Sambil menggerakkan tangan kirinya yang memegang pucuk ringgitan yakni untaian daun kelapa serta padi dan tangan kanan yang mengenakan hyang yakni gelang tembaga untuk ritual, Damang Ayal berlari kecil. Diiringi tabuhan gendang seorang nenek, dia mendekati sepasang calon pengantin yang duduk di pelaminan.
Mulut
Damang Ayal komat-kamit. Kepalanya sesekali menengadah ke langit-langit bangunan,
berdo’a agar pernikahan pengantin tersebut direstui Sang Hyang, leluhur Dayak
Meratus. Beberapa kali Damang yang juga penghulu di Desa Malaris, Kecamatan
Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) itu, mengitari mempelai yang
dimamangnya atau dinikahkannya secara adat.
Damang
kemudian meletakkan untaian pucuk
ringgitan ke kepala, bahu, tangan hingga badan mempelai. Beberapa syarat
pernikahan seperti lemang, sisir, rokok, dan bungkusan pakaian diletakkan di
tikar di depan pengantin.
Syarat
tersebut dianggap warga Dayak Meratus sebagai harapan agar keduanya menjalani
kehidupan rumah tangga hingga akhir hayat dan di alam baka bisa kembali
beriringan.
Kendati
menjalankan ritual adat Dayak Meratus, pengaruh budaya luar sudah terasa di
daerah Pegunungan Meratus tersebut. Mempelai pria mengenakan kemeja putih
berdasi, dibalut jas berwarna hitam dan berpeci hitam. Sedangkan perempuannya
mengenakan gaun pengantin ala Eropa berwarna kuning keemasan ditambah perhiasan
berwarna perak di leher dan kepala.
Mereka duduk di sofa dengan latar belakang tirai putih.
Pernikahan
adat Dayak meratus yang berlangsung di Balai Malaris, Minggu (28/9/2014) itu
disaksikan puluhan anggota keluarga mempelai dan warga sekitar. Tidak ada tamu
yang diundang secara khusus. Mereka duduk santai dilantai balai berukuran
sekitar 20 x 40 meter persegi tersebut. Sementara sejumlah anak duduk sambil
bermain tak jauh dari pelaminan.
Tak
ada sajian layaknya resepsi pernikahan di kota. Hanya ada beberapa teko berisi
teh hangat dan kaleng plastik berisi kerupuk dan lemang.
Kendati
sangat sederhana, Basriansyah (18) yang baru lulus SMA warga Dayak Meratus asal
Desa Paramasan Kabupaten Banjar terlihat sangat bahagia bisa mempersunting
Ramidah, kembang Desa Malaris yang baru berusia 15 tahun.
Pernikahan
adat mereka yang berlangsung kurang dari satu jam itu ditutup dengan beberapa
kalimat pengesahan dari mulut Damang Ayal. Malam sebelumnya, di tempat yang
sama, merteka mengikuti ritual baruji. Baruji adalah tawar-menawar mahar antara
keluarga mempelai pria dan keluarga mempelai perempuan.
Awalnya
keluarga mempelai pria mengajukan mahar sebesar Rp 10 ribu. Namun itu ditolak keluarga
mempelai perempuan. Keluarga mempelai pria kemudian menaikkan mahar. Namun
tawaran tersebut kembali ditolak. Setelah sekitar satu jam, mahar disepakati Rp
20 juta.
“
Rp 20 juta adalah harga yang bisa kami ajukan kepada pihak pria dari luar desa
yang ingin mempersunting gadis desa kami. Ini termasuk murah karena prianya
berasal dari keluarga petani. Kami tidak menaruh harga tinggi. Ini kami anggap
harga kekeluargaan saja,” ujar Uling, salah satu anggota keluarga mempelai
perempuan.
Lain
lagi dengan Mawarni, perempuan Desa Malaris yang baru lulus SMA. Rencananya melangsungkan
pernikahan adat beberapa hari lagi. “ Calon
pendamping saya berasal dari keluarga yang dianggap mampu dan dia sudah
bekerja di perusahaan kelapa sawit. Jadi keluarga meminta Rp 40 juta kepada
keluarga calon suami saya,” ujar Mawarni. (ony)
Sumber : Banjarmasin Post, Kamis, 9 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar