Kamis, 1 November 2012
Oleh : Aliman Syahrani
Ungkara kehidupan sastra di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan sebenarnya sudah terbilang sangat tua. Sejak
penghujung tahun 1930-an, Maseri Matali dan Artum Artha telah mempublikasikan
karya sastra mereka, tidak hanya di media lokal tetapi juga di media luar
daerah seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Langkah mereka kemudian diamini
oleh Haspan Hadna, Hassan Basry, Merah Danil Bangsawan, Mohammad Arsyad, dan
Mazdan Rozhany. Tahun 1950-an, D.
Zauhidie, Salim Fachry, Eza Thabry Husano, mengikuti jejak pendahulu itu. Tahun
1960-an, A. Rasyidi Umar, Djarani EM, menyusul. Tahun 1970-an, Ibramsyah
Amandit, Maskuni, Suriansyah Ramlie, Hanna, Amansyah Noor, Hamberan Syahbana,
S. Surya, M. Syaifullah Baseri, Syarkian Noor Hadie, Ahmad Syarmidin, Ahmad
Fahrawi, Burhanuddin Soebely, Iwan Yusi, Muhammad Radi, menyambut estafeta.
Tahun 1980-an, muncul Miziansyah J, Dewa Pahuluan, Aspian Noor, Supian Noor,
Gazali Rahman, Jamal T Suryanata, Hardiansyah Asmail, Zulkifli Musabba, Fajar
Gemilang, dan Zainal Arifin. Tahun 1990-an, ada Aan Maulana Bandara, Muhammad
Rusmadi, Erni Yulia, Ida Nurliany, Suryani Giri, dan Aliman Syahrani, menyeruak
ke permukaan. Tulisan singkat berikut akan merekam sejumput perkembangan sastra
dan sastrawan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sejak tahun 2000-an.
Awal tahun 2000 muncul Muhammad
Faried, yang mempublikasikan karya-karyanya berupa cerpen dan puisi di sejumlah
media Kalimantan Selatan seperti Tabloid Wanyi (Banjarmasin), Gerbang
(Kandangan), Radar Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Farid juga tercatat pernah
menjadi redaktur dan koresponden sejumlah penerbitan di Kandangan dan
Kalimantan Selatan, antara lain Tabloid Gerbang, Radar Banjarmasin, Sinar
Kalimantan, dan Tabloid Urbana. Farid juga aktif di sejumlah organisasi
kepemudaan dan keagamaan di Kandangan, antara lain di CPA Meratus Hijau, DPD
KNPI Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Angkatan Muda Masjid Taqwa Kandangan. Ia
sebenarnya mulai menulis sejak menjadi siswa di SMAN 1 Kandangan tahun 1991.
Sempat kuliah di Uvaya Banjarbaru. Lahir pada 19 Juni 1975 di Kandangan. Dalam
usia yang masih sangat muda dan punya produktifitas tinggi dalam penulisan
karya sastra, Farid meninggal dunia pada hari Senin tanggal 5 Desember 2011
setelah shalat Dzuhur di Kandangan.
Hampir beriringan dengan Muhammad
Farid, berikutnya mencuat nama Akhmad Husaini di jagat penulisan sastra di Hulu
Sungai Selatan. Pemuda kelahiran Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 18
November 1979 ini tercatat mempublikasikan karya-karyanya di acara puisi Radio
BBC London dan Radio Australia (siaran bahasa Indonesia), UMSIS RRI
Banjarmasin, Media Masyarakat, Gawi Manuntung, Banjarmasin Post, Radar
Banjarmasin, Metro Banjar, Media Kalimantan, Mata Banua, Tabloid Gerbang,
Urbana, dan media Kompas Online. Puisinya juga dimuat dalam Do’a Pelangi di
Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola
(2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan
Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Seloka Bisu Batu Benawa , Bunga
Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Hulu Sungai Tengah
(2011). Lelaki agak pendiam yang akrab dipanggil Usai ini bekerja sebagai staf
Tata Usaha MTsN Angkinang. Ia pernah menjadi redaktur Tabloid Gerbang yang
terbit di Kandangan. Juga pernah menjadi penulis lepas SKH Metro Banjar (
Banjarmasin), Tabloid Urbana (Banjarmasin), Mingguan Metro Tanjung ( Tabalong).
Ia juga telah membidani lahirnya Buletin RIAK yang terbit secara terbatas di
tempat ia bekerja. Terakhir sebagai bukti rasa cintanya terhadap Kabupaten HSS
ia mengelola blog : jurnal.hss = www.sketsahss212.blogspot.com. Blog yang
khusus mengulas apa saja tentang HSS.
Akhmad Husaini masih berjaya, di
Hulu Sungai Selatan kembali lahir sastrawan muda berbakat. Adalah Muhammad Fuad
Rahman, lelaki kelahiran Kandangan, 22 September 1983 ini selain menulis juga
dikenal sebagai pelukis, deklamator puisi dan aktor teater. Fuad, yang dalam
penulisan sering menggunakan nama Kayla Untara ini merupakan jebolan Politeknik
Negeri Banjarmasin jurusan Teknik Sipil. Sejumlah prestasi sudah ditangguk oleh
Fuad bahkan sejak ia masih berusia belia. Pada usia 9 tahun (sewaktu masih
duduk di bangku sekolah kelas 3 SD), ia meraih juara III dalam Lomba Pembacaan
sari Tilawah se Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ketika memasuki bangku SMP ia
meraih juara I dalam Lomba Baca Puisi se Banua Lima. Fuad memang penuh talenta,
ia juga tercatat pernah menjadi salah satu perwakilan Kalsel dalam lomba lukis
tingkat SMP se Indonesia di Surabaya. Bahkan selama menjadi siswa di SMKN 2
Kandangan, ia menjadi langganan juara I dalam lomba pembacaan puisi tingkat
Kabupaten Hulu Sungai Selkatan dan Kalimantan Selatan. Dalam aktivitas lainnya
Fuad juga bergabung dalam Posko La Bastari, sebuah wadah pembinaan dan
pelatihan teater di Hulu Sungai Selatan pimpinan Burhanuddin Soebely. Di dunia
teater, ia pernah mengikuti Festival Teater se Indonesia Timur di Banjarmasin.
Ia juga terlibat dalam berbagai pagelaran teater baik di Banjarmasin maupun di
kota lainnya. Sewaktu masih menjadi siswa di SMKN 2 Kandangan, ia pernah
mengikuti Lomba Teater se Banua Lima
(sebagai pemain sekaligus sutradara) dalam rangka Rampai Muharram Tahun
2000 di Kandangan dan berhasil meriah juara I. Pada tahun 2006 Fuad pernah pula
menjadi menjadi pameran utama dalam film Matahari Samudera garapan Pemkab HSS
yang disutradarai Burhanuddin Soebely. Dalam film tersebut ia berperan sebagai Pangeran
Samudera.
Karya sastra Fuad baik berupa
cerpen, puisi, dan esai dimuat di Tabloid Budaya Gerbang (Kandangan), SKH
Banjarmasin Post, SKH Radar Banjarmasin, dan Tabloid Serambi Ummah
(Banjarmasin). Karya-karyanya juga turut dibukukan dalam La Ventre de
Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (2004), Orkestra Wayang (2009), Do’a
Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI,
Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra
Kalimnatan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010), dan Seloka Bisu Batu Benawa,
Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan (2011). Cerpennya berjudul Bapintaan menjadi pemenang kedua dalam Lomba
Menulis Cerita Pendek Bahasa Banjar pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII di
Tanjung. Karyanya yang lain juga dimuat dalam Datu Kandangan wan Datu
Kartamina, Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar, cerita
tentang legenda yang hidup di masyarakat Hulu Sungai Selatan, ditulis bersama
Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, Ahmad Syarmidin, dan Aliman Syahrani (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten HSS, Kandangan (2011). Puisi dan cerpennya
juga terdapat dalam Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa
Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo Kalimantan (DBK) XI dan Dinas
Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor,2011). Saat
ini Fuad tinggal di Barabai, bekerja sebagai konsultan.
Sastrawan Hulu Sungai Selatan
berikutnya yang muncul di tahun 2000-an adalah Imra’atul Jannah. Lahir di
Kandangan, 2 Mei 1982. Setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah
Darul Ulum Kandangan, ia melanjutkan ke Ponpes Darussalam Martapura. Saat
itulah ia bergabung dengan komunitas sastra Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru.
Mulai menulis sejak tahun 1995. Publikasi karyanya berupa puisi dan cerpen
antara lain pada Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Nusantara
III Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan Tabloid Serambi
Ummah. Sastrawati binaan sastrawan senior Eza Thabry Husano yang punya nama
pena Annisa ini juga telah menerbitkan sejumlah antologi puisi pribadi. Antara
lain Epilog Hari Ini (2002), Jika Cinta Telah Menyapa (2004). Antologi bersama
yang memuat puisinya antara lain : Potret Tiga Warna bersama Sri Wardaniah,
Danny S (Kandangan 2002), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003),
Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005) dan Kugadaikan Luka (2007).
Saat ini ia tinggal bersama suami dan anaknya di Tamban, Kabupaten Barito
Kuala.
Selanjutnya ada nama Joni Wijaya,
lahir di Kandangan pada 15 Januari 1986. Alumni SMU Negeri 1 Banjarmasin ini
disamping menulis, ia juga seorang pelukis. Pernah menjuarai berbagai lomba
seni lukis di Kabupaten Tanah Laut dan Kota Banjarmasin. Tahun 2002, cerpennya
Bintang di Atas Lanting menjadi pemenang I Lomba Menulis Cerita Pendek tingkat
SLTA se Provinsi Kalimantan Selatan yang diadakan oleh Lembaga Balai Bahasa
Banjarmasin. Karya-karyanya yang lain juga turut ditebitkan dalam sejumlah
antologi dan bunga rampai puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan. Joni sekarang
bekerja sebagai PNS di Kabupaten Barito Kuala.
Geliat perkembangan sastra di Hulu
Sungai Selatan terus berlanjut. Menjelang akhir tahun 2000-an, muncul nama
Rahman Rijani, lahir di Kandangan pada 1 Oktober 1987. Putra pasangan Suni
Rahman dan Jumiati (alm) ini mulai menulis puisi sejak menjadi siswa SMPN 1
Angkinang. Selain menulis puisi, alumnus SMAN 2 Kandangan ini juga dikenal
sebagai pemain teater modern dan tradisional mamanda. Ia sering tampil dalam
pementasan teater di tingkat Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Provinsi
Kalimantan Selatan, antara lain pada Festival Teater Kalimantan Selatan tahun
2007, 2008 (juara I), 2009 (juara III) di Kandangan, dan pagelaran sastra pada
Aruh Sastra Kalimantan Selatan V di Balangan (juara I). Selain menulis puisi
dan main teater, ia juga sering membacakan puisi dan menampilkan happening art
secara individu dalam momen-momen tertentu di kota Kandangan. Sekarang bergiat
di sanggar teater Kantawan dan CPA Meratus Hijau Kandangan. Dalam menulis ia
sering menggunakan nama Bagan Topenk.
Rahman Rijani masih terus mengasah
kemampuannya, berikutnya menyeruak nama Redha Adharyan Ansyari. Lahir di
Kandangan, 1 Juni 1993. Redha sudah menulis sejak menjadi siswa di MTsN
Amawang, Kandangan. Alumni SMKN 2 Kandangan jurusan Teknik Gambar Bangunan ini
sering mengikuti dan menjuarai lomba baca dan menulis puisi tingkat Kabupaten
HSS. Puisi anak muda yang tinggal di Sungai Kali RT.3 No.17 Kec. Sungai Raya
ini dimuat dalam Do’a Pelangi di Tahun
Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Batola (2009),
Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII,
Kabupaten Tabalong (2010) dan Seloka Bisu Batu Benawa, Bunga Rampai Puisi Aruh
Sastra Kalimantan Selatan VIII, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2011). Kini Redha
sedang menyiapkan antologi puisi pertamanya berjudul Narasi dari Negeri Cahaya
yang segera turun cetak. Sekarang ia tengah studi di Fakultas Teknik Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.
Selain munculnya nama-nama dan
karya-karya sastrawan tesebut, pada tahun 2000-an di Hulu Sungai Selatan juga
telah terbit sejumlah karya dan media penerbitan sastra. Tahun 2002, sempat
terbit Tabloid Gerbang, dengan pimpinan umumnya Rahmady Radiany. Tabloid ini
menjadi ajang publikasi karya sastrawan Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan
Selatan, melengkapi ajang publikasi lainnya yangsudah ada seperti Banjarmasin
Post, yang pada perkembangan berikutnya juga diramaikan oleh Radar Banjarmasin,
Kalimantan Post, Barito Post, Serambi Ummah, dan Media Kalimantan. Tahun 2004,
Burhanuddin Soebely mengeditori terbitnya buku La Ventre de Kandangan, Mosaik
Sastra HSS 1937-2003, diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 2004. Pada tahun yang sama, Aliman
Syahrani menerbitkan novel pribadinya berjudul Palas, diterbitkan oleh Pustaka
Banua dan Forum Kajian Budaya Banjar. Tahun 2005 Burhanuddin Soebely
menerbitkan novel berbahasa Banjar berjudul Bahara Mingsang Idang Siritan dan
Mamanda Ampunlah Tuanku. Tahun 2007 terbit kumpulan cerpen sastrawan Hulu
Sungai Selatan berjudul Orkestra Wayang. Tahun 2011 terbit buku Datu Kandangan
wan Datu Kartamina, Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar,
cerita tentang legenda yang hidup di masyarakat Hulu Sungai Selatan. Ditulis
oleh Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, Ahmad Syarmidin, dan Aliman Syahrani,
diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten HSS, Kandangan.
Kegiatan sastra yang pernah digelar
di Hulu Sungai Selatan selama tahun 2000-an antara lain pagelaran sastra, lomba
penulisan dan pembacaan puisi. Tahun 2004, Burhanuddin Soebely membidani
kelahiran kegiatan akbar tahunan berupa Aruh Sastra Kalimantan Selatan di
Kandangan, yang sampai saat ini terus digelar secara berkala di seluruh
kabupaten / kota di Kalimantan Selatan.
Dari sajumput data diatas, terlihat
bahwa konsistensi perkembangan sastra di Hulu Sungai Selatan tetap terjaga.
Paing tidak, ditiap dasawarsa ada saja muncul sastrawan-sastrawan baru yang
turut mewarnai dunia sastra Indonesia, terutama dunia sastra Kalimantan Selatan. Hal ini tentu saja
merupakan tradisi kehidupan sastra yang cukup membanggakan, sebab tidak semua
daerah khususnya di Kalimantan Selatan bisa memiliki tradisi seperti itu.
Perjalanan sastra dan sastrawan
tersebut dirasa perlu untuk selalu dipetakan ke dalam sebuah buku, antologi,
atau apapun namanya, sebagai penanda keberadaan. Tulisan ini, walaupun tidak
selengkap yang dinginkan, belum dapat merepresentasikan jagat perkembangan
sastra di Hulu Sungai Selatan, dari generasi tahun 2000-an hingga generasi
terkini. Namun setidaknya tonggak-tonggak penanda, pencarian dan semangat zaman
dari berbagai angkatan dapat tergambar.
Kita berharap, tradisi sastra di
Hulu Sungai Selatan akan terus menggeliat dan tetap menegaskan keberadaannya,
seperti kokohnya Gunung Kantawan yang dengan angkuh menanduk bumi. Seperti
keindahan alam Loksado yang dengan keperawanannya terus membingkas dalam
kenangan. Seperti jeram sungai Amandit yang terus mengalir, sampak menumbuk
dalam nostalgik. ***
Kandangan, 12 Oktober 2012
Pukul 14.21 WITA
desain nya . :bagus bpk !
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya. Salam.....
BalasHapus