Sabtu, 13 Januari 2018
Hari
ini adalah Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu.
Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Makam
Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yang bersih dan nyaman, ditandai
dengan seonggok batu kali yang cukup besar. Pada batu itu tertera tulisan
”Sugeng Rawuh” yang artinya tentu saja ”Selamat Datang”.
Ayah
sendiri yang menginginkan batu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul
setelah Ayah membaca puisi berjudul ”Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah
oleh seorang pemain kata yang pada suatu malam penuh hujan secara tak terduga
datang bertandang ke Ayah.
Maaf,
baru sekarang aku membalas surat yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
Waktu
itu kamu memintaku merawat sebuah batu besar di halaman rumahmu sebelum nanti
kamu pahat menjadi patung. Batu itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.
Aku
suka duduk membaca dan melamun di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.
Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu dan mungkin terserap ke dalam
rahimnya.
Hujan
sangat mencintai batumu dan cinta hujan lebih besar dari cintamu. Aku senang
melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.
Akhirnya
batumu hamil. Dari rahim batumu lahir air mancur kecil yang menggemaskan. Air
mancur itu sekarang sudah besar, sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf,
jangan ganggu air mancurku. Bahkan batumu mungkin sudah tidak mengenalmu.
Ayah
jatuh cinta pada batu dalam puisi itu. Ayah yang waktu itu sedang kerasukan
puisi sempat berpesan kepada saya agar di atas makamnya nanti ditanam sebuah
batu. Batu yang dibesarkan di sungai. Sungai yang mengalir di bawah bukit.
Ketika
kecil, ia sering diajak ayahnya bergadang di bawah pohon cemara di atas bukit.
Berbekal senter, ayahnya senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai yang
jernih dan gemericik, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai
di puncak, mereka memandang takjub ke seberang, menikmati gemerlap cahaya lampu
kota. Sesekali mereka berbaring di tanah, melihat bintang-bintang. Bila dingin
malam kian menyengat, mereka membuat unggun api, berdiang menghangatkan badan,
menghangatkan sepi.
Ia
terpesona melihat kunang-kunang berpendaran.
”Kunang-kunang
itu artinya apa, Yah?”
”Kunang-kunang
itu artinya kenang-kenang.”
Ia
terbengong, tidak sadar bahwa ayahnya sedang mengajarinya bermain kata.
Bila
ia sudah terkantuk-kantuk, ayahnya segera mengajaknya pulang. Dan sebelum tiba
di rumah, ia sudah terlelap di gendongan, terbungkus sarung ayahnya yang baunya
sangat kenangan.
Ayahnya
lalu menelentangkannya pelan-pelan di atas ranjang.
Sekian
tahun kemudian, saat ia pamit untuk pergi merantau, ayahnya membekalinya dengan
sarung kesayangannya sebagai kenang-kenang.
”Pakailah
sarung ini saat kau sakit dan rasakanlah khasiatnya,” pesan ayahnya.
Ketika
suatu hari ia pulang, ayahnya menyambut girang: ”Hai, bagaimana sarungku? Enak,
kan?” Ia peluk ayahnya yang sudah ringkih dan sakit-sakitan.
”Aku
ingin ke bukit. Aku rindu pohon cemara itu,” ayahnya berkata. ”Maukah kau
mengantarku ke sana?”
Malam
itu malam purnama. Ia menuntun ayahnya yang kurus dan ringkih menyusuri jalan
setapak menuju pohon cemara di atas bukit.
Di
bawah pohon cemara ayahnya duduk bersila, melantunkan sebait tembang
Asmaradana:
Aja
turu sore kaki
Ana
dewa nganglang jagad
Nyangking
bokor kencanane
Isine
donga tetulak
Sandhang
kalawan pangan
Yaiku
bageyanipun
Wong
melek sabar narima
Dalam
perjalanan pulang tembang itu terus mengiang. Ia tak tega melihat ayahnya
berjalan goyah. Ingin sekali ia menggendongnya sampai rumah. Tapi ayahnya
bilang, ”Di dalam tubuhku yang lemah terdapat jiwa yang kuat dan berat. Kau tak
akan sanggup menggendongnya.”
Dulu
saya sering menemani Ayah menulis. Ayah betah menulis hingga menjelang dini
hari. Suara mesin ketiknya terdengar sampai kamar mandi. Hanya siaran
pertandingan sepak bola di televisi yang bisa menghentikan keasyikan menulis
Ayah.
Sesekali
Ayah terlihat kesal, memukul-mukul mesin ketiknya dan mengumpat, ”Asu!” Dengan
geram Ayah mencabut kertas dari mesin ketik, meremasnya, dan melemparkannya ke
tempat sampah.
Kali
lain, saat menemukan puisi bagus di koran, Ayah tersenyum dan berseru, ”Asu!”
Saat bertemu teman karibnya di jalan, Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar
”asu”. Syukurlah, Ayah tak pernah mengucapkan ”asu” kepada saya. Demikian pun
saya tak pernah meng-”asu”-kan Ayah.
Pernah
saya bertanya, ”Asu itu artinya apa, Yah?”
”Asu
itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian
ganti saya ditanya, ”Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
”Asu
itu anjing yang suka minum susu,” timpal saya.
Mendengar
jawaban saya, Ayah langsung memeluk saya seraya berkata, ”Kamu sudah gila,
anakku. Kembangkan bakat gilamu. Kamu akan menjadi penyair kesayangan langit dan
bumi.”
Ayah
sering mengajak saya ke kantor pos, mengirim tulisan ke koran atau majalah.
Ayah suka gelisah menunggu-nunggu tulisannya terbit. Ketika tulisannya
dikembalikan dan tak bisa dimuat, Ayah termenung murung sambil tak
henti-hentinya merokok. Tanpa ampun Ayah membakar berkas-berkas tulisannya di
tempat pembuangan sampah.
Sebaliknya,
ketika tulisannya muncul di koran, Ayah seakan tak pernah kehabisan alasan
untuk berbahagia. Hebatnya, Ayah tak pernah mau berbahagia sendirian. Ia
mengajak saya makan enak di Warung Bu Ageng. Itu warung milik Om Butet, teman
Ayah. Sebelum membuka usaha warung makan, Om Butet bekerja sebagai redaktur di
sebuah koran lokal. Menurut Ayah, Om Butet sebenarnya tidak cocok menjadi
redaktur karena beliau bukan jenis orang yang tahan mendekam di dalam ruangan.
Ayah
saya seorang pengarang yang kaya. Dompetnya selalu penuh. Penuh dengan semoga.
Apa boleh buat, kadang Ayah harus berjauhan dengan uang pada saat yang tidak
tepat. Ayah pun menemui Om Butet di kantornya, menyerahkan tulisan dan minta
honornya dibayar kontan di muka.
Yang
menjengkelkan, Ayah suka menjadikan saya sebagai alasan. Mungkin karena wajah
saya bernuansa memelas dan mudah menimbulkan rasa iba. Saya ingat bagaimana
Ayah menyerahkan amplop berisi tulisan kepada Om Butet seraya meminta,
”Tolonglah, Bro. Sudah dua hari anakku kagak doyan makan, minta dibelikan
celana yang sakunya enam.” Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu di saku baju
Ayah sudah ada amplop yang isinya lumayan.
Saya
curiga, jangan-jangan dari Om Butet-lah Ayah belajar mengucapkan ”asu” dengan
fasih. Om Butet, kan, pemain teater juga; ia piawai meluncurkan kata ”asu”
dengan berbagai nada. Di kemudian hari Om Butet dikenal sebagai seorang bintang
film terkenal, selain pengusaha rumah makan yang sejahtera.
Pernah
pada suatu sore, setelah seharian hanya terbengong-bengong di depan mesin
ketik, Ayah membangunkan saya yang sedang tertidur di kamar: ”Ayo kita ke
Warung Bu Ageng.” Saya bertanya-tanya dalam kepala. Saya tahu Ayah sedang tak
punya uang. Kok berani-beraninya mau mentraktir saya.
Sekali
itu saya tak bisa berkonsentrasi makan karena sibuk memikirkan bagaimana Ayah
mau bayar. Ayah tenang-tenang saja, makannya lahap pula.
Ah,
Ayah. Diam-diam ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Selesai
makan, dengan cekatan Ayah menyusupkan sebuah amplop kecil ke saku baju Om
Butet. Aneh, bayar makan saja pakai amplop, pikir saya. Om Butet segera
mengambil amplop itu dari saku bajunya dan bersikeras mengembalikannya kepada
Ayah sambil berkali-kali bilang ”gratis”. Ayah menolak dan minta agar Om Butet
membuka amplop itu. Ternyata isinya secarik kertas bertuliskan sebuah syair
yang entah kapan Ayah tulis:
Yen
atimu kepenak
Manganmu
yo enak
Yen
atimu seneng
Ngombemu
yo nyamleng
Om
Butet tampak terharu bercampur senang membaca tulisan tangan Ayah. Keunikan
garis tulisan Ayah setara dengan keunikan garis tangannya. Saya terharu melihat
Om Butet terharu. Saya menyesal telah makan dengan sedih.
Sementara
Om Butet terharu, Ayah menarik tangan saya, mengajak saya segera angkat kaki.
Ayah dan saya cepat-cepat pergi dan seekor anjing menyoraki kami.
Kisah
Ayah membayar makan dengan puisi merupakan penyegar sempurna bagi rindu saya
kepada Ayah. Saya suka tertawa sendiri mengenang peristiwa yang getir-getir
sedap itu. Belakangan saya lihat syair gubahan Ayah sudah terpigura dan
terpasang di dinding rumah makan Om Butet.
Kini
jalan ke bukit sudah lebih lapang dan nyaman. Dengan rindu yang sudah saya
rapikan, saya berangkat menuju Ayah.
Di
tengah perjalanan saya bertemu dengan seekor anjing besar yang tiba-tiba muncul
dari tikungan. Sosok anjing itu sungguh menakutkan. Gawat. Menurut kabar yang
saya dengar, sebulan terakhir ini sudah ada beberapa orang menjadi korban gigit
anjing gila. Mereka diserang demam berkepanjangan, bahkan ada yang kesurupan.
Anjing
itu menghadang saya persis di tengah jalan. Tatapan matanya yang liar dan
nyalang membuat saya mundur beberapa jengkal. Saya deg-degan.
Saya
mencoba menyapanya baik-baik: ”Selamat sore, njing.”
Ia malah tersinggung. Matanya tambah mendelik. Mungkin karena saya memanggil namanya tidak lengkap.
Ia malah tersinggung. Matanya tambah mendelik. Mungkin karena saya memanggil namanya tidak lengkap.
Saya
ulangi salam saya: ”Selamat sore, anjing.”
Ia
semakin marah. Menggeram. Mulutnya mangap, lidahnya terjulur. Saya gemetar.
Saya memanggil Ayah dalam hati dan bertanya apa yang sebaiknya saya lakukan
untuk menjinakkan anjing edan itu. Saya tidak mau sakit gila karena digigit
anjing gila. Tanpa digigit anjing gila pun saya bisa gila sendiri.
Saya
menyapanya lagi dengan manis, ”Selamat sore, asu.”
Ia
terperanjat dan langsung mingkem. Sorot matanya berangsur normal.
Saya
ucapkan sekali lagi salam saya dengan tegas dan mantap: ”Selamat sore, su!”
Ia
merunduk, kemudian minggir dengan sopan, mempersilakan saya lanjut jalan.
Sementara
saya melanjutkan perjalanan, dari belakang sana terdengar teriakan, ”Tolong,
tolong! Anjing, anjing!”
Menjelang
sampai di atas bukit, saya berpapasan dengan seorang lelaki tua berkacamata.
Dialah Om Butet yang bintang film itu. Dia berjalan tergesa-gesa.
”Hai
penyair, kamu sudah ditunggu-tunggu ayahmu,” Om Butet berseru.
Saya
balik menyapa, ”Mengapa Om kelihatan terburu-buru?”
”Aku
ditinggal asuku. Apakah tadi kamu bertemu dengan asuku?”
Saya terpana.
Demi
cinta saya yang tak berkesudahan kepada Ayah, jalan menuju kuburannya saya beri
nama Jalan Asu.
Yogyakarta,
2014
Rujukan:
[1]
Disalin dari karya Joko Pinurbo
[2]
Pernah tersiar di surat kabar "Kompas" pada 10 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar