Oleh : Syarafuddin
(Reporter SKH Radar Banjarmasin
untuk Ekspedisi Islam di Kalimantan Selatan Seri 18)
Jaringan
ulama Hadramaut memainkan peran penting penyebaran Islam di Indonesia. Dari
Yaman, Habib Ibrahim Al Habsyi diutus gurunya untuk berdakwah ke Indonesia.
Pertama ia singgah di Ampel, Surabaya. Lalu pindah ke Banjarmasin dan
Martapura, hingga akhirnya wafat di Nagara, Hulu Sungai Selatan (HSS).
Peninggalannya adalah Masjid Jami Ibrahim di tepian sungai Nagara.
Kamis
(18/06/2015) pagi, saya berkendara sejauh 30 kilometer dari Kandangan, ibukota
Kabupaten HSS menuju Nagara. Saya menikmati perjalanan ini. Pemandangan tanah
rawa di samping kanan dan kiri jalan sungguh luar biasa. Sampai batas garis
horison, yang terlihat hanyalah rawa. Bunga teratai tumbuh subur. Sementara
petani menerabas semak untuk membuat jalaur tikus yang bisa dilewati jukung.
Memasuki
perbatasan Kandangan dan Nagara, bau amis menusuk hidung. Di halaman rumah,
warga desa sibuk menjemur ikan-ikan sepat yang sudah diasinkan. Sementara
perempuannya menyiapkan loyang cetakan untuk membuat amparan tatak, kue basah
yang lazim muncul pada bulan Ramadhan.
Tujuan
saya, Masjid Jami Ibrahim yang berada di Desa Sungai Mandala, Kecamatan Daha
Utara. Dipisahkan sungai Nagara, di seberang masjid adalah Pasar Nagara,
kawasan perdagangan yang membuat Nagara jauh lebih ramai dibandingkan
Kandangan. Saya terpaksa memutar jalan sejauh lima kilometer melintasi Desa
Sungai Garuda. Jembatan Andi Tajang yang menghubungkan kawasan pasar dan masjid
ini terputus.
Proyek
perbaikan jembatan sudah berlangsung sebulan lebih. Jembatan darurat hanya bisa
dilewati pejalan kaki. Bagi peziarah yang ingin ke Masjid Jami Ibrahim dan
kebetulan belum pernah ke Nagara, mereka tidak bakal tersesat. Dari kejauhan
kubah emas masjid ini sudah terlihat.
Konstruksi
masjid ini beton dengan kubah-kubah besar ala Timur Tengah. Dindingnya warna
krem dengan kubah dicat warna emas. Masjid ini sudah tiga kali dipugar dan
kehilangan arsitektur aslinya. “Dulu serba ulin, bentuknya persis seperti
Masjid Jami di Sungai Jingah, “ kata Khaidir, warga Desa Sungai Pinang.
Khaidir
sempat mengabadikan bentuk masjid lama lewat kamera negatif film. Foto itu ia
ambil dari arah pasar, dari seberang sungai. Setelah dicuci foto itu ia pajang
di ruang tamu rumahnya.
Sebelum
ke masjid, saya berziarah ke kubah makam Habib Ibrahim Al Habsyi. Berada di
belakang masjid, sekitar 300 meter. Di luar kubah berdiri tegak tiang ulin yang
dikerangkeng besi. Tiang ini potongan dari tiang soko guru (tiang utama) Masjid
Jami Ibrahim. Pemotongan dan pemindahan tiang ini terjadi pada pemugaran
terakhir masjid, November 2010.
Hanya
berjarak satu rumah dari makam tinggal Habib Umar Al Habsyi, cucu Habib
Ibrahim. Sayang, saya gagal menemuinya. Putranya mengatakan Habib Umar sedang
berpergian ke Martapura. Paling cepat ia pulang ke rumah pada malam hari. Di
masjid, saya juga gagal menemui takmir masjid. “Anda berselisih jalan, mereka
baru saja pulang,” kata seorang pemuda yang sedang beritikaf di masjid.
Saya
lantas mencari tempat istirahat dan menunggu adzan Dzuhur tiba. Pengalaman
membuktikan, ketika meliput masjid bersejarah, narasumber akan berkumpul dengan
sendirinya saat adzan berkumandang. Singkat kata, usai shalat Dzuhur berjamaah,
saya berhasil menemui takmir masjid, Zain Saleh (62) dan Haji Asri (55).
Tidak
diketahui tanggal lahir Habib Ibrahim, pastinya ia lahir di Siwun, Hadramaut.
Di usia muda ia sudah hafal Al Quran dan 12 ribu matan hadits. Oleh gurunya,
Habib Ali Al Habsyi ia diutus berdakwah ke Nusantara. Habib Ali dikenal
memiliki banyak murid dan senang mengutus mereka ke berbagai negara. Habib
Ibrahim berlayar ditemani anaknya, Habib Muhammad yang kemudian dimakamkan di
Keramat Manjang, Barabai.
Di
Nagara, Habib Ibrahim menikah dan berdakwah. Sekitar tahun 1950-an, Nagara
ditimpa musibah angin putting beliung selama tiga hari. Masjid Jami Nagara
berada di Desa Tambak Bitin kehilangan pucuk petalanya (hiasan di ujung kubah).
Ditiup angin, pucuk petala itu rupanya terbang menyeberang sungai Nagara dan
terhempas di desa tetangga, Sungai Mandala.
Setelah
perbaikan kubah, musibah dan kejadian serupa kembali menimpa maasjid. “Habib
Ibrahim mengatakan, ini pertanda untuk memindahkan masjid,” kata Zain. Maka,
dimulailah gotong royong pembangunan Masjid Jami Ibrahim dilokasinya sekarang.
Habib Ibrahimlah yang menegakkan tiang soko guru masjid. Sebagai bentuk
penghormatan, saat masjid ini dipugar besar-besaran, tiang pertama masjid lama
dipertahankan.
Posisinya
di tengah masjid, tepat dibawah kubah utama. Tiang ulin setinggi lima meter ini
dibungkus kaca hias lalu dibangun kubah untuk melindunginya. Kubah inilah yang
sering menarik perhatian peziarah. Ibaratnya, ada kubah masjid di dalam kubah
masjid. “ Setelah masjid ranmpung dibangun, Habib berniat pulang untuk
menghabiskan hari tua di tanah kelahirannya, “ kisah Zain.
Berbulan-bulan
lamanya Habib Ibrahim berlayar di lautan. Tiba di tanah kelahiran Habib Ibrahim
malah sedih. Sebilah pena milik panitia pembangunan masjid lupa ia kembalikan
dan terbawa dibalik jubahnya. Cemas memikirkan pena tersebut, Habib Ibrahim
berbalik ke Nagara untuk mengembalikannya. Penyerahan pena ini rupanya
pertemuan terakhirnya dengan masyarakat.
Usai
shalat Jum’at, 4 Safar 1354 Hijriyah, Habib Ibrahim wafat. “Padahal Habib
Ibrahim juga anggota panitia masjid. Ia tetap berhak atas pena itu, warga pun
cuek saja. Tapi namanya juga waliyullah, mereka sangat menjaga diri dari dosa,
“ jelas Zain dengan suara bergetar.***
Sumber : SKH Radar Banjarmasin
(Minggu, 5 Juli 2015)
Trimaksh pa....atas muatanya....baru dpt pengetahuan lgi tentang wali Allah
BalasHapusTrimaksh pa....atas muatanya....baru dpt pengetahuan lgi tentang wali Allah
BalasHapus