Rabu, 21 Mei 2014

Puisi-Puisi Darmansyah Zauhidie

Rabu, 21 Mei 2014

Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Tanah Huma  


Mayat Malioboro
Yogya ‘50
Malioboro larut malam adalah kuburan
toko demi toko mengapit adalah nisan
mayat-mayat bangkit di kaki lima dan ganggang hitam berbau
mencekau apak bak sampah memapak punting rokok
Akulah mayat yang salah satu dari mereka
berani hidup dan ngeluyur tengah hari ini
Naik toko turun toko lalu kesasar ke toko obral
di balik kaca kulihat hitam pistol-pistolan
sayang kenapa semalam terlalu tolol
mentang menyesak duit membengkak kantong
lalu menghambur ke sana seringgit ke situ seperak
hanya untuk bercium tawa gelak
Tapi kini apa kehendak?
Ya bila aku dapat pistol-pistolan
bakal berulang lagi kegilaan
aku jadi garong lagi jadi hantu lagi
kutodong si cina itu biar tahu
yang semalam waktu hujan memburu aku
ketika sebentar berteduh di halaman rumahnya
Aku dapat duit beribu-ribu
bisa makan mi makan sate
bawa perempuan satu dua
ke surabaya bandung jakarta
Ah angan gila ini tak jadi apa-apa
aku mesti ngeluyur lagi ngeluyur lagi
perut lapar begini membawa mati


Habis pikir masuk restoran
jemput sebotol bir duduk di kursi
kupesan mi sepiring
dan tiga puluh cucuk sate kambing
makan – makan – minum – minum
sudah itu pura-pura buang ingus keluar
jalan ke sana setapak dua
padahal aku menghilang entah ke mana …?
Besok aku tidak ke sana lagi
tapi bisa ke lain lagi
sampai tidak bisa lagi?
Setelah dicoba baru kutahu
di mana-mana tidakkan lapar sehari dua
asal mau berpicing mata bertutup telinga

Pengembara di Jalan Ujung
Di ujung jalan berdebu
engkau termangu
lelaki berompi beledru
Kala sebekas terlupa
jalan lain ke roma
hatimu malam gelap
Kerikil menguap
pecut mendera diri
ke ujung hari
dusun-dusun yang mati
Engkau sudah gila
bayang-bayang ketawa
tonggak
pohonan
burung-burung mengepak jauh
Yang kini tidak tahu arah tidakkan merambah
yang tidak merambah tidak juga istirah
kan dilumur waswas dari fajar ke magrib
Engkau kan kembali tidakkan kembali
sendiri dan lama tinggal sendiri
Di ujung jalan berdebu
engkau tersedu
orang lalu tak tahu
lelaki berompi beledru


Memikul Keranda
Tikaman keris maut begitu dalam
tiada suara tiada mengucur darah
cuma pekik lantang memecah bumi
satu-satu pun tiada mendengar menyahut
segala menuli dan membisu
Kini kau di bahuku ringan sekali
kuantarkan pulang, pelabuhan
berlayar ke pulau jauh
tiada kelasi kemudi
sepi sendiri
dan aku juga kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut kembali

Sekamar dengan Mayat
 
Empat buah lubang peluru di punggungnya
Tembus ke sebelah lagi meluhak
Tubuhmu yang melunjur kemanusiaan yang lacur
Dibidik dari belakang lalu sembunyi
Kuselusuri dadamu ada darah mengental
Merasakah engkau atau ketika kugamit bahu
Langit telah menganga untukmu
Sahabatku yang baik
Kulihat pelupuk mata binimu yang menggetar
Dadanya gelombang lautan dendam
Derita badai ke pantai yang jauh
Adakah kau tahu aku melunjur dekatmu?
Talah kubaca yassin sekali
Hujan di luar lebat
Akankah basah berair kuburmu besok
Kau bisa tidur dalam keranda
Adakah kau tahu ciri suatu bencana
Kematian cara begini
Apakah kauterima dengan senyuman
Ketika kedatangannya
Kupegang tanganmu dingin bagai es
Malam ini kita tidur bersama
Besok kita berpisah dan engkau ngembara jauh sekali
Kepingin aku membantu tapi tak bisa
Selamat di jalan dan maaf
Kututup tubuhnya dengan tudung kain putih
Kututup tubuhku dengan sarung
Gelap malam lebih gelap lagi rasanya
1975


Kepada Paduka Puisi
Kucarikan tiang dan balokan
Paku dan papan
Walau untuk itu aku jadi tukang besi
Menebang pohon di hutan
Kubangun rumahmu
Di tanah yang luas ini
Ketika aku kepingin mendiami
Atapmu tiris rumbia
Kupandangi dari luar
Engkau kurang baik hati
Aku jadi benci
Kurubuh kembali
Rumah dengan tiang yang sangsi
Padahal sekian lama mengetam menggergaji
Sekarang diserang encok dan dada jadi pehong
Kepingin kubangun rumahmu yang kukuh
Serba betonan
Campuran semen batu kali
Kerangka besi
Biar lama. Lama. Lama
Pintu jendela serba kaca
Kucat segala warna
Sedap pandangan mata jiwa
Matahari menjenguk ke dalam kamar
Bulan ikut tidur di ranjangku
Bersama kabut malam
Orang-orang melihat aku
Bersiul-siul murung
Ketawa-ketawa
1975

 
Hisab
Kanan dosa
Kiri dosa
Bawah menganga luka
Atas meluhak cedera
Dosa di api menyala
Dosa di banjir melimpah
Akankah bisa lari
Dari segala peri
Lidah-lidah panjang menjulur
Merah-merah berbuih bisa
Tapak-tapak mendepak saja
Suara-suara menggempa
Lari ke laut
Ombak membanting ke karang
Luka-luka ditusuk hiu parang
Lari ke hutan
Dikoyak-koyak beruang
Rajam saja di sini
Habisi
Tumpah darah perhitungan penghabisan
1975

Kepada Filasafah
Engkau diantarkan oleh sangsi
Sangsi mengantarkan daku kepadamu
Manakala aku merenungi nasib
Engkau berpaling ke jendela dhaif
Berkereta sangsi
Mengapas badani menerawangi langi idhafi
Planit-planit hakiki
Berangkulan sujud tangannya wahyu
Manakala aku turun
Kulihat retak ubun-ubun
Kesangsianmu sepanjang jaman
Terlihat wajahmu pucat
Membungkuk sunyi bertopang dagu
Bak patungnya Rodin
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
1974

Huma yang Perih
tiada lagi kerbau menguak
gemertuk roda cikar terengah-engah
sarat beban memuat padi
kelapa dan umbi
tiada punggung-punggung dan bahu-bahu menghambin lanjung
penuh berisi terong jagung atau pisang
belimbing sirih pinang
mana keranuman tubuh ramping yang liuk-lampai
tempaan alam permai
dengan rambut panjang membeliut terkulai
tangan halus jeriji lentik
yang tiap pagi memetik melati
meraup kembang kenanga
mana dendang dan lenggokmu yang bersih
ketika pagi senja turun mandi
bercebur di danau jernih tenang
kecipak kecibung
ke mana perginya orang lumpur
wajah tanah
kaki yang kukuh dan tangan tak pernah kering
jika ke kota apa kaucari
di bawah lampu merah kuning hijau
segala menyilau
lebih baik kembali
kelak engkau akan tersia
bahagia di sana di peti mati
terkubur dalam
engkau ke kota atau ke mana sungguh wikana
hanya di sini betapa perih
tiada lenggok pohonan disintuh angin
setiap pengembara yang tersesat ke mari
mau tak mau mengakui
siang malam di sini tanpa pangkal ujung
mau tak mau tunduk tengadah
menatap langit menjulur rendah
dan matahari yang hilang wajah
akan mengurut dada
ketika pipit gelatik terbang ke hulu
meninggalkan dahan dan ranting sambil tersedu
orang-orang yang tidak tentu arah meninjaulah ke mari
tempat peminta-minta menggelak ria
raja dan pendeta meratap sendu
mulia hina tanpa teraju
bagai kolam tenang lagi jernih
akankah di sini terbina sebuah istana
dengan pintu jendela besar-besar dan lampu-lampu berantukan
bukankah istana di kota yang pernah kulalui
dahulu belantara tiada taranya
pelinjangan harimau dan pelanduk bercanda
dan pemburu mati dikoyak-koyak beruang
menyelusup ke balik lalang berisik
jengkrik kumbang atau capung
menyusun sebuah simponi beragam lagu
untuk menghibur diri sendiri
sebisa-bisanya
alangkah merdu dan aku dibikinnya tak mau pulang

Sumber : kepadapuisi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tumbuhan di Sekitaran Bawah Jembatan Birayang HST Ahad Siang

 Senin, 25 November 2024 Aneka tumbuhan di sekitaran bawah jembatan Birayang, Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, p...