Rabu, 08 Oktober 2014

Maharnya dari Rp 10 Ribu Menjadi Rp 20 Juta

Kamis, 9 Oktober 2014



 Sambil menggerakkan tangan kirinya yang memegang pucuk ringgitan yakni untaian daun kelapa  serta padi dan tangan kanan yang mengenakan hyang yakni gelang tembaga untuk ritual, Damang Ayal berlari kecil. Diiringi tabuhan gendang seorang nenek, dia mendekati sepasang calon pengantin yang duduk di pelaminan.
Mulut Damang Ayal komat-kamit. Kepalanya sesekali menengadah ke langit-langit bangunan, berdo’a agar pernikahan pengantin tersebut direstui Sang Hyang, leluhur Dayak Meratus. Beberapa kali Damang yang juga penghulu di Desa Malaris, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) itu, mengitari mempelai yang dimamangnya atau dinikahkannya secara adat.

Damang kemudian meletakkan untaian pucuk ringgitan ke kepala, bahu, tangan hingga badan mempelai. Beberapa syarat pernikahan seperti lemang, sisir, rokok, dan bungkusan pakaian diletakkan di tikar di depan pengantin.

Syarat tersebut dianggap warga Dayak Meratus sebagai harapan agar keduanya menjalani kehidupan rumah tangga hingga akhir hayat dan di alam baka bisa kembali beriringan.

Kendati menjalankan ritual adat Dayak Meratus, pengaruh budaya luar sudah terasa di daerah Pegunungan Meratus tersebut. Mempelai pria mengenakan kemeja putih berdasi, dibalut jas berwarna hitam dan berpeci hitam. Sedangkan perempuannya mengenakan gaun pengantin ala Eropa berwarna kuning keemasan ditambah perhiasan berwarna  perak di leher dan kepala. Mereka duduk di sofa dengan latar belakang tirai putih.

Pernikahan adat Dayak meratus yang berlangsung di Balai Malaris, Minggu (28/9/2014) itu disaksikan puluhan anggota keluarga mempelai dan warga sekitar. Tidak ada tamu yang diundang secara khusus. Mereka duduk santai dilantai balai berukuran sekitar 20 x 40 meter persegi tersebut. Sementara sejumlah anak duduk sambil bermain tak jauh dari pelaminan.

Tak ada sajian layaknya resepsi pernikahan di kota. Hanya ada beberapa teko berisi teh hangat dan kaleng plastik berisi kerupuk dan lemang.

Kendati sangat sederhana, Basriansyah (18) yang baru lulus SMA warga Dayak Meratus asal Desa Paramasan Kabupaten Banjar terlihat sangat bahagia bisa mempersunting Ramidah, kembang Desa Malaris yang baru berusia 15 tahun.

Pernikahan adat mereka yang berlangsung kurang dari satu jam itu ditutup dengan beberapa kalimat pengesahan dari mulut Damang Ayal. Malam sebelumnya, di tempat yang sama, merteka mengikuti ritual baruji. Baruji adalah tawar-menawar mahar antara keluarga mempelai pria dan keluarga mempelai perempuan.

Awalnya keluarga mempelai pria mengajukan mahar sebesar Rp 10 ribu. Namun itu ditolak keluarga mempelai perempuan. Keluarga mempelai pria kemudian menaikkan mahar. Namun tawaran tersebut kembali ditolak. Setelah sekitar satu jam, mahar disepakati Rp 20 juta.

“ Rp 20 juta adalah harga yang bisa kami ajukan kepada pihak pria dari luar desa yang ingin mempersunting gadis desa kami. Ini termasuk murah karena prianya berasal dari keluarga petani. Kami tidak menaruh harga tinggi. Ini kami anggap harga kekeluargaan saja,” ujar Uling, salah satu anggota keluarga mempelai perempuan.

Lain lagi dengan Mawarni, perempuan Desa Malaris yang baru lulus SMA. Rencananya melangsungkan pernikahan adat beberapa hari lagi. “ Calon  pendamping saya berasal dari keluarga yang dianggap mampu dan dia sudah bekerja di perusahaan kelapa sawit. Jadi keluarga meminta Rp 40 juta kepada keluarga calon suami saya,” ujar Mawarni. (ony)




Sumber : Banjarmasin Post, Kamis, 9 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan MTsN 3 HSS Jumat Pagi

 Jumat, 26 April 2024 Melihat kondisi jembatan kayu ulin MTsN 3 HSS, pada hari Jumat (26/04/2024) pagi. (ahu)