Haul akbar Datu Hamawang, baru-baru tadi dihelat di Desa Lumpangi, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Acara ini dihadiri ribuan ummat yang datang dari berbagai pelosok daerah di HSS dan sekitarnya. Tampak pula hadir sejumlah tokoh, seperti mantan Mensesneg era Gus Dur Johansyah Effendy, HA Sulaiman HB, H Rustam Effendi, Rektor Unlam, Wakil Bupati Tanah Bumbu, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pejabat Pemkab HSS.
Sementara itu tetuha keluarga juriat Datu Hamawang, HM Said memaparkan riwayat dan semangat perjuangan Datu Hamawang yang pantang menyerah dalam menentang penjajahan. Dituturkan mantan Gubernur Kalsel ini, sekitar empat abad silam, di Hulu Sungai Selatan ada seorang tokoh bernama Temanggung Raksa Yuda, keturunan raja Banjar Pangeran Sukarama.
Dia berdiam di sebuah kampung bernama Hamawang. Karena itu, tokoh ini juga dikenal sebagai Datu Hamawang atau Datu Bungkul. Selain itu Datu Hamawang juga dikenal sebagai Pangeran Kecil.
Selain diberi banyak karamah, Datu Hamawang juga dikenal sebagai seorang pahlawan dan ulama panutan yang sangat dihormati masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan dilaksanakan di daerah itu terlebih dahulu meminta saran dan pendapat, bahkan persetujuannya.
Menurut penuturan orang-orang tua dulu, ujar HM Said, yang mula-mula memeluk agama Islam di daerah tersebut adalah Datu Hamawang. Kemudian beliau menyebarkan agama Islam dan membangun sebuah mesjid di Hamawang (mesjid Quba), dibantu Datu Ulin dan Datu Basuhud, yang akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang bernama Datu Salayan.
" Datu Hamawang menurunkan turunan yang umumnya penduduk Kandangan dan sekitarnya, kemudian menyebar dimana-mana," katanya.
Dalam catatan Belanda, HSS hanya dikenal satu kota, yakni Hamawang. Kandangan sendiri tak tercantum dalam peta Belanda. Karena itu, Belanda dalam rangka meluaskan kekuasaannya mengirim pasukan lewat sungai Barito dan sungai Nagara, lalu berlabuh di Desa Kalumpang untuk menyerang kampung Hamawang.
Hamawang jatuh dan diduduki Belanda, kemudian Datu Hamawang berpindah ke seberang sungai Amandit dan menyerang Belanda secara terus-menerus, sehingga akhirnya Belanda meneruskan perjalanan dan membangun benteng di kota Kandangan, dikenal dengan Benteng Hamawang.
" Dan karena hingga kini makam beliau tidak diketahui letaknya, maka tugas kita sebagai juriatnya mencari dan meneliti riwayat Datu Hamawang lebih dalam lagi," pesan suami Hj. Norlatifah ini.
Sementara Sekda HSS, H Ahmad Fikri mengaku sangat bangga dengan ketokohan Datu Hamawang. Semangat perjuangan Datu Hamawang menjadi inspirasi pemerintah daerah dalam membangun banua.
" Pertemuan ini sangat bermakna. Kami bertekad melanjutkan cita-cita Datu Hamawang untuk mensejahterakan masyarakat," janji Sekda.
Sementara KH Abdul Hamid dalam tausyiahnya menekankan makna sangat besar dari kegiatan haul yang dirangkai acara Badadapatan antara juriat Datu Hamawang dengan masyarakat luas itu.
" Ada sesuatu yang perlu dimaknai. Spirit Datu Hamawang harus menjadi teladan bagi kita semua," katanya.
Acara ini dihadiri ribuan ummat yang datang dari berbagai pelosok daerah di HSS dan sekitarnya. Tampak pula hadir sejumlah tokoh, seperti mantan Mensesneg era Gus Dur Johansyah Effendy, HA Sulaiman HB, H Rustam Effendi, Rektor Unlam, Wakil Bupati Tanah Bumbu, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pejabat Pemkab HSS.
Sementara itu tetuha keluarga juriat Datu Hamawang, HM Said memaparkan riwayat dan semangat perjuangan Datu Hamawang yang pantang menyerah dalam menentang penjajahan. Dituturkan mantan Gubernur Kalsel ini, sekitar empat abad silam, di Hulu Sungai Selatan ada seorang tokoh bernama Temanggung Raksa Yuda, keturunan raja Banjar Pangeran Sukarama.
Dia berdiam di sebuah kampung bernama Hamawang. Karena itu, tokoh ini juga dikenal sebagai Datu Hamawang atau Datu Bungkul. Selain itu Datu Hamawang juga dikenal sebagai Pangeran Kecil.
Selain diberi banyak karamah, Datu Hamawang juga dikenal sebagai seorang pahlawan dan ulama panutan yang sangat dihormati masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan dilaksanakan di daerah itu terlebih dahulu meminta saran dan pendapat, bahkan persetujuannya.
Menurut penuturan orang-orang tua dulu, ujar HM Said, yang mula-mula memeluk agama Islam di daerah tersebut adalah Datu Hamawang. Kemudian beliau menyebarkan agama Islam dan membangun sebuah mesjid di Hamawang (mesjid Quba), dibantu Datu Ulin dan Datu Basuhud, yang akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang bernama Datu Salayan.
" Datu Hamawang menurunkan turunan yang umumnya penduduk Kandangan dan sekitarnya, kemudian menyebar dimana-mana," katanya.
Dalam catatan Belanda, HSS hanya dikenal satu kota, yakni Hamawang. Kandangan sendiri tak tercantum dalam peta Belanda. Karena itu, Belanda dalam rangka meluaskan kekuasaannya mengirim pasukan lewat sungai Barito dan sungai Nagara, lalu berlabuh di Desa Kalumpang untuk menyerang kampung Hamawang.
Hamawang jatuh dan diduduki Belanda, kemudian Datu Hamawang berpindah ke seberang sungai Amandit dan menyerang Belanda secara terus-menerus, sehingga akhirnya Belanda meneruskan perjalanan dan membangun benteng di kota Kandangan, dikenal dengan Benteng Hamawang.
" Dan karena hingga kini makam beliau tidak diketahui letaknya, maka tugas kita sebagai juriatnya mencari dan meneliti riwayat Datu Hamawang lebih dalam lagi," pesan suami Hj. Norlatifah ini.
Sementara Sekda HSS, H Ahmad Fikri mengaku sangat bangga dengan ketokohan Datu Hamawang. Semangat perjuangan Datu Hamawang menjadi inspirasi pemerintah daerah dalam membangun banua.
" Pertemuan ini sangat bermakna. Kami bertekad melanjutkan cita-cita Datu Hamawang untuk mensejahterakan masyarakat," janji Sekda.
Sementara KH Abdul Hamid dalam tausyiahnya menekankan makna sangat besar dari kegiatan haul yang dirangkai acara Badadapatan antara juriat Datu Hamawang dengan masyarakat luas itu.
" Ada sesuatu yang perlu dimaknai. Spirit Datu Hamawang harus menjadi teladan bagi kita semua," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar