Catatan Perjalanan
Ananda Rumi ( Banjarbaru )
Loksado Kami Makin
Rindu
Setelah puas berjam-jam berkendaraan
dari Minggu Raya, Banjarbaru kami berlima tiba di salah satu tempat di
Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Lebih tepatnya di Tibung
Raya , belakang Kantor Bappeda HSS, rumah kediaman salah seorang penulis dan sastrawan,
Aliman Syahrani. Sebelumnya kami singgah di Binuang santap pagi dengan
sebungkus nasi kuning dan kopi hangat.
Waktu menunjukkan pukul 10.30 Wita.
Aku, Sandi Firly, Randu Alamsyah, Zian, dan Sisy segera menghamparkan diri.
Lalu melepas segala atribut yang membuat berat badan bertambah 3 hingga 4 kilogram
dari sebenarnya. Di beranda rumah bernuansa merah muda sembari melepas
kepenatan.
Seperti biasa, Sandi yang mempunyai
kebiasaan tidur sesaat sebelum waktu fajar terlihat sangat lelah dan ingin
segera memejamkan mata. “Jaka, tih masukkan haja ka dalam, panas diluar
sini,” ucap Aliman yang entah datang darimana menggunakan logat bahasa
Kandangan yang cukup kental. Lelaki itu, aku sempat terkejut. Dan diluar
dugaan, membaca novelnya berjudul Palas, aku kira penulisnya adalah seorang tua
yang hampir renta. Ternyata bukan seperti itu. Justru Sebaliknya.
Seusai kami bertiga, (Karena Sandi dan
Randu sudah lebih dahulu mengenal Aliman Syahrani) memperkenalkan diri, sebagai
pembuka topik, kalian tau apa yang pertama disinggung? Adalah Cerpen Sandi
Firly yang terbit di Harian Nasional Kompas. Sandi hanya tertawa sekadarnya
menyikapi respon dari kawan-kawan. Ditambah lagi Randu yang memutar topik
menjadi isi wawancaranya dengan Andrea Hirata. Sedangkan Aku, Zian, dan Sisy
menyimak dengan seksama sambil membalas celetukan-celetukan yang membuat kita
sama-sama tertawa. Semisal, “Jaket Sisy manis, mirip jaket berbulunya milik
Selena Gomez,” ujarnya. “Berarti jaketku mirip Justine Bieber,” jawabku, Kali
kedua setelah pertama Randu bilang di warung Kopi Simpang Empat Kandangan.
(Sesaat sebelum tiba di rumah Aliman). Perbincangan renyah itu membuat matahari
tersipu untuk menunjukkan kegarangan.
Cuaca memang sedang tak murung, tetapi
cukup rasanya membuat kami tidak terlalu kepanasan. Masih ada dua orang yang
kami tunggu, Yaitu Muda Sagala. Atau yang akrab disapa Adul. Atau lebih dikenal
dengan Banjarbaru Dalam Lensa (BDL), owner akun facebook yang sangat terkenal
di kalangan masyarakat Banjarbaru sekitarnya. Kedatangan BDL dengan sahabatnya
ingin belajar fotogragfi, katanya, dan suka menyanyi, Mina, membuat topik
pembicaraan berubah, “Berawal sastra, mendadak fotografi”.
Kedatanganya diiringi dengan Kayla
Untara, seorang rekan sastrawan Kandangan yang kini bermukim di Barabai, begitulah nama pena dan akunnya di
facebook. Jika aku tak salah, nama lengkapnya adalah M. Fuad Rahman.
“Kamu nggak menulis lagi Kay?” ujar
Randu menyapa Fuad yang sedang sibuk dengan handphonenya.
“Belum, masih melakukan riset sedikit-sedikit. Sebenarnya, sih, lagi disibukkan
dengan pekerjaan, bagawi nang ai,” ungkapnya. Kalau boleh dihitung,
telepon genggamnya lebih sering berbunyi ketimbang orangnya.
Bukannya menguping, tapi Fuad lebih
sering berurusan dengan yang namanya usaha. Tak salah rasanya kalau aku lebih
menilai Fuad sebagai pengusaha, pembicaraannya seputar balok, berkas, sampai
sebidang tanah. Dan, mungkin masih ada yang belum sempat terdengar dengan
sengaja, batu bara dan emas permata.
Secara bergantian, sahabat Aliman yang
juga berencana ikut bertolak ke Loksado pun berdatangan. Salah satunya adalah
lelaki yang bernama lengkap Akhmad Husaini. Biasa disapa Usai. Rumahnya arah ke
Barabai , masih wilayah HSS, tepatnya di Angkinang. Jaraknya sekitar 10
kilometer dari Kandangan. Yang saya ketahui dari Sandi dan Randu ,Usai ini juga
seorang penulis. Tulisannya kerap dimuat di media massa . Kata
Aliman tulisan Usai pernah masuk
Harian Kompas. “ Cuma surat
pembaca,” ujar Usai merendah. Usai juga seorang blogger. Malah denger-denger di Kandangan dialah yang paling aktif
memposting tulisannya ke blog. Nama blognya adalah www.sketsahss212.blogspot.com. Usai bekerja sebagai PTT Tata Usaha
MTsN Angkinang. Karena sedang libur dia berencana ikut ke Loksado.
Usai datang membawa satu buah kresek
yang tidaklah kecil. Setelah dibawa masuk ke dalam rumah, tak lama datanglah
hidangan-hidangan segar dikala cuaca hangat. Adalah timun suri, atau biasa orang
Banjar menyebutnya bilungka langkang. Ah,
sudah seperti Ramadhan saja rasanya.
Semangkok timun suri sudah dilahap.
Segelas sirup pun sudah mengobati sedikit dahaga. Randu dan Kayla beranjak dari
tempat duduknya. “Mau kemana?,” aku bertanya singkat sambil memegang segelas
sirup. “Mau kebelakang, tempat fitnes.” Jawabnya.
Aku berpaling dan kembali bertanya.
“Memangnya ada tempat fitness?,” menghadap Sandi. “Ada , usaha milik Aliman,” singkat sambil menghembuskan
asap rokok. Sesaat, semua menyusul untuk melihat-lihat tempat fitness yang
berada tepat di belakang rumahnya Aliman.
****
Dentuman house music menggema di ruangan itu. Ruangan berukuran yang tidak
terlalu besar, kalau boleh dikira-kira, setengah dari lapangan futsal. Entah
berapa ukurannya saya tidak sempat mengukurnya.
Isinya sejumlah atribut fitness seperti barbel, ini itu tidak tau namanya.
Namun, entah saya tidak teliti, tidak terlihat treadmill disana.
Tanpa disuruh dan meminta izin, hampir
semua di antara kami berhamburan. Ada
yang ke pojok kanan, kiri, mengangkat barbel, berputar-putar, dan melongok saja
menatapnya. Semua seperti mendapatkan mainan baru.
Mencoba ini itu. “Jangan yang
berat-berat dulu. Kaina urat takajut,” ujar BDL. Maklumlah, yang jarang
berolahraga akan merasa lelah. Aku
sendiri mencoba. Ya, satu dua tiga alat disana sempat membuat urat belikat
sebelah kanan seperti berdebat. Ah, untuk beberapa menit aku mengeluhkan itu.
Sejenak. Tak sedikit juga sok kuat tapi letoy. Ada pula yang baru mencoba satu alat sudah
bermandikan keringat berpeluh basah. Ada
juga yang baru sebentar sudah berasa kekar. Dan ada lagi yang dari tadi duduk
sambil menghabiskan sebatang rokok saja.
Setelah semua dirasa cukup, kami
sudahi perkenalan dengan alat berat itu. Adzan dzuhur tiba. Sebagian dari kami
sholat berjamaah di Mesjid Darul Khalik yang jaraknya tidak jauh dari rumah
Aliman. Usai menunaikan kewajiban sebagai muslim, barulah kami menuju rumah
makan. Makan siang sebelum berangkat ke Loksado itu lebih baik daripada tidak
makan sama sekali. Apalagi ditraktir.
Sekitar pukul 13.05 WITA, Kayla
mengajak kami makan siang. Semua berangkat menggunakan motor masing-masing
berboncengan kecuali Aliman yang lebih afdol makan di rumahnya. Sandi dengan
Kayla, Zian dengan Randu, Mina dengan BDL, dan Sisy bersamaku. Sebelum
berangkat aku sempat mengingat perkataan Randu yang menggetarkan. “Kalian harus
tahu, pusat perkembangan sastra dunia itu ada di Asia .
Dan di Asia pusatnya di Indonesia .
Indonesia pusatnya di Kalimantan ,
lebih khusus di Kalimantan Selatan. Di Kalsel pusatnya di Banjarbaru. Dan di
Banjarbaru pusatnya di Guntung Manggis,” ungkapnya kepada kami semua yang
mengiyakan saja.
Kami singgah di Warung Katupat / Nasi
Aisyah Kandangan dan langsung memesan sejumlah Katupat Kandangan dan Nasi
Kuning. Sembari menunggu, beberapa bungkus kacang dan kerupuk peye dilahap.
Entah bagaimana awalnya, Aku, Sisy dan Sandi sempat memperebutkan nasi kuning.
Tersebab, dua piring nasi kuning itu adalah jatah terakhir.
“Pas, ai. Gasan bubuhannya ini
bedua,” ujar Randu menunjuk aku dan Sisy. “Aku memesan bedahulu,”
sahut Sandi yang duduk di sebelah Sisy. Posisi waktu itu adalah meja panjang
segi empat. Aku, Sisy, Sandi, Zian, dan Mina satu baris berhadapan dengan
Randu, Kayla, dan BDL.
“Ya, sudah. ulun nasi putih haja,”
kataku.
“Di Guntung Manggis, gin, ada jua
nasi kuning, wal ai,” Randu menimpali.
“Tapi, kan, bukan nasi kuning
Kandangan,” tegas Sandi.
“Tapi, kan, nasi kuning jua.”
“Nasi kuning Guntung Manggis lain
lawan nasi kuning Kandangan,”
“Yang lain itu ketupatnya,”
“Kada jua, ketupat Kandangan tetap
ketupat Kandangan, Guntung Manggis kedada ketupat.”
Perdebatan berhenti dibarengi dengan
diam ya Randu sambil menggenggam merasukkan semua jari tangan dan
menggoyang-goyangkan badan. Sembari semua hidangan yang dipesan telah tiba dihadapan.
****
Piring sudah terlihat putih sebagian. Ada yang mengambil
sebilah tusuk gigi, dan ada pula yang sudah menyalakan sebatang rokok. Beberapa
gelas es teh manis dan hangat telah berkurang.
Perbincangan demi perbincangan telah
dilewati. Singkat kata, semua biaya Kayla yang menanggungnya. Semua raut muka
di atas meja terlihat sangat bersyukur
sekali. Sejenak, setelah mempersiapkan beberapa bawaan kami kembali menuju
rumah Aliman dan mengepak barang.
Tiba di rumah Aliman. Ia menawarkan
untuk memakai mobil, karena rekannya yang juga orang Kandangan turut serta
memakai mobil. Tetapi kami konsisten untuk lebih memilih menaiki motor.
Sedangkan Sandi, lebih memilih ikut dengan mobil karena ingin tidur. “Ente
ni wal ai, mun guring baik di rumah,” ujar Randu. “Aku beluman guring
lagi, mengantuk banar,” jawab Sandi. Singkat kata. Semua bersiap dan menuju
Loksado. Awal perjalanan yang membuat kami sempat terpisah dan kebasahan.
***
Semua perkakas sudah pas. Bahan bakar
sudah terisi penuh. Kayla berangkat dengan motor Vixion hitam putihnya disusul
BDL bersama Mina yang berniat singgah ke Pasar Kandangan dulu untuk membeli
buku. Karena BDL telah berniat untuk memberikan beberapa buku untuk sejumlah
anak-anak di Loksado nanti. Randu menggeber Blade Black orangenya bersama Zian.
Disusul Aku dan Sisy yang menguntit mereka di belakang. Rasanya sudah tak sabar
untuk segera menikmati suasana pegunungan dan sampai di bunyi-bunyian
burung-burung dan air-air dari hulu.
Untunglah, cuaca sewaktu berangkat relatif cerah. Aku pun menyempatkan diri untuk membeli koran. Mungkin karena itu pula, aku tertinggal jauh di belakang mereka. Ya sudah, selama ada penunjuk jalan yakinlah tidak akan tersesat. Benar kata Randu, jalan menuju Loksado itu bisa digambarkannya dengan goyangan tangan seperti penari rap.
Tak hanya naik turun curam terjal
berliku, tetapi juga berkelok-kelok seperti shock motor. Banyak persimpangan
yang dilalui. Untung saja jalan raya lumayan mulus, tidak terlalu banyak jalan
berlobang seperti yang terlihat di perkotaan. Melewati lika-liku hamparan aspal
yang tidak pendek itu bisa saja membuat seorang ibu hamil tiba-tiba brojol.
Baru saja kita menambah kecepatan 60 km / jam di jalan lurus, mendadak di salah
satu tikungan menjadi naikkan hampir 45 derajat. Sepeda motor yang 4 tak dan
berkopling saja sempat ngos-ngosan menaiki tanjakan itu, apalagi automatic?
Entahlah, hanya BDL yang merasakannya bersama Mina menaiki Yamaha Mio berwarna hijau itu. Aku mulai merasa menjadi pembalap
moto GP.
Kira-kira sekitar 16 km perjalanan yang ditempuh 30 menit, sejuknya hawa pegunungan sudah mulai terasa meski tak terdengar kicauan burung karena hari memang sudah cukup sore. Randu yang sudah berasa seperti Pedrossa dengan Hondanya sering Aku balap ketika tanjakan. Aku menjadi Valentino Rossi.
Di sisi-sisi jalanan tak lain dan tak bukan adalah jurang. Diselingi dengan suasana hijau dan perkampungan kecil. Kemudian beberapa pepohonan dan bebatuan.
Tampaknya, alam pegunungan di lokasi lebih menginginkan rahmat dari sang Ilahi. Menjelang perkebunan kelapa sawit yang terhampar luas, kami sempat kebasahan dan kebingungan mencari tempat berteduh. Karena lokasi itu sangat jauh dari perkampungan penduduk pribumi.
Hingga ada sebuah pohon kelapa sawit
yang sedikit mepet ke jalanan. Kami berempat singgah sekadar memasang jas anti
air. Hanya Randu yang memakainya, sedangkan Zian hanya bertebuh di balik jubah
itu tanpa banyak berkata mereka langsung cabut. Aku sedikit lebih rumit memakai
pakaian anti air ini, di mulai dari jas sepatu, celana karet parasut, barulah
jubah anti air yang membuatku menjadi penyanyi yang beken di tahun 90-an, Rama
Aiphama. Di tambah lagi Sisy yang juga memakai jubah dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Sesuatu banget, kan ?
Randu memang lupa daratan. Baru saja
aku ingin mengejar, mereka telah hilang di beberapa tikungan. Aku khawatir mereka
hilang ditikungan karena terperosok di sela-sela rumput. Untunglah hanya
sekadar kekhawatiran. Aku sudah menjadi pembalap.
Sampai di pintu gerbang Selamat Datang di Objek Wisata Loksado, kami berteduh sejenak, karena Randu dan Zian sudah lebih dulu bertahan disana. Sembari minum Pulpy Orange dan menyalakan sebatang rokok. Kami sempat berbincang-bincang. “Waktu aku wawancara dengan Andrea…” begitulah Randu memulai diskusi pendek itu. Dibalas dengan Zian yang tampaknya tak terlalu suka dengan cerita demi cerita meski tetap menghormatinya. Kami sempat berpose-pose aneh untuk mengabadikan momen di pintu gerbang selamat datang itu. Anggaplah, aku sedang ganti ban pada pit stop ketika sirkuit basah dalam pertandingan Moto GP yang masih berlangsung sengit.
Yamaha Vixion hitam putih terlihat dari jauh. Aku langsung melambai-lambaikan tangan agar ia berhenti. Kayla berhenti dengan pakaian yang tidak kering. “Munyak aku, hujannya bepagat-pagat, jadi baik selajurakan ai dah biar basah,” ungkapnya kepada kami berempat. Perbincangan berlanjut dengan beberapa batang rokok sembari menunggu BDL dan Mina yang masih tertinggal jauh di belakang. Pedrosa, Rossi, dan Hayden sedang bercengkrama dalam pit stop.
Kumpulan awan memang masih terlihat
gelap. Namun tetes demi tetes air yang jatuh darinya sudah tak lagi cepat.
Kondisi memungkinkan kami untuk meneruskan perjalanan hingga sampai ke Loksado
yang sudah cukup dekat. Tanpa banyak tanya, kami berlima berangkat tanpa
menunggu BDL dan Mina. Selamat datang di Loksado. Awal perjalanan yang membuat
kami sering berfoto. Kemudian jatuh dalam salju sungai Malaris yang memesona.
***
Sebuah warung makan lebih tepatnya.
Dan di seberang warung makan itu ada sebuah tempat bersantai di pinggir sungai
yang lebih mirip dengan lampau di tengah-tengah hamparan ladang. Kami bersantai
sekadar melepas penat dan menikmati secangkir kopi hangat. Sandi tiba beserta
beberapa rekan Aliman dengan mobil APV berwarna biru. Kami menunggu BDL dan
Mina. Sembari berfoto ria dan berbincang seadanya.
Aku tak tahu pasti berapa jumlah rekan Aliman saat itu. Kalau tidak salah sekitar 8 orang. Di tambah kami bertujuh. Jadi secara keseluruhan kami berjumlah 15 orang. BDL tiba dengan sok kelewatan di hadapan kami semua. “Eh, datangan dimana buhanmu? Beapa disini, kasi batarus ke rumahku. Rumahku di atas situ na!” ucapnya sebagai salam pembuka.
Aku tak tahu pasti berapa jumlah rekan Aliman saat itu. Kalau tidak salah sekitar 8 orang. Di tambah kami bertujuh. Jadi secara keseluruhan kami berjumlah 15 orang. BDL tiba dengan sok kelewatan di hadapan kami semua. “Eh, datangan dimana buhanmu? Beapa disini, kasi batarus ke rumahku. Rumahku di atas situ na!” ucapnya sebagai salam pembuka.
Kamera telah dikeluarkan dari ransel yang hangat itu. Beberapa kawan-kawan Aliman juga demikian. Dan BDL… jangan ditanya, dari pertama tiba dia sudah berautis ria dengan lensa telenya mengarah ke segala sudut mata angin. Setelah obrolan dirasa cukup dan sejumlah frame mulai mengisi memory card, kami meneruskan perjalanan melewati beberapa jembatan gantung yang bergoyang.
Tidak sedikit jembatan yang membuat cemas dan jantung berdegub kencang. Untunglah kami yang berperawakan tidak terlalu besar dan agak kurus tidak terlalu mempersoalkan. Tapi tetap saja, jika memakai motor melewati jembatan itu, salah seorangnya harus turun jalan kaki agar mudah menyeimbangkannya. Tapi itu hanya terjadi kepada pendatang baru di Loksado. Melihat penduduk setempat yang melewatinya, biasa-biasa saja.
Kampung itu dinamakan Desa Loklahung. Hal itu juga terlihat jelas di beberapa plang milik pemerintah, sekolahan, dan kantor kelurahan. Hahahaa.. aku sempat tertawa kecil melihat sebagian kawan-kawan yang berfoto di plang itu. Mereka menutupinya sebagian hurufnya sehingga ketika kita membaca menjadi “Desa ***lahung”. Tapi sayang, ketika aku sadar. Aku sudah melewatkan momen itu untuk mengabadikannya di dalam bingkai.
Tak terlalu jauh dari jembatan gantung pertama, kami mendapati rumah yang cukup panjang. Dan itu adalah sebuah balai adat. Namanya Balai Malaris. Tempat biasa suku Dayak Meratus melakukan berbagai upacara adat bagi kalangannya. Tidak ada lagi roda 4 yang bisa akses melalui wilayah ini. Sandi bersama rekan Aliman yang lain memilih berjalan kaki menuju ujung kampung. Dan sedikit lebih di depan yang menggunakan motor, Randu, Zian, BDL, Mina, Aku dan Sisy tentunya.
Aku sempat bingung mengapa jalan ini buntu. Ternyata satu-satu jalan menuju air terjun itu adalah melewati jembatan gantung. Sekali lagi. Rasanya ingin sekali cepat-cepat sampai di ujung
Pepohonan, batu-batuan dan semilir angin menerobos rerumputan kian terasa. Matahari sudah berani menampakan diri setelah alam ini basah keseluruhannya.
Aroma alami khas pegunungan merasuk ke
dalam tubuh dihiasi gemuruhnya air yang mulai terdengar. Ya, itulah… Air
terjunnya. Air terjun Riam Barajang, begitu sebagian orang menyebutnya.
Aku tak habis pikir dan mereka tidak banyak pikir. Randu dan Zian tampak terburu-buru melepaskan jahitan benang yang melilit tubuh mereka. Sejenak, tubuh itu langsung basah. tenggelam dalam aliran sungai yang cadas dan deras. Cukup deras untuk menghanyutkan satu hingga dua orang anak kecil seumuran jagung. Disusul Sandi yang tiba berjalan kaki mengikuti jejak langkah keterburu-buruan mereka berdua, Zian dan Randu. Sedangkan aku, hanya terpana melihat percikan cahaya matahari dari sela-sela pepohonan. Pelukis cahaya bilang, itu adalah Ray Of Light (ROL). Tak ada pilihan, Sisy menjadi model dadakan. Yang penting ada sosok manusia dalam satu frame foto. Meski wajahnya tidak terlalu dilibatkan.
Tak lama hal itu diikuti jamaah fotografer lain rekan Aliman yang datang berbarengan. Shuter demi shuter dibuang-buang tak kenal hemat. Begitu pula BDL yang tiba langsung berteriak seperti orang kesurupan. “ROOOOL… ROL… ROL!!!!!!!!,” begitu kiranya.
Sampai-sampai hal itu menjadi alasan
utama untuk tidak menoleh ke Randu, Zian, dan Sandi yang sedari tadi melambai
tangan sembari berteriak, “Hei, tolong foto kami!,” begitulah sapanya.
***
Puas berada di Riam Barajang, dan
kebetulan hari menjelang senja kami berkemas pulang untuk menuju kediaman
orangtua Aliman di Hulu Banyu. Kami rencananya akan menginap disana dengan cara
berkemah di pinggir sungai .
Malam di Hulu Banyu terasa sangat
mengesankan. Dalam biodatanya yang saya baca di novel Palas, tempat lahir
Aliman adalah Datar Belimbing. “ Ya memang sebutan lain dari Hulu Banyu adalah
Datar Belimbing,” ujar seorang warga dalam perbincangan singkat dengan saya.
Hujan gerimis turun. Kami beristirahat
di dalam rumah ortu Aliman. Cukup hiruk-pikuk dan hibak dengan tas dan barang
bawaan lainnya. Sekedar melepas lelah. Usai shalat Isya Aliman dkk pergi ke
belakang rumah. Berjarak sekitar 200 meter. Mereka akan membuat tenda.
Sementara kami tinggal di rumah.
Sekitar sejam mereka datang kembali ke
rumah dengan wajah loyo dan tubuh basah. Karena mungkin mereka mendirikan tenda
sambil berbasah-basah ria karena hujan gerimis. Lalu keluarga Aliman menyiapkan
makan malam untuk kami semua. “ Saadanya hajalah,” ujar Aliman.
Kamipun menikmati makan malam dengan
‘khusunya’ karena sudah beberapa jam perut keroncongan pingin diisi. Kami makan
ketupat di Kandangan pukul 13.00 WITA. Sementara sekarang kami makan pukul
21.00 WITA. Jadi sekitar 8 jam dilewati. Makan ala kadarnya pun terasa nikmat
sekali. Sementara hujan di luar masih enggan berhenti.
***
Namun anak-anak tersebut tidak
langsung dapat buku. Tapi harus melewati berbagai macam permainan yag
direncanakan BDL. Kelima anak itu difoto dalam beberapa angle saat mendapat
wejangan sambil duduk beralas daun di pasir pinggir sungai tak jauh dari kami
berkemah.
Diselingi canda tawa BDL, Mina, dan juga Randu
memberikan pelajaran berharga. Ada
cerita rakyat yang diambil dari buku yang akan dibagikan tersebut. Namun respon
anak-anak tersebut sedikit lamban. BDL juga mengajari kosakata Bahasa inggris.
Pagi itu benar-benar membawa kesan
indah bagi kami yang ikut menyaksikan
hal itu. Kami makin rindu dengan Loksado. Yang memberi kami harapan, kenangan,
dan keinginan untuk lebih menghargai alam dan lingkungan agar tetap terjaga.
Banjarbaru
– Kandangan – Loksado, 9-10 Juli 2012
hyyy... tolong foto kami.... hahahaha... pabila lagi kita ke loksado yo... :D
BalasHapusBaru saja saya menemukan ini. Kalau tahu begitu. Saya upload dengan fotnya saja ya!!! huh
BalasHapus