Plang penunjuk Makam Datu Taniran
Desa Taniran Kubah Kec. Angkinang Kab. HSS
Lokasi Makam Datu Taniran
DATU TANIRAN
Sa’duddin bernama asli Haji Muhammad Thaib bin Haji Muhammad
As’ad bin Puan Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ia
dilahirkan di kampung Dalam Pagar, Martapura pada tahun 1194 H. Yang
bertepatan dengan tahun 1774 M. Ia sempat hidup dan bertemu dengan
datuknya Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Sejak kecil dia telah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya
sendiri, yaitu Haji Muhammad As’ad, yang ketika itu menjabat sebagai
mufti di kerajaan Banjar. Dia selalu berkhidmat dan melayani kakaknya
Mufti Haji Muhammad Arsyad (Mufti Lamak). Dimanapun dan kemanapun Mufti
Haji Muhammad Arsyad berada, dia selalu berada disampingnya.
Setelah tampak pertumbuhan bakat dan kecerdasannya, terutama
dalam bidang pemahaman agama Islam. Maka oleh orangtuanya di usia 25
tahun dia diberangkatkan ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan ibadah
haji serta memperdalam ilmu pengetahuan agama dengan belajar kepada
guru-guru besar atau para ulama besar di kota Mekkah saat itu.
Di usia 35 tahun, setelah bermukim dan menimba ilmu di tanah
suci Mekkah selama 10 tahun , ia kembali ke tanah air dengan membawa
ilmu pengetahuan yang sarat dan luas serta gelar al-alim al-alamah.
Sekembalinya dari berhaji dan menuntut ilmu di tempat sumbernya, ia
tidak langsung berdakwah namun ia langsung berkhadam kepada orang
tuanya, yaitu Mufti Haji Muhammad As’ad dan juga selalu mengikuti
saudara-saudaranya yang berdakwah ke berbagai daerah.
Dua tahun sekembalinya dari berhaji dan menimba ilmu di kota
kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka pada tahun 1812 M ia berhijrah dari
kampung Dalam Pagar, Martapura menuju kampung Taniran, Angkinang, HSS.
Ia menetap di kampung Taniran adalah untuk menjadikan kampung tersebut
sebagai tempat untuk mengajar dan sebagai pusat atau basis penyiaran
agama Islam untuk daerah Banua Enam.
Adapun penyebab kedatangan dan berhijrahnya ia ke Taniran adalah
karena kedatangan tokoh masyarakat kampung Taniran pada masa itu kepada
Mufti Haji Muhammad As’ad serta bermohon kepada orangtuanya agar dapat
berkenan mengirim seorang guru agama ke kampung Taniran guna memberikan
pendidikan agama dan memantapkan keyakinan agama Islam serta
pengamalannya, dan bermohon agar guru agama tersebut bersedia untuk
tinggal menetap di kampung Taniran.
Demi mengetahui hal yang demikian, maka Haji Muhammad As’ad
selaku seorang ulama yang berkewajiban menyampaikan dimanapun juga dan
selaku Mufti Kerajaan Banjar merasa bertanggung jawab atas pendidikan
agama di wilayah kekuasaan kerajaan Banjar, maka dengan senang hati dan
dengan penuh keikhlasan ia menunjuk dan mengutus anaknya sendiri, yang
baru saja pulang dari berhaji dan menuntut ilmu di tanah suci, yaitu
Haji Muhammad Thaib, karena dianggap mampu dan sanggup untuk
melaksanakan tugas tersebut.
Dimasa itu kampung Taniran dipimpin oleh oleh seorang pambakal
yang bernama Abah Saleh. Pambakal dan seluruh masyarakat kampung
Taniran sangat gembira demi mengetahui kesediaan Tuan Mufti untuk
mengutus seorang guru agama guna memimpin masyarakat kampung Taniran
dalam masalah keagamaan, lebih-lebih lagi mereka sangat bersyukur karena
akan memperoleh seorang guru agama dari keturunan Tuan Mufti sendiri
yang akan membawa mereka untuk meningkatkan keyakinan beragama dan
meningkatkan amaliah.
Segera setelah kabar gembira itu diterima, masyarakat kampung
Taniran segera mengatur penjemputannya ke kampung Dalam Pagar,
Martapura. Penjemputannya dilakukan melalui perjalanan sungai Nagara
(Daha) menggunakan perahu yang khusus didatangkan dari kampung Taniran,
yaitu perahu bagiwas, lengkap dengan awak serta juru mudi yang bernama
Su Salum.
Untuk menyatakan rasa syukurnya, masyarakat kampung Taniran
menghibahkan tanah perkebunan kelapa kepadanya seluas kurang lebih
sepuluh borongan (28,900 m). Tanah tersebut dipergunakannya untuk
komplek pengajian dan perumahan. Di tanah itulah sekarang berdiri masjid
As-Sa’adah, yang didirikan pada tahun 1923 M, beserta rumah tempat
tinggal beberapa juriatnya.
Pemerintah Belanda menawarkan kepadanya jabatan mufti yang
kosong setelah ditinggal wafat kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad.
Namun, ia menolak untuk menjadi pejabat pemerintah dan lebih memilih
kedudukan nonformal sebagai tokoh masyarakat, suatu pilihan yang sangat
berani dan tepat disaat mana pemerintah Belanda dengan gigihnya tengah
memperkuat kedudukannya.
Di kampung Taniran inilah awal bermula tempat pendidikan agama
atau basis Haji Sa’duddin, dimana setiap harinya didatangi orang untuk
belajar selain dari masyarakat Taniran sendiri, juga berasal dari
berbagai daerah dan tempat di Hulu Sungai seperti dari Barabai, Nagara,
Amuntai, dsb.
Haji Sa’duddin, seorang ulama cicit Syeikh Muhammad Arsyad Al
Banjari, yang berkiprah sebagai generasi penerus datuknya, berjuang
tanpa pamrih dalam membina masyarakat dan mencetak kader-kader ulama di
Hulu Sungai, khususnya di Taniran.
Ia terkenal sebagai seorang ulama yang wara’, qana’ah, lemah
lembut, pemurah, tawadhu, adil, kasih sayang, berani dalam menegakkan
yang hak dan memberantas kebatilan. Ia juga seorang ulama yang terkenal
dengan tingkah laku yang menjadikan pelajaran kepada murid yang tanggap
melihatnya (bilhal), sehingga bagi murid-muridnya yang selalu berada
disampingnya serta banyak bergaul dengannya secara tidak langsung dapat
memetik atau mengambilnya terus-menerus ilmu yang ia berikan.
Dalam ketelitiannya menjaga diri dan memelihara hal-hal yang
dapat mengganggu atau merusak sifat-sifat terpuji (mahmudah) yang
melekat pada dirinya, maka setiap kali ia akan mandi, ia tidak mau
membuka bajunya, karena menjaga agar badannya jangan sampai terbuka
sehingga auratnya tampak kelihatan orang lain. Karena itu apabila ia
mandi selalu dengan pakaiannya yang melekat pada badannya waktu itu.
Disamping itu, dalam kebiasaanya melaksanakan selamatan atau
haul atau jamuan makan, maka setiap kali ia membeli ayam atau kambing
dan sebagainya, ia tidak mau langsung menyembelihnya, namun ia pelihara
dulu beberapa waktu dengan memberi makanan atau umpan yang ia sediakan
sendiri sehingga ternak itu makanannya dijamin tidak memakan makanan
yang mungkin memakan tumbuh-tumbuhan milik orang atau lainnya, selain
itu ia juga tidak mau membeli ayam atau itik di pasar melainkan di
kampung-kampung, dalam arti kata langsung dari pemiliknya.
Demikian bilhal Haji Sa’duddin yang merupakan pelajaran yang
sangat mahal nilai dan artinya dalam kita menjalani hidup dan kehidupan
ini. Ia adalah seorang ulama yang selalu menyukai khalwat sehingga jika
ingin melihat atau bertemu dengannya hanyalah pada saat ia mengajar atau
shalat di masjid. Apalagi sejak kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad
berpulang ke Rahmatullah di Pagatan pada hari Sabtu, 23 Rabiul Awwal
1275 H. Maka Haji Sa’duddin lebih banyak menyendiri, dan khalwat dan
jarang sekali ke Martapura, karena kakak yang selalu dikunjungi sudah
tidak ada lagi.
Haji Sa’duddin menikah di Amawang, Kandangan dengan Puan Halimah
(Gelar Diyang Gunung) memperoleh enam orang anak, lima putera dan
seorang puteri :
1. Aisyah
2. Muhammad Nashir
3. Haji Abdul Ghani
4. Haji Abdul Jalil
5. Haji Abdul Qadir
6. Haji Muhammad Sa’id
Kemudian ia menikah lagi di Amuntai dengan Puan Angka dan
mendapatkan lima orang anak, dua orang putera dan tiga orang puteri
yakni :
1. Haji Muhammad Thaher
2. Zainab
3. Kamaliyyah
4. Haji Abdurrasyid
5. Hasanah
Lebih kurang 45 tahun guru besar ini mencurahkan darma baktinya
terhadap agama, bangsa, dan umatnya, setelah berhasil mencetak
ulama-ulama penerus yang tersebar di sekitar Hulu Sungai tempo dulu,
maka pada tanggal 5 Shafar 1278 H atau sekitar tahun 1858 M, ia
berpulang ke Rahmatulah dalam usia 84 tahun. Tiga hari menjelang
kewafatan, ia mencuci kain kafan. Salah seorang sahabatnya yang bernama
Ninggal mengatakan bahwa tuan akan pulang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar