Senin, 06 Juli 2015

Habib Ibrahim dan Sebilah Pena

Selasa, 7 Juli 2015




Oleh : Syarafuddin
(Reporter SKH Radar Banjarmasin untuk Ekspedisi Islam di Kalimantan Selatan Seri 18)

Jaringan ulama Hadramaut memainkan peran penting penyebaran Islam di Indonesia. Dari Yaman, Habib Ibrahim Al Habsyi diutus gurunya untuk berdakwah ke Indonesia. Pertama ia singgah di Ampel, Surabaya. Lalu pindah ke Banjarmasin dan Martapura, hingga akhirnya wafat di Nagara, Hulu Sungai Selatan (HSS). Peninggalannya adalah Masjid Jami Ibrahim di tepian sungai Nagara.

Kamis (18/06/2015) pagi, saya berkendara sejauh 30 kilometer dari Kandangan, ibukota Kabupaten HSS menuju Nagara. Saya menikmati perjalanan ini. Pemandangan tanah rawa di samping kanan dan kiri jalan sungguh luar biasa. Sampai batas garis horison, yang terlihat hanyalah rawa. Bunga teratai tumbuh subur. Sementara petani menerabas semak untuk membuat jalaur tikus yang bisa dilewati jukung.

Memasuki perbatasan Kandangan dan Nagara, bau amis menusuk hidung. Di halaman rumah, warga desa sibuk menjemur ikan-ikan sepat yang sudah diasinkan. Sementara perempuannya menyiapkan loyang cetakan untuk membuat amparan tatak, kue basah yang lazim muncul pada bulan Ramadhan.

Tujuan saya, Masjid Jami Ibrahim yang berada di Desa Sungai Mandala, Kecamatan Daha Utara. Dipisahkan sungai Nagara, di seberang masjid adalah Pasar Nagara, kawasan perdagangan yang membuat Nagara jauh lebih ramai dibandingkan Kandangan. Saya terpaksa memutar jalan sejauh lima kilometer melintasi Desa Sungai Garuda. Jembatan Andi Tajang yang menghubungkan kawasan pasar dan masjid ini terputus.

Proyek perbaikan jembatan sudah berlangsung sebulan lebih. Jembatan darurat hanya bisa dilewati pejalan kaki. Bagi peziarah yang ingin ke Masjid Jami Ibrahim dan kebetulan belum pernah ke Nagara, mereka tidak bakal tersesat. Dari kejauhan kubah emas masjid ini sudah terlihat.

Konstruksi masjid ini beton dengan kubah-kubah besar ala Timur Tengah. Dindingnya warna krem dengan kubah dicat warna emas. Masjid ini sudah tiga kali dipugar dan kehilangan arsitektur aslinya. “Dulu serba ulin, bentuknya persis seperti Masjid Jami di Sungai Jingah, “ kata Khaidir, warga Desa Sungai Pinang.

Khaidir sempat mengabadikan bentuk masjid lama lewat kamera negatif film. Foto itu ia ambil dari arah pasar, dari seberang sungai. Setelah dicuci foto itu ia pajang di ruang tamu rumahnya.

Sebelum ke masjid, saya berziarah ke kubah makam Habib Ibrahim Al Habsyi. Berada di belakang masjid, sekitar 300 meter. Di luar kubah berdiri tegak tiang ulin yang dikerangkeng besi. Tiang ini potongan dari tiang soko guru (tiang utama) Masjid Jami Ibrahim. Pemotongan dan pemindahan tiang ini terjadi pada pemugaran terakhir masjid, November 2010.

Hanya berjarak satu rumah dari makam tinggal Habib Umar Al Habsyi, cucu Habib Ibrahim. Sayang, saya gagal menemuinya. Putranya mengatakan Habib Umar sedang berpergian ke Martapura. Paling cepat ia pulang ke rumah pada malam hari. Di masjid, saya juga gagal menemui takmir masjid. “Anda berselisih jalan, mereka baru saja pulang,” kata seorang pemuda yang sedang beritikaf di masjid.

Saya lantas mencari tempat istirahat dan menunggu adzan Dzuhur tiba. Pengalaman membuktikan, ketika meliput masjid bersejarah, narasumber akan berkumpul dengan sendirinya saat adzan berkumandang. Singkat kata, usai shalat Dzuhur berjamaah, saya berhasil menemui takmir masjid, Zain Saleh (62) dan Haji Asri (55).

Tidak diketahui tanggal lahir Habib Ibrahim, pastinya ia lahir di Siwun, Hadramaut. Di usia muda ia sudah hafal Al Quran dan 12 ribu matan hadits. Oleh gurunya, Habib Ali Al Habsyi ia diutus berdakwah ke Nusantara. Habib Ali dikenal memiliki banyak murid dan senang mengutus mereka ke berbagai negara. Habib Ibrahim berlayar ditemani anaknya, Habib Muhammad yang kemudian dimakamkan di Keramat Manjang, Barabai.

Di Nagara, Habib Ibrahim menikah dan berdakwah. Sekitar tahun 1950-an, Nagara ditimpa musibah angin putting beliung selama tiga hari. Masjid Jami Nagara berada di Desa Tambak Bitin kehilangan pucuk petalanya (hiasan di ujung kubah). Ditiup angin, pucuk petala itu rupanya terbang menyeberang sungai Nagara dan terhempas di desa tetangga, Sungai Mandala.

Setelah perbaikan kubah, musibah dan kejadian serupa kembali menimpa maasjid. “Habib Ibrahim mengatakan, ini pertanda untuk memindahkan masjid,” kata Zain. Maka, dimulailah gotong royong pembangunan Masjid Jami Ibrahim dilokasinya sekarang. Habib Ibrahimlah yang menegakkan tiang soko guru masjid. Sebagai bentuk penghormatan, saat masjid ini dipugar besar-besaran, tiang pertama masjid lama dipertahankan.

Posisinya di tengah masjid, tepat dibawah kubah utama. Tiang ulin setinggi lima meter ini dibungkus kaca hias lalu dibangun kubah untuk melindunginya. Kubah inilah yang sering menarik perhatian peziarah. Ibaratnya, ada kubah masjid di dalam kubah masjid. “ Setelah masjid ranmpung dibangun, Habib berniat pulang untuk menghabiskan hari tua di tanah kelahirannya, “ kisah Zain.

Berbulan-bulan lamanya Habib Ibrahim berlayar di lautan. Tiba di tanah kelahiran Habib Ibrahim malah sedih. Sebilah pena milik panitia pembangunan masjid lupa ia kembalikan dan terbawa dibalik jubahnya. Cemas memikirkan pena tersebut, Habib Ibrahim berbalik ke Nagara untuk mengembalikannya. Penyerahan pena ini rupanya pertemuan terakhirnya dengan masyarakat.

Usai shalat Jum’at, 4 Safar 1354 Hijriyah, Habib Ibrahim wafat. “Padahal Habib Ibrahim juga anggota panitia masjid. Ia tetap berhak atas pena itu, warga pun cuek saja. Tapi namanya juga waliyullah, mereka sangat menjaga diri dari dosa, “ jelas Zain dengan suara bergetar.***


Sumber : SKH Radar Banjarmasin (Minggu, 5 Juli 2015)

2 komentar:

  1. Trimaksh pa....atas muatanya....baru dpt pengetahuan lgi tentang wali Allah

    BalasHapus
  2. Trimaksh pa....atas muatanya....baru dpt pengetahuan lgi tentang wali Allah

    BalasHapus

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...