oleh Luh De Suriyani, Denpasar di 21 May 2017
Goa Lawah, sebuah goa yang menjadi pusat
sebuah pura. Puluhan ribu kelelawar (lelawah) tinggal dalam goa berdalaman
sekitar 30 meter dan hidup berdampingan dengan umat yang tiap hari
bersembahyang. Kotorannya jadi booster pupuk organik yang diambil warga.
Wayan Nuranta, tukang jaga dan
kebersihan pura sigap membersihkan sisa bunga yang digunakan untuk
bersembahyang oleh warga. Tiap hari, selalu ada yang datang membawa sesajen
lalu sembahyang menangkupkan tangan di atas kepala untuk doa keselamatan alam
dan kesejahteraan. Nuranta lah yang paling dekat dengan kerumunan kelelawar ini
karena tiap hari bekerja melayani umat menghaturkan sesajen.
Suara kelelawar terdengar riuh di dalam
goa walau sedang rehat siang hari. Ada yang terbangun lalu terbang di dalam goa.
Hewan-hewan sebesar buah kelapa ini bergantungan di sekeliling goa. Hilir mudik
warga serta wangi dupa sudah jadi pemandangan harian di sini. Kombinasi goa
gelap dengan suara kelelawar dan denting genta serta warna-warni kain di tugu
dan pakaian adat warga, membuat suasana menjadi mistis dan syahdu.
Para turis yang mengenakan kain dan
selendang khusyuk melihat kelelawar ini. Pelancong diizinkan masuk ke dalam
pura dengan syarat tak masuk ke dalam goa. Tugu-tugu persembahyangan tepat
depan goa. Namun tak ada bau menyengat kotoran kelelawar.
Suasana pura sangat teduh. Sejumlah
pohon raksasa dipelihara bahkan dililitkan kain untuk disucikan. Ada pohon yang
seolah memiliki roman wajah. Bukit Pucak Sari ini lebat dan memberikan cadangan
makanan cukup untuk para kelelawar yang tak pernah berani diganggu oleh siapa
pun.
Alkisah pembaharu agama Hindu Empu
Kuturan pada abad 14 singgah di salah satu bukit di Kabupaten Klungkung ini.
Hanya ada goa dan kelelawar, belum ada pura. Kawanan kelelawar ini diyakini
sudah ada sebelum Mpu Kuturan datang. Ada kekuatan di luar kemampuan manusia
yang dirasakan Mpu Kuturan disini sampai dijadikan tempat pemujaan. Seperti
tempat-tempat suci lain yang dibangun dari petilasan Mpu Kuturan. Saat itu
masih sangat sederhana sebelum ditambah bangunan wantilan, tugu-tugu, dan
gapura megah.
Sampai kini kelelawar dihormati atau
disakralkan. “Kelelawar diyakini simbol kesuburan. Masyarakat Subak sebelum
nanam padi sembahyang dulu di sini agar hasilnya gemah ripah, juga nelayan,”
kata Putu Juliadi, salah satu pengurus pura Goa Lawah.
Mereka bahkan meminta atau nglungsur
kotoran kelelawar untuk dipakai pupuk di sawah, ditebarkan sedikit saja dan
diyakini mrana atau hama akan dijauhkan. “Ada ilmuwan Jerman yang ke
sini, kelelawar ini karena makanannya buah bagus untuk pupuk,” tambah Juliadi.
Hutan bebukitan Barat Besan, Dawan ini
masih menyediakan pangan yang cukup untuk para kelelawar ini. Tak hanya itu,
juga membantu reboisasi alami karena biji buah yang dimakan menjadi bibit dan
meregenerasi pepohonan sekitar.
Dampak jangka panjang yang dirasakan
sampai kini adalah pasokan air tanah terjaga. Bahkan lokasi sekitarnya jadi
sumber air bahan baku untuk PDAM. Kombinasi koloni binatang dan pura kerap
memang menjadi resep kerjasama berkelanjutan perlindungan alam di Bali.
“Simboisis mutualisme dan mata rantai
ini harus dijaga untuk kelestarian lingkungan. Saya mengharapkan desa tetangga
dan pemerintah memberikan izin membangunnya diperketat sekitar bebukitan,” ujar
Juliadi untuk mencegah alih fungsi lahan. Pihaknya juga melakukan penanaman
pohon ketapang, singapur, dan tanaman buah lainnya untuk memastikan rantai
makanan ini berjalan secara alami. “Sangat bersyukur. Biarkan alami tak pernah
di-feeding. Mereka juga tak pernah makan yang sengaja diberikan,” tutur
pria ini.
Kawanan binatang nocturnal, aktif
di malam hari ini tiap hari keluar goa mulai petang. Gelombang kelelawar keluar
dari pura menuju tempat mencari makan. Namun anehnya, tak semua keluar
bersamaan, mereka seperti gantian. Ada sebagian menunggu. Bayangkan jika semua
serempak keluar goa, kawasan ini bisa seperti ditutup awan kelelawar.
Sejauh ini tak ada insiden soal
kelelawar dengan warga. Selain itu ada ular yang juga disakralkan di sekitar
goa. Goa habitat kelelawar buah jika ditelusuri bisa sampai 50 meter. Namun
mereka disebut tak pernah hinggap sampai ke ujung karena ada ular. Ini menjadi
sistem pengendalian alami populasi kelelawar. Demikianlah, siklus alam jika
dibiarkan alami mampu menjaga keseimbangannya.
Daya tarik kelelawar ini membuat pura
goa lawah dikunjungi 150-200 orang per hari. Pendapatan dari tiket masuk
sekitar Rp6000 untuk dewasa dan Rp4000 untuk anak-anak saja bisa sampai Rp450
juta per tahun. Ini dibagi antara desa adat dan pemerintah kabupaten.
Rejeki juga dirasakan warga sekitar yang
menjual suvenir, makanan, canang untuk sembahyang, dan lainnya. Hampir tiap
bulan ada rombongan ribuan warga untuk bersembahyang atau melakukan ritual
terkait Nyegara Gunung (penghormatan satu kesatuan gunung dan laut) di
pura goa lawah.
Lokasinya di bebukitan dan menghadap
samudera di Pesinggahan, Klungkunga, Bali dinilai memberikan energi besar.
Sehingga sakral dan disucikan. Diyakini pura ini beristana Dewa Maheswara, Dewa
Basuki, dan Segara. Mereka melancaran atau “jalan-jalan” lewat jalur
laut ini yang dijaga Naga Besuki dari pura agung Besakih, the mother temple.
Menemukan goa lawah tak sulit, karena
persis berada di jalur jalan utama menuju Bali ke Timur. Dari pusat Kota
Denpasar sekitar 1,5 jam berkendara. Pagi dan sore juga ada rombongan
kera ekor panjang (macaca fascicularis) yang mencari makan. Belum
lagi koloni burung dan lainnya. Barangkali harmoni ini yang membuat tempat ini
begitu berenergi.
Dalam buku Jenis-jenis Kelelawar Agroforest
Sumatera oleh Prasetyo PN, Noerfahmy S dan Tata HL diterbitkan World
Agroforestry Centre – ICRAF dalam worldagroforestry.org menuliskan
kelelawar merupakan salah satu jenis mamalia yang dapat digunakan sebagai
indikator dalam penilaian suatu ekosistem.
Perannya sebagai pemencar biji, pemakan
serangga dan penyerbuktidak dapat diabaikan, karena berfungsi dalam mengatur
dan mengendalikan ekosistem. Kehilangan salah satu peran tersebut akan
menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu. Inventarisasi mengenai
jenis-jenis kelelawar telah banyak dilakukan di Indonesia.
Suyanto (2001) melaporkan bahwa kekayaan
jenis kelelawar di Sumatera mencapai 68 jenis dari 35 Marga. Sebanyak 46 jenis
dari 6 Marga yang terdiri dari 70% pemakan serangga (Microchiroptera) dan 30%
pemakan buah (Megachiroptera) ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Jambi.
Buku ini menyajikan deskripsi
jenis-jenis kelelawar yang ditemukan di kedua provinsi tersebut pada beberapa
tipe penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun karet
monokultur, kebun karet agroforest dan kebun pekarangan yang diamati pada
periode antara tahun 2005 – 2011.
Selain itu, perannya dalam ekosistem,
areal persebarannya, habitat dan status kelangkaannya juga disajikan dalam buku
ini sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola sistem penggunaan lahan
yang mempertimbangkan aspek-aspek konservasi.***
Sumber : Mongabay Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar