Jumat, 26 Juni 2015

Membaca Senja di Himalaya

Sabtu, 27 Juni 2015




Sambil bekerja, Sabtu (27/06/2015) saya membaca novel karya Kiran Desai berjudul Senja di Himalaya, The Inheritance of Loss. Merupakan pemenang Man Booker Prize For Fiction 2006. Novel setebal 544 halaman ini saya temukan di ruang guru tempat saya bekerja.

Mumpung libur saya meminjam untuk dibaca. Biasanya kada langsung tuntung. Baca beberapa paragraf atau satu halaman, kemudian saya berhenti. Lantas bukunya diberi pembatas. Kalau ada waktu luang dilanjutkan kembali.

Pada halaman informasi novel ini terdapat data yang menerjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah Rika Iffati Farihah. Diterbitkan Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika). Ini buku cetakan pertama, Desember 2007. Dengan ISBN 978-979-114-137-6.

Berita buruk itu datang. Sai tiba-tiba menjadi yatim piatu dan harus pindah dari asrama ke rumah kakek yang tak pernah dikenalnya, sang hakim. Di rumah tua di kaki Gunung Kanchenjunga, Himalaya, itulah Sai mengenal Gyan, sang guru Matematika, dan jatuh hati kepadanya.

Tetapi mereka bak bumi dan langit, Sai yang berpendidikan barat dengan Gyan yang sangat tradisional. Sang hakim yang awalnya khawatir kehadiran Sai akan merusak ketenangannya, akhirnya malah teringat kepada masa mudanya, seorang pemuda India yang berusaha keras menjadi pria Inggris, namun pada akhirnya tak merasa menjadi bagian dari apapun.

Di rumah itu pula tinggal juru masak sang hakim. Putranya, Biju, berhasil pergi ke Amerika namun ternyata dia harus mati-matian bertahan hidup sebagai imigran gelap di kota New York, demi mewujudkan mimpi dan kebanggaan sang ayah. Sampai ketika terjadi kerusuhan di Kalimpong, dan ayahnya tak bisa dihubungi, dia memutuskan pulang ke India, ke negeri yang dulu tak sabar ingin ditinggalkannya.

Karakter-karakter menakjubkan dari novel ini bagai cermin, mengingatkan kepada diri kita sendiri. Inilah cerita mengenai mereka yang miskin dan lugu, mereka yang terhormat namun merasa terasing, karena mereka terbelah antara budaya timur dan barat, dan senantiasa mempertanyakan mana yang lebih baik : tradisi atau modernitas ?

Sementara tentang Kiran Desai tertulis ia lahir di India pada 1971 dan menghabiskan masa belajarnya di India, Inggris, dan Amerika. Kiran mempelajari penulisan kreatif di Columbia University. Novel pertamanya, Hullabaloo in the Guava Orchard, mendapatkan respon luas yang sangat baik. Begitu pula dengan novel kedua ini. (akhmad husaini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan MTsN 3 Hulu Sungai Selatan Jumat Pagi

 Sabtu, 23 November 2024 Jembatan kayu ulin Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), yang ada di RT 3 Desa Angkinang S...