Sabtu, 10 September 2016

Sorgum Mutan untuk Dunia

Minggu, 11 September 2016


Oleh : J Galuh Bimantara



Soeranto Human, peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional, memanfaatkan radiasi sinar gama di fasilitas iradiator untuk membuat materi genetik sorgum bermutasi. Hasilnya, benih sorgum unggul yang cocok ditanam di lahan kering sekaligus menjadi sumber pangan dan energi. Dunia pun melirik temuan itu.



Soeranto (57) adalah peneliti pemuliaan tanaman pada Pusat Aplikasi Isotop Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Selama 13 Oktober 2014-31 Maret 2015, ia tinggal di Vienna, Austria, sebagai tenaga pakar bidang pertanian dalam program kerja sama Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).



Ia satu-satunya ahli pertanian asal Indonesia yang pernah menjadi pakar untuk Joint FAO/IAEA Programme Nuclear Techniques in Food and Agriculture itu. Riset-risetnya terkait mutasi sorgum, sejenis tanaman serealia yang andal di lahan kering, mendorong pengakuan internasional itu.



Rabu (15/06/2016) lalu, Soeranto menerima Kompas di ruang kerjanya di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana jins. Ruangannya berukuran sekitar 4 meter x 4 meter. Ada meja kerja yang ditumpuki berkas, kulkas, kotak pendingin, dan lemari.

Ada pula seperangkat keyboard dengan buku lagu terbuka. Sepintas terbaca judul lagu kesukaannya, ”Tombo Ati”. ”Ini buat menghilangkan stres,” ujarnya terkekeh.



Soeranto memperlihatkan beberapa bungkusan berisi biji sorgum. Ada juga beras sorgum dan bermacam produk olahan dari sorgum, seperti tepung, makanan ringan, mi, sambal botol berbahan baku tepung sorgum, serta bahan gula cair dan etanol dari batang sorgum manis.



Dalam kulkas, terdapat biji sorgum bungkusan, baik yang masih menyatu dengan tangkai maupun yang terpisah dan sudah digiling menjadi butiran beras sorgum. Biji sorgum juga disimpan dalam deep freezer dengan suhu minus 24 derajat celsius. Ini membuat biji sorgum bertahan lima tahun.



Semua itu merupakan sorgum mutan hasil pemuliaan dengan memanfaatkan sinar gama sehingga materi genetiknya berubah. Radiasi sinar gama menggunakan dosis terukur dan aman untuk membuat sorgum lebih produktif dibandingkan benih asalnya.



Menggugat padi



Soeranto sebenarnya adalah pemulia tanaman. Tahun 1996, dia mendaftar sebagai staf ahli di Batan karena tertarik iklan bahwa lembaga itu butuh pemulia tanaman. Dia sempat khawatir atas efek radiasi nuklir, salah satunya bisa membuat mandul. Namun, dengan pelatihan menghindari bahaya radiasi, keamanan terjamin. Buktinya, ia dan istrinya, Lilis Suryani, dikaruniai seorang putra dan seorang putri.



Soeranto terpikat pada sorgum saat menempuh pendidikan magister dan doktoral di Agricultural University of Norway, Norwegia. Di sini, ia melihat riset terhadap sorgum asal Afrika. Ternyata, negara dengan tanah kering kerontang bisa menjadikan sorgum sebagai makanan pokok.



Soeranto lantas membandingkan dengan Indonesia. Banyak peneliti fokus pada padi. Padahal, tanaman itu belum tentu cocok untuk semua lahan, terutama luar Jawa. ”Banyak lahan tidak subur di luar Jawa. Kenapa tidak memanfaatkan sorgum? Itu ide saya,” katanya.



Setahun setelah meraih gelar doktor, tahun 1993, ia mulai membuat proposal riset sorgum di Batan dengan memanfaatkan iradiasi. Untuk mengatasi masalah dana riset yang minim, Soeranto mengajukan proposal-proposal penelitian ke lembaga luar negeri, terutama ke IAEA. ”IAEA mendatangkan tenaga ahli ke Indonesia, membantu pengadaan peralatan, dan mengirim saya pelatihan ke luar negeri,” ucapnya.



Selain bekerja di laboratorium, benih hasil ”racikan” Soeranto ditanam di sepetak lahan di kompleks Batan di Pasar Jumat. Di situ, ia bisa memilih tanaman-tanaman yang tumbuh seragam dan unggul.




Varietas unggul



Pada 2002, melalui kerja sama dalam Forum for Nuclear Cooperation in Asia, Soeranto memperoleh varietas benih sorgum asal Tiongkok, bernama Zhengzu. Ia mencoba mengubah materi genetik varietas itu melalui iradiasi dengan sinar gama pada dosis 300 Gray (Gy).



Ia menanam benih sorgum di lahan-lahan kering Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan hasilnya positif. Ia menghasilkan varietas unggul sorgum bernama Pahat (Pangan Sehat). Produk ini dilepas ke pasar setelah mendapat Surat Keputusan Menteri Pertanian pada 2013.



Pahat lebih produktif dibandingkan Zhengzu. Pahat bisa menghasilkan 5,8 ton biji kering per hektar dan dipanen usia tiga bulan, sedangkan produktivitas Zhengzu 2-3 ton biji kering per hektar dan dipanen pada usia empat bulan. Tinggi Pahat hanya 1,5 meter sehingga tidak mudah rebah tertiup angin kencang, sementara Zhengzu setinggi 2 meter.



Soeranto bergabung dengan tim untuk melakukan mutasi untuk menghasilkan varietas unggul yang berbeda dari Pahat. Iradiasi sinar gama pun dijalankan terhadap biji sorgum Pahat dengan dosis penyinaran 300 Gy. Proses pemuliaan ini menghasilkan dua varietas unggul lagi, yakni Samurai 1 dan Samurai 2. Nama ”Samurai” kependekan dari Sorgum Mutan Radiasi. Keduanya mendapat SK pelepasan varietas dari Mentan tahun 2014.



Samurai 1 cocok untuk produksi bioetanol sebagai pengganti bahan bakar gas, misalnya untuk memasak. Kandungan brix (zat padat terlarut, salah satu komponen analisis gula) pada batang Samurai 1 sebanyak 17 persen. Potensi produksi bioetanol Samurai 1 mencapai 1.148 liter per hektar.



Adapun Samurai 2 lebih cocok sebagai sumber pangan. Dibandingkan Pahat, varietas Samurai 2 berumur lebih lama (hampir empat bulan) dan lebih tinggi (sekitar 2 meter), tetapi lebih tahan penyakit karat.



Dilirik asing



Selama 23 tahun setia meneliti sorgum, Soeranto menyadari tanaman ini masih kalah populer dibandingkan padi. Namun, ia akan terus memuliakan sorgum. Saat musim kering semakin panjang akibat perubahan iklim, tanaman itu bisa menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan pangan. ”Jika nanti padi tidak bisa ditanam lagi karena musim kering semakin panjang, sorgum jadi andalan,” katanya.



Saat ini riset sorgum Soeranto lebih banyak dilirik orang asing daripada di dalam negeri. Batan menjadi mitra FAO/IAEA Programme Nuclear Techniques in Food and Agriculture. FAO dan IAEA mengutus peneliti itu untuk memajukan riset sorgum di sejumlah negara. Peneliti negara-negara tersebut dikirim ke Batan untuk belajar kepada Soeranto.



Mei lalu, Soeranto menjadi koordinator pelatihan teknik pemuliaan mutasi tanaman bioenergi tingkat regional yang diikuti 14 negara Asia. Pada 1-5 Agustus nanti, ia dijadwalkan memberi masukan terkait budidaya sorgum di Mongolia.



Pada 2014, Soeranto pergi ke Burkina Faso di Afrika barat untuk membimbing pemuliaan mutasi sorgum. Menteri Pendidikan Lanjutan, Pendidikan Tinggi, dan Riset Saintifik Burkina Faso pun memanggil sejumlah peneliti negara itu untuk mendapat kuliah dari Soeranto.



”Saya diterima oleh Menteri Riset di sana. Di sini, saya sama sekali belum pernah bertemu menteri. Ha-ha-ha...,” ujarnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan MTsN 3 HSS di Desa Angkinang Selatan

 Jumat, 29 November 2024 Jembatan kayu ulin Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), yang ada di RT 3 Desa Angkinang S...