Oleh : J Galuh Bimantara
Soeranto Human, peneliti Badan Tenaga
Nuklir Nasional, memanfaatkan radiasi sinar gama di fasilitas iradiator untuk
membuat materi genetik sorgum bermutasi. Hasilnya, benih sorgum unggul yang
cocok ditanam di lahan kering sekaligus menjadi sumber pangan dan energi. Dunia
pun melirik temuan itu.
Soeranto (57) adalah peneliti pemuliaan
tanaman pada Pusat Aplikasi Isotop Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Batan). Selama 13 Oktober 2014-31 Maret 2015, ia tinggal di Vienna, Austria,
sebagai tenaga pakar bidang pertanian dalam program kerja sama Organisasi
Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Ia satu-satunya ahli pertanian asal
Indonesia yang pernah menjadi pakar untuk Joint FAO/IAEA Programme Nuclear
Techniques in Food and Agriculture itu. Riset-risetnya terkait mutasi sorgum,
sejenis tanaman serealia yang andal di lahan kering, mendorong pengakuan
internasional itu.
Rabu (15/06/2016) lalu, Soeranto
menerima Kompas di ruang kerjanya di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Ia
mengenakan kemeja lengan pendek dan celana jins. Ruangannya berukuran sekitar 4
meter x 4 meter. Ada meja kerja yang ditumpuki berkas, kulkas, kotak pendingin,
dan lemari.
Ada pula seperangkat keyboard dengan
buku lagu terbuka. Sepintas terbaca judul lagu kesukaannya, ”Tombo Ati”. ”Ini
buat menghilangkan stres,” ujarnya terkekeh.
Soeranto memperlihatkan beberapa
bungkusan berisi biji sorgum. Ada juga beras sorgum dan bermacam produk olahan
dari sorgum, seperti tepung, makanan ringan, mi, sambal botol berbahan baku
tepung sorgum, serta bahan gula cair dan etanol dari batang sorgum manis.
Dalam kulkas, terdapat biji sorgum
bungkusan, baik yang masih menyatu dengan tangkai maupun yang terpisah dan
sudah digiling menjadi butiran beras sorgum. Biji sorgum juga disimpan dalam deep
freezer dengan suhu minus 24 derajat celsius. Ini membuat biji sorgum
bertahan lima tahun.
Semua itu merupakan sorgum mutan hasil
pemuliaan dengan memanfaatkan sinar gama sehingga materi genetiknya berubah.
Radiasi sinar gama menggunakan dosis terukur dan aman untuk membuat sorgum
lebih produktif dibandingkan benih asalnya.
Menggugat padi
Soeranto sebenarnya adalah pemulia
tanaman. Tahun 1996, dia mendaftar sebagai staf ahli di Batan karena tertarik
iklan bahwa lembaga itu butuh pemulia tanaman. Dia sempat khawatir atas efek
radiasi nuklir, salah satunya bisa membuat mandul. Namun, dengan pelatihan
menghindari bahaya radiasi, keamanan terjamin. Buktinya, ia dan istrinya, Lilis
Suryani, dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Soeranto terpikat pada sorgum saat
menempuh pendidikan magister dan doktoral di Agricultural University of Norway,
Norwegia. Di sini, ia melihat riset terhadap sorgum asal Afrika. Ternyata,
negara dengan tanah kering kerontang bisa menjadikan sorgum sebagai makanan
pokok.
Soeranto lantas membandingkan dengan
Indonesia. Banyak peneliti fokus pada padi. Padahal, tanaman itu belum tentu
cocok untuk semua lahan, terutama luar Jawa. ”Banyak lahan tidak subur di luar
Jawa. Kenapa tidak memanfaatkan sorgum? Itu ide saya,” katanya.
Setahun setelah meraih gelar doktor,
tahun 1993, ia mulai membuat proposal riset sorgum di Batan dengan memanfaatkan
iradiasi. Untuk mengatasi masalah dana riset yang minim, Soeranto mengajukan
proposal-proposal penelitian ke lembaga luar negeri, terutama ke IAEA. ”IAEA
mendatangkan tenaga ahli ke Indonesia, membantu pengadaan peralatan, dan
mengirim saya pelatihan ke luar negeri,” ucapnya.
Selain bekerja di laboratorium, benih
hasil ”racikan” Soeranto ditanam di sepetak lahan di kompleks Batan di Pasar
Jumat. Di situ, ia bisa memilih tanaman-tanaman yang tumbuh seragam dan unggul.
Varietas unggul
Pada 2002, melalui kerja sama dalam
Forum for Nuclear Cooperation in Asia, Soeranto memperoleh varietas benih
sorgum asal Tiongkok, bernama Zhengzu. Ia mencoba mengubah materi genetik
varietas itu melalui iradiasi dengan sinar gama pada dosis 300 Gray (Gy).
Ia menanam benih sorgum di lahan-lahan
kering Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan hasilnya positif. Ia
menghasilkan varietas unggul sorgum bernama Pahat (Pangan Sehat). Produk ini
dilepas ke pasar setelah mendapat Surat Keputusan Menteri Pertanian pada 2013.
Pahat lebih produktif dibandingkan
Zhengzu. Pahat bisa menghasilkan 5,8 ton biji kering per hektar dan dipanen
usia tiga bulan, sedangkan produktivitas Zhengzu 2-3 ton biji kering per hektar
dan dipanen pada usia empat bulan. Tinggi Pahat hanya 1,5 meter sehingga tidak
mudah rebah tertiup angin kencang, sementara Zhengzu setinggi 2 meter.
Soeranto bergabung dengan tim untuk
melakukan mutasi untuk menghasilkan varietas unggul yang berbeda dari Pahat.
Iradiasi sinar gama pun dijalankan terhadap biji sorgum Pahat dengan dosis
penyinaran 300 Gy. Proses pemuliaan ini menghasilkan dua varietas unggul lagi,
yakni Samurai 1 dan Samurai 2. Nama ”Samurai” kependekan dari Sorgum Mutan
Radiasi. Keduanya mendapat SK pelepasan varietas dari Mentan tahun 2014.
Samurai 1 cocok untuk produksi bioetanol
sebagai pengganti bahan bakar gas, misalnya untuk memasak. Kandungan brix
(zat padat terlarut, salah satu komponen analisis gula) pada batang Samurai 1
sebanyak 17 persen. Potensi produksi bioetanol Samurai 1 mencapai 1.148 liter
per hektar.
Adapun Samurai 2 lebih cocok sebagai
sumber pangan. Dibandingkan Pahat, varietas Samurai 2 berumur lebih lama
(hampir empat bulan) dan lebih tinggi (sekitar 2 meter), tetapi lebih tahan
penyakit karat.
Dilirik asing
Selama 23 tahun setia meneliti sorgum,
Soeranto menyadari tanaman ini masih kalah populer dibandingkan padi. Namun, ia
akan terus memuliakan sorgum. Saat musim kering semakin panjang akibat
perubahan iklim, tanaman itu bisa menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan
pangan. ”Jika nanti padi tidak bisa ditanam lagi karena musim kering semakin
panjang, sorgum jadi andalan,” katanya.
Saat ini riset sorgum Soeranto lebih
banyak dilirik orang asing daripada di dalam negeri. Batan menjadi mitra
FAO/IAEA Programme Nuclear Techniques in Food and Agriculture. FAO dan IAEA
mengutus peneliti itu untuk memajukan riset sorgum di sejumlah negara. Peneliti
negara-negara tersebut dikirim ke Batan untuk belajar kepada Soeranto.
Mei lalu, Soeranto menjadi koordinator
pelatihan teknik pemuliaan mutasi tanaman bioenergi tingkat regional yang
diikuti 14 negara Asia. Pada 1-5 Agustus nanti, ia dijadwalkan memberi masukan
terkait budidaya sorgum di Mongolia.
Pada 2014, Soeranto pergi ke Burkina
Faso di Afrika barat untuk membimbing pemuliaan mutasi sorgum. Menteri
Pendidikan Lanjutan, Pendidikan Tinggi, dan Riset Saintifik Burkina Faso pun
memanggil sejumlah peneliti negara itu untuk mendapat kuliah dari Soeranto.
”Saya diterima oleh Menteri Riset di
sana. Di sini, saya sama sekali belum pernah bertemu menteri. Ha-ha-ha...,”
ujarnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar