(Rubrik Sosok Harian Pagi Kompas)
Kuningan merupakan dusun terpencil di
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, yang nyaris tak tersentuh pembangunan.
Dusun itu gelap gulita akibat tak menerima layanan listrik. Mesakh Amen (54),
seorang rohaniwan di Pontianak, turun tangan membantu warga membangun
pembangkit listrik tenaga air.
Dusun Kuningan terletak sekitar 70
kilometer dari kota Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak. Daerah itu terisolasi.
Jalan menuju dusun rusak parah dengan kubangan lumpur sejauh sekitar 50
kilometer. Untuk menyeberang dari satu kampung ke kampung lain yang dipisahkan
sungai, warga menggunakan rakit dari bambu. Tidak ada jembatan.
Penderitaan warga makin lengkap karena
layanan listrik belum masuk ke desa itu. Saat malam, dusun dibekap oleh gelap.
Warga hanya bisa berada di rumah menunggu pagi.
Kondisi seperti itulah yang dilihat
Mesakh pada tahun 1995 ketika dirinya pertama kali datang ke dusun tersebut
untuk kegiatan rohani. Ia prihatin. Namun, ia belum bisa berbuat apa-apa. Ia
hanya berpikir air terjun setinggi 12 meter yang ada di tengah dusun sebenarnya
bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik berdaya 10.000 watt.
"Saya berkata kepada orang-orang
kampung, air terjun ini bisa menjadi listrik yang menerangi kampung. Warga
heran, bagaimana air bisa dijadikan listrik," ujar Mesakh saat ditemui di
Dusun Kuningan, Sabtu (18/06/2016).
Tidak lama berada di dusun itu, Mesakh
kembali ke Pontianak. Ternyata, saat Mesakh pergi, warga dusun tersebut
memikirkan secara serius soal kemungkinan air terjun itu bisa dijadikan
listrik. Mereka menggelar rapat membahas gagasan itu karena mereka ingin sekali
mendapatkan listrik seperti warga Indonesia di pulau lain.
Empat tahun kemudian, tepatnya 1999,
Mesakh kembali ke dusun tersebut, juga untuk kegiatan pembinaan rohani. Kepada
Mesakh, warga menyampaikan keinginannya untuk memiliki listrik mandiri. Melihat
keseriusan warga, Mesakh pun merespons secara serius.
Menyiapkan
SDM
Pada 2010, Mesakh yang belajar mengenai
mesin saat bersekolah di Sekolah Teknik Menengah Negeri 1, Pontianak,
memutuskan datang lagi ke Dusun Kuningan. Ia mengajukan beberapa syarat kepada
warga untuk mewujudkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di dusun itu.
"Saya minta mereka bergotong
royong. Kemudian, harus ada yang mau belajar mengenai listrik dan elektronika
agar mereka bisa merawat PLTA saat sudah dibangun," tuturnya.
Ada tiga orang dari dusun itu yang
datang ke Pontianak untuk mempelajari dasar-dasar pemeliharaan mesin. "Saya
dengan sabar mendidik mereka selama dua minggu karena mereka hanya tamat
SD," kata Mesakh.
Awal 2012, mereka mulai membangun PLTA
yang nilainya Rp 180 juta. Untuk menutupi biaya itu, warga iuran Rp 1 juta per
keluarga. "Saya juga mengusahakan dana dengan meminta bantuan teman-teman
di kota yang ekonominya mampu. Akhirnya, dana terkumpul," ungkap Mesakh.
Namun, ada tantangan lain. Berbagai
peralatan untuk membangun PLTA, seperti pipa, semen, dan peralatan turbin,
dibeli di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau.
Bagaimana membawa bahan-bahan itu ke Dusun Kuningan? Jalan keluarnya ternyata
berliku.
MESAKH AMEN
Lahir:
Ngabang, Kabupaten Landak, 24 Juni 1962
Pendidikan:
SDN Antan, Kabupaten Landak (lulus 1976)
SMP Kristen Desa Anik (lulus 1979)
STM Negeri 01 Pontianak (lulus 1982)
SSekolah Tinggi Teologia Injili
Indonesia Yogyakarta (lulus 1990)
Jabatan:
Gembala Umat Gereja Persekutuan
Pemberitaan Injil Kristus (GPPIK) Bukit Zaitun Pontianak (sejak 2000)
Penghargaan:
Penghargaan dari Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral untuk keikutsertaan lomba energi nasional 2015
Istri:
Sriana Kimoi
Anak:
Tiara Anggarini (22)
Yimna Lorinda (16)
Mula-mula warga mengangkut semua
peralatan itu menggunakan motor air selama setengah hari menuju Desa Suruh
Tembawang. Dari desa ini, peralatan diangkut dengan berjalan kaki sekitar 10
jam. Mereka melintasi jalan setapak. Satu orang membawa 40 kilogram semen,
meniti jalan berbukit-bukit. Ada juga yang memikul pipa. Turbin dan kabel harus
diangkut menggunakan pesawat perintis dengan biaya dari dermawan.
Dengan kerja keras, semua perlengkapan
dapat dibawa ke Dusun Kuningan. Satu minggu berikutnya, Mesakh mulai merakit
peralatan itu satu per satu. Pada saat bersamaan, warga bergotong royong membuat
bendungan dan rumah untuk turbin PLTA di bawah arahan Mesakh.
Tahun 2012 itu juga, PLTA swadaya
masyarakat dikerjakan dengan kapasitas 12.000 watt, melebihi harapan Mesakh
saat pertama datang ke dusun itu. Listrik tersebut bisa mengaliri rumah 50 keluarga
di dusun itu. "Dengan kapasitas sebesar itu, selain bisa untuk menyalakan
lampu penerangan, juga bisa menyalakan TV," ucap Mesakh.
Listrik itu mengubah kehidupan di Dusun
Kuningan. Setelah memiliki listrik, mereka merasa baru menjadi manusia seutuhnya.
Warga bisa menikmati siaran televisi dan mengikuti perkembangan yang
berlangsung di Indonesia.
Ada pula warga yang membeli telepon
genggam dari hasil penjualan lada. Dengan telepon genggam, mereka membangun
jaringan dengan pihak luar, bahkan aktif di media sosial. Lewat akun media
sosial, mereka mengunggah hasil panen lada ke internet. Pasar pun kian terbuka.
Konservasi
Bermula dari gerakan bersama untuk
mendapatkan listrik, Mesakh kemudian mengajak warga untuk menggiatkan
konservasi hutan. Sejak awal, ia meminta warga untuk tidak berladang di hutan
perawan seluas 10.000 hektar di hulu kampung. Hutan itu menjadi daerah
tangkapan air. PLTA akan terus beroperasi selama hulu hutan terjaga
kelestariannya.
Awalnya, warga masih ragu untuk
mengikuti saran Mesakh karena tanah ladang di hulu tersebut subur. Namun,
keinginan besar untuk memiliki listrik membuat warga bisa menghapus
keragu-raguan itu.
Konsep konservasi yang ditawarkan Mesakh
bukan dengan melarang warga memanfaatkan alam. Warga boleh menebang pohon untuk
kebutuhannya. Namun, mereka harus menanam kembali pohon sebanyak yang mereka
tebang.
Mesakh membagikan mereka bibit bambu
yang berfungsi sebagai penangkap air, rotan, avokad, markisa, dan tanaman buah
lokal. Dengan demikian, warga tidak perlu membeli buah-buahan dari perkotaan
karena biaya ke kota tinggi dan aksesnya sulit.
Mesakh sedang mengusulkan kepada
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat agar hutan Dusun Kuningan menjadi hutan
adat sehingga tetap terawat. "Saya bahkan berpesan khusus kepada pejabat
agar tidak memberikan izin sawit di wilayah resapan air," ujarnya.
Saat ini, Mesakh sedang berupaya
memperluas cakupan PLTA untuk membantu masyarakat di wilayah terpencil sekitar
Dusun Kuningan. Warga di dusun-dusun sekitarnya sudah mulai berinisiatif
membangun bendungan secara swadaya. Mesakh akan membantu mereka mendapatkan
cahaya pengusir kegelapan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar