Senin, 23 Juni 2014
Oleh : Aliman Syahrani
Sejarah adalah penyulingan bukti-bukti yang berhasil
selamat dari masa lalu. (Oscar Handlin, Truth in History, 1979)
Disampaikan pada Bedah
Buku Lintas Revolusi Fisik ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, 24 Mei 2014 di
Pendopo Wakil Bupati HSS.
Namaku sewaktu kecil
adalah Angli. Saat remaja aku berganti nama menjadi Haderi. Aku dilahirkan di
Desa Ambutun, sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Padang Batung, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan (HSS). Tak ada yang mencatat kapan persisnya tanggal dan
tahun lahirku, yang jelas aku lahir pada masa penjajahan Belanda. Nama ayahku
Umar, asli Ambutun, sedang ibuku berasal dari suku Dayak di pedalaman
Kalimantan Tengah, tepatnya di Puruk Cahu. Saat beranjak dewasa dan sudah ikut
dalam perjuangan melawan penjajah Belanda aku menggunakan nama Ibnu Hadjar,
nama yang kuambil dari nama seorang ulama besar Islam. Aku juga sering
dipanggil dengan sebutan Abah Basar.
Sejak kecil aku dikenal
kawan-kawan sebayaku sebagai anak yang pemberani. Sehari-hari aku membantu
orangtuaku bercocok tanam dan berburu ke hutan di kawasan Ambutun, Telaga
Langsat, Padang Batung, dan sekitarnya. Oleh orangtuaku, aku dididik dengan
keras dan disiplin ketat, aku juga banyak diajari ilmu keagamaan, yaitu agama
Islam. Oleh ibuku, aku bahkan diajarkan beberapa ilmu kanuragan dan kedigjayaan
yang berasal dari suku Dayak. Saat beranjak dewasa aku tumbuh menjadi anak yang
alim dan pemberani.
Saat mulai dewasa itulah
jiwa nasionalismeku tumbuh. Aku turut ambil bagian dalam membela tanah air dari
kekuasaan penjajah Belanda. Untuk mewujudkan keinginan itu, aku bergabung
bersama pejuang kemerdekaan lainnya, diantaranya yang jadi partnerku adalah
Hassan Basery. Aku dikenal sebagai prajurit yang pintar dan pemberani. Aku juga
sangat menguasai taktik perang gerilya dan penguasaan medan. Karena
keberanianku, dalam setiap peperangan aku selalu berada di garis depan.
Karena peranku itu, aku
termasuk dari sekian pejuang yang sangat menyusahkan dan ditakuti Belanda. Maka
oleh pemerintah Belanda saat itu aku dianggap sebagai tokoh pejuang yang sangat
berbahaya. Karena prestasiku itulah maka aku menjadi tokoh dan komandan pejuang
bersama Hassan Basery sampai masa kemerdekaan.
Jadi, aku adalah
termasuk salah seorang pejuang yang turut mempertautkan kembali Kalimantan
setelah dibuang oleh elit politik dari haribaan bunda pertiwi. Aku juga
merupakan salah seorang yang paling banyak menjalankan operasi militer ALRI
Divisi IV dan kontak senjata langsung dengan pasukan Belanda. Tak terhitung lagi
aksi heroik dan baku-tungkih yang kami lakukan dalam merebut dan mempertahankan
kedaulatan republik ini. Tak terkira lagi upaya kami berjuang mempertahankan hidup
dari pelor-pelor panas senjata Belanda saat beradu tembak dalam sekian
peperangan.
Sepanjang masa revolusi
fisik itu, aku dan kawan-kawan seperjuangan tidak lepas untuk selalu memompa
semangat juang yang kami miliki dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Tanah Air dari penjajah di negeri ini. Semangat kami untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan tersebut dilandasi oleh semangat jihad. Didada kami, khususnya aku, telah terpatri amanah
jihad yang dikumandangkan oleh para ulama dan tuan guru. Kami selalu dengan
gagah berani turun ke medan laga dan angkat senjata dengan satu tekad : menang
dalam bertempur dan hidup terhormat, atau gugur terburai darah dan mati sebagai
syuhada.
Perjuangan tanpa pamrih
yang dilandasi oleh kewajiban jihad sebagai seorang muslim tersebut, memberikan
motivasi yang demikian membaja dalam diri kami. Kami bergerilya melintasi hutan
belantara Meratus yang rimba, merajang tentara penjajah, dan juga
menghumbalangkan bangsa sendiri yang rela sebagai antek-antek kolonial.
Tahun 1949, era
perjuangan fisik telah usai. Namun berakhirnya revolusi fisik Indonesia tidak
serta-merta menyelesaikan masalah. Diantaranya dipicu oleh banyaknya alumnus
gerilyawan yang tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan TNI, kecewa dengan
kebijakan pemerintah yang memarginalkan mereka. Padahal, sebelumnya, mereka
adalah bagian dari revolusi berdarah ketika mendirikan republik ini. Mereka
kemudian malah disebut sebagai “Bandit-bandit revolusi”
Salah satu dari pejuang
kemerdekaan yang memaklumatkan perlawanan dengan menyandang senjata adalah aku,
Ibnu Hadjar alias Angli alias Haderi alias Abah Basar. Aku sangat kecewa dengan
rasionalisasi tentara yang dicanangkan oleh Hatta dan didukung Nasution –
Mantan Perwira KNIL (antek-antek Belanda dimasa perjuangan) yang menginginkan
sebuah keanggotaan tentara profesional.
Saat itu pemerintah Indonesia mulai menyusun kehidupan sebagai bangsa
yang merdeka, dan saat itu pulalah mulai muncul berbagai gesekan dan persoalan.
Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kandangan, dilaksanakan Perundingan Munggu
Raya pada tanggal 2 September 1949. Reorganisasi militer dan penerapan
kebijakan politik yang dilakukan para pemimpin TNI kala itu nyaris tanpa dialog
yang akhirnya memang banyak menelan korban dan mencuatkan perasaan
ketidakadilan, baik dari pejuang di daerah ini maupun pejuang dibeberapa daerah
lain.
Para pejuang kemerdekaan
seperti kami yang telah mempertaruhkan nyawa melawan penjajah dihadapkan pada
posisi dan pilihan yang sulit. Disatu pihak kami sudah terbiasa berinteraksi
dalam suatu kelompok yang menerapkan aturan-aturan yang bersifat familiar. Pada
pihak lain, reorganisasi militer menghendaki adanya penjenjangan dan aturan
disiplin yang ketat.
Aku tahu kebijakan untuk
melakukan reorganisasi dan restrukturisasi militer itu memang sangat mendesak
mengingat banyaknya kelompok-kelompok bersenjata dari para pejuang. Mereka
memang harus dilebur menjadi suatu organisasi militer yang baik dan modern.
Program TNI untuk melebur kelompok-kelompok bersenjata seperti yang kami miliki
ke dalam organisasi militer, mengharuskan adanya ukuran dan criteria sebagai
dasar penyusunan organisasi militer yang baru.
Kriteria personal yang
diterapkan saat itu antara lain adalah latar belakang pengalaman pelatihan
kemiliteran dan jenjang pendidikan. Dua kriteria ini merupakan satu-satunya
pilihan yang rasional dan proporsional. Namun kriteria tersebut ternyata
membuat posisi TNI sendiri berada dalam situasi yang serba dilematis. Adanya
criteria tersebut justru yang akhirnya banyak mencuatkan persoalan diberbagai
daerah, termasuk di Kalimantan Selatan.
Para pejuang seperti
kami lebih banyak hanya bermodalkan semangat jihad., keberanian dan nawaitu
keikhlasan dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Hampir semua
dari kami tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan formal dan layak. Bahkan,
aku sendiri, tidak bisa baca tulis huruf latin, karena memang sejak kecil aku
hanya diajarkan ilmu keagamaan dengan tulisan Arab / Arab Melayu. Sedang dalam
hal perjuangan, selama ini aku dan kawan-kawan pejuang lain berperang dan
melatih diri secara alami ; masuk ke dalam belantara rimba yang lebat, naik
turun gunung dan perbukitan hanya dengan berbekal keyakinan dan insting
pengelana sejati.
Ketika aku mengambil keputusan
kembali ke pedalaman mengulang semangat gerilya karena merasa diperlakukan
tidak adil dalam penyusunan organisasi militer yang baru, maka saat itulah
dimulai sebuah tragedi sejarah dalam perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan. Sejumlah penduduk desa diberbagai daerah
kami manfaatkan atau bergabung sendiri untuk mendukung setiap gerakan kami. Dan
belantara pegunungan Meratus kami jadikan markas persembunyian yang strategis
sambil menyusun kekuatan dan melancarkan aksi. Selang waktu ini tak lama
setelah berakhirnya masa perjuangan pasukan gerilya Hassan Basery tahun 1949.
Berbagai aksi perlawanan
mulai kami lancarkan, diantaranya dengan membentuk
satu kesatuan kelompok yang kami namakan garumbulan. Nama lain dari kelompok
kami adalah Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) atau biasa juga
disebut Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Nama tersebut adalah sebagai
refleksi dari perasaanku dan kawan-kawan seperjuangan yang merasa terluka dan
dikhianati. Dalam pandangan kami, Pemerintah RI telah melakukan pelacuran
sejarah, penculasan dan penindasan. Kesimpulan tersebut muncul setelah aku
dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan kenyataan yang berlangsung disekitar
kami serta kemalangan yang menimpa diriku sendiri akibat reasionalisasi dan
demobilisasi tentara.
Dengan gerakan dan aksi
yang kulakukan sebenarnya aku ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa revolusi
fisik Indonesia selama ini bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan elit
politik dan militer saja, seperti dipahami selama ini. Revolusi fisik
Indonesia, pada dasarnya, juga merupakan jerih payah dan perjuangan pada bandit
revolusi seperti kami, ataupun para pelaku kriminal lainnya pada masanya dan
orang-orang yang terpinggirkan lainnya yang kerap dipandang sebagai sampah
masyarakat, yang seolah tidak mempunyai peran apapun didalamnya.
Aku tahu dan sadar bahwa uang pemerintah tidak cukup untuk menghidupi seluruh orang
bersenjata dimasa perjuangan seperti kami. Aku juga cukup mengerti bahwa untuk
masuk tentara tidak hanya butuh keberanian dan semangat saja, tetapi juga
kecakapan dan pendidikan.
Aku juga tahu bahwa
dalam Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949 di Kandangan itu,
bertujuan untuk merembukkan pemilihan dan pengangkatan figur-figur tokoh
pejuang yang berhak memegang satu jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun
dalam reorganisasi militer kala itu. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk
menghargai jasa-jasa mereka para pejuang kemerdekaan termasuk aku dan
kawan-kawanku.
Aku ingat betul,
perhelatan bersejarah yang tidak tercatat secara baik dalam sejarah itu tidak
sepenuhnya mencapai satu titik kesepahaman. Mayoritas yang hadir tidak satu
pendapat dalam kenduri pembagian ‘kue kemerdekaan’ itu, dikarenakan satu
sebabnya ketika pemerintah memilih dan memutuskan untuk mengangkat Letnan
Kolonel Sukanda Bratamanggala sebagai pemegang tampuk jabatan sebagai Pangdam
untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala
itu.
Keberatan tersebut
dikarenakan Sukanda Bratamanggala adalah bekas KNIL atau antek-antek Belanda di
masa penjajahan. Bayangkan, bekas anggota ALRI Divisi IV seperti aku dan Hassan
Basery serta kawan-kawan yang beberapa bulan lalu saling baku-tungkih, beradu
tembak dan saling bunuh kini berada dalam satu tempat tinggal ? Bahkan pada
beberapa satua terkecil justru sang mantan KNIL itulah yang jadi komandan kami.
Lebih dari itu,
pemerintah juga masih menyisipkan sejumlah orang yang pernah turut terlibat
sebagai KNIL dan spion penjajah lainnya dalam reorganisasi militer tersebut.
Bahkan dalam penyerahan jabatan tersebut aku melihat kentara sekali adanya
tindakan sepihak yang begitu mencolok, dimana suara dan posisi para pejuang
pedalaman seperti kami kurang diperhatikan dan dihargai secara patut dalam
menentukan keputusan tersebut.
Bekas KNIL-KNIL itu
malah diberikan satu posisi jabatan yang lebih strategis dan terhormat
disbanding kami para pejuang yang mati-matian mempertahankan jengkal demi
jengkal bumi pertiwi dari tangan penjajah dengan berkuah darah dan taruhan
nyawa di daerah pedalaman. Kami yang langsung angkat bedil dan meriwaskan Mandau
dan parang kepada penjajah malah seperti dianaktirikan ; tidak dipandang
sebelah. Alasannya memang sangat klasik namun rasional, kecakapan dan jenjang
pendidikan, satu dari dua hal yang tidak kami miliki.
Jabatan Pangdam yang
mestinya jatuh kepada Hassan Basery, atau, mungkin saja kepadaku, sebagai dua
partner dalam perjuangan ALRI Divisa IV – ini juga menurut penilaian mayoritas
para pejuang yang hadir dalam pertemuan itu – malah dirampas oleh Sukanda
Bratamanggala, seorang KNIL Belanda yang dimasa perjuangan adalah sebagai rival
menyabung nyawa dan musuh beradu tembak demi kemerdekaan Tanah Air Tercinta.
Bagaimanapun, tragedy ini tentu menimbulkan pertentangan hebat dari mayoritas
pejuang pedalaman yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Maka, sejak tanggal 27
Oktober 1949, dibawah pengawasan dr. Suharsono, orang Jawa, dimulailah tes
kesehatan dengan memberlakukan ujian-ujian militer yang ketat dan berat. Pada
tahap ini saja sudah banyak anggota ALRI Divisi IV yang tidak lulus dan
dikembalikan ke masyarakat. Mereka yang masih tetap jadi tentara tetapi
kemudian juga kena demobilisasi mendapat perlakuan culas yang amat
diskriminatif. Mereka cuma diberi pesangon sebesar Rp.50,- tidak diakui sebagai
veteran, juga tak mendapatkan dana pensiun.
Penculasan lainnya yang
kami alami adalah, ketika sekitar 40-an perwira eks ALRI Divisi IV dikirim ke
Yogyakarta untuk mengikuti kursus Akademi Militer Nasional, padahal akademi
tersebut telah bubar hampir setahun sebelumnya.
Alasan kenapa jabatan Pangdam
tidak diberikan kepada Hassan Basery atau kepadaku sudah jelas, kami, khususnya
aku, tidak mempunyai tingkat pendidikan yang memadai. Lebih-lebih aku, yang
hanya bermodalkan semangat dan keberanian serta keikhlasan dalam berjuang
mempertahankan tanah air dari tangan penjajah.
Jabatan Pangdam akhirnya
jatuh ke tangan Sukanda Bratamanggala, meskipun dia bekas seorang KNIL Belanda.
Meski begitu, dia adalah seorang pribumi asli juga dan telah bertobat, demikian
argumentasi pihak penguasa kala itu. Hal paling rasional rasionalnya,
lagi-lagi, Sukanda adalah seorang yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi.
Tapi tentu saja argumentasi semacam ini tidak membuat keputusan tersebut
diterima oleh semua pihak, terkhusus dari kubu kami. Kami tetap merasa
diremehkan, dihina dan dikhianati oleh orang-orang dari bangsa sendiri.
Aku adalah salah seorang
yang paling bersikeras menentang keputusan sepihak itu. Jiwa juangku yang keras
dan tegas jadi tersulut, kehormatan diriku merasa ditantang. Dalam pertemuan
tersebut aku bahkan sempat menempeleng Letkol Sukanda Bratamanggala, saat pertemuan
masih berlangsung.
Sebenarnya, sebagai
salah seorang yang berada dalam posisi pemimpin, aku masih mungkin mendapatkan
kedudukan tertentu dalam struktural jabatan baru tersebut. Terbukti, jabatan
terakhirku sebelum keluar dari ketentaraan adalah Letnan Dua TNI. Akan tetapi,
aku merasa hal itu tidak menjamin bagi rekan-rekanku yang lain untuk dapat
meneruskan karir militer mereka. Keputusanku untuk kembali ke pedalaman
sebenarnya bukan semata berupaya untuk kepastian masa depan diriku sendiri. Aku
tidak mau jika kawan-kawanku masih terkatung-katung dalam ketidakpastian. Dalam
batas-batas tertentu, aku bermaksud memberikan pelajaran berharga kepada siapa
saja bagaimana mempertahankan harkat diri sendiri. Bahkan, secara sadar aku
ingin menunjukkan kepada generasi selanjutnya bagaimana semestinya menunjukkan
sikap solidaritas yang tinggi kepada kawan seperjuangan.
Bagiku, nilai
kemanusiaan bukanlah ditentukan oleh kehancuran yang menimpa, tetapi pada
perjuangan mempertahankan harkat
dirinya. Tragis adalah sifat dari suatu peristiwa yang menyedihkan, tetapi
tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan. Kalimat ini
agaknya cukup tepat untuk mengungkapkan idealismeku saat itu.
Sementara, dilihat dari
ketentuan-ketentuan formal kenegaraan, aku memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Keputusanku tersebut
dianggap telah melawan arus dalam suatu konfigurasi negara. Akan tetapi dalam
bingkai sejarah, aku ingin memberikan pengorbanan dan pengabdianku yang tidak
bisa dianggap enteng.
Keputusan sudah diambil.
Resmilah Letkol Sukanda Bratamanggala menjadi Pandam untuk wilayah Kalimantan
Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Lalu, bagaimana dengan
Hassan Basery ? Bukankah beliau juga menjadi korban kebijakan yang kuanggap
salah kaprah tersebut ? Untuk menutupi kepincangan itu, Hassan Basery yang saat
itu belum berpangkat Brigjend diasingkan ke Mesir untuk mengikuti suatu
pendidikan dengan biaya pemerintah. Sedang aku dan pasukanku tetap bersikukuh
dengan pendirian kami ; tidak menerima keputusan yang kami nilai nyata-nyata
culas dan menguntungkan sepihak itu.
Perkembangan selanjutnya, Panglima Tentara dan Teritorium VI
Kalimantan juga dijabat oleh Sukanda Bratamanggala, orang Sunda. Sementara
Hassan Basery cuma menjabat sebagai Panglima Subwilayah III yang meliputi
Daerah Banjar. November 1951, Sukanda Bratamanggala digantikan oleh Kolonel
Sadikin, yang juga berasal dari Jawa Barat. Setelah setahun sebelumnya, ketika Hassan Basery diberi
beasiswa untuk belajar ke Mesir, maka kedudukannya digantikan oleh Mayor
Sitompul, orang Batak. Mayor Sitompul digantikan lagi oleh Letnan Kolonel Suadi
Suromiharjo, orang Jawa Tengah.
Lihat saja, semua
jabatan basah dan prestisius itu dilahap oleh orang seberang. Tak satupun
pejuang dai orang Banua mendapat posisi yang layak. Apalagi para pejuang di
pedalaman, mereka hanya jadi tumbal revolusi yang seolah tak berhak menikmati
walau secuil kue kemerdekaan.
Bertolak dari rasa
kecewa dan ketidakpuasan itulah, dengan pekik jihad dan semangat juang yang
berkobar aku dan kawan-kawan kembali ke pedalaman, mulai menyusun kekuatan baru
dan melancarkan gerakan-gerakan perlawanan.
Acapkali sebenarnya
pemerintah memberikan tawaran gencatan senjata dan jalan damai dengan
menyampaikan panggilan kepadaku secara pribadi, agar segera menghentikan aksi
dan perlawanan dengan janji pengampunan. Tapi, setiap kali itu pula aku
menolak. Kami yang sudah bertahun-tahun balinjang di belantara pegunungan
Meratus sambil memaklumkan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia
saat itu sudah kadong sakit hati ; api juang dan gelora kesumat telah
memanggang jiwa kami hingga terbakar. Meski jauh direlung hatiku juga menyadari
bahwa tindakanku tersebut dapat menghancurkan segala apa yang telah
kucita-citakan dalam perjuangan kami selama ini ; hanya demi rasa kepuasan
murah dari suatu pembaasan dendam tak berarti.
Namu aku juga
memaklumkan, hal ini dikarenakan tak ada lagi sebuah jalan pun yang dapat
menahan gejolak hatiku yang sudah demikian berkobar. Dentum kemarahan dan
gelegar dendam telah bertumpuk-tumpuk di dalam diri kami sejak beberapa waktu
sudah. Belum lagi kami harus menahan kesakitan hati karena dilecehkan dan harus
menerima penculasan serta perlakuan semena-mena ; pengkhianatan tak semestinya,
serta harga diri yang terkoyak-koyak. Semua itu bersatu, berpulas, mengamuk dan
meledak-ledak dalam diriku.
Yang keluar memenuhi
panggilan itu adalah adikku Dardi beserta sebagian pengikutnya. Kedatangan
mereka disambut bak seorang pejuang yang pulang dari medan perang. Merekapun
diberikan penghargaan dan bermacam fasilitas serta kedudukan tertentu sebagai
ucapan terima kasih untuk jaminan hidup. Ada yang diberikan modal usaha dan
seperangkat alat keterampilan seperti mesin jahit dan lain-lain sesuai dengan
kondisi dan situasi saat itu, bahkan ada yang menjadi ABRI. Aku tahu, muslihat
itu dilakukan pemerintah RI dengan maksud untuk menunjukkan kepadaku bahwa
tujuan damai dan pengampunan yang dijanjikan adalah benar ; agar aku dan pasukanku
menyerahkan diri dan segera mengakhiri perlawanan.
Namun bukan perangaiku
kalau tidak setia kepada keyakinan sendiri. Pantangan bagi seorang “God Father”
sepertiku menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah. Lebih baik mati berkalang
tanah daripada hidup menanggung malu sepanjang sejarah. Lebih baik mati berkuah
darah daripada hidup menjadi pengkhianat. Prinsip inilah yang berusaha
kupertahankan dan kuperjuangkan.
Bagiku, pejuang dan
pemberontak itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Perbedaan antara
seorang patriot dan seorang pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa.
Bukankah sejarah pun ditulis oleh siapa yang berkuasa. Pemerintah bisa saja
menamakan kami sebagai teroris, pemberontak garumbulan atau apa saja. Tapi aku
menyebut diri kami sebagai pejuang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kekuasaan
untuk memilih ikatan kita sendiri. Aku dan kawan-kawan menginginkan kemerdekaan
semacam itu.
Dengan mengetahui faktor-faktor
pemicu terjadinya pemberontakanku, aku berharap agar generasi mendatang tidak
dengan begitu saja menyalahkan sikap yang kami ambil. Pada awal tindakanku,
tidak cuma tercermin hakikat dari sebuah harga diri tetapi juga keberanian dan
ketegasan dalam bersikap. Naasnya, dalam melakukan aksi, kami memang sering
terjerumus ke jurang terror, perampokan dan pembantaian.
Hal itu barangkali
karena aku dan pengikutku adalah sekumpulan petarung, bukan politikus handal
yang punya bargaining position dan bargaining power yang kuat. Barangkali
juga karena aku tak hisa mengendalikan tindakan anak buahku – atau mereka yang
mengaku anak buahku. Namun saat itu terdapat banyak gerombolan liar diluar KRyT
yang kupimpin, bahkan di dalam tubuh KRyT sendiri terdapat fraksi-fraksi yang
kadang saling berseberangan.
Dengan berbagai
muslihat, akhirnya aku berhasil diringkus di Desa Batantangan (sekarang
berganti nama menjadi Desa Pariangan, wilayah Kecamatan Padang Batung, HSS) dan
dibawa ke Jakarta.
Pada bulan Maret 1965
aku dihadapkan dalam siding Mahkamah Militer Luar Biasa. Tanggal 22 Maret, aku
dijatuhi hukuman mati. Sesaat sebelum dieksekusi, aku menangis. Bukan kematian
yang kutangisi, tetapi karena aku merasa dilecehkan dan dikhianati.
Ah, ada apa gerangan ?
Apakah gergaji politik menggerus lagi hingga rumpu luka berduri meruyak kembali
? Akankah lagi kuah darah membuncah-ruah di wajah sejarah ?
Merdeka !
Kandangan, malam-malam bergaram
24 Mei 2014, 02:02 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar