Cerpen : Iwan
Yusi
Hujan sekali lagi mengguyur dengan
lebatnya. Dalam seminggu terakhir ini debit air Danau Bangkau cepat sekali
meningkat. Subuh tadi beberapa bagian ruas jalan disisi danau rawa itu
tergenang air. Menurut orang tua-tua di perkampungan nelayan rawa itu,
peristiwa seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Seingat mereka selama
menghuni perkampungan itu, air Danau Bangkau tak pernah meluap hingga melimpasi
jalan tanggul. Sepengetahuan mereka sejak kecil, Danau Bangkau adalah sahabat
yang ramah sekaligus sumber penghidupan yang melimpahkan sumber kekayaan hewani
di dalamnya, yaitu berbagai jenis ikan rawa. Itulah sebabnya desa nelayan
disisi Danau Bangkau ini disebut lumbung ikan di daerah Hulu Sungai Selatan
(HSS), Kalimantan Selatan.
Pukul 06.00 WITA, ketika udara kota
Kandangan masih berkabut embun. Pak Fadil yang juga dikenal dengan panggilan
Juragan Kayu baru saja masuk mobil di halaman rumahnya yang luas. Telepon
seluler yang masih tergenggam ditangannya berbunyi lagi. Lelaki bertubuh
bongsor berkulit legam itu langsung melekatkan benda canggih tersebut ke
kupingnya. Sejurus kemudian ia sudah asyik berdialog lewat udara dengan
seseorang dikejauhan. Agar suaranya bisa didengar dengan baik oleh mitra
bisnisnya, ia terpaksa harus bersuara nyaring karena bunyi derai hujan lebat
cukup mengganggu pendengaran.
“Oooo, sudah, Pak. Uang lima ratus
juta rupiah itu sudah masuk ke rekening saya.” Sejenak ia berhenti berujar.
Wajahnya tersenyum sumringah. “Oooo,….jadi Bapak pesan kayu jenis meranti lagi.
Jangan khawatir, Pak. Kebetulan sekarang saya ada persediaan enam kontiner, dan
kayu-kayu itu sudah siap dekat pelabuhan.”
Sekali lagi lelaki itu terdiam
menyimak serius ujaran lawan bicaranya. Sesekali pula ia mencoret-coretkan
penanya di sebuah buku sakunya.
“Dokumen ? Aaah, yang penting
kayu-kayu yang saya kirim itu sampai ke tangan bapak. Soal kelancaran
pengiriman kayu-kayu itu tanggung jawab saya. Hmmm,…..mereka yang diberitakan
sering tertangkap itu karena belum pintar berbisnis kayu, Pak. Ya ya yaa, Bapak
kan sudah membuktikan sendiri bermitra bisnis kayu dengan saya. Aman, lancar,
dan menguntungkan ? Ha ha ha haaaa!” Lelaki bongsor itu terkekeh-kekeh sehingga
perutnya yang buncit tampak bergerak-gerak turun naik menggelikan.
Dengan senyum sumringah lelaki gemuk
legam itu duduk disamping sopirnya sambil melonggarkan ikatan dasinya. Mobil
sedan warna hitam itu meluncur cepat mengantar sang juragan kayu hendak meeting di sebuah hotel ternama di kota
Banjarmasin. Dibenaknya terbayang angka miliaran rupiah lagi dan akan menambah
panjang deret perhitungan kekayaannya.
Pukul 08.00 WITA, Sardi anak sulung
sang juragan tengah asyik duduk di depan pesawat televisi bersama ibunya. Hari
ini ia tidak masuk sekolah karena ulangan sudah selesai. Dua hari lagi akan
menerima buku raport. Kedua orang tuanya berharap Sardi dapat posisi tiga besar
seperti semester lalu. Dan hari sangat membuatnya berbangga hati dihadapan
orang-orang tua siswa lainnya, ketika ia diundang menerima raport di sekolah.
Sardi memindah channel siaran, dari drama sinetron ke sebuah stasiun televisi yang
mengulas tentang lingkungan, manakala ibunya yang sangat suka tayangan jenis
hiburan itu pergi ke dapur sebentar.
Di pesawat televisi, terlihat
seorang reporter wanita dilatari tumbuhan liar hutan pegunungan tengah
melaporkan liputannya.
“Pemirsa, dari sejumlah areal hutan
di kawasan pegunungan Meratus yang masih tersisa sebagai penyangga wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kini tinggal dua kawasan yaitu hutan Juhu dan hutan
Batu Perahu. Dua wilayah inipun hanya sekitar lima ribu hektare, sementara luas
wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang harus dilindungi mencapai 1.472
kilometer persegi. Di kawasan hutan penyangga sekarang masih tegak sejumlah
pohon besar seperti meranti, tangkawang, dsb. Keberadaan hutan penyangga selain
berfungsi sebagai pengendalian bencana banjir, juga untuk kesinambungan dari
berbagai spesies tumbuhan tropis yang sudah banyak hilang akibat illegal logging oleh oknum-oknum tak
bertanggung jawab di daerah ini.
Kawasan yang sekitar tahun 1960-an
masih merupakan hutan lebat, seperti kawasan Kundan, Harungan, dan Sigaling,
kini terancam menjadi kawasan gundul jika tidak segera diantisipasi. Salah satu
upaya tersebut adalah menghentikan tindakan-tindakan illegal logging yang sekarang sedang marak dilakukan oleh
oknum-oknum yang hanya mementingkan diri sendiri, demi kekayaan pribadi.”
Dengan serius Sardi menyimak laporan
tentang lingkungan tersebut. Tangannya masih terpegang remote control. Tapi tiba-tiba saja ibunya datang membuyarkan
perhatiannya. Dengan sikap kasar perempuan itu merebut remote control yang ada ditangan Sardi.
“Eee, buat apa menonton yang
begituan. Itu hanya memberatkan pikiran. Mending nonton sinetron, biar
terhibur, biar tidak stress,” ujar ibunya sambil merebut paksa remote control dari genggaman Sardi.
“Tapi ini penting untuk pengetahuan
saya Ma.”
“Sardi, jangan bandel kamu.
Pengetahuan semacam itu bisa kamu baca di buku-buku. Bukankah kamu punya banyak
buku ? Pesawat televisi ini bukan untuk belajar, tapi untuk hiburan, tahu ?”
Sardi terdiam. Ia mengerti ibunya
lagi sangat gandrung pada tayangan sinetron yang satu ini. Ia juga mengerti,
ibunya pasti sangat kecewa bila satu serial terlewatkan. Tapi ia sangat
menyayangkan dan menyesalkan sikap ibunya yang selalu mementingkan diri
sendiri, jauh dari bijaksana.
Beberapa waktu lalu, ayahnya juga
marah besar kepada Sardi. Sampai-sampai hendak menampar ke mukanya. Untung
waktu itu datang pamannya melerai. Ia ingat betul peristiwa itu.
“Sardi, semester ini kamu harus
juara kelas. Bukankah fasilitas belajar sudah abah penuhi ?” ujar ayahnya
serius dan penuh perhatian.
“Kalau saya berhasil juara kelas,
apa hadiah dari abah ?”
“Sardi, saya baru dapat untung
besar. Karena itu saya pilihkan hadiah sebuah sepeda motor merek termutakhir,
bagaimana ?” kata ayahnya beriming-iming dengan senyum menggoda.
“Abah jujur saja, saya tak perlu
hadiah semewah itu. Tapi saya sanggup meraih prestasi itu asalkan abah….” belum
sempat selesai, ayahnya sudah memotong ujarannya.
“Asalkan apa, Sardi ? Lekas katakan,
sepanjang abah sanggup akan abah penuhi,” desak lelaki bongsor itu dengan
senyum terkembang.
“Mmmm saya sanggup meraih peringkat
pertama, asalkan abah berhenti jadi pebisnis kayu yang sifatnya illegal
logging. Selama ini saya malu kepada teman-teman. Di sekolah saya sering di
ejek, disebut anak illegal logging oleh mereka. Katanya pebisnis kayu adalah
penyebab banjir, perusak lingkungan, penjahat lingkungan, “ujar Sardi dengan
nada sendu.
“Heeeeeeh ! Jauhi teman-temanmu itu.
Mereka itu telah meracuni pikiranmu ! Dan kamu ternyata seorang anak yang
bernyali kecil, penakut ! Mengapa tidak kamu tampar saja mereka itu, yang
berani-beraninya mengejek harga diri keluarga kita ?! Kita ini keluarga kaya
dan terhormat ! Kurang ajar benar teman-temanmu itu !”
Hari itu ayah Sardi sangat marah.
Berjam-jam ia masih mengomel dan mondar-mandir seperti cacing kepanasan. Untung
adik ibunya Sardi datang bertamu, yang sedikit mendinginkan suasana. Dan sejak
hari itu Sardi berniat tak akan mengungkit-ungkit lagi kisah itu didepan ayah
atau ibunya. Ia memilih lebih baik berdiam diri. Belakangan ia berpikir, tak
ada gunanya ia melawan orangtua. Namun ia tak penah meninggalkan berdo’a untuk
ayah dan ibunya itu pada setiap usai shalat.
Diam-diam Sardi meninggalkan ruang
keluarga. Setelah mengganti pakaian ia pergi ke garasi. Lewat garasi ia pergi
dengan sepeda motornya. Seperti biasa menemui teman-temannya yang biasa mangkal
dekat lapangan bola.
Meski hujan sudah berhenti beberapa
menit tadi, tapi mendung masih membayang. Udara masih terasa dingin lembab.
Namun suasana ngobrol-ngobrol di dekat lapangan bola itu terasa hangat bagi
sekelompok anak muda itu.
Hari ini, koran daerah dan radio
swasta setempat banyak memberitakan peristiwa banjir yang mulai menggenangi
desa nelayan disisi Danau Bangkau. Berita itu nyaris berimbang dengan kabar
heboh datangnya artis ibukota yang akan menggoyang kota kecil ini malam nanti.
“Kamu sudah beli karcis untuk
pertunjukan nanti malam Sar ?” celoteh salah seorang sahabatnya, disela-sela
riuh rendah obrolan tak bertema itu.
“Belum. Agaknya aku tak akan
menonton pertunjukan itu.”
“Hei, mengapa, Sar ? Padahal sejak
kemarin kamu yang paling menggebu-gebu hendak menonton pertunjukan itu,” tanya
yang lain.
“Mmm entahlah. Aku juga tak tahu,
mengapa tiba-tiba aku tak berselera ke pertunjukan hiburan itu,” ujar Sardi tak
seceria biasanya.
“Tapi kalian tak perlu kecewa, semua
akan kubelikan karcis. Tapi mari kita jalan-jalan dulu !” ajak anak juragan
kayu itu kepada teman-temannya.
“Kemana?”
“Aaah, jangan banyak tanya. Ayo
ikuti aku!” ujar Sardi sambil menstarter sepeda motornya. Maka langsung saja
diikuti oleh yang lain. Mereka membentuk konvoi cukup panjang.
Iring-iringan sepeda motor yang
dikendarai oleh sejumlah anak muda itupun beberapa saat membuat suara gaduh
dijalanan. Tapi para ABG itu tidak mengganggu lalu lintas kota, karena mereka
membelok meluncur ke arah desa.
Sementara itu, air berwarna keruh
kecoklatan terus melesak kian deras. Air Sungai Amandit seperti orang sedang
naik pitam. Arusnya yang kencang menghanyutkan. Apa saja yang ada di bantaran
kali. Menurut pemberitaan di koran daerah dan siaran radio swasta, hujan deras
di beberapa daerah sekitar membuat Danau Bangkau mendapat banjir kiriman.
Menurut para ahli atau pengamat lingkungan, banjir terjadi akibat ulah para illegal logging yang membabat hutan
secara membabi buta. Hutan tak mampu
menyerap air hujan, sehingga air melimpah ruah dan tak terkendali. Di beberapa
ruas jalan yang agak rendah di seputar tepi danau, air terus menerobos hingga
melampaui lutut tingginya.
Sebagian warga merasa prihatin
menyaksikan kejadian yang tak pernah terjadi sebelumnya ini. Namun bagi
anak-anak terutama dari perkotaan, peristiwa langka ini merupakan kesempatan
untuk bersenang-senang, mandi berenang sambil bersimbur-simbur bersuka ria.
Sardi dan teman-temannya tengah
asyik bermain buaya-buayaan dengan teman-temannya. Mereka berkejar-kejaran,
menyelam, dan saling menyimbur. Sorak-sorai riuh rendah menggemai sekitar tepi
danau yang kedalaman airnya cukup tinggi dan berarus cukup deras. Kawasan yang
biasa digunakan orang-orang memancing ini telah berubah menjadi tempat
rekreasi.
Tengah asyiknya pengunjung tempat
wisata dadakan itu, secara tiba-tiba dari celah-celah rimbun tetumbuhan japun
dan gelagah perupuk muncul seekor buaya berukuran besar. Binatang air ganas
buas itu mencoba mengejar orang-orang yang tengah asyik bermain air. Pengunjung
jadi kalang kabut dengan teriakan-teriakan panik dan tangis ketakutan. Semua
pengunjung berusaha menyelamatkan diri dari terkaman monster rawa itu.
Nasib malang bagi seorang anak
laki-laki yang tengah berusaha keluar dari air, moncong tumpul kasar bergerigi
binatang itu menerkam pinggangnya. Anak itu berkutik. Badannya jadi lunglai
seperti menyerah pasrah. Sejurus kemudian monster rawa itu menghempas-hempaskan
tubuh mangsanya ke air, seperti cecak membanting-banting seekor anak belalang
di dinding. Merah darah telah bercampur dengan air keruh kecoklatan. Lalu
binatang buas itu membawa korbannya menyelam ke kedalaman Danau Bangkau.
Betapa nyata peristiwa itu di depan
mata para pengunjung. Namun tak seorang pun berani berbuat untuk menolong anak
malang itu. Mereka hanya ternganga, seolah tak percaya atas kejadian yang baru
terjadi tadi.
Besok harinya, Sardi anak juragan
kayu telah menjadi berita hangat di koran daerah dan siaran radio swasta
setempat. Sementara di masyarakat terbetik ujaran-ujaran, bahwa semua itu
adalah hukuman atas dosa Pak Fadil yang menebangi hutan secara semena-mena
sehingga menimbulkan banjir besar. Yang jelas, buaya yang biasa hidup jauh di
pedalaman rawa itu keluar dari sarangnya karena merasa terusik oleh air yang
melimpah ruah. Hingga monster itu terbawa ke darat.***
Kandangan, Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar