Kamis, 14 Maret 2013

SENI & BUDAYA HSS

Kamis, 14 Maret 2013


Balai Malaris di Desa Loklahung, Kec. Loksado, Kab. HSS. Salah satu tempat yang sering digunakan untuk menggelar Tarian Kakanjaran pada upacara adat Aruh Ganal atau Bawanang.


Mengenal Tarian Khas Hulu Sungai Selatan
Tari Kanjar / Kakanjaran : 
Selamatan Banih Ringan dan Banih Barat

    Tari Kanjar atau Kakanjaran adalah kesenian rakyat asli dari Hulu Sungai Selatan (HSS). Tumbuh dan berkembang di pedalaman pegunungan Meratus di Kecamatan Loksado. Tari ini merupakan hiburan adat bagi suku Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan peninggalan nenek moyang mereka. Setiap penghuni Balai sejak kecil hingga dewasa terkecuali usia lanjut telah dibebani keahlian tari Kakanjaran.
    “ Tari Kakanjaran digelar pada selamatan banih ringan dan banih barat. Banih ringan adalah padi yang baru dipanen pada kelompok persawahan dengan curah hujan yang sedikit. Banih ringan merupakan jenis padi yang bisa dengan cepat dipanen. Areal ladang tempat menanam banih ringan biasanya tidak terlalu jauh dari lokasi Balai. Tanah huma tugal berpindah ini biasanya dapat ditanami padi lima tahun sekali atau lebih cepat lagi dan hasil panennya pun tidak seberapa. Banih ringan yang sudah dipanen itu adalah untuk persediaan cadangan jangka pendek oleh penduduk Balai,” tutur Aliman Syahrani, Budayawan HSS.
    Sedangkan banih barat, menurut Aliman Syahrani adalah padi tunggal pada tanah pegunungan yang bisa memakan waktu tujuh sampai sepuluh tahun sekali digarap untuk ditanami padi. Pekerjaan tersebut memerlukan kerjasama dan tanggung jawab yang besar bagi seluruh penduduk Balai. Hasil huma banih barat biasanya mampu menjamin kebutuhan kelompok penghuni Balai hingga lima tahun bahkan lebih. Huma tugal digarap setahun sekali oleh penduduk Balai, hanya persawahan untuk menanam banih ringan saja yang cenderung berpindah-pindah.
    “ Seni Tari Kanjar atau Kakanjaran ini bagi penduduk Balai bermakna gerak olah tari menahan kejahatan serta membuka pintu kebahagiaan agar warga Balai sehat, gagah, berani, kuat bekerja dan mendapat hasil yang melimpah. Tari Kakanjaran dilaksanakan secara massal tua muda, seluruh penghuni Balai yang sebelumnya didahului oleh tetuha adat atau Damang sebagai pembukaan,” ujar lelaki kelahiran Datar Balimbing, Loksado, 30 Desember 1976 ini.
    Gerak tari dan tangan dalam kesibukan mengatasi segala untuk mencapai hasil anugerah Sang Dewata, sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa bagi suku Dayak di Pegunungan Meratus.
    Dikatakan oleh Aliman, tari ini masih bisa dijumpai di sejumlah Balai di Kecamatan Loksado. Seperti di Balai Papangkaan di Desa Muara Ulang. Balai Kukundu di Desa Urui. Balai Padang dan Balai Bidukun di Desa Malinau. Serta di Balai Malaris di Desa Loklahung.
    “ Tarian ini  termasuk ke dalam jenis tari tradisi. Tari ini juga terdapat dalam upacara adat Aruh Ganal atau Bawanang. Khusus dilakukan oleh kaum laki-laki. Tarian ini menggambarkan sikap persatuan dan kegotong royongan masyarakat Dayak Meratus,” pungkas Aliman Syahrani.

Kandangan, 11-03-2013

Musik Panting
Berurat Berakar di Hulu Sungai Selatan

    Kesenian musik Panting sangat berurat-berakar bagi masyarakat di Hulu Sungai Selatan (HSS) sejak waktu yang sangat lama. Penamaan kesenian ini berdasarkan bahasa daerah masyarakat HSS sendiri yaitu Bahasa Banjar. Panting dalam pengertiannya adalah persamaan dengan kata petik, yaitu membunyikan senar atau tali dengan teknik sentilan.
    Secara umum bentuk alat musik panting ini mirip dengan gitar, bedanya hanya lebih ramping dan kecil. Selain itu pada panting tidak terdapat grif-grif untuk pengatur kunci nada seperti pada gitar. Perbedaan lainnya adalah, senar pada alat musik panting terdiri dari dua bilah senar kembar dengan ukuran nada yang sama dan hanya berjumlah enam bilah dengan tiga nada berbeda.
    Memainkan alat panting sama dengan gitar yaitu dipetik. Seorang yang memainkan musik panting dinamakan pamantingan. Pada awalnya musik panting hanya dimainkan oleh seorang pamantingan yang diiringi oleh seorang yang membawakan lagu atau biduan, baik pria atau wanita. Antara seorang pamantingan dan seorang biduan duduk berdampingan untuk memudahkan mencocokkan lagu dengan petikan panting.
    Pada perkembangan selanjutnya musik panting tidak hanya dimainkan tunggal melainkan sudah dikolaborasi dengan beberapa alat musik lainnya seperti babun, gong, biola, tamborin, dan suling serdam atau suling bambu biasa. Meski musik panting sekarang sudah dikolaborasikan dengan sejumlah alat musik lainnya, namun tidak menghilangkan kekhasan musik panting sebagai musik tradisional.
    Dahulu musik panting lebih digunakan untuk mengiringi tari Japin, saat ini digunakan pula untuk mengiringi berbagai tarian tradisional lainnya seperti Tari Ahui, Tari Tirik, Japin Anak Delapan, dsb.
    Lagu-lagu tradisional dalam musik panting yang biasa dimainkan sejak dahulu sampai sekarang adalah Lagu Dua Sisip, Paris Tangkawang, Hujan Hangat, Marista Bajanji, Lalan Sisip, lagu-lagu Arab dan lagu-lagu yang besifat bebas lainnya.
    Saat ini musik panting tidak hanya untuk mengiringi Tari Japin, tetapi sudah berdiri sendiri sebagai seni musik tradisional. Arena dan fasilitas pagelaran juga tidak lagi terikat dengan ketentuan yang biasa dilakukan pada awal kehadirannya, tetapi sudah disesuaikan dengan perlengkapan penunjang lainnya seperti pengeras suara, panggung tempat pemain musik panting, tempat duduk penonton, dsb.
    Musik panting diperkirakan sudah ada di Kalimatan Selatan sejak abad ke-18 atau jauh sebelumnya, tentu dalam bentuk yang sangat sederhana jika dibandingkan dengan keadaannya yang sekarang.
    Beberapa grup musik panting di Hulu Sungai Selatan yang saat ini masih aktif bermain dan melakukan pembinaan adalah Arjuna Singakarsa di Pandai, Kandangan. Lalu grup Sampuraga di Karang Jawa. Saraba Cakap di Ambarai. Serta Sahibar, Sakawah, Halang Ginari, dan Pancar Nada, semuanya di Desa Tabihi Kec. Padang Batung.***

Kandangan, 11-03-2013


Kerajinan Kuningan di HSS
Pernah Dapat Penghargaan Dari Presiden

    Seni kriya masyarakat di Hulu Sungai Selatan yang menggunakan bahan baku logam kuningan ada di  Kecamatan Daha Utara dan Daha Selatan. Proses pembuatan benda-benda logam baik logam biasa maupun dari kuningan di daerah Nagara pada awalnya menggunakan cara a cire perdue, yakni pembuatannya menggunakan acuan yang terbuat dari lilin wanyi atau lilin lebah. Lilin acuan dibungkus dengan tanah liat kemudian dipanaskan ke tungku pembakaran. Setelah lilin acuan meleleh ke luar, lalu dituangkan cairan logam ke dalam lobang acuan. Pada benda-benda logam tersebut juga diberi ukiran dengan berbagai motif tradisional.
    Saat ini pengrajin kuningan di Nagara sebagian sudah menggunakan cetakan dari bahan logam yang sama sebagai acuan. Adalah Burhan Nawi, penerima Penghargaan Upakarti Tahun 1989 dari Presiden Soeharto, sebagai pengrajin logam di Nagara yang menciptakan alat cetakan logam pertama yang terbuat dari bahan logam yang sama.
    Seni kriya berbahan dasar kuningan yang dihasilkan sebagian besar adalah peralatan rumah tangga, terutama yang terbuat dari bahan kuningan. Pada alat-alat ini biasanya juga diberi hiasan ukiran berbagai bentuk seperti pada abun, tempat sirih, sasanggan, ceper, dll. Motif-motif yang umum menghiasi peralatan tersebut adalah tumpal, yang dikenal dengan dua macam bentuk. Jika tumpalnya besar maka disebut pucuk rabung, sedangkan tumpal yang kecil dinamakan gigi haruan. Hal ini biasanya digunakan sebagai pembatas antara bagian yang berukir dan bagian yang tidak berukir. Motif-motif lainnya adalah motif tumbuh-tumbuhan, motif binatang, motif wayang, motif garis-garis, kaligrafi, pohon hayat, motif spiral, dsb.
    Beberapa jenis hasil seni kriya berbahan kuningan adalah paludahan (tempat sepah atau ampas makan sirih serta kucur atau air liur yang bercampur bahan kinangan), sasanggan (tempat piduduk atau wadah beras fitrah di malam lebaran Idul Fitri), gayung mandi danuraja (untuk mencucurkan air pada upacara tradisional mandi-mandi, seperti tian mandaring, mandi baya badudus, dll), sarung katam (wadah mata ketam, alat untuk melicinkan kayu), panginangan bokor (wadah bahan kinangan), panginangan burung (wadah bahan kinangan, bisa juga digunakan untuk tempat mas kawin atau jujuran pada waktu upacara maatar jujuran), talam berukir (tempat nasi ketan atau kue-kue tradisional dalam upacara batamat Qur’an, batumbang, dsb), kukuran buaya (mirip alat memarut / menghaluskan daging kelapa, digunakan hanya sebagai hiasan berbentuk buaya dan bersifat magis), tempat ragi (wadah ragi), dll.***
Kandangan, 11-03-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...