Jumat, 17 Oktober 2014

Banjir

Sabtu, 18 Oktober 2014


Cerpen : Iwan Yusi

            Hujan sekali lagi mengguyur dengan lebatnya. Dalam seminggu terakhir ini debit air Danau Bangkau cepat sekali meningkat. Subuh tadi beberapa bagian ruas jalan disisi danau rawa itu tergenang air. Menurut orang tua-tua di perkampungan nelayan rawa itu, peristiwa seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Seingat mereka selama menghuni perkampungan itu, air Danau Bangkau tak pernah meluap hingga melimpasi jalan tanggul. Sepengetahuan mereka sejak kecil, Danau Bangkau adalah sahabat yang ramah sekaligus sumber penghidupan yang melimpahkan sumber kekayaan hewani di dalamnya, yaitu berbagai jenis ikan rawa. Itulah sebabnya desa nelayan disisi Danau Bangkau ini disebut lumbung ikan di daerah Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan.
            Pukul 06.00 WITA, ketika udara kota Kandangan masih berkabut embun. Pak Fadil yang juga dikenal dengan panggilan Juragan Kayu baru saja masuk mobil di halaman rumahnya yang luas. Telepon seluler yang masih tergenggam ditangannya berbunyi lagi. Lelaki bertubuh bongsor berkulit legam itu langsung melekatkan benda canggih tersebut ke kupingnya. Sejurus kemudian ia sudah asyik berdialog lewat udara dengan seseorang dikejauhan. Agar suaranya bisa didengar dengan baik oleh mitra bisnisnya, ia terpaksa harus bersuara nyaring karena bunyi derai hujan lebat cukup mengganggu pendengaran.
            “Oooo, sudah, Pak. Uang lima ratus juta rupiah itu sudah masuk ke rekening saya.” Sejenak ia berhenti berujar. Wajahnya tersenyum sumringah. “Oooo,….jadi Bapak pesan kayu jenis meranti lagi. Jangan khawatir, Pak. Kebetulan sekarang saya ada persediaan enam kontiner, dan kayu-kayu itu sudah siap dekat pelabuhan.”
            Sekali lagi lelaki itu terdiam menyimak serius ujaran lawan bicaranya. Sesekali pula ia mencoret-coretkan penanya di sebuah buku sakunya.
            “Dokumen ? Aaah, yang penting kayu-kayu yang saya kirim itu sampai ke tangan bapak. Soal kelancaran pengiriman kayu-kayu itu tanggung jawab saya. Hmmm,…..mereka yang diberitakan sering tertangkap itu karena belum pintar berbisnis kayu, Pak. Ya ya yaa, Bapak kan sudah membuktikan sendiri bermitra bisnis kayu dengan saya. Aman, lancar, dan menguntungkan ? Ha ha ha haaaa!” Lelaki bongsor itu terkekeh-kekeh sehingga perutnya yang buncit tampak bergerak-gerak turun naik menggelikan.
            Dengan senyum sumringah lelaki gemuk legam itu duduk disamping sopirnya sambil melonggarkan ikatan dasinya. Mobil sedan warna hitam itu meluncur cepat mengantar sang juragan kayu hendak meeting di sebuah hotel ternama di kota Banjarmasin. Dibenaknya terbayang angka miliaran rupiah lagi dan akan menambah panjang deret perhitungan kekayaannya.
            Pukul 08.00 WITA, Sardi anak sulung sang juragan tengah asyik duduk di depan pesawat televisi bersama ibunya. Hari ini ia tidak masuk sekolah karena ulangan sudah selesai. Dua hari lagi akan menerima buku raport. Kedua orang tuanya berharap Sardi dapat posisi tiga besar seperti semester lalu. Dan hari sangat membuatnya berbangga hati dihadapan orang-orang tua siswa lainnya, ketika ia diundang menerima raport di sekolah.
            Sardi memindah channel siaran, dari drama sinetron ke sebuah stasiun televisi yang mengulas tentang lingkungan, manakala ibunya yang sangat suka tayangan jenis hiburan itu pergi ke dapur sebentar.
            Di pesawat televisi, terlihat seorang reporter wanita dilatari tumbuhan liar hutan pegunungan tengah melaporkan liputannya.
            “Pemirsa, dari sejumlah areal hutan di kawasan pegunungan Meratus yang masih tersisa sebagai penyangga wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kini tinggal dua kawasan yaitu hutan Juhu dan hutan Batu Perahu. Dua wilayah inipun hanya sekitar lima ribu hektare, sementara luas wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang harus dilindungi mencapai 1.472 kilometer persegi. Di kawasan hutan penyangga sekarang masih tegak sejumlah pohon besar seperti meranti, tangkawang, dsb. Keberadaan hutan penyangga selain berfungsi sebagai pengendalian bencana banjir, juga untuk kesinambungan dari berbagai spesies tumbuhan tropis yang sudah banyak hilang akibat illegal logging oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di daerah ini.
            Kawasan yang sekitar tahun 1960-an masih merupakan hutan lebat, seperti kawasan Kundan, Harungan, dan Sigaling, kini terancam menjadi kawasan gundul jika tidak segera diantisipasi. Salah satu upaya tersebut adalah menghentikan tindakan-tindakan illegal logging yang sekarang sedang marak dilakukan oleh oknum-oknum yang hanya mementingkan diri sendiri, demi kekayaan pribadi.”
            Dengan serius Sardi menyimak laporan tentang lingkungan tersebut. Tangannya masih terpegang remote control. Tapi tiba-tiba saja ibunya datang membuyarkan perhatiannya. Dengan sikap kasar perempuan itu merebut remote control yang ada ditangan Sardi.
            “Eee, buat apa menonton yang begituan. Itu hanya memberatkan pikiran. Mending nonton sinetron, biar terhibur, biar tidak stress,” ujar ibunya sambil merebut paksa remote control dari genggaman Sardi.
            “Tapi ini penting untuk pengetahuan saya Ma.”
            “Sardi, jangan bandel kamu. Pengetahuan semacam itu bisa kamu baca di buku-buku. Bukankah kamu punya banyak buku ? Pesawat televisi ini bukan untuk belajar, tapi untuk hiburan, tahu ?”
            Sardi terdiam. Ia mengerti ibunya lagi sangat gandrung pada tayangan sinetron yang satu ini. Ia juga mengerti, ibunya pasti sangat kecewa bila satu serial terlewatkan. Tapi ia sangat menyayangkan dan menyesalkan sikap ibunya yang selalu mementingkan diri sendiri, jauh dari bijaksana.
            Beberapa waktu lalu, ayahnya juga marah besar kepada Sardi. Sampai-sampai hendak menampar ke mukanya. Untung waktu itu datang pamannya melerai. Ia ingat betul peristiwa itu.
            “Sardi, semester ini kamu harus juara kelas. Bukankah fasilitas belajar sudah abah penuhi ?” ujar ayahnya serius dan penuh perhatian.
            “Kalau saya berhasil juara kelas, apa hadiah dari abah ?”
            “Sardi, saya baru dapat untung besar. Karena itu saya pilihkan hadiah sebuah sepeda motor merek termutakhir, bagaimana ?” kata ayahnya beriming-iming dengan senyum menggoda.
            “Abah jujur saja, saya tak perlu hadiah semewah itu. Tapi saya sanggup meraih prestasi itu asalkan abah….” belum sempat selesai, ayahnya sudah memotong ujarannya.
            “Asalkan apa, Sardi ? Lekas katakan, sepanjang abah sanggup akan abah penuhi,” desak lelaki bongsor itu dengan senyum terkembang.
            “Mmmm saya sanggup meraih peringkat pertama, asalkan abah berhenti jadi pebisnis kayu yang sifatnya illegal logging. Selama ini saya malu kepada teman-teman. Di sekolah saya sering di ejek, disebut anak illegal logging oleh mereka. Katanya pebisnis kayu adalah penyebab banjir, perusak lingkungan, penjahat lingkungan, “ujar Sardi dengan nada sendu.
            “Heeeeeeh ! Jauhi teman-temanmu itu. Mereka itu telah meracuni pikiranmu ! Dan kamu ternyata seorang anak yang bernyali kecil, penakut ! Mengapa tidak kamu tampar saja mereka itu, yang berani-beraninya mengejek harga diri keluarga kita ?! Kita ini keluarga kaya dan terhormat ! Kurang ajar benar teman-temanmu itu !”
            Hari itu ayah Sardi sangat marah. Berjam-jam ia masih mengomel dan mondar-mandir seperti cacing kepanasan. Untung adik ibunya Sardi datang bertamu, yang sedikit mendinginkan suasana. Dan sejak hari itu Sardi berniat tak akan mengungkit-ungkit lagi kisah itu didepan ayah atau ibunya. Ia memilih lebih baik berdiam diri. Belakangan ia berpikir, tak ada gunanya ia melawan orangtua. Namun ia tak penah meninggalkan berdo’a untuk ayah dan ibunya itu pada setiap usai shalat.
            Diam-diam Sardi meninggalkan ruang keluarga. Setelah mengganti pakaian ia pergi ke garasi. Lewat garasi ia pergi dengan sepeda motornya. Seperti biasa menemui teman-temannya yang biasa mangkal dekat lapangan bola.
            Meski hujan sudah berhenti beberapa menit tadi, tapi mendung masih membayang. Udara masih terasa dingin lembab. Namun suasana ngobrol-ngobrol di dekat lapangan bola itu terasa hangat bagi sekelompok anak muda itu.
            Hari ini, koran daerah dan radio swasta setempat banyak memberitakan peristiwa banjir yang mulai menggenangi desa nelayan disisi Danau Bangkau. Berita itu nyaris berimbang dengan kabar heboh datangnya artis ibukota yang akan menggoyang kota kecil ini malam nanti.
            “Kamu sudah beli karcis untuk pertunjukan nanti malam Sar ?” celoteh salah seorang sahabatnya, disela-sela riuh rendah obrolan tak bertema itu.
            “Belum. Agaknya aku tak akan menonton pertunjukan itu.”
            “Hei, mengapa, Sar ? Padahal sejak kemarin kamu yang paling menggebu-gebu hendak menonton pertunjukan itu,” tanya yang lain.
            “Mmm entahlah. Aku juga tak tahu, mengapa tiba-tiba aku tak berselera ke pertunjukan hiburan itu,” ujar Sardi tak seceria biasanya.
            “Tapi kalian tak perlu kecewa, semua akan kubelikan karcis. Tapi mari kita jalan-jalan dulu !” ajak anak juragan kayu itu kepada teman-temannya.
            “Kemana?”
            “Aaah, jangan banyak tanya. Ayo ikuti aku!” ujar Sardi sambil menstarter sepeda motornya. Maka langsung saja diikuti oleh yang lain. Mereka membentuk konvoi cukup panjang.
            Iring-iringan sepeda motor yang dikendarai oleh sejumlah anak muda itupun beberapa saat membuat suara gaduh dijalanan. Tapi para ABG itu tidak mengganggu lalu lintas kota, karena mereka membelok meluncur ke arah desa.
            Sementara itu, air berwarna keruh kecoklatan terus melesak kian deras. Air Sungai Amandit seperti orang sedang naik pitam. Arusnya yang kencang menghanyutkan. Apa saja yang ada di bantaran kali. Menurut pemberitaan di koran daerah dan siaran radio swasta, hujan deras di beberapa daerah sekitar membuat Danau Bangkau mendapat banjir kiriman. Menurut para ahli atau pengamat lingkungan, banjir terjadi akibat ulah para illegal logging yang membabat hutan secara  membabi buta. Hutan tak mampu menyerap air hujan, sehingga air melimpah ruah dan tak terkendali. Di beberapa ruas jalan yang agak rendah di seputar tepi danau, air terus menerobos hingga melampaui lutut tingginya.
            Sebagian warga merasa prihatin menyaksikan kejadian yang tak pernah terjadi sebelumnya ini. Namun bagi anak-anak terutama dari perkotaan, peristiwa langka ini merupakan kesempatan untuk bersenang-senang, mandi berenang sambil bersimbur-simbur bersuka ria.
            Sardi dan teman-temannya tengah asyik bermain buaya-buayaan dengan teman-temannya. Mereka berkejar-kejaran, menyelam, dan saling menyimbur. Sorak-sorai riuh rendah menggemai sekitar tepi danau yang kedalaman airnya cukup tinggi dan berarus cukup deras. Kawasan yang biasa digunakan orang-orang memancing ini telah berubah menjadi tempat rekreasi.
            Tengah asyiknya pengunjung tempat wisata dadakan itu, secara tiba-tiba dari celah-celah rimbun tetumbuhan japun dan gelagah perupuk muncul seekor buaya berukuran besar. Binatang air ganas buas itu mencoba mengejar orang-orang yang tengah asyik bermain air. Pengunjung jadi kalang kabut dengan teriakan-teriakan panik dan tangis ketakutan. Semua pengunjung berusaha menyelamatkan diri dari terkaman monster rawa itu.
            Nasib malang bagi seorang anak laki-laki yang tengah berusaha keluar dari air, moncong tumpul kasar bergerigi binatang itu menerkam pinggangnya. Anak itu berkutik. Badannya jadi lunglai seperti menyerah pasrah. Sejurus kemudian monster rawa itu menghempas-hempaskan tubuh mangsanya ke air, seperti cecak membanting-banting seekor anak belalang di dinding. Merah darah telah bercampur dengan air keruh kecoklatan. Lalu binatang buas itu membawa korbannya menyelam ke kedalaman Danau Bangkau.
            Betapa nyata peristiwa itu di depan mata para pengunjung. Namun tak seorang pun berani berbuat untuk menolong anak malang itu. Mereka hanya ternganga, seolah tak percaya atas kejadian yang baru terjadi tadi.
            Besok harinya, Sardi anak juragan kayu telah menjadi berita hangat di koran daerah dan siaran radio swasta setempat. Sementara di masyarakat terbetik ujaran-ujaran, bahwa semua itu adalah hukuman atas dosa Pak Fadil yang menebangi hutan secara semena-mena sehingga menimbulkan banjir besar. Yang jelas, buaya yang biasa hidup jauh di pedalaman rawa itu keluar dari sarangnya karena merasa terusik oleh air yang melimpah ruah. Hingga monster itu terbawa ke darat.***

Kandangan, Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...