Sabtu, 5 April 2014
Oleh : Yusran Pare
Awal Maret 2014,
Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post Group, Yusran Pare melaksanakan umrah ke
Tanah Suci bersama rombongan Travellindo. Ini tulisan kedua dari catatan
pribadinya mengenai Makkah, setelah episode Madinah yang ditayangkan pekan
lalu.
Hari kedua, letih luar
biasa. Setelah perjalanan panjang dari Madinah, dilanjutkan umrah hingga
menjelang dinihari, kembali ke hotel saya langsung tepar. Rasanya baru beberapa
saat terlelap ketika merdunya azan subuh seakan berdengung di dalam kepala.
Rupanya suara empuk dari Masjidil Haram itu ditata sedemikian rupa dan
didistribusikan hingga ke kamar-kamar dan lorong hotel.
Belakangan baru saya
sadari bahwa pengeras suara
canggih-jumlahnya pasti ribuan-dipasang merata disegala ruang bangunan-bangunan
di sekeliling Masjidil Haram. Alhamdulillah, saya dapat tempat menginap yang
amat strategis, diketinggian pencakar langit tepat diseberang gerbang Masjidil
Haram.
Dari jendela menara
Zamzam ini, kami bisa leluasa menatap Kabah dan semua aktivitas di
sekelilingnya. Jad, andai salat di kamar pun serasa persis di depan Kabah.
Pagi hari, kami keluar
untuk sarapan dan jalan-jalan sekadar mengenal lingkungan. Saya terpana. Disini
tak seperti di Madinah. Kawasan di sekitar Masjidil Haram demikian padat dan
sesak oleh gedung-gedung jangkung. Sebagian besar adalah hotel-hotel,
perkantoran, pusat perbelanjaan dan toko-toko.
Zamzam Tower seolah jadi
penanda baru kota Makkah. Menara ini menjulang angkuh seperti berhala bertanduk
yang sedang menggoda anak cucu Ibrahim di tengah kekhusyukan ibadah. Saya
membayangkan, dahulu Ibrahim menghancurkan satu persatu Latta, Uzza, Hubal dan
Manat—berhala-berhala yang menggoda iman umatnya.
Saya juga teringat
kutipan-kalau tak salah, dari sebuah hadits-yang menyatakan ketika Nabi
Muhammad SAW memasuki kota Makkah, saat itu di sekeliling Kabah terdapat 360
berhala. Mudah-mudahan saja segala simbol modernitas ini tidak jadi berhala
baru yang menggoda umat Muhammad.
Hotel Zamzam Tower yang
dikelola Pullman-sebuah jaringan hotel internasional-jadi pusat tata ruang
kosmopolis di depan Masjidil Haram. Ia diapit empat hotel yang tak kalah
canggih-cuma kalah tinggi-yakni Al Safwah Royale Orchid, Moevenpick Hajar, Dar
Al Tahwid Intercontinental, dan Swiss Hotel Makkah.
Kelima hotel ini jadi
satu kesatuan dengan pusat perbelanjaan ultramodern, sehingga ketika berada di
dalam kompleks superblok ini, saya tidak merasa sedang di Tanah Suci tetapi seperti
sedang di mal-mal dimanapun, hanya saja disini jauh lebih besar dan lengkap.
Perbedaan lain, semua orang yang berlalu lalang di dalamnya berbusana muslim.
Gerai-gerai produk
ternama berkelas internasional, mencolok dihampir setiap sudut pusat belanja
yang gemerlap. Mewah dan wangi ini. Suasananya seakan membuat orang merasa
berada di dua alam sekaligus, antara hedonis kapitalistik dengan simbolisasi
religik.
Spirit Muhammad
dipersatukan dengan birahi kapitalisme lewat sosok Bin Laden, pemegang hak
monopoli megaproyek restorasi Kota Makkah. Dua kutub ekstrem antara foya-foya
dan ibadah, hanya dibatasi pintu kaca otomatis.
Saya merasakan aura
keagungan Kabah saat kita berada di Masjidil Haram, seolah langsung menguap
begitu masuk ke gerbang Menara Zamzam yang sekaligus sebagai lobi terpadu bagi
berbagai aktivitas bisnis modern dengan berbagai simbolnya itu.
Deretan lift, tak kurang
dari dua puluh di semua sisi-tiap lift berkapasitas 51 orang-seperti tak pernah
berhenti naik-turun memuntahkan dan memasukkan penumpang. “Acara” perburuan
lift pun bagi saya ada tontonan menarik, karena banyak diantara pengguna dan
calon pengguna, seperti tak terbiasa disiplin mengantre. Setidaknya, kalau
semua sadar untuk selalu tertib, tak akan terjadi dan peristiwa-peristiwa lucu
dan konyol.
Tak sempat lama
berjalan-jalan. Ini Jum’at. Teringat pesan Mas Imam, mutawif kami, jika mau
Jum’atan lebih dekat ke Kabah, harus datang lebih pagi. Betul saja. Saya merasa
sudah sangat dini ketika pukul 10.30 bergegas turun dari kamar. Tiba di depan
deretan lift, ternyata orang sudah berjubel.
Saya terasing di tengah
jubelan manusia dari berbagai bangsa di depan elevator itu. Dan, merasa
mendapat berkah ketika dari sisi kana nada yang mencolek dan bertanya dalam
bahasa yang saya kenal, “Assalamualaikum, sendiri saja, Mas ?”Ternyata Anton
Apriantono, mantan Menteri Pertanian. Dia bersama dua rekannya, sama bergegas
dengan saya untuk memburu tempat dekat Kabah.
Kami pun menyatu dengan
ribuan orang mengalir dari berbagai penjuru, menuju satu titik, Kabah.
Subhanallah, saya yang merasa sudah berangkat lebih pagi ternyata terlambat.
Masjidil Haram sudah sesak. Askar sibuk mengatur orang-orang dan menghalau
siapapun yang duduknya menghalangi lalu-lalang orang lain.
Kami terpisah, Pak Anton
terbawa arus jamaah di depan saya. Saya sedang mencari-cari ruang kosong ketika
seorang askar menghardik dan menyuruh saya minggir, atau duduk di saf terdekat.
Ia menunjuk ke ruang disela orang-orang, maksudnya mungkin “Tuh masih ada
tempat, kamu duduk disana. Jangan menghalangi lalulintas.”
Saya pun melangkah, ke
tempat yang ditunjuknya. Di depan orang berkemeja batik. Nah, kebetulan ada
saudara. Pasti dari Indonesia. Baru saja mau duduk, orang berabtik yang tadinya
tampak khusyuk berzikir ini, menengadah. Melotot, dan bicara cukup keras.
“Jangan ! Itu tempat teman saya. Sana, cari tempat lain…!”
Astaghfirullah, dibentak
dan diusir saudara sendiri. Dengan susah payah, saya melangkah lagi
meninggalkan saf itu. Baru saja kaki menginjak
gang untuk lalu-lalang, askar tadi menghardik lagi menyuruh pergi.
Pada saat yang sama,
seorang jamaah yang duduk persis disisi gang, menggeser tubuhnya yang tinggi
besar dan menarik tangan saya, menyuruh duduk di sebelahnya. Alhamdulillah.
Saya berterima kasih. Lalu shalat sunat.
Sambil duduk saya lirik
orang tinggi besar berkulit pucat ini, mencoba mencari tanda-tanda dari mana
dia berasal. Pada emblem pengenal yang dikalungkannya, saya melihat logo
bendera negara Albania. O, ya. Bukankah Khalifah Usmaniyah pernah menguasai
negara jazirah Balkan.
Alhamdulillah, berkat
saudara dadakan dari tetangga Kosovo ini saya bisa shalat dengan tumaninah, di
depan Kabah ! Si Albania ini lebih memiliki emapti ketimbang si Batik tadi.
Saya teringat cerita mengenai muslim Albania yang mempertaruhkan nyawanya
menyelamatkan dan melindungi orang-orang Yahudi dari kekejaman rezim Hitler.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar