Selasa, 24 Juni 2014
Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas
dari peran para ulama baik yang secara langsung maupun tidak langsung turut
memperjuangkan kemerdekaan dan pemulihan keamanan pasca kemerdekaan. Di tanah
Banjar sendiri ada banyak ulama-ulama yang semasa mudanya menjadi panutan, dan
pembimbing masyarakat untuk mencapai kemerdekaan hingga turut dalam pemulihan
keamanan.
KH Abdul Qodir Hasan
Seperti KH Abdul Qodir Hasan, dia
berperan besar dalam dakwah dan persatuan Indonesia khususnya di Kabupaten
Banjar.
Di masa penjajahan Jepang, tentara
Jepang masuk ke Martapura dan menduduki Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Kedatangan pasukan Jepang ini tidak
hanya sekedar menduduki wilayah Martapura, namun pusat-pusat pendidikan seperti
Pondok Pesantren Darussalam juga tidak luput dari incaran Jepang. Dimasa itu Ponpes Darussalam dipaksa untuk menjadi asrama tentara Jepang, hingga
kegiatan belajar terganggu bahkan hampir lumpuh.
Saat itu Ponpes tertua di
Martapura itu dipimpin KH Abdul Qodir Hasan. Meski dalam kondisi diduduki
Jepang, dia tidak ingin pendidikan terhenti, sehingga pendidikan tetap terus
dijalankan dengan disebarkan di rumah-rumah guru pengajar dan terus istiqamah
kegiatan sekolah dijalankan seperti itu hingga Jepang keluar dari Martapura
tahun 1945.
Selain itu dia juga berperan saat dalam kemerdekaan, sekitar 1948, beliau sebagai sesepuh
gerakan gerilya di Kalimantan, memberikan semangat dan kekuatan moril bagi para
pejuang gerilya yang berusaha mengusir tentara Belanda yang kembali hendak
menjajah tanah air. Diawal kemerdekaan RI beliau turut aktif memulihkan
keamanan bersama-sama dengan almarhum KH Zainal Ilmi, Dalam Pagar, Martapura.
KH Abdul Qodir Hasan dilahirkan pada
1891 di Kampung Tunggul Irang, Martapura. Dia dikenal sebagai sesepuh di Pondok
Pesantren Darussalam dan seringkali dipanggil dengan sebutan Guru Tuha.
Beliau mengaji atau belajar ilmu
agama pada ulama-ulama besar seperti KH Abd Rahman, Tunggul Irang dan KH Kasyful
Anwar. Selain itu dia juga mengaji keluar daerah di pulau Madura dengan KH
Kholil Bangkalan, dan di pulau Jawa dengan KH Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang
(Pendiri Nahdatul Ulama), dan sempat pula belajar di kota Makkah Al Mukarramah.
KH Abdul Qodir Hasan termasuk murid
yang paling disayangi oleh KH Hasyim Asy’ari dan dipercaya untuk mendirikan
cabang Nahdlatul Ulama (NU) pertama diluar pulau Jawa yakni di kota Martapura
setelah mengikuti Muktamar NU pertama tanggal 21 Oktober 1926 di Surabaya. Dari
kota Martapura inilah dia mendirikan dan melantik cabang-cabang organisasi NU
di beberapa wilayah di pulau Kalimantan sebagai rais syuriah pada masa itu.
Sejak pimpinan KH Kasyful Anwar
sampai pimpinan KH Abdul Qodir Hasan, tidak sedikit guru pengajar di Darussalam
yang ditugaskan mengajar agama Islam keluar daerah seperti Sampit, Pontianak,
Kotawaringin, Kotabaru, Purukcahu, dan daerah luar Kalsel lainnya.
KH Abdul Qodir Hasan meninggal dunia
pada 11 Rajab 1398 H bertepatan pada 17 Juni 1978 M. Di makamkan di Kubah jalan
Masjid Agung Al Karomah Pasayangan, Martapura.
Tuan Guru Zainal Ilmi
Kemudian ada lagi KH Zainal Ilmi
yang pernah dipercaya sebagai penasehat badan pemulihan keamanan daerah
Kabupaten Banjar. Saat itu, pasca kemerdekaan terjadi pemberontakan Ibnu Hajar
sekitar tahun 1965.
KH Zainal Ilmi atau lebih dikenal
dengan Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari lahir pada Jum’at malam sekitar pukul
04.30 WITA atau 7 Rabiul Awwal 1304 H di Desa Dalam Pagar Martapura. Dia
merupakan juriat dari Tuan Guru Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ayahnya
bernama H Abdus Shamad bin H Muhammad Said Wali, merupakan keturunan keempat
Syekh Muhammad Aryad Al Banjari atau lebih dikenal dengan nama Datu Kalampayan
sedangkan ibunya bernama Hj Qamariyyah. Terlahir dikeluarga religius, sejak
kecil dia menyibukkan diri mengisi hari-harinya dengan menuntut ilmu dan
beribadah memelihara waktu dan mengerjakan ibadah-ibadah, memelihara dan
mengerjakan ibadah-ibadah sunat, menghindari diri dari perbuatan syubhat.
Guru Ilmi banyak mendapat ilmu agama
dari orang tuanya dan guru-guru lainnya seperti KH Muhammad Amin bin Qadhi H
Mahmud, Syekh Abdurrahman Muda, KH Abbas bin Mufti H Abdul Jalil, KH Abdullah
bin KH Muhammad Shaleh, KH Muhammad Ali bin Abdullah Al Banjari, KH Khalid, KH
Ahmad Nawawi, serta KH Ismail Dalam Pagar Martapura, KH Ahmad Wali Kuin
Banjarmasin.
Kedalaman ilmu dan akhlak terpuji yang
dimiliki dan membuat orang-orang memuliakannya. Bukan hanya masyarakat Banjar
saja, bahkan tokoh nasional seperti Bung Karno juga pernah mengunjungi Guru
Zainal Ilmi. “ Dulu saat Presiden Soekarno ke sini (Banjar), beliau
menyempatkan diri mengunjungi Guru Zainal Ilmi,” ujar pengurus Yayasan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari, H Muhammad Husein, beberapa waktu lalu.
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari
mendadak sakit dan berujung wafat di tempat dakwah terakhirnya di Karang Intan
pada Jum’at, 13 Zulkaidah 1375 H bertepatan dengan 21 Juni 1956 M sekitar
tengah hari. Dimakamkan di komplek Makam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari,
hingga sekarang makamnya sering di ziarahi.
KH Muhammad Saman Al Banjari
Kemudian ada lagi, KH Muhammad Saman
Al Banjari bin Gusti Muhammad saleh bin Tuan Guru Matasin bin Tuan Guru
Muhamman Ali binti Syafiah binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Dia bersama
dengan teman pada tahun 1947 bergabung dengan pasukan revolusi mempertahankan
kemerdekaan yang ingin direbut kembali oleh penjajah kolonial Belanda. Kemudian
pada tahun 1950 menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan pangkat Sersan
Mayor Batalyon 602 Kompi IV Lambung Mangkurat sebagai Komandan Pleton II, dan
kemudian berhenti pada tahun 1953 dari Dinas Ketentaraan.***
Sumber : Media Kalimantan, Sabtu
(21/6/2014) Halaman A7
Umpat betakun lah...
BalasHapusAdakah sejarah KH Muhammad Saman Al Banjari bin Gusti Muhammad saleh bin Tuan Guru Matasin bin Tuan Guru Muhamman Ali binti Syafiah binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Mulai dari lahir sampai meninggalnya
Lahir tanggal 11 Maret 1919, beliau wafat tanggal 30 Juli 2013 di samarinda
Hapus