Oleh
: Akhmad Husaini
Dugal seperti biasa menjalani aktivitas
keseharian, pukul 07.00 WITA, ia berangkat menuju tempat kerja bersepeda motor
bututnya, berjarak sekitar satu kilometer. Setibanya disana Dugal membuka pintu
dan membersihkan ruangan.
Kemudian tirai dibuka, tempat sepatu
dikeluarkan, lap kecil diletakkan di depan pintu. Lalu ia masuk ke ruang kerjanya.
Jendela dan tirai dibuka, lampu dinyalakan.
Ruangan terasa pengab karena hibak dengan barang. Ia membuka laptop.
Menyelesaikan tugas yang kemarin. Bila jenuh Dugal keluar ruangan. Cari kegiatan
lain. Ambil air wudhu lalu shalat Dhuha ke mushala, yang berjarak sekitar 10
meter dari ruang kerjanya.
Ia bersimpuh di sana. Suasana madrasah
tengah sepi. Guru dan siswa sedang berada di kelas, mengikuti proses belajar
mengajar. Di madrasah Dugal sebagai honorer Tata Usaha. Usai shalat Dhuha Dugal
kembali ke ruang kerjanya. Melanjutkan tugasnya.
Hari itu madrasah tempat Dugal bekerja
pulang lebih awal, pukul 10.30 WITA. Karena para guru akan melakukan perjalanan
panjang menuju Sampit, Kalteng dalam rangka ziarah ke makam keturunan Datu Kalampayan
yang ada disana.
Sebelumnya mereka saruan selamatan di rumah seorang guru di Longawang. Berjarak sekitar
5 kilometer dari madrasah. Usai saruan
para guru pulang ke rumah masing-masing untuk berkemas. Mereka akan berkumpul
di satu titik, yakni di depan makam Datu Taniran.
Rencana akan menggunakan satu buah bus
yang disewa dari Gambut. Baru pukul 13.00 WITA seluruh guru terkumpul. Dugal
pulang ke rumah. Segala bawaan sudah dimasukkan ke dalam tas. Ia tinggal
berangkat saja lagi.
Ia jalan Tembok Rel, beli paket internet
di sebuah kios ponsel. Agar nantinya selama perjalanan ke Sampit dapat ia
laporkan lewat akun facebooknya. Ia berangkat, tapi singgah dulu ke madrasah
ada yang diambil. Setelah itu menuju Taniran. Disana sudah terkumpul
rekan-rekannya. Hanya tinggal beberapa orang lagi.
Dugal memarkir motornya di rumah seorang
temannya. Yang lain juga melakukan hal yang sama. Dugal ikut memasukkan motor
rekannya yang lain. Dugal senang membantu dan tidak pelit tenaga.
Lalu mereka menuju bus yang terparkir di
depan makam Datu Taniran. Karena saling bahadangan
baru beberapa jam kemudian bus berangkat. Apalagi di Kandangan masih ada yang
disinggahi yakni Bapak Kepala dan beberapa orang guru. Perjalanan panjang harus
dilakukan. Benar-benar melelahkan tentunya.
Walau begitu suasana di dalam bus cukup
riang gembira. Sesekali diwarnai dengan celetukan dan gelak tawa. Dugal menjadi
bahan candaan karena masih belum nikah, jadi bila ada melihat wanita di pinggir
jalan selalu diwarahakan.
Dugal berada di bagian belakang. Ia sambil
memposting foto dan tulisan sejam sekali. Baik ke facebook maupun Kompasiana. Doa
selalu dipanjatkan agar perjalanan berlangsung lancar sampai tujuan dengan
selamat dan kembali ke Banua juga dengan selamat. Di Sekumpul bus berhenti.
Ingin ziarah dulu ke makam Guru Sekumpul dan menunaikan shalat.
Dugal melangkah menuju tempat wudhu. Setelah
ziarah dan shalat, ia duduk di pelataran mushala Ar Raudhah. Menunggu yang lain
selesai shalat dan batutukar. Dugal
ketemu rekan wanita asal Martapura, perempuan itu datang dengan anaknya yang
berusia tujuh tahunan.
Lalu Dugal memberi temannya itu buku karyanya,
sebuah kumpulan puisi. “Makasih Ka lah atas pemberian buku ini, mudahan pian selalu eksis menulis dan berkarya,”
ujar wanita itu sembari minta foto bersama dengan kamera hp miliknya.
Dugal kembali menulis status di
facebook, hasil perjalanan itu tiap jam. Suasana Sekumpul tampak ramai oleh
jamaah yang datang berziarah, walaupun hari itu sudah sore.
Kali ini Dugal ikut ziarah ke Sampit
dengan suasana begitu riang gembira. Kenapa ? Ia baru saja ketiban rejeki. Tulisannya
di media dan buku mendapat reward dan
royalti. Hasilnya ditabung di bank dan dibawa ke Sampit.
Karena punya ATM ia kapan saja bisa mengambil
uang untuk keperluan penting. Sepanjang perjalanan ia cukup menikmati sekali.
Kadang sinyal internet tak bagus, bahkan tak ada sama sekali. Ia maklum saja
akan hal itu. Ke Kalteng kata orang seakan-akan pergi ke hutan. Tapi kalau ke Kaltim
seakan-akan pergi ke kota. Maksudnya di Kalteng di kiri kanan jalan kebanyakan
hutan belantara saja yang dipandangi.
Rombongan istirahat makan siang di wilayah
Jalan Lingkar Kabupaten Banjar tepatnya tak jauh di dekat SMA Banua
Kalsel. Dengan seksama mereka makan siang karena memang perut sedang
keroncongan.
Aura berbeda terasa saat rombongan melintasi
kawasan Basarang. Karena memang daerah tersebut, warganya mayoritas berasal
dari Bali. Disana banyak terdapat bangunan untuk ibadah. Rombongan baru tiba di
rumah teman seorang guru di Bagendang, sekitar pukul 04.00.
Setibanya disana Dugal langsung
merebahkan diri sebentar. Setelah sarapan pagi berupa nasi kuning, rombongan
menuju lokasi makam di kawasan Pantai Ujung Pandaran yang berjarak sekitar 100
kilometer dari rumah tempat mereka menginap. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar