Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Tanah Huma
Mayat Malioboro
Yogya ‘50
Malioboro larut malam adalah kuburan
toko demi toko mengapit adalah nisan
mayat-mayat bangkit di kaki lima dan ganggang
hitam berbau
mencekau apak bak sampah memapak punting rokok
Akulah mayat yang salah satu dari mereka
berani hidup dan ngeluyur tengah hari ini
Naik toko turun toko lalu kesasar ke toko obral
di balik kaca kulihat hitam pistol-pistolan
sayang kenapa semalam terlalu tolol
mentang menyesak duit membengkak kantong
lalu menghambur ke sana seringgit ke situ seperak
hanya untuk bercium tawa gelak
Tapi kini apa
kehendak?
Ya bila aku dapat
pistol-pistolan
bakal berulang
lagi kegilaan
aku jadi garong
lagi jadi hantu lagi
kutodong si cina
itu biar tahu
yang semalam
waktu hujan memburu aku
ketika sebentar
berteduh di halaman rumahnya
Aku dapat duit
beribu-ribu
bisa makan mi
makan sate
bawa perempuan
satu dua
ke surabaya bandung
jakarta
Ah angan gila
ini tak jadi apa-apa
aku mesti
ngeluyur lagi ngeluyur lagi
perut lapar
begini membawa mati
Habis pikir
masuk restoran
jemput sebotol
bir duduk di kursi
kupesan mi
sepiring
dan tiga puluh
cucuk sate kambing
makan – makan –
minum – minum
sudah itu
pura-pura buang ingus keluar
jalan ke sana
setapak dua
padahal aku
menghilang entah ke mana …?
Besok aku tidak
ke sana lagi
tapi bisa ke
lain lagi
sampai tidak
bisa lagi?
Setelah dicoba
baru kutahu
di mana-mana
tidakkan lapar sehari dua
asal mau
berpicing mata bertutup telinga
Pengembara di Jalan Ujung
Di ujung jalan
berdebu
engkau termangu
lelaki berompi
beledru
Kala sebekas
terlupa
jalan lain ke roma
hatimu malam gelap
Kerikil menguap
pecut mendera diri
ke ujung hari
dusun-dusun yang
mati
Engkau sudah gila
bayang-bayang
ketawa
tonggak
pohonan
burung-burung
mengepak jauh
Yang kini tidak tahu
arah tidakkan merambah
yang tidak merambah
tidak juga istirah
kan dilumur waswas
dari fajar ke magrib
Engkau kan kembali
tidakkan kembali
sendiri dan lama
tinggal sendiri
Di ujung jalan
berdebu
engkau tersedu
orang lalu tak tahu
lelaki berompi
beledru
Memikul Keranda
Tikaman keris maut
begitu dalam
tiada suara tiada
mengucur darah
cuma pekik lantang
memecah bumi
satu-satu pun tiada
mendengar menyahut
segala menuli dan
membisu
Kini kau di bahuku
ringan sekali
kuantarkan pulang,
pelabuhan
berlayar ke pulau
jauh
tiada kelasi kemudi
sepi sendiri
dan aku juga
kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut
kembali
Sekamar dengan Mayat
Empat buah lubang
peluru di punggungnya
Tembus ke sebelah
lagi meluhak
Tubuhmu yang
melunjur kemanusiaan yang lacur
Dibidik dari
belakang lalu sembunyi
Kuselusuri dadamu
ada darah mengental
Merasakah engkau
atau ketika kugamit bahu
Langit telah
menganga untukmu
Sahabatku yang baik
Kulihat pelupuk
mata binimu yang menggetar
Dadanya gelombang
lautan dendam
Derita badai ke
pantai yang jauh
Adakah kau tahu aku
melunjur dekatmu?
Talah kubaca yassin
sekali
Hujan di luar lebat
Akankah basah
berair kuburmu besok
Kau bisa tidur
dalam keranda
Adakah kau tahu
ciri suatu bencana
Kematian cara
begini
Apakah kauterima
dengan senyuman
Ketika
kedatangannya
Kupegang tanganmu
dingin bagai es
Malam ini kita
tidur bersama
Besok kita berpisah
dan engkau ngembara jauh sekali
Kepingin aku
membantu tapi tak bisa
Selamat di jalan
dan maaf
Kututup tubuhnya
dengan tudung kain putih
Kututup tubuhku dengan
sarung
Gelap malam lebih
gelap lagi rasanya
1975
Kepada Paduka Puisi
Kucarikan tiang dan
balokan
Paku dan papan
Walau untuk itu aku
jadi tukang besi
Menebang pohon di
hutan
Kubangun rumahmu
Di tanah yang luas
ini
Ketika aku kepingin
mendiami
Atapmu tiris rumbia
Kupandangi dari
luar
Engkau kurang baik
hati
Aku jadi benci
Kurubuh kembali
Rumah dengan tiang
yang sangsi
Padahal sekian lama
mengetam menggergaji
Sekarang diserang
encok dan dada jadi pehong
Kepingin kubangun
rumahmu yang kukuh
Serba betonan
Campuran semen batu
kali
Kerangka besi
Biar lama. Lama.
Lama
Pintu jendela serba
kaca
Kucat segala warna
Sedap pandangan
mata jiwa
Matahari menjenguk
ke dalam kamar
Bulan ikut tidur di
ranjangku
Bersama kabut malam
Orang-orang melihat
aku
Bersiul-siul murung
Ketawa-ketawa
1975
Hisab
Kanan dosa
Kiri dosa
Bawah menganga luka
Atas meluhak cedera
Dosa di api menyala
Dosa di banjir
melimpah
Akankah bisa lari
Dari segala peri
Lidah-lidah panjang
menjulur
Merah-merah berbuih
bisa
Tapak-tapak
mendepak saja
Suara-suara
menggempa
Lari ke laut
Ombak membanting ke
karang
Luka-luka ditusuk
hiu parang
Lari ke hutan
Dikoyak-koyak
beruang
Rajam saja di sini
Habisi
Tumpah darah
perhitungan penghabisan
1975
Kepada Filasafah
Engkau diantarkan
oleh sangsi
Sangsi mengantarkan
daku kepadamu
Manakala aku
merenungi nasib
Engkau berpaling ke
jendela dhaif
Berkereta sangsi
Mengapas badani
menerawangi langi idhafi
Planit-planit
hakiki
Berangkulan sujud
tangannya wahyu
Manakala aku turun
Kulihat retak
ubun-ubun
Kesangsianmu
sepanjang jaman
Terlihat wajahmu
pucat
Membungkuk sunyi
bertopang dagu
Bak patungnya Rodin
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
1974
Huma yang Perih
tiada lagi kerbau
menguak
gemertuk roda cikar
terengah-engah
sarat beban memuat
padi
kelapa dan umbi
tiada
punggung-punggung dan bahu-bahu menghambin lanjung
penuh berisi terong
jagung atau pisang
belimbing sirih
pinang
mana keranuman
tubuh ramping yang liuk-lampai
tempaan alam permai
dengan rambut
panjang membeliut terkulai
tangan halus jeriji
lentik
yang tiap pagi
memetik melati
meraup kembang
kenanga
mana dendang dan
lenggokmu yang bersih
ketika pagi senja
turun mandi
bercebur di danau
jernih tenang
kecipak kecibung
ke mana perginya
orang lumpur
wajah tanah
kaki yang kukuh dan
tangan tak pernah kering
jika ke kota apa
kaucari
di bawah lampu
merah kuning hijau
segala menyilau
lebih baik kembali
kelak engkau akan
tersia
bahagia di sana di
peti mati
terkubur dalam
engkau ke kota atau
ke mana sungguh wikana
hanya di sini
betapa perih
tiada lenggok pohonan
disintuh angin
setiap pengembara
yang tersesat ke mari
mau tak mau
mengakui
siang malam di sini
tanpa pangkal ujung
mau tak mau tunduk
tengadah
menatap langit
menjulur rendah
dan matahari yang
hilang wajah
akan mengurut dada
ketika pipit
gelatik terbang ke hulu
meninggalkan dahan
dan ranting sambil tersedu
orang-orang yang
tidak tentu arah meninjaulah ke mari
tempat
peminta-minta menggelak ria
raja dan pendeta
meratap sendu
mulia hina tanpa
teraju
bagai kolam tenang
lagi jernih
akankah di sini terbina
sebuah istana
dengan pintu
jendela besar-besar dan lampu-lampu berantukan
bukankah istana di
kota yang pernah kulalui
dahulu belantara
tiada taranya
pelinjangan harimau
dan pelanduk bercanda
dan pemburu mati
dikoyak-koyak beruang
menyelusup ke balik
lalang berisik
jengkrik kumbang
atau capung
menyusun sebuah
simponi beragam lagu
untuk menghibur
diri sendiri
sebisa-bisanya
alangkah merdu dan
aku dibikinnya tak mau pulang
Sumber : kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar