel 1979-1985, dan Menanti. Beberapa penyair yang menerbitkan karya sendiri terdapat nama-nama Ismed M Muning, Ahmad Fahrawi, Radius Ardanias Hadariah, Maman S Tawie, Tarman Effendi Tarsyad, Micky Hidayat, Tajuddin Noor Ganie, Kony Fahran, Sri Supeni, Rieta Imran, M Rifani Djamhari, A Kusairi, Burhanuddin Soebely, Miziansyah J, Eko Suryadi WS, R Rangga, MS Sailillah, YS Agus Suseno, Nayanata, dan S Surya.
            Meskipun para sastrawan Kalsel ini menulis semua genre sastra, namun genre puisi yang paling subur. Hampir semua penyair Kalsel – dengan satu atau beberapa puisi – telah pernah disertakan dalam suatu antologi bersama yang diterbitkan baik di Jakarta, Banjarmasin, dan kota-kota lainnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Namun hingga kini belum ditemukan cerpenis, esais,  dan kritikus sastra yang menerbitkan karya mereka dalam suatu buku khusus, baik pribadi maupun di dalam antologi bersama para sastrawan Kalsel. Setelah diadakan sayembara mengarang oleh Pusat Perbukuan Depdiknas, Jakarta, sejak awal 1990-an, beberapa nama keluar dari sayembara tersebut, seperti Uda Djarani EM, Iwan Yusi, Jamal T Suryanata, dan lain-lain. Namun sayembara ini tidak berpretensi sastra, hanya berupa buku bacaan untuk sekolah tingkat SD, SLTP, dan SMU. Secara khusus satu cerpen Ajamuddin Tifani Petaka Teluk Mendung dipilih Satyagraha Hoerip untuk antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986), dan satu cerpen berikut sejumlah puisi Jamal T Suryanata disertakan Korrie Layun Rampan untuk antologi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000) dan antologi puisi Percakapan Batu. Beberapa sastrawan seperti Merayu Sukma, Rahmat Marlim, Syamsul Suhud, Goemberan Saleh, Ian Emti, dan Alainsyah Ludji pernah menerbitkan novel mereka baik di Jakarta, Banjarmasin, Bandung, Jogjakarta, dan Medan. Atas penerbitan itu, khususnya Merayu Sukma, pernah dimasukkan Professor Dr Roolvink sebagai pengarang picisan atau kitsch, karena ia menerbitkan novel-novelnya di Medan dengan harga sepicis. Novelis Kalsel yang kini sedang berkembang pesat dengan memenangkan sayembara penulisan cerita bersambung Femina adalah Burhanuddin Soebely. Disamping dikenal sebagai penyair, Burhanuddin Soebely adalah prosais yang menjanjikan masa depan.
            Jika dilihat dari pengucapan dan wawasan estetik puisi para penyair Kalsel dapat dikatakan bahwa kebangkitan sastra puisi di daerah ini mulai berpuncak pada Hijaz Yamani dan D Zauhidie. Puisi-puisi Hijaz Yamani mampu ke luar dari pengucapan esoterik lokal ke dalam pengucapan yang universal berkat tema-tema keagamaan dan tema keakuannya yang mencirikan penemuannya pada sejarah lokal. Sajak-sajaknya yang paling akhir banyak melukiskan solidaritas kemanusiaan yang tidak dibelenggu oleh ras, etnik, bangsa, dan agama. Ia mampu ke luar dari tembok dogmatis sehingga sajak-sajaknya lebih berpusat pada sosioreligius yang berancang pada religiusitas. Sementara D Zauhidie merupakan puncak yang lain dalam dekade yang sama dengan Hijaz Yamani. Penyair ini melejit ke puncak sastra di Kalsel lewat sajak-sajaknya yang bercanda dengan maut. Beberapa sajaknya yang dipilih untuk antologi Tanah Huma (1978), dan Tonggak (1987), merupakan sajak-sajak kematian yang dilihat dari segi humor. Banyak penyair yang menulis epitaf bagi dirinya sendiri, tapi Zauhidie justru menulis lelucon, seakan-akan kematian bukanlah hal yang hebat dan mengerikan, kematian adalah suatu suasana berlelap yang indah. Pengucapan penyair ini yang menekankan pada tragedi dan metafora, mengangkat hal keseharian menjadi hal-hal yang berharga, dan menjadi persoalan universal. Suasana lokal digalinya menjadi bagian kehidupan yang mencerminkan bahwa manusia dan kemanusiaan tak berbeda di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Hanya manusia sendiri yang membuat kotak pemisah, sementara secara naluri manusia hal yang sama : cinta. Cinta itu yang membuat manusia dapat bersatu, dan cinta juga membuat manusia bisa saling bermusuhan dan berbunuhan. Cinta yang bersifat chauvinistic akan mematikan, tapi cinta dalam arti humanistik akan membangun kehidupan manusia di seluruh dunia. Inti sajak-sajak Zauhidie mengungkapkan hal yang demikian itu.
            Puncak kedua dari kepenyairan di Kalsel (Hijaz Yamani dan D Zauhidie dapat dikatakan satu puncak) ditempati Ajamuddin Tifani. Penyair ini sama sekali tidak terbelenggu pada sifat esoterik dan nuansa lokal yang membelenggu pengucapannya. Sajak-sajaknya ke luar dari mainstream kepenyairan lokal yang banyak memuja alam, sejarah etnik, eksostisme rendah dari romantisme, dogma agama, serta persoalan-persoalan lokal yang melahirkan melodramatisme. Sajak-sajak Ajamuddin Tifani merupakan puisi yang sama kedudukan dan nilainya dengan puisi-puisis dunia yang mencirikan keuniversalan kemanusiaan. Persoalan yang dikemukakannya adalah persoalan hakiki tentang cinta, erotisme, iman, individualitas kemanusiaan, rasa sepi, perjuangan yang tak kunjung usai, agama, persoalan sosial kemasyarakatan, kemiskinan, moral, dan sebagainya. Puisi-puisi itu diucapkan dengan cara yang indah, lentur, dengan kata-kata yang ekonomis dan terpilih, dengan menggunakan perangkat-perangkat sastra yang baku seperti metafora, simile, bunyi, derap, persajakan, dan sebagainya dan mencirikan penemuan bahasa yang individual.
            Puncak ketiga, masih bersaing para penyair yang senang berproses, diantaranya Jamal T Suryanata telah masuk di dalam Angkatan 2000 dalam  Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, 2000) yang disusul oleh Micky Hidayat, Maman S Tawie, dan Ariffin Noor Hasby (dalam jilid kedua), YS Agus Suseno dan sejumlah nama lain yang akan masuk jilid ketiga. Mereka ini masih akan diuji oleh waktu karena mereka masih berproses. Tapi secara sekilas, itulah perjalanan sastra selama lebih kurang 80 tahun di Kalsel yang bisa di rekontruksi secara global dan sederhana.
            Jika ditinjau secara historis, penulisan sastra di Kalimantan Timur relatif lebih muda dari penulisan sastra Indonesia. Jika penulisan sastra Indonesia dimulai pada awal tahun 1900, maka penulisan sastra di Kalimantan Timur dimulai pada paro akhir tahun 1940-an. Para penyair awal ini dapat dianggap sebagai pembuka jalan bagi para sastrawan yang datang lebih kemudian. Diantara mereka tercatat nama Ahmad Dahlan (yang sering menggunakan nama samaran D Adham), Kadrie Oening, M Suhana, Oemar Mayyah, Burhan Dahlan, dll. Kelompok ini jika mau digolongkan ke dalam suatu angkatan sastra khususnya jika ditilik dari segi usia mereka tergolong ke dalam angkatan 45. Akan tetapi dari segi pengucapannnya, mereka masih tergolong ke dalam Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan Pujangga Baru, dimana bentuk-bentuk puisi kebanyakan menggunakan pola persajakan pantun dan syair dan bentuk prosa masih dekat dengan pola hikayat dan riwayat.
            Generasi yang datang lebih kemudian tercatat nama Ahmad Noor, Djumri Obeng, Masdari Ahmad, HM Ardin Katung, dan lain-lain. Dari generasi ini hanya dua sastrawan yang sempat muncul di majalah Sastra pimpinan HB Jassin, yaitu Djumri Obeng dan Awang Shabriansyah. Diantara mereka, Djumri Obeng sangat menonjol dengan mempublikasikan beragam genre karya sastra seperti cerpen, puisi, novelet, drama, dan novel. Cerpennya Langit Hitam yang dimuat majalah Sastra kemudian dipilih untuk sebuah antologi dwibahasa : Indonesia – Perancis. Novelnya Dunia Belum Kiamat dan novel otobiografis Merah Putih di Langit Sanga-Sanga termasuk novel yang menarik perhatian, khususnya mengenai latar Kalimantan Timur. Para sastrawan ini telah keluar dari mainstream amanat atau tendens, tetapi mereka lebih mementingkan ide keindahan dan pemikiran yang ditanam di dalam karya sebagai pusat tema. Generasi ini jika dimasukkan ke dalam angkatan sastra, mereka tergolong ke dalam Angkatan 66.
            Para pengarang yang menyusul kemudian, tercatat nama Ani AS, Syamsul Munir Asnawie, Hamdi AK BA, Johansyah Balham, Ibrahim Konong, Sudin Hadimulya, Arkanita, Sattar Miskan, Sarwani Miskan, Mugni Baharuddin, Hamidin, Syarifudin Basran, Karno Wahid, dan lain-lain. Diantara mereka Ani AS ( A Rizani Asnawi), Mugni Baharuddin, dan Karno Wahid pernah menerbitkan kumpulan puisi tunggal. Para pengarang ini muncul dengan dukungan mingguan Sampe yang terbit di Samarinda. Jika dimasukkan ke dalam suatu angkatan sastra, mereka ini dapat digolongkan ke dalam Angkatan 70 atau Angkatan 80.
            Setelah generasi ini lahir generasi DKS yang mencatat nama-nama Yadi AM, Adam A Chiefni, Fiece Esf, Dimas Hono, Budi Warga, MS Koloq, Sukardi Wahyudi, Tatang Dino Hero, Syafruddin Pernyata, Nanang Rijono, dll. Diantara para sastrawan ini, disamping menulis karya sastra juga giat dibidang teater. Pada paroan kedua tahun 1970-an, pernah muncul beberapa grup teater yang didukung oleh para sastrawan dan teaterawan yang meramaikan kawasan Kaltim, khususnya di kota-kota besar. Nama-nama seperti Sattar Miskan, Ibrahim Konong, Aziz Farani, Mugeni, Abdul Rahim Hasibuan, Yongki, Saiful M, Rizal Effendi, dll merupakan pekerja sastra sekaligus pekerja teater. Sementara bidang publikasi juga memegang peran, sebagaimana yang dilakukaan oleh Syafril Teha Noer yang mengelola media DKS : Arus. Peran media massa cukup besar dalam menunjang kehadiran dan eksistensi para sastrawan, sebagaimana yang dilakukan Sampe, Manuntung (kemudian menjadi Kaltim Post), Suara Kaltim, dan sejumlah media massa lainnya yang kurang terpantau oleh penulis. Sejumlah sastrawan yang disebut paling kahir ini, jika mengikuti pengelompokkan didalam suatu angkatan sastra, mereka dapat digolongkan sebagai Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia.
            Jika ditilik dari segi pengucapan, pada masing-masing generasi sastrawan yang disebut diatas, tampaknya kurang menunjukkan pembaruan bentuk. Kebanyakan mereka mengikuti mainstream sastra nasional yang secara kuat mengimbaskan pengaruhnya kepada para sastrawan lokal. Namun secara tematik, karya-karya para sastrawan ini menunjukkan penerobosan ke dalam pemikiran yang cukup mumpuni, karena mencerminkan keuniversalan tema-tema kemanusiaan. Sejak Ahmad Dahlan yang menyajakkan romantik revolusi, berkembang pada Ahmad Nor yang bernyanyi tentang penerimaan individu terhadap nasib di dalam nuansa religius, lalu meluas pada Djumri Obeng dengan ragam genre sastra yang dipilihnya, tetapi selalu berujung pada warna lokal yang kental, berlanjut pada Ani AS (Ahmad Rizani Asnawi-mantan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Timur) yang menyadari dan menempatkan makna religius, kebajikan, dan kebenaran di tengah hiruk-pikuknya penghargaan manusia terhadap hal-hal fisik yang membawa dampak terhadap kesesatan moral sehingga tokoh-tokohnya akhirnya selalu bertanya-tanya tentang eksistensi diri. Dalam variasi yang lain, sajak-sajak Karno Wahid, Andi Baharudin, Roedy Harjo Widjono AMZ, cerpen-cerpen dan sajak Syafruddin Pernyata, Ign Sawabi, Nanang Rijono, Zulhamdani AS, Herman A Salam, Pardi, Shantined, Jafar Haruna, Arif Er Rachman, Atik Sri Rahayu, Atik Sulistyowati, Erna Wati, Hasan Aspahani, Novieta Dura, Maya Wulan, Fitriani Um Salva, Gita Lydia, Muthi’ Masfu’ah, Abdillah, Syafe’i, Tri Lestari Soemariyono, Ade Ikhsan, Erni Suparti, Hanafi, Muhammad Fajar, Uni Sagena, Alya Kashfy, Daian, Hermiyana, Dian Herawati Situmorang, Eni Ayu Sulistowati, Kartika Heriyani, Khoiriyyatuzzahro, Mega Ayu Mustika, Miranti Rasyid, Sari Azis, Siti Maleha, Wuri Handayani, Muhammad Syafiq, Numi, dan lain-lain melanjutkan tema-tema yang berkembang dari hal-hal keseharian, ke persoalan kemanusian yang lebih luas sehingga mampu ke luar dari mikrokosmos tematik ke dalam makrokosmos ruang gerak pemikiran yang dilandasi sifat-sifat dasar dunia profan ke dunia transedental.
            Dengan pergerakan semacam itu, kehidupan sastra lokal atau kesusastraan Kalimantan Timur selalu memiliki pertautannya dengan karya sastra nasional. Para pembaru sastra Indonesia seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Seno Gumira Ajidarma, tampaknya menjadi model bagi masing-masing generasi sastrawan yang berkiprah pada zamannya. Dengan demikian, tampak bahwa karya sastra sastrawan Kalimantan Timur berada pada strata pelapisan yang cenderung impresif, kurang mampu menembus lapisan permukaan sastra nasional. Hal ini dapat ditandai-jika media itu dapat dijadikan ukuran-bahwa tak satupun sastrawan dari Kalimantan Timur (yang lahir dan terus menetap di Kalimantan Timur) yang mempublikasikan karya mereka di ruang seni budaya harian Kompas maupun majalah sastra Horison. Dengan kurang publikatifnya karya sastra Kalimantan Timur ini, maka nama-nama mereka tidak muncul di dalam antologi bergengsi sastra Indonesia modern, misalnya yang disusun HB Jassin, Ajip Rosidi, Satyagraha Hoerip, Taufiq Ismail, Pamusuk Eneste, Linus Suryadi AG, maupun Korrie Layun Rampan.
            Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Kalimantan Barat, tidaklah sesubur di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1950-an dan 1960-an yang muncul secara nasional hanya Munawar Kalahan, Herry Hanwari, Soesani A, dan Yusakh Ananda. Yang paling menonjol hanya Yusakh Ananda dan dipuji HB Jassin sebagai pelukis alam sunyi Kalimantan. Cerpen-cerpennya yang kemudian disertakan HB Jassin dalam antologi Angkatan 66 : Prosa dan Puisi (1968), diantaranya dibukukan dalam kumpulan cerpen Demikianlah Pada Mulanya (1980) menunjukkan konsistensinya di dunia sastra. Tidak seperti sejumlah pengarang yang lahir lebih kemudian-diantaranya Aan S Kawisar dan Dharmawati TST-yang hijrah ke Jakarta, Yusakh Ananda-yang nama aslinya Zubier Muchtar-secara terus-menerus menetap di Kalimantan Barat. Meskipun ia tidaklah terlalu subur, namun dua cerpennya Kampungku yang Sunyi dan Yang Masih Kuingat menarik perhatian dunia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Perancis.
            Periode awal tumbuh dan berkembangnya kesusastraan Indonesia modern di Kalimantan Barat dipuncaki oleh karya-karya fiksi Yusakh Ananda. Cerpen-cerpen Yusakh yang mencerminkan kehidupan wong cilik di kawasan ini (mungkin Sambas tempat kelahirannya, 1934) mengguik rasa trenyuh dan simpati yang dalam terhadap nasib dan peruntungan. Fiksi-fiksi yang diangkat dari realitas sehari-hari mencerminkan pandangan naturalistik yang dianut pengarang ini, membawa pembaca kepada alam dan manusia yang menjadi sumber ceritanya. HB Jassin dan Ajip Rosidi memberikan penghargaan yang pantas untuk cerpenis yang sampai hari tuanya tetap setia mempublikasikan karya-karyanya. Atas dedikasinya dan kualitas karya-karyanya itu maka kumpulan cerpennya Demikanlah Pada Mulanya secara khusus dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam Cerita Pendek Indonesia, Buku II, seri khusus kritik cerpen.
            Pada periode yang sama, Yusakh Anada didampingi oleh rekannya, seorang penyair kuat dari Kalimantan Barat, Munawar Kalahan. Meskipun terlebih dahulu kembali ke alam baka, namun Munawar Kalahan sempat melahirkan sajak-sajak yang berkualitas. Persambungan dari mereka ini lebih banyak muncul di media massa lokal seperti koran dan radio setempat. Tercatat nama-nama seperti : Khairani Harfisari, Sulaiman Pirawan, Sataruddin Ramli, Effendi Asmara Zola, dan lan-lain yang jumlahnya tidak banyak. Regenerasi memang agak lambat, sebab baru tahun awal 1980-an generasi baru muncul lewat komunits Kompak (Kelompok Penulis Pontianak) yang diproklamasikan 1 April 1984, oleh Sembilan sastrawan : Aant S Kawisar, Aroyo Arno Morario, Diant MST, Dharmawati TST, Mizar Bazarvio, Odhy’s, Tulus Sumaryadi, Tadjoel Khalwaty AS, dan Zailani Abdullah. Dalam perkembangannya , Kompak melahirkan para pengarang seperti Yudhiswara, Wyaz Ibn Sinentang, Chandra Argadinata, Mizan AR, Suwarto S, Uray Kasrtarani Has, Nie’s Alantas, dan lain-lain. Dan oleh perkembangan media massa, baik daerah maupun pusat (Jakarta), bermunculanlah nama-nama Mayzar Seylendra, Aspan Ananda, Pradono, Mulyadi, Syarif Zolkarnaen Shahab, Yoseph Oedilo Oendoen, Harun Das Putra, dan lain-lain. Karya-karya mereka ini tersebar di Harian Akcaya di Pontianak dan sejumlah media massa di Jakarta seperti Horison, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, Femina, Kartini, Swadesi, Mutiara, Merdeka, Pelita, dll. Diantara para penulis ini Odhy’s sempat dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam buku Jejak Langkah Sastra Indonesia. Pada tahun 2005-sebelum meninggal di India, Mei 2005-sajak-sajak Odhy’s dipilih Korrie Layun Rampan untuk antologi Percakapan Batu-antologi para penyair Kalimantan, judul itui diambil dari salah satu judul sajak Odhy’s Percakapan Batu-yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia.
            Puncak sastra mutakhir di Kalimantan Barat ditempati dua penyair yang keduanya sudah almarhum : Odhy’s (1955-2005) dan Yudhiswara (1957-2006) yang sempat mempublikasikan puisi-puisi mereka di media massa Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, Brunei Darussalam, dan Malaysia, disamping telah membukukan sajak-sajak itu, baik dalam antologi bersama maupun dalam buku tersendiri. Odhy’s-yang nama sebenarnya Muhammad Zuhdi Saad-sempat menerbitkan 15 kumpulan puisi tunggal dan bersama. Sementara Yudhiswara menerbitkan 9 kumpulan puisi diantaranya Hujan Lolos Dari Sela Jari dan Jakarta Dalam Puisi Indonesia (2000) yang dieditori Korrie Layun Rampan—diantaranya dimuat majalah Horison—dan dalam Bunga Rampai Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia, Buku II (juga susunan Korrie Layun Rampan). Sajak-sajak Odhy’s mencerminkan penggaliannya terhadap alam lingkungan lokal, adat istiadat, dan dunia keimanan. Sajak-sajaknya yang paling akhir banyak menyiratkan tentang nuansa religius yang berbicara tentang mati, kehidupan kekal di akhirat, Tuhan, para nabi, dan tamsil-tamsil kehidupan yang berbahagia. Sementara Yudhiswara sama-sama banyak menampilkan tema-tema maut dan kehidupan alam kubu, sebagaimana sajaknya Perenungan Makam yang dikutip Korrie Layun Rampan untuk Buku II Bunga Rampai Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia, seperti yang diturunkan berikut ini.

PERENUNGAN MAKAM

Setelah pemakaman memulangkan tubuhmu
membawaku di alammu
di alam renung
kematian saling susul-menyusul
cerita-cerita nisbi telah dihentikan
sehabis keranda
itukah bus kota terakhir
ah, ada saja derak menggigil
pergi ke muara
melayat para nelayan
yang mati kesunyian di atas biduk
dengan ikan yang masih menggelepar
itukah diri kita
ada-ada saja pertanyaan nakalmu
setelah pemakaman berakhir
tak ada kembang
tak ada nisan
sebab makam bukan perjalanan terakhir
mengaliri darah sehabis hidup
dari akar sampai ke pucuk
kembalinya ke makam
di cermin aku harus ikhlaskan
segala tangan kaki dan muka
lidah dan jantung menjadi tanah

16/08/97

            Agak sulit menyusuri jejak-jejak sastra di Kalimantan Tengah, dibandingkan pada tiga provinsi lainnya di Kalimantan. Meskipun Tjilik Riwut dapat dianggap sebagai seniman-budayawan-sastrawan, namun sajak-sajak yang ditulisnya kurang memadai dalam jumlah dan bobot. Pada buku Sastrawan Indonesia, Buku IV, ada dibicarakan sejumlah puisi dan riwayat hidupnya, khususnya sebagai pioner—dalam segala hal—di Kalimantan Tengah, namun pembicaraan itu hanya bersifat global. D Zauhidie (1934-1984) numpang lahir di Muara Teweh, tetapi kiprah sastranya banyak dilakukan di Kandangan, Kalsel. JJ Kusni yang berasal dari Kasongan, tetapi karena persoalan politik harus menjadi sastrawan eksil di mancanegara dan terakhir menetap di Perancis. Kumpulan puisinya yang paling akhir Sansana Anak Naga merekontruksikan pengalaman-pengalaman mistis dan pengalaman real yang dilalui pujangga Indonesia-Dayak yang menjadi doktor terbuang di Eropa. Kebanyakan sajaknya berupa protes sosial, sesuai dengan misi realisme-sosialis yang cenderung menggunakan karya sastra sebagai media perlawanan. Diluar sajak-sajaknya yang berbicara tentang pergulatan etnik, pencarian identitas suku, dan mitos leluhur ; sajak-sajak lainnya yang berhubungan dengan kondisi sejarah hitam bangsa, mencerminkan suatu perlawanan sastrawi.
            Publikasi yang bisa didapat penulis amat sedikit, sehingga informasi mutakhir dari kawasan ini sangat minim. Ada sejumlah puisi yang dimuat Palangka Pos dan media massa lainnya berasal dari provinsi ini, namun publikasi itu tidak dapat dijadikan sumber sastra, karena kualitasnya kurang meyakinkan. Sumber-sumber yang pantas diperhitungkan, selain JJ Kusni adalah Badar Sulaiman Usin (1927) dan Yoko S Passandaran (1953). Sajak-sajak Badar banyak berbicara tentang hutan, alam, lingkungan hidup, dan manusia terasing di tengah alam. Puluhan manuskrip puisinya yang dikirim kepada penulis mencerminkan pencarian dan kegelisahannya terhadap penetrasi teknologi canggih yang kemudian membawa dampak dehumanisasi. Sajak-sajak itu diucapkan secara sahaja, membayangkan kebersahajaan penyairnya yang berasal dari Pulang Pisau, dan kemudian bermukim di bantaran Sungai Kahayan di Pahandut, dan meninggal di Palangkaraya. Penyair ini, memperlihatkan posisinya pada perbatasan zaman lampau, Generasi 45 dengan dunia persajakan modern yang berkembang hingga Angkatan 2000. Sejumlah buletin yang diterbitkannya di Palangkaraya—bersama teman-temannya—memperlihatkan upayanya untuk mengembangkan sastra di wilayah itu. Namun sayang, hingga ia meninggal dunia, belum satu pun buku puisi dan prosanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku.
            Yoko S Passandaran—yang nama aslinya Johanes Joko Santoso Passandaran—adalah arek Jawa Timur yang lama bermukim di Jogjakarta, dan kemudian Kuala Kapuas dan Palangkaraya. Disamping mengajar di Universitas Palangkaraya, di kota yang terakhir ini ia bersama Badar dan rekan-rekan membangun komunitas sastra, namun, semenjak Yoko kembali lagi ke Jogjakarta awal tahun 2000-an, apresiasi sastra di kota itu makin senyap.
            Sajak-sajak Yoko, sebagaimana yang tersebar diberbagai media dan buku stensilan, berbicara tentang angin, laut, Tuhan, sahabat, cinta, dunia rumah tangga, persahabatan, kesetiakawanan sosial, dsb. Pengucapannya lembut, imajinatif, rapi, santun, dengan kesetiaannya pada rima dan irama. Sajak-sajaknya mencerminkan sifat paternalistik—mungkin pengaruhnya sebagai guru, dosen—memperlihatkan dedikasi, dan perjuangannya membangun personalitas di tengah manusia lain. Hubungan-hubungan yang manusiawi antara persona dengan alam dijamin dalam nuansa liris yang patetik, sebagaimana sajaknya Angin Selat I yang menunjukkan penemuaannya pada bahasa, seperti dapat dibaca di bawah ini.

ANGIN SELAT I

Angin telah pergi sejak senja
bermalam-malam panjang hampa kata
tanpa bintang-bintang dan lentera

Sepi yang tertinggal di ekor kapal
senantiasa merenggut kelepak layar
semakin jauh, semakin samar

Engkau itu tiba-tiba berkabar
tentang kangen yang terkapar
di selatan Selat Makassar ?

1975

            Oleh karena hanya tiga nama ini yang penulis anggap representatif mewakili wilayah ini, maka pada ketiganya puncak sastra di kawasan ini JJ Kusni tak diragukan dedikasi dan daya tahannya, bahkan hingga tinggal di Eropa, ia tetap bersajak. Badar, sampai akhir hidupnya tetap giat dalam sastra, bahkan sempat memenangkan salah satu sayembara penulis cerpen di majalah Sarinah, Jakarta. Yoko S Passandaran memang belum sepenuhnya mengembangkan bakat sastra, namun hasil yang sudah dicapai seperti yang tampak dari buku-buku puisinya : Kwatrin-Kwatrin Lautan (1975), Darmaga II (1975), Bulaksumur Malioboro (1975) dan lain-lain menampakkan ia memiliki masa depan yang cerah. Ketiga penyair ini merupakan jantung sastra Kalimantan Tengah hingga hari-hari terakhir ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...