Selasa, 26 Februari 2019

Foto Seputar MTsN 3 HSS dan Desa Angkinang Selatan

Rabu, 27 Februari 2019













Puisi-Puisi Acep Zamzam Noor

Rabu, 27 Februari 2019

Beberapa pilihan puisi Acep Zamzam Noor dalam Di Atas Umbria

Pastoral

Kabut yang mengepungmu
Telah runtuh menjadi kata-kata
Rumah kayu hanya menyisakan dinginnya
Dan sunyi mengendap di sana

Maut bukanlah kabut yang mengendap-endap
Tapi salju
Yang berloncatan bagai waktu
Dan menyumbat pernapasanmu

Beranjaklah dan jangan menengok
Ingin kusaksikan tubuhmu telanjang
Tanpa mantel keyakinan
Menjauh dan semakin menjauh

Kubah mesjid dan runcing menara katedral
Tenggelam di balik perbukitan
Senja mengental dalam gelas kopiku
Dan kureguk sebagai puisi yang pahit

Beranjaklah dan jangan menangis
Obor malam akan mengantarmu pergi
Melintasi jalan kesabaran
Menerobos hutan

Maut bukanlah kata-kata
Tapi doa
Yang memancar bagai cahaya sorga
Dan membakarku tiba-tiba

1991


Rue De Rivoli

Kita melaju dalam rintik gerimis
Yang menghapus semua alamat
Dari ingatanku. Udara seperti berombak
Sungai memantulkan gema
Napasmu gemetar
Di ranting-ranting poplar

Jembatan itu mengangakan rahang
Menelan musim
Yang meluncurkan perahu
Dalam cuaca dingin. Senja menjadi ajaib
Di tengah kebisuanmu
Dan redupnya angin

Ke sudut-sudut kafe
Tak ada yang perlu dilabuhkan
Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku
Mungkin tak akan merubah arah sunyi
Dengan  mencari kehangatan
Pada gelas atau ciuman

1997


Cemara Laut
Buat D. Zawawi Imron

Langit semerah saga
Membayang pada pasir pantai
Ketika rumpun-rumpun cemara
Menjadi pertapa
Di pantai terlarang
Ketika bongkahan karang hitam
Tak lekang
Tapi juga tak kekal

Cemara menyimpan warna bulan
Di rumpun-rumpunnya yang rimbun
Seperti ingin menciptakan hutan lambang
Tapi keheningan tak lahir begitu saja
Dari ombak pasang
Keheningan harus dituliskan
Pada pasir
Atau lokan kerontang

Perahu-perahu telah bertiup
Meninggalkan perkampungan garam
Mereka akan terus bertiup
Ke tengah
Meninggalkan para pertapa yang khusyuk
Dan bongkahan karang hitam
Di tebing-tebing
Pantai curam

Para pertapa
Bongkahan karang yang bersila
Adalah keheningan
Yang surut dan kadang meluap
Seperti ombak atau waktu
Akar-akarnya mengembara
Jauh ke tubuh bumi
Menyusuri urat darah tanah

Akar-akarnya
Airmata yang terus memanjang
Berliku-liku dan kembali merambat naik
Mengirimkan kesedihan pada batang dan daun
Akar-akarnya adalah doa
Yang menjadi embun
Dilepaskan ujung-ujung daun
Ke udara

1996


Sacre Coeur

Lewat pasar yang riuh
Lewat deretan panjang kaki lima
Lewat tangga yang disandarkan
Ke bukit. Aku merasa tak akan sampai
Ke puncak menara Sacre Coeur

Aku pun diam
Aku pun terpaku
Menghitung detak waktu
Yang disirami butir-butir salju
Di lereng bukit itu

Pada ranting-ranting pohon linden
Kulukiskan raut wajahmu
Yang runcing namun bertenaga
Lalu kusimpan sebuah nama
Di bawah judul sajak
Tentang cinta
Yang belum selesai kutuliskan

Angin mendengung dan burung-burung
Tak bisa berlindung
Dari dingin. Menara menjulang
Dan udara yang basah
Terasa menekan

Seperti ada yang tersembunyi
Dari balik mantel bulumu
Yang tebal. Salju berhamburan
Dari rambutmu yang ikal

Harum restoran
Tercium dari napasmu
Suaramu bergelombang di udara
Kakimu menginjak awan
Yang berkilauan dan penuh pahatan

Aku merasa tak akan sampai
Ke puncak menara Sacre Coeur

1997


Lagu Bulan April

Sebuah kolam adalah kekekalan
Dengan akar-akar bakung yang khusyuk
Serta bunga-bunganya yang mekar di udara sejuk
Serumpun gelagah dan rumputan liar di tepian
Pagar-pagar batang kayu dan sebuah jalan menurun
Yang curam. Kulihat mulut lembah itu seperti kehausan
Suara burung-burung dan musik dari gesekan daun-daun
Melengkapi wajah langit biru muda yang berkilauan
Seperti goresan lembut cat air –
Sebuah kolam dengan sekelompok angsa yang riang
Tapi matamu lebih sunyi dari riak air kolam mana pun

Tanganmu masih bergayut di dahan-dahan pohon palma
Dua buah pir hijau muda kini matang di dadamu
Sebatang sungai jernih penuh batuan
Nampak bergerak ke lembah yang kehausan cahaya
Dari bukit-bukit di atas nampan besar semesta ini
Kata-katamu sudah tak perlu diucapkan mulut lagi
Kesunyian telah menjelma huruf-huruf yang dibaca angin
Dikhabarkan ke seluruh penjuru dan halaman buku
Di sini setiap cemara mempunyai lilin paskahnya sendiri
Sedang gereja-gereja semakin merampingkan diri
Dengan menara-menaranya yang runcing –
Dari senyumanmu sebatang sungai lain membasahi kota-kota
Seperti lagu gembala bagi domba-domba padang pasir

Sebuah kolam adalah kekekalan merah muda
Tapi matamu lebih dalam dari seribu pengakuan dosa
Di bahumu bunga-bunga bakung menjalin rambut ikalnya
Bunga-bunga tulip tersenyum malu di ceruk pipimu
Jauh di seberang ladang-ladang gandum, sebuah mata air jernih
Dengan roda airnya yang terus bergerak laksana waktu
Nampak mengalir ke dalam matamu yang tak beriak itu
Semuanya, seperti cahaya langit musim semi yang megah
Kolam anggur tak habis-habisnya direguk bumi dahaga –
Rambutmu lebih halus dari puisi atau lukisan mana pun
Seperti anugerah bagi hamparan negeri yang penuh ciuman ini

1992


Menjumpaimu

Menjumpaimu di sebuah kota
Seperti menemui kenyataan dunia ini
Kota itu tak bernama, gedung-gedungnya sangat tua
Dan musik menggenang sepanjang jalan-jalannya yang sunyi
Aku tersentak dan menemukan isyarat-isyarat:
Wajahmu memenuhi setiap celah dan sudut kelam
Tapi daun-daun rontok dan senja menguning seketika
Sebuah lagu yang kukenal mengalun dan ingatanku terpotong
Di tengah-tengahnya. Kulihat anak-anak muda itu masih berciuman
Orang-orang tua menuntun anjing keliling taman
Musim gugur telah membukakan seluruh ruang dalam dirimu

Kembali aku menemukan isyarat-isyarat:
Lukisan-lukisan pudar sepanjang dinding kota
Tiang-tiang besar yang menyimpan ceruk dan gaung
Adalah pergulatan waktu dengan kesunyiannya
Lalu kita sama-sama terpejam dan menunggu datangnya ledakan
Bibirmu asin seperti darah sedang kuku-kuku tanganmu menancap
Di pundakku. Musik terus mengalir dari sejumlah bar di kota itu
Dan kulihat cahaya menggeliatkan ular-ularnya di sana
Seorang wanita berambut merah meronta-ronta
Di trotoar botol-botol pecah seperti kata-kata

Aku meraba-raba detik dan jam yang lambat
Pada tanganmu kurasakan denyut nadi ribuan pengungsi
Keringat para buruh kasar sekaligus semerbak parfum
Bintang-bintang film. Dari ketiak serta mulutmu yang mekar
Kembali aku mencium kenyataan dunia ini:
Alkohol keemasan memenuhi mata dan kepalamu
Pikiranmu tersangkut pada bentangan kawat listrik
Dengan rambut yang terus memanjang ke laut
Seperti hantu. Di kejauhan seorang pemimpin berpidato

Monumen-monumen ratusan tahun terbakar
Sebuah ledakan menjadikan kita serdadu liar lagi
Kita menyusuri puing-puing dan kuburan baru
Pada malam penuh salak anjing dan ringkik kuda itu
Isyarat-isyarat lain tak dapat kutolak
Nanah busuk meleleh dari pelipismu yang retak
Lalu kedua lenganmu berjatuhan ke tanah
Seperti pelepah. Bunyi-bunyian aneh tak lagi terdengar
Hanya gemeretak mulut kita yang saling mengunyah
Aku terus mengikutimu dan berpegangan pada birahi rambutmu
Sebuah keindahan sejati yang kupahami kemudian:
Awal dari kemelut dunia kita yang tak berkesudahan

1992-1993


Pasar Kumbasari, Denpasar

Mungkin bukan sinar bulan
Yang menyalakan permukaan sungai
Tapi di sepanjang jalan ke arah pasar
Bakul-bakul ikan, daging dan sayuran
Seperti mengekalkan malam. Pasar adalah gemuruh
Sekaligus semadi suara-suara
Kulihat yang berjualan itu mulai menari
Kuli-kuli itu mulai menyanyi
Semuanya perempuan –
Dingin menyerap keringat mereka
Menjadi berbotol-botol arak

Di sini setiap perempuan adalah lelaki
Bekerja adalah sembahyang dan menari
Bersama mereka kupanggul bakul-bakul itu
Sambil menyuling keringatku sendiri
Menjadi tenaga kata-kata
Kuminum arak bercampur dingin embun
Lalu kuminta sinar bulan
Melemparkan selendang kuningnya padaku
Di antara mereka aku menari-nari gila
Memuja sulur-sulur pohon dan tugu-tugu batu
Kasmaran menunggu fajar tiba

Upacara demi upacara telah kulalui
Sepanjang perjalananku melupakan diri sendiri
Bersama sayuran dan bunga-bunga sesaji
Daging babi, ikan laut, kemenyan dan pakaian warna-warni
Aku menjadi bagian dari gemuruhnya pasar
Sekaligus keheningan semadi –
Pelahan keringatku meneteskan kata-kata
Kata-kataku menjelma butiran garam
Membumbui tanah dan sungai
Tempat perempuan-perempuan perkasa itu
Menyelesaikan tarian dan kewajibannya
Sebagai manusia biasa

1995


Via Enrico Dal Pozzo, Perugia

Gentong musim dingin mengguyurkan anggur
Untuk kita reguk lagi malam ini
Kau tahu, anggur selalu membuat kita mabuk
Tapi cahaya bulan yang menerobos ketebalan kabut
Seperti ingin menjelaskan betapa dingin di luar
Jika harus kita tempuh tanpa anggur dan mantel tebal

Ada banyak malam yang telah menyeret kita
Menuruni lereng-lereng basah dan rahasia
Kita membangun jembatan dengan seratus ciuman
Yang berulang. Tapi runtuh juga
Lalu kita menggali perigi untuk kenangan
Tapi seperti sungai, airmata tak bisa disimpan

Kau tahu, cahaya bulan seperti ingin menjelaskan
Bahwa antara kedua alis matamu yang licin
Ada jurang yang semakin menganga
Mungkin jembatan itu tak akan pernah tercipta
Dari bahasa. Tapi guyuran anggur musim dingin
Membuat kita tak peduli lagi pada kata-kata

1992


Fontana Maggiore

Tiba-tiba tubuhmu penuh hujan
Seperti patung di tengah air mancur itu
Dan waktu menjadi pohon yang ditinggalkan daun-daun
Aku ingat sebatang lilin di tengah laut malam hari
Di sini pun cahaya memperlebar wilayah kelamnya
Hingga kita bersudutan dengan tajam
Dalam keremangan yang mengeras

Kebisuan menjadi bahasa
Antara undakan-undakan dan detik-detik
Yang menggenang. Bunyi gitar terdengar nyaring
Tapi segera dipatahkan angin yang runcing
Wajah pengamen itu menjadi pucat dan keperakan
Di tengah deretan hari-hari yang menyusut
Dan mengembun pada patung-patung

Di dinding kasar nampak bayang-bayangmu
Yang bergerak-gerak tanpa lakon
Dan orang-orang masih berjalan dengan anjing
Atau anak-anak mereka yang menggigil
Kulihat lehermu menghijau seperti tembaga
Tapi segera mulut cahaya menyerapnya
Ke dalam lampu-lampu

Tubuhmu menyusut dan menjadi percikan air
Kekekalan memenuhi seluruh kolam
Kunang-kunang terbang, menjauh dan menghilang
Adalah pikiranmu yang masih terpatah-patah –
Di taman-taman lain yang lebih remang
Kulihat jurang-jurang yang digali cahaya
Seluruh hujan diterjunkan ke sana

1992


Di Atas Umbria

Rambut-rambut cahaya
Yang dikibarkan angin musim panas
Seperti melukisi wajah langit
Dengan garis-garis keperakan siang hari
Di udara sebuah lonceng berayun-ayun
Bunyinya mendekati sunyi. Seekor kuda melompat
Rumput-rumput tegak pada maut yang tak nampak
Lalu cahaya tiarap sepanjang perbukitan
Metahari meletakkan sumbunya di atas batu
Sayur-mayur mekar dalam cahaya. Kusentuh kibaran
                                                            rambutmu
Dan kulihat jurang di kedalaman matamu:
Seorang wanita telanjang di bawah matahari
Dengan kaki yang menjulur ke tengah danau

Kukenang pantai-pantai tropika yang jauh
Juga wanita-wanitanya yang hijau kekuningan
Seperti mangga. Kubayangkan air segar kelapa muda
Lalu aku pun telentang di bawah matahari
Telanjang dalam tatapanmu yang berduri:
Di sini setiap pohon membuahkan kata-kata
Setiap buah adalah kebajikan sekaligus dosa besar
Aku tak tahu bagaimana kautanam kata-katamu di tanah
Dan menjelma petuah. Sementara tubuhmu yang pualam
Bersahutan dengan tiang-tiang beton, bentangan kawat listrik
Serta jalan aspal yang hitam dan berkilat di kejauhan
Kulihat kereta api merayapi waktu pada jalurnya yang pasti
Terowongan-terowongan muncul dari setiap penjuru

Seekor kuda putih
Suara gaib yang berayun-ayun di udara itu
Adalah patung dewa yang pecah. Aku menanam tanganku
Leherku memanjang serta pikiranku bertaburan di lading
Kuperas darahku dan kusuling racunnya yang murni
Kemabukan adalah jalan yang menanjak di bumi:
Sambil merangkak di antara botol-botol yang menjulang
Kudendangkan mantra-mantra suciku pada alam raya
Sayur-mayur menyala dalam sentuhanku
Tanah keras menjadi gembur serta penuh birahi
Lalu sebagaimana mahluk-mahluk kiasan lainnya
Kau membakarku dengan kebenaran sesaat
Bunga api dipancarkan payudaramu yang meledak

1993


Di Museum Vincent Van Gogh, Amsterdam

Di ranjang yang kusam kau menggeraikan
Rambut ilalangmu. Dingin yang setajam kelewang
Mengendus harum gandung tubuhmu dan mengurapi
Bulu-bulu halus pada inci demi inci geliatmu
Yang tak sekuning lukisan itu

Di ranjang yang kusam kau membaringkan
Harum gandummu. Ruh yang sengungun lampu
Merabuki udara yang memar dan menyentuh pelan
Setiap gelembung napas yang bergantungan
Pada langit-langit merah kamarmu.

1996


Tentang Acep Zamzam Noor
Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi
Nominator Hadiah Rancage 1994.

Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiqlal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci III (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Nafas Gunung (Dewan Kesenian  Jakarta, 2004) dan lain-lain.

Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S.E.A Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.

Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).

Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian (SEA) Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.

Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni Ipoh II, di Ipoh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Winternachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Internasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pada Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Kini Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Sehari-harinya bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan sambil terus menulis dan melukis. Sekali-kali memenuhi undangan ke berbagai daerah untuk membaca puisi, diskusi, seminar, workshop, menjadi juri atau sekedar jalan-jalan. Jalan-jalan merupakan hobinya yang paling utama, di samping mengoleksi batu akik dan kain batik.

Catatan Lain
Dalam catatan penutup yang dijuduli Puisi, Pengembaraan, Kesia-sian, Dr. Faruk membukanya dengan kalimat ini: “Beberapa waktu yang lalu, saat ini juga, saya diteror oleh sebuah pertanyaan. Masih mungkinkah puisi ditulis? Mungkin Sutardji dicengkeram oleh pertanyaan yang demikian pula. Sekian lama, ia tak memperlihatkan sebuah puisi pun. Sementara itu, banyak juga orang yang tidak tergoda oleh pertanyaan yang demikian sehingga dari tangan mereka muncul banyak sekali puisi, banyak sekali kumpulan puisi, dan semacamnya.”
            (Sebentar, mau tersenyum simpul dulu). Karena bagi Faruk, puisi itu merupakan sebuah wacana yang memungkinkan untuk mengalami kembali kehidupan, untuk terlibat, dengan totalitas dirinya. Nah, kata Faruk, ada banyak cara yang digunakan puisi untuk merayu keterlibatan pembaca agar masuk ke dalam kehidupan. Salah satunya dengan menampilkan kehidupan baru atau asing seperti yang dilakukan Acep dalam kumpulan puisi ini. Dilihat dari judul-judul saja, maka puisi-puisi ini bercerita tentang pengembaraan-pengembaraan di negeri yang jauh: Itali, Perancis, Belanda, Bali.
            Tulis Faruk lagi:”Puisi-puisi dalam kumpulan ini bercerita tentang pengembaraan ke berbagai wilayah baru yang tidak dikenal….. Tapi alangkah sulitnya menemukan kekhasan pada setiap daerah pengembaraan itu. Semuanya seakan sama, menyuarakan diri sang pengembara sendiri yang tak pernah berubah: sendiri, sepi, terpencil, dibakar oleh api rindu dendam pada sesuatu yang ada di luarnya. Bila demikian halnya, pengembaraan itu menjadi seakan sia-sia.”
            Lanjut Faruk di paragraf lain:”Tapi, betapa pun tak berartinya, betapa pun sia-sianya pengembaraan itu, usaha untuk berkata-kata tak pernah akan sepenuhnya sia-sia. Tak pernah ada tutur yang sama antara seseorang dengan orang lainnya betapa pun kuatnya belenggu bahasa mengikat dirinya.”
            Faruk juga mencatat: metafora-metafora yang keras, radikal, ekstrem, loncatan-loncatan imaji yang drastis, campuran yang mengejutkan antardimensi kehidupan yang terpisah, merupakan idiom penting dalam puisi-puisi di kumpulan ini.” Citraan-citraan tentang kegelapan, benturan yang keras, ledakan, darah, segala yang serba keras dan mengerikan, kata Faruk, merupakan struktur perasaan yang khas dari puisi-puisi pasca-1980.
            Maka demikianlah, kumpulan puisi ini tersaji. Buku koleksi Alm. Eza Thabry Husano ini. Yang ditandai dengan nama dan tanda tangan ybs dan bertanggal 7/III/2002. Di cover belakang masih ada cap harganya. TB Usaha Jaya, Rp. 14.000,- untuk tahun itu.



Sumber : kepadapuisi.blogspot.com

Puisi-Puisi Abu Wafa

Rabu, 27 Februari 2019

Sepilihan puisi Abu Wafa dalam Cara Menghitung Anak

Gigi

sebelum pulang, ibu guru memberi PR
“buatlah gambar yang berhubungan
dengan gigi!”

sesampai di rumah, aku menggambar
pintu dan selokan
“bukankah kau harus menggambar
yang ada hubungannya dengan gigi?”
ayah bertanya sedikit bimbang

karena pintu, gigiku terlepas
sewaktu berlari tanpa kendali
kata ayah, gigi atas harus dibuang ke bawah
selokanlah yang jadi muaranya
aku menjelaskan dengan bangga

di kelas, aku mendapat nilai terbawah

2013



Menunggu Banjir

kami bersahabat baik dengan air
terutama yang berjumlah melimpah
karena kolam renang sulit ditemui
dan tiket yang mahal menjadi
alasan utama ibu melarang:
“lebih baik untuk makan.”

kecuali sungai yang penuh tai dan
banjir yang datang kadang-kadang
ibu tidak melarang. hanya mewanti-wanti
“jangan lama-lama. kau bukan ikan.”

rumahku salah satu pembenci banjir
tiap kali air meluap dari sungai,
mengetuk pintu, ayah memindahkan
kasur, televisi, kipas, ijasah dan
benda-benda berharga yang mudah basah

ketika banjir hampir setinggi separo pintu
orang-orang dewasa berusaha
menenangkan air yang masuk
dengan timba, karung pasir, atau apapun
yang mampu mereka gunakan

kami menghalaunya dengan kesenangan
berenang, bermain koin,
atau mendorong perahu karet
yang minta pertolongan
siapa yang tidak menyukai dikunjungi sahabat baik?

setengah hari, banjir mengunjungi kami
Ibu dan ayah membenarkan letak isi rumah
jangan tanya kami sedang apa
tubuh kami penuh sirip dan keriput

2015


Sepasang Nama yang Tersangkut di Toilet

tiada yang mengetahui siapa yang menuliskannya
kecuali sejumlah tangan yang keisengan
kebosanan sering melanda siswa yang tengah
diserang hajat

aku tak mengerti
tiada yang menuliskan namaku dan namamu
di dalam daun waru

2015


Bermimpi

dengan mudahnya aku
menggantungkan harapan dan impian
di sela bintang-bintang
sebelum tidur, aku selalu berdoa,
“impianku, turunlah bersama bintang jatuh!”

tak mudah menjumpai jatuhnya bintang
malah hujan yang datang
ke belakang, aku mengambil ember
menaruhnya di halaman
“mungkin inilah bintang yang terpecah
menjadi air hujan”

lantas aku ke dapur, memasaknya
ibu hampir mencegah, namun
dihalangi ayah
“agar dia tahu rasanya air hujan”

esoknya, aku terbaring di ranjang
ayah menasehati sembari memberi buku
ibu tetap was-was, menanyaiku macam-macam
dalam hati, aku masih yakin
aku menjaring hujan yang salah

2013


Cara Menghitung Anak

rahasia adalah santapan paling nikmat
dengan bumbu-bumbu masa depan
dan keingintahuan yang menggebu
aku menawarkan, kau mengiyakan,
menyerahkan tanganmu untuk
kuramal berapa anakmu nanti

dua, kataku,
dua urat menyerupai berudu
muncul setelah kusapu dengan
ibu jari, membangunkannya
dari tidur panjangnya

setengah percaya setengah penasaran,
kau tersipu, setengah membayangkan
punya dua anak saat kau belum
punya akar yang kuat untuk pijakan

tanganmu masih menggenggam,
menahan harapan yang tumbuh
begitu saja di telapakmu
aku, melihatmu, memastikan
berudu itu nanti tumbuh besar
menyerupaiku

2015


Sembilan

jika boleh berkhayal.
aku ingin menghidupkan angka tiga
sayapnya bisa membawa
terbang kemana-mana

namun, ketika raporku ada angka tiga
ibu marah, terlebih ayah
“kau harus dapat angka sembilan,
jika tidak. kau tidak ayah sekolahkan lagi.”

rapor berikutnya, meningkat dapat enam
ibu sedikit bangga, berbeda dengan ayah
“Sembilan! Bukan enam!”
namun, bagiku,
enam dan sembilan hampir mirip
tinggal diputar balik

aku belajar lebih tekun dan giat
dan akhirnya, ada angka sepuluh di raporku
ibu langsung sumringah, ayah lagi-lagi marah
“Aku minta sembilan! Apa kau ingin menjadi Tuhan!”

2013


Jatuh Cinta

ibu melihat wajahku memerah
penuh mawar dan senyuman
serta merta, ibu menghardik,
“siapa nama gadis yang kau sukai?”

bocah seusiaku gampang sekali
tertarik gadis berambut panjang
namun, dia sulit menentukan
seperti dia hendak memilih suami

cinta adalah perang yang terselubung
siapa yang tidak mau menang dalam peperangan?
aku pun meminta petuah pada ayah
sedang ayah tengah membaca koran

“tanyakan ibumu. Ibumu selalu rapi menyimpan kenangan.”
ibu sekarang di dapur, memasak untuk makan siang
“ayahmu lebih tahu. Dia menyimpan kata-kata
berbentuk mawar untukku dulu.”

sepintas, dari arah ruang tamu
ayah mengedipkan mata ke ibu
aku pura-pura tidak tahu
cinta adalah kerahasiaan orang dewasa

2015


Bermain Hujan

hujan tak kehabisan cara
untuk mempermainkan
lewat jendela, dia menggodaku
merambat turun
serupa es krim yang mencair
siapa yang berhasil mengelak godaannya?
walau kaca tak berasa kecuali luka

aku melihat teman-teman menari
menyambut hujan, lalu menadahnya
dengan tubuhnya
membiarkan beberapa kurcaci turun
dari langit menempel di kaosnya
mungkin, orang dewasa melihatnya
hujan biasa, yang sama basahnya
dan sama menggelisahkan

teman-teman makin menggodaku
mereka mulai bertelanjang dada
meresapi hujan, menggenapi
tubuhnya dengan basah
sebelum aku menyusulnya,
ibu sudah melarang:
“jangan main hujan. Kau mudah kena flu!”

hujan harus segera kunikmati
mumpung masih segar dan belum basi
maka aku menyodorkan sebungkus
plastik pada seorang teman
lewat jendela setengah terbuka
“isilah dengan hujan, sampai penuh,
sampai kau tak bisa mengikatnya.”

air hujan itu lalu
kucampur dengan air kamar mandi
kuhabiskan sampai hujan
menyelesaikan godaan
sampai teman-teman
hilang di jendela
hingga tiada sisa air
di bak mandi

selesai mandi, tubuhku mengecil
menjelma bocah hujan yang kesepian

2015


Perang di Mata Mereka

“Jika negara kita perang, apa yang kau lakukan?”
Tanya Bastomi berapi-api
“Aku akan maju di barisan terdepan.
Namaku nanti dikenang,
dicatat di buku-buku sejarah.”
Jawab Burhan tegas
“Aku akan bersembunyi di bawah tanah.”
Maman menjawab sedikit malu
“kalau aku, pergi ke rumah kakek.”
Barjo lebih lirih menyatakan
“Mengapa?” mereka serempak bertanya
Barjo diam
“Bukankah kakekmu, sudah tua renta,
Tak berdaya melawan penjajah?”
Bastomi serba ingin tahu
“Aku tak takut perang.Aku berani mati.”
“Lantas?”
“Aku lebih takut jika ayah
memukuli ibu lagi. Dan hanya
kakek yang bisa mendinginkan ayah”

besoknya, teman-teman lebih memilih
bermain ke rumah Bastomi

2013


Meminta Uang, Berharap Terbang

ibu-ibu, dengan tangan ditabahkan kekar,
mengangkat timba penuh air comberan
dari depan rumah
diayunkan dan disiramlah air itu ke tanah
mendinginkan tanah sore, memanjakan debu-debu
dalam kebisuan ibu, tanah merekah
mengundang ayam-ayam mematukinya

merpati sengaja dilepaskan
dari tangan gagah seorang bapak
menguji musim, mengadu nasib
bukankah bocah-bocah tengah menanggungnya?

seperti terpanggil,
kami berkumpul ke tanah lapang
sejenak berpura bermain sepak bola
bukan sepenuhnya menunggu
kami tidak ingin membeku sia-sia

dengan gawang dari bata ditegakkan
kami berlari-lari kecil
menyepak bola plastik
berusaha merobohkan bata
sekaligus penuh waspada

memasang telinga
bila saja dedaunan berbisik
dan reranting gemerisik
memberi tanda

bola melesat tinggi
lalu jatuh keras
seperti dirindukan lama oleh bumi
seorang dari kami, berdiri menganga
memejamkan mata, seolah wahyu
akan diturunkan kepadanya

di punggung kami
seketika tumbuh sepasang sayap capung
ringkih berusaha terbang
walau langit memberi tanda
dedaunan berbisik
dan reranting bergemirisik

kami mendongak menganga,
merapalkan doa dalam kesunyian sore
seperti mendapat titah
mata kami mengekor saat pesawat melintas
berlari seketika
mengepak-ngepakkan sayap
hanya mengepak dan mendongak
sambil mendaraskan doa lebih lantang:
pesawat, minta uang!
berkali-kali, berlangkah-langkah jauhnya

pesawat tidak menjawab
dengan pongah, dipamerkan pantatnya
yang lebih mengkilap dari panci milik ibu
kami tetap tengadah
tetap tabah berlari
mengejar tepat di bawahnya
berharap ada keajaiban dari sana

apalagi yang hendak dipertahankan
jika kami tidak seorang pun sanggup terbang tinggi?

baju kami sewarna keringat
beraroma penderitaan
yang hampir diam saat malam
menenangkan dengan mimpi-mimpi

pesawat menghilang
di balik pepohonan
dan rumah-rumah penduduk
yang tabah menunggu
pesawat esok hari

2015


Menjelang Kiamat

semula semua percaya
tepat besok akan kiamat
semua khidmat memanjatkan doa
sepanjang hari tanpa berhenti
sehingga lupa tidak bekerja
sampai-sampai lupa tidak makan
lupa sedang lapar

besoknya,
malaikat tidak jadi meniup sangkakala
namun,
semua tengah sekarat oleh doa-doanya

2013


Sebuah Surat di Laci Meja

saat jam istirahat,
sebuah surat aku titipkan
di laci meja untukmu
untuk kau baca, kau temukan
jika tanganmu mengulur
masuk mencari rahasia
di dalam laci meja

namun, rahasia dan sampah
sulit dibedakan di dalamnya
seluruhnya berisi bualan,
yang mungkin juga kebenaran,
dan sisanya hanya kertas-kertas
yang diremas saking gemasnya
akan nilai atau hasil pekerjaan

ketakutan dan kebanggaan
menempel di surat itu
jika saja kau menemukannya
lalu membacanya
aku takut kau tidak lagi mengenalku
atau aku bangga kau mengetahui
aku yang mengirim surat itu

namun, aku melihat tanganmu
jarang memasuki laci meja
menguak rahasia di dalamnya
mungkin, bagimu, laci meja
segelap hutan dan
sejorok toilet sekolah

bahkan, aku melihat sendiri,
buku-buku, pensil dan penghapus
berteman baik denganmu
menemanimu berjaga
dari rahasia yang merambat
dari laci meja

keesokan harinya
sepulang sekolah
setelah kau
meninggalkan mejamu
aku masuk ke dalamnya
mengecek kabar surat
yang tersesat di sana

kudapati surat itu
masih rapi dan tabah
dalam hutan dan rahasianya

2015


Tentang Abu Wafa
Abu Wafa lahir di Surabaya, 5 Juli 1990. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Aktifis sastra di Komunitas Rabo Sore. Tinggal di Mojokerto dan Surabaya.


Catatan Lain
Dody Kristianto menjuduli prolognya dengan “Menilik Kembali Sudut Pandang Anak-anak dalam Puisi” dan epilog Maman S Mahayana berjudul “Dunia Bocah dalam Puisi”. Sampul belakang buku ini juga mengutip ‘kurang separagraf’ tulisan kedua orang di atas, tentunya dipilih yang paling ‘bernas’, yang kira-kira mampu menarik pembaca untuk membuktikan ucapan mereka. Begitu.
            Di sampul belakang buku, di bagian bawah, selain logo penerbit, ada juga logo komunitas rabo sore. Dan begini bunyi halaman persembahannya: “Untuk Achmad Hisom dan Siti Ruba’iyah/saya berhasil menyelamatkan nama kalian berdua,/kedua orang tua saya,/dari intipan teman SD di buku rapor.” 



Sumber : kepadapuisi.blogspot.com

Suasana Pagi Hari di Sekitaran RT 1 Desa Angkinang Selatan

 Sabtu, 23 November 2024 Suasana yang terlihat di sekitaran RT 1 Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan,...