Hah... hah... hah... Matahari tepat di
atas kepalaku. Keringat seperti sudah membasuh tubuhku. Membasahi seluruhnya.
Mulai kurasakan kakiku tak lagi sekokoh sebelumnya, seakan tanah yang kujejak
terasa goyah. Aku tahu dalam keadaan seperti ini, aku seharusnya berhenti
sejenak untuk beristirahat. Ini sudah memasuki hari kedua aku berlari. Wadah
airku telah kosong -kosong beberapa saat setelah aku meninggalkan dusunku- tapi
aku terpaksa menolak keinginan itu. Kupikir, di padang gersang seperti ini,
istirahat hanyalah sesuatu yang percuma.
Hah... hah... hah... Jadi aku memilih
terus melanjutkan langkahku. Aku ingat, setelah padang gersang ini, sepertinya
ada danau besar yang begitu jernih airnya. Ia dikelilingi belasan pohon-pohon
kelapa yang menjulang tinggi. Bertahun-tahun lalu, aku pernah ke sana. Berendan
berjam-jam dan memakani ikannya sampai kenyang.
Hah... hah... hah...
Kupikir, nanti aku bisa beristirahat di
danau itu. Sepertinya sebelum matahari tenggelam, aku bisa tiba di sana.
***
Tiga hari sebelumnya, seorang laki-laki
yang diutus para tetua dusun, datang ke kediamanku. Ia memintaku datang ke
balai, tempat para tetua dusun berkumpul. Tentu awalnya aku menyangka telah
membuat kesalahan yang tak kusadari. Tapi laki-laki itu, tak pengatakan apa-apa
lagi selain undangan itu. Jadi aku kemudian datang ke sana dalam
ketidaktahuanku.
‘’Jadi kaulah anak si Baddara itu?’’
seorang tetua menyambut kedatanganku.
Aku mengangguk. Baddara adalah ayahku
yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Ia seorang pengirim pesan paling
terkenal di dusun ini.
Tetua itu melangkah mendekatiku, ‘’Kami
dengar, kau juga seorang pengirim pesan seperti ayahmu?’’
Aku mengangguk. Ya, setahun setelah
kematian ayah, aku memang memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan ayah. Kupikir
hanya itulah pekerjaan yang bisa kulakukan dengan baik, dibanding pekerjaan
lainnya.
Mata tetua itu menyapu seluruh tubuhku.
Saat ia melihat ke arah kakiku, kulihat wajahnya sedikit tak yakin. Aku tahu
itu pastilah karena kakiku yang terlalu kurus.
‘’Kau juga mengirim pesan dengan...
berlari?’’
Aku mengangguk, ‘’Seperti ayah, aku juga
pelari.’’
‘’Bagus, bagus,’’ ia menepuk pundakku
beberapa kali. ‘’Kalau begitu aku langsung saja. Hmm, kau mungkin masih bertanya-tanya
mengapa kami mengundangmu ke mari? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan
padamu.’’
Tetua itu kemudian membimbingku
mendekati meja. ‘’Kau, lihat?’’
Mataku melirik apa yang ada di meja itu.
Di situ kulihat: sebuah buku usang yang begitu tebal nampak terikat rantai di
keempat sisinya.
‘’Ini adalah kitab setan. Orang-orang
menyebutnya... Kitab Ular.’’
Sekilas di antara warna hitam yang
nampak di bagian depan buku itu, kulihat samar-samar lukisan seekor ular besar
yang sedang mengangkat kepalanya!
‘’Lalu... apa hubungannya ini
denganku?’’ tanyaku tak bisa menahan keingintahuanku.
‘’Apakah kau sudah pernah mengantar
sesuatu ke arah selatan?’’ tetua tak menanggapi pertanyaanku. ‘’Tempat di mana
padang gersang dan padang pasir terbentang luas, hingga membuat kuda tak bisa
melewatinya?’’
Tetua itu berhenti sejenak tepat di
depan wajahku, ‘’Orang-orang sering menyebutnya... tanah menuju Sumur Akhirat?’’
Aku mengangguk ragu. Sewaktu ayah masih
hidup, aku memang pernah melewati tempat itu bersamanya. Itu adalah jalur
terberat yang masih kurasakan. Dan Sumur Akhirat itu memang ada di sana.
Sebenarnya ia hanyalah sebutan sebuah lubang besar yang begitu dalam. Konon,
kata orang-orang, lubang itu tembus ke bagian bumi lainnya.
‘’Kau pasti bisa menangkap hubungan
semua ini dengan dirimu bukan?’’
Aku tak menjawab. Mataku hanya bisa
mengikuti pandangan matanya ke arah kitab di atas meja itu.
‘’Yah, kami ingin kau membuang buku ini
ke sana!’’
***
Sungguh, perjalanan kali ini tidaklah
mudah. Masih kuingat kepayahanku dulu. Waktu itu, aku mungkin masih berumur
13-14 tahun. Aku nyaris menyerah beberapa kali. Tapi ayah, selalu
menyemangatiku. Katanya bila aku berhasil melewati ini, semua tempat yang akan
kutuju menjadi lebih mudah.
Sialnya, sekian tahu berlalu, jarang
sekali aku menuju ke arah selatan. Apalagi yang mengarah langsung ke arah Sumur
Akhirat. Seakan-akan setelah tempat itu, tak ada lagi tempat lainnya. Padahal
aku tahu, setelah tempat itu, ada beberapa dusun kecil lainnya di situ.
Untunglah sekarang, aku bisa tiba di
danau besar itu, sesaat setelah matahari tenggelam. Sisa-sisa sinarnya masih
bisa kulihat saat aku menyeburkan diri ke danau itu. Di saat aku tengah
beristirahat itulah, kulihat seorang perempuan cantik tiba-tiba muncul dari
dalam danau.
Aku nyaris berteriak. Terlebih saat
melihat ia nyaris telanjang. Tubuhnya hanya tertutup kain tipis panjang yang
telah basah seluruhnya.
Ia begitu saja mendekatiku. Matanya
mengerling genit. Namun langsung kutangkap tujuannya mendekatku, ia beberapa
kali memandang buntalan kain di mana aku menyimpan Kitab Ular!
‘’Perjalananmu masih jauh,’’ ujarnya
setengah berbisik. ‘’Kalau kau mau, aku bisa membantumu. Tinggalkan saja kitab
itu di sini, biar aku yang mengantarnya ke Sumur Akhirat.’’
Aku menelan ludah. Jelas sekali, bila
perempuan ini bukanah perempuan biasa!
‘’Aku... bisa melakukannya sendiri!’’
Aku bergegas ke tepian. Kupakai bajuku, dan langsung kuikat buntalan itu
kembali di punggungku.
Perempuan itu ternyata sudah mengikuti
gerakanku. Ia tiba-tiba saja sudah ada di sebelahku. Melendot di leherku.
‘’Kau tak akan lelah...’’
Aku mencoba tersenyum. Berusaha
menepisnya dengan halus, dan mengambil langkah-langkah lebar menjauh, dan
melanjutkan lariku.
Aku tak melihat ke belakang lagi. Ini
sama seperti saat aku baru meninggalkan dusun. Waktu itu aku hanya memelankan
lariku, sambil meneguk minumanku. Tapi terpaan angin yang tak bisa, kurasakan
menghempaskan air minumku dengan begitu mudah.
Aku kembali teringat dengan apa yang
dikatakan para tetua sebelum aku pergi: Perjalananmu tak akan mudah. Larilah
sebisa kau mampu. Setiap jeda kau beristirahat, akan selalu ada sesuatu yang
berusaha menggagalkanmu...
***
Sebulan sebelumnya, ada kisah yang
mengawali ini semua.
Aku ingat sekali saat itu, para tetua
mengumpulkan semua lelaki dewasa di depan balai. Sudah setahun ini dusun kecil
kami diserbu ular. Awalnya tentu hanya satu-dua ekor saja yang terlihat. Namun
semakin lama, mereka nampak semakin banyak. Korban pun mulai berjatuhan.
Sampai kemudian seorang pengemis buta
yang selalu duduk di bawah gerbang dusun berujar pada kami semua; ular-ular itu
datang dari gua di atas bukit!
Para tetua kemudian menyuruh semua
lelaki dewasa untuk menghancurkan sarang ular itu. Tapi ini tentu bukan
pekerjaan yang mudah. Gua itu telah diketahui memiliki puluhan -bahkan
ratusanlorong-lorong yang panjang. Ular-ular bisa berada di mana pun juga.
Adalah Harabadai -pemuda terkuat di
dusun kami yang konon bisa mengangkat seekor sapi untuk dijual di pasar-
kemudian ditunjuk untuk memimpin tugas ini. Ia menjalankan satu-satunya cara
yang mungkin dilakukan: menyisir satu demi satu lorong gua itu. Dengan membawa
obor, mereka berharap ular-ular itu tak berani mendekat.
Sampai di sebuah lorong mereka semua
melihat ular-ular itu melata menjauh mereka. Harabadai dan para pemuda lainnya,
segera berlari mengejar dengan golok di tangan. Mereka dapat melihat bila
ular-ular itu menuju ke arah yang sama.
Namun di lorong berikutnya yang jelas
ebuah lorong buntu, mereka tak menemukan ular-ular itu. Hanya sebuah buku usang
yang tergeletak di atas batu.
Harabadai sempat melihat sesuatu
bergerak masuk ke dalam buku itu, namun ia tak terlalu mempercayai itu.
Perlahan, ia mengangkat buku itu dengan ragu. Ia mendengar suara desisan yang
jelas. Dengan gerakan tak yakin, ia mulai membuka buku itu, dan saat itulah
secara mengejutkan, beberapa ekor ular tiba-tiba muncul dari dalamnya, dan
langsung menggigit ke wajah Harabadai.
Aaackhhh!!!
Kejadian ini begitu cepat. Seorang
pemuda yang berada di sebelah Harabadai, langsung mengayunkan pedangnya
memotong ular-ular itu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia meraih buku di
tangan Harabadai.
‘’Ambil tali! Ambil taliiii!’’
teriaknya. ‘’Jangan biarkan ular-ular ini keluar!’’
***
Setelah melewati padang pasir yang cukup
luas, aku tiba di ujung sebuah padang rumput. Itu merupakan tanda kalau Sumur
Akhirat tak lagi jauh.
Namun saat kakiku mulai melangkah, aku
merasa rumput-rumput yang tersentuh kakiku bagai menjadi ular-ular kecil
berwarna hijau. Mereka nampak menungguku dengan lidah bisa mereka yang
berkali-kali terjulur.
Aku menelan ludah. Tapi aku tak mungkin
mundur lagi. Semua sudah sejauh ini. Maka sambil menengadahkan kepala ke atas,
menatap awan-awan di langit, aku melanjutkan langkahlangkahku. Tapi sampai jauh
aku berlari, tak ada seekor ular pun yang kuinjak. Kakiku tetap hanya menginjak
rumput-rumput saja.
Diam-diam aku bernapas lega. Pada
akhirnya aku tiba di Sumur Akhirat menjelang senja. Tapi baru beberapa langkah
saja aku menuju mendekati, kulihat seorang kakek tua berkepala besar, duduk di
situ sambil menghirup pipa tembakaunya.
‘’Maafkan bila aku aku mengganggumu,
Kek,’’ aku membungkuk memberi hormat padanya. ‘’Aku hanya ingin membuang buku
ini ke dalam sana!’’
Kakek tua itu melirik buku di tangaku.
‘’Percuma kau membuangnya,’’ ujarnya kemudian.
‘’Kenapa?’’ aku tak mengerti.
‘’Buku itu akan tetap kembali pada
tempatnya, bagaimana pun caranya!’’
Aku tak mengerti ucapannya. Kakek tua
itu kemudian berdiri dari kursinya. ‘’Kau sepertinya belum mengerti? Di dalam
sana,’’ ia menujuk ke arah Sumur Akhirat, ‘’segala hal buruk berada. Bila
mereka sampai dapat keluar dari sana, itu artinya mereka telah berupaya dengan
sedemikian keras. Kau tentu tak mau menafikkan itu, bukan?’’
Aku menelan ludah, ‘’Aku... lalu... apa
yang harus kulakukan?’’
Kakek tua itu menghembuskan asap
tembakaunya, ‘’Satu-satunya cara, kau hanya bisa... menukarnya!’’
‘’Menukarnya?’’
Laki-laki tua itu mengangguk. Lalu tanpa
berkata-kata lagi, ia beranjak pergi.
***
Aku kembali berlari menuju dusun
tempatku tinggal.
Bebanku tak berkurang. Pundakku tetap
berisi sebuah buku tebal seperti sedia kala.
Namun kali ini berbeda. Entahlah, saat
aku melemparkan Kitab Ular itu ke dalam
Sumur Akhirat, tiba-tiba saja buntelan di pundakku seperti terisi kembali.
Namun kali ini terasa berbeda. Punggungku terasa panas. Awalnya aku berusaha
tak peduli. Tapi sungguh, rasa panas itu seperti membakar tubuhku.
Maka aku pun memutuskan untuk berhenti.
Perlahan kubuka buntalanku. Kukeluarkan kitab itu dari dalamnya. Dan saat
itulah mataku terbelalak lebar saat melihat apa yang tergambar di depan buku
itu.
Aku berteriak. Sungguh, sepanjang
hidupku, aku tak pernah setakut ini! (92)
– Yudhi Herwibowo, aktif di
buletin sastra Pawon, Solo. Novel terbarunya Cameo Revenge.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Yudhi Herwibowo
[2] Pernah tersiar di surat kabar
"Suara Merdeka" edisi Minggu 8 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar