Senin, 11 Maret 2013

KHAS HSS

Senin, 11 Maret 2013


 Plang penunjuk Makam Datu Taniran
Desa Taniran Kubah Kec. Angkinang Kab. HSS






 Lokasi Makam Datu Taniran


DATU TANIRAN

Sa’duddin bernama asli Haji Muhammad Thaib bin Haji Muhammad As’ad bin Puan Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ia dilahirkan di kampung Dalam Pagar, Martapura pada tahun 1194 H. Yang bertepatan dengan tahun 1774 M. Ia sempat hidup dan bertemu dengan datuknya Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Sejak kecil dia telah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya sendiri, yaitu Haji Muhammad As’ad, yang ketika itu menjabat sebagai mufti di kerajaan Banjar. Dia selalu berkhidmat dan melayani kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad (Mufti Lamak). Dimanapun dan kemanapun Mufti Haji Muhammad Arsyad berada, dia selalu berada disampingnya.

Setelah tampak pertumbuhan bakat dan kecerdasannya, terutama dalam bidang pemahaman agama Islam. Maka oleh orangtuanya di usia 25 tahun dia diberangkatkan ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji serta memperdalam ilmu pengetahuan agama dengan belajar kepada guru-guru besar atau para ulama besar di kota Mekkah saat itu.

Di usia 35 tahun, setelah bermukim dan menimba ilmu di tanah suci Mekkah selama 10 tahun , ia kembali ke tanah air dengan membawa ilmu pengetahuan yang sarat dan luas serta gelar al-alim al-alamah. Sekembalinya dari berhaji dan menuntut ilmu di tempat sumbernya, ia tidak langsung berdakwah namun ia langsung berkhadam kepada orang tuanya, yaitu Mufti Haji Muhammad As’ad dan juga selalu mengikuti saudara-saudaranya yang berdakwah ke berbagai daerah.

Dua tahun sekembalinya dari berhaji dan menimba ilmu di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka pada tahun 1812 M ia berhijrah dari kampung Dalam Pagar, Martapura menuju kampung Taniran, Angkinang, HSS. Ia menetap di kampung Taniran adalah untuk menjadikan kampung tersebut sebagai tempat untuk mengajar dan sebagai pusat atau basis penyiaran agama Islam untuk daerah Banua Enam.

Adapun penyebab kedatangan dan berhijrahnya ia ke Taniran adalah karena kedatangan tokoh masyarakat kampung Taniran pada masa itu kepada Mufti Haji Muhammad As’ad serta bermohon kepada orangtuanya agar dapat berkenan mengirim seorang guru agama ke kampung Taniran guna memberikan pendidikan agama dan memantapkan keyakinan agama Islam serta pengamalannya, dan bermohon agar guru agama tersebut bersedia untuk tinggal menetap di kampung Taniran.

Demi mengetahui hal yang demikian, maka Haji Muhammad As’ad selaku seorang ulama yang berkewajiban menyampaikan dimanapun juga dan selaku Mufti Kerajaan Banjar merasa bertanggung jawab atas pendidikan agama di wilayah kekuasaan kerajaan Banjar, maka dengan senang hati dan dengan penuh keikhlasan ia menunjuk dan mengutus anaknya sendiri, yang baru saja pulang dari berhaji dan menuntut ilmu di tanah suci, yaitu Haji Muhammad Thaib, karena dianggap mampu dan sanggup untuk melaksanakan tugas tersebut.

Dimasa itu kampung Taniran dipimpin oleh oleh seorang pambakal yang bernama Abah Saleh. Pambakal dan seluruh masyarakat kampung Taniran sangat gembira demi mengetahui kesediaan Tuan Mufti untuk mengutus seorang guru agama guna memimpin masyarakat kampung Taniran dalam masalah keagamaan, lebih-lebih lagi mereka sangat bersyukur karena akan memperoleh seorang guru agama dari keturunan Tuan Mufti sendiri yang akan membawa mereka untuk meningkatkan keyakinan beragama dan meningkatkan amaliah.

Segera setelah kabar gembira itu diterima, masyarakat kampung Taniran segera mengatur penjemputannya ke kampung Dalam Pagar, Martapura. Penjemputannya dilakukan melalui perjalanan sungai Nagara (Daha) menggunakan perahu yang khusus didatangkan dari kampung Taniran, yaitu perahu bagiwas, lengkap dengan awak serta juru mudi yang bernama Su Salum.

Untuk menyatakan rasa syukurnya, masyarakat kampung Taniran menghibahkan tanah perkebunan kelapa kepadanya seluas kurang lebih sepuluh borongan (28,900 m). Tanah tersebut dipergunakannya untuk komplek pengajian dan perumahan. Di tanah itulah sekarang berdiri masjid As-Sa’adah, yang didirikan pada tahun 1923 M, beserta rumah tempat tinggal beberapa juriatnya.

Pemerintah Belanda menawarkan kepadanya jabatan mufti yang kosong setelah ditinggal wafat kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad. Namun, ia menolak untuk menjadi pejabat pemerintah dan lebih memilih kedudukan nonformal sebagai tokoh masyarakat, suatu pilihan yang sangat berani dan tepat disaat mana pemerintah Belanda dengan gigihnya tengah memperkuat kedudukannya.

Di kampung Taniran inilah awal bermula tempat pendidikan agama atau basis Haji Sa’duddin, dimana setiap harinya didatangi orang untuk belajar selain dari masyarakat Taniran sendiri, juga berasal dari berbagai daerah dan tempat di Hulu Sungai seperti dari Barabai, Nagara, Amuntai, dsb.

Haji Sa’duddin, seorang ulama cicit Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang berkiprah sebagai generasi penerus datuknya, berjuang tanpa pamrih dalam membina masyarakat dan mencetak kader-kader ulama di Hulu Sungai, khususnya di Taniran.

Ia terkenal sebagai seorang ulama yang wara’, qana’ah, lemah lembut, pemurah, tawadhu, adil, kasih sayang, berani dalam menegakkan yang hak dan memberantas kebatilan. Ia juga seorang ulama yang terkenal dengan tingkah laku yang menjadikan pelajaran kepada murid yang tanggap melihatnya (bilhal), sehingga bagi murid-muridnya yang selalu berada disampingnya serta banyak bergaul dengannya secara tidak langsung dapat memetik atau mengambilnya terus-menerus ilmu yang ia berikan.

Dalam ketelitiannya menjaga diri dan memelihara hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak sifat-sifat terpuji (mahmudah) yang melekat pada dirinya, maka setiap kali ia akan mandi, ia tidak mau membuka bajunya, karena menjaga agar badannya jangan sampai terbuka sehingga auratnya tampak kelihatan orang lain. Karena itu apabila ia mandi selalu dengan pakaiannya yang melekat pada badannya waktu itu.

Disamping itu, dalam kebiasaanya melaksanakan selamatan atau haul atau jamuan makan, maka setiap kali ia membeli ayam atau kambing dan sebagainya, ia tidak mau langsung menyembelihnya, namun ia pelihara dulu beberapa waktu dengan memberi makanan atau umpan yang ia sediakan sendiri sehingga ternak itu makanannya dijamin tidak memakan makanan yang mungkin memakan tumbuh-tumbuhan milik orang atau lainnya, selain itu ia juga tidak mau membeli ayam atau itik di pasar melainkan di kampung-kampung, dalam arti kata langsung dari pemiliknya.

Demikian bilhal Haji Sa’duddin yang merupakan pelajaran yang sangat mahal nilai dan artinya dalam kita menjalani hidup dan kehidupan ini. Ia adalah seorang ulama yang selalu menyukai khalwat sehingga jika ingin melihat atau bertemu dengannya hanyalah pada saat ia mengajar atau shalat di masjid. Apalagi sejak kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad berpulang ke Rahmatullah di Pagatan pada hari Sabtu, 23 Rabiul Awwal 1275 H. Maka Haji Sa’duddin lebih banyak menyendiri, dan khalwat dan jarang sekali ke Martapura, karena kakak yang selalu dikunjungi sudah tidak ada lagi.

Haji Sa’duddin menikah di Amawang, Kandangan dengan Puan Halimah (Gelar Diyang Gunung) memperoleh enam orang anak, lima putera dan seorang puteri :
1. Aisyah
2. Muhammad Nashir
3. Haji Abdul Ghani
4. Haji Abdul Jalil
5. Haji Abdul Qadir
6. Haji Muhammad Sa’id

Kemudian ia menikah lagi di Amuntai dengan Puan Angka dan mendapatkan lima orang anak, dua orang putera dan tiga orang puteri yakni :
1. Haji Muhammad Thaher
2. Zainab
3. Kamaliyyah
4. Haji Abdurrasyid
5. Hasanah

Lebih kurang 45 tahun guru besar ini mencurahkan darma baktinya terhadap agama, bangsa, dan umatnya, setelah berhasil mencetak ulama-ulama penerus yang tersebar di sekitar Hulu Sungai tempo dulu, maka pada tanggal 5 Shafar 1278 H atau sekitar tahun 1858 M, ia berpulang ke Rahmatulah dalam usia 84 tahun. Tiga hari menjelang kewafatan, ia mencuci kain kafan. Salah seorang sahabatnya yang bernama Ninggal mengatakan bahwa tuan akan pulang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...