Sabtu, 30 Januari 2010

KUMPULAN CERPEN

SABTU, 24 APRIL 2010

TAK DISANGKA

Oleh : Akhmad Husaini

Orang-orang bergegas pulang untuk segera membebaskan hawa dingin dengan kehangatan bersama keluarga. Akan tetapi mereka terbatas pada penduduk sekitar daerah tersebut. Bagi para pelancong justru merupakan kenikmatan tersendiri.

Anak-anak muda tenggelam dalam kehangatan jaket masing-masing. Warna-warninya amat jelas, biru dan merah serta kelabu kehijauan. Mereka berjalan tanpa arah. Yang jelas mencari kehangatan dengan cara masing-masing. Lebih banyak berdiri dekat ranting-ranting kayu yang dibakar seperti api unggun untuk menghangatkan tubuh. Sembari menikmati jagung dan kacang rebus yang dijual oleh warga setempat. Memang di daerah pegunungan macam Loksado tanaman itu dapat diperoleh sepanjang tahun, setiap musim.

Berbeda dengan yang lainnya, Faisal dan Hendry berdiri di tepi jalan. Kedinginan bibir Hendry sedikit bergetar, yang jelas berwarna biru. Faisal bersedikap. Kadang menggerak-gerakkan jemarinya agar tidak kaku. Keduanya tengah menunggu mikrolet yang hendak membawanya pulang ke Magara. Pada petang hari, mikrolet tidak sebanyak pada siang hari walau kadang sopir mikrolet masih menunggu penumpang hingga malam hari.

" Hendry," bisik Faisal sambil menyentuh lengan temannya.

" Kau lihat tuh cewek itu? Tuh yang pakai jaket panjang."

Dengan sudut matanya Hendry memperhatikan seberang jalan. Apa yang dikatakan Faisal walau tanpa disertai tunjukkan lekas tertangkap Hendry. Seorang wanita cantik bertubuh ramping, berdiri kedinginan. Matanya senantiasa memperhatikan kelokan jalan dimana mikrolet diharapkan muncul. Bahkan pandangannya tak lepas dari kelokan tersebut.

" Lumayan," bisik Hendry, dan berpaling kepada Faisal.

" Bagaimana ?"

" Boleh," sahut Faisal mengedipkan matanya.

Tanpa sepengetahuan siapapun secara tak langsung keduanya telah sepakat untuk mendekati cewek manis tersebut. Sedikitnya akan menggodanya. Sebanyaknya, keduanya bermaksud meraih dan memiliki cewek tersebut untuk sesaat. Hendry tersenyum ke arah cewek tadi tapi tidak diketahui.

Perasaan hangat mulai menjalari keduanya. Hendry menggerak-gerakkan kakinya. Sesekali melempar pandang pada cewek itu yang masih juga mengarahkan pandangan ke kelok jalan menunggu mikrolet lewat.

Ketika sebuah mikrolet muncul, cewek tadi langsung ke tengah dan melambaikan tangan. " Ayo," Faisal menyentuh Hendry dan keduanya segera bergegas.

" Padang Batung atau Angkinang dik," teriak kenek mikrolet.

Cewek tadi sudah lebih dahulu naik.

" Ke Nagara ?" tanya Faisal mendekati kenek sambil melirik ke dalam.

" Cuman sampai Padang Batung," sahut kenek.

" Bagaimana Hend ? " bisik Faisal menoleh kepada Hendry.

" Naik saja. Nanti di Padang Batung cari lagi. Beres pokoknya," ujar Hendry pelan dan mencuri pandang ke dalam. Cewek tadi duduk manis. Sesaat dada Hendry berdesir waktu memandangnya.

" Nanti di Padang Batung bisa ganti yang jurusan Nagara, dik, " ujar kenek ketika mikrolet melewati kelokan.

" Sudah malam begini, nggak ada yang langsung ke Nagara."

Tentu saja keduanya tak menolak, langsung naik dengan segera agar tidak terbentur atap mikrolet. Penumpang belum begitu banyak. Hendry dan Faisal sengaja duduk di depan cewek tersebut. Sesaat setelah dalam sekejap keduanya sudah mengenalkan diri.

" Turun dimana ?" tanya Faisal persis waktu mikrolet menikung hingga Faisal terpaksa berpegangan pada Hendry dan terpekik kecil.



KORIDOR WAKTU YANG BERLALU

(Sebuah Catatan Perjalanan Hidup)

Oleh : Akhmad Husaini


Tengah hari usai shalat Dzuhur dan makan siang, Aku, Yadi, Ahyar, Asadi, dan Dudu pergi ke sawah. Saat itu tanaman padi sudah tua. Sementara air mulai mengering. Mentari panas menggantang.

Kini kami akan mencari ikan. Bawa wadah dan peralatan mencari ikan. Tangguk, ember, dsb. Jadi peralatan perang.

Kami melintasi areal persawahan warga. Kami tanpa tujuan. Tapi bila melihat ada kubangan air di sawah kami turun. Bakacal. Ada papuyu dan haruan yang kami dapat. Tak peduli lucak.

Bila lelah kami berteduh di rampa. Duduk ngobrol ngalur ngidul. Saling ejek. Duh asyiknya.

Pada malam hari kami belajar mengaji di tempat Haji Ijun. Setiap menyelesaikan juz kami selamatan.

***

Sore itu orang tuaku menggiling padi ke Tawia. Aku ikut. Idim temanku juga ikut. Ia minta izin lebih dulu dengan orang tuanya. Kami berjalan kaki menuju tempat penggilingan yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumah kami.

Untuk pertama kali aku menyaksikan buruh penggilingan padi bekerja. Di belakang pabrik ada gundukan seperti gunung berupa limbah pabrik berupa dedak padi yang dibakar dan menjadi abu.***



JAWABAN DARI SEBUAH HARAPAN

Oleh : Akhmad Husaini

Harapan-harapan indah nang dibawa matan Banjarmasin itu wahini maulah Madan sangat terpukul tatkala menemui Ipah sehari sesudah beristirahat bersama ibu dan adik-adiknya. Ipah selalu menutup diri. Ia terus menghindar jika Madan mendatangi rumahnya. Mengapa? Apakah betul Ipah telah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain?

Malam itu di Kandangan adik-adik Madan sudah tidur sejak lepas Isya. Ibunya sedang menjahit baju Madan yang robek diketiaknya. Madan tiduran di dipan sebelahnya. Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, ia jarang bicara apalagi bercanda. Hal itu cukup menyiksa ibu dan ketiga adiknya. Padahal sebelum ke Banjarmasin Madan sangat akrab dengan mereka. Hari demi hari di rumah gubuk itu dilalui dengan gembira. Suara tertawa tidak pernah berhenti walaupun kadang-kadang makan cuma dua kali sehari. Ibu mungkin tidak tahu bahwa hati Madan sedang terbelah. Ia malu, tidak dapat memenuhi harapan mereka. Pulang dari merantau ke Banjarmasin ia tetap tidak mampu meringankan beban ibunya. Terutama untuk ikut membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan Madan sempat mengambil upah memanen padi di Gambut. Namun pekerjaan tersebut waktunya temporer. Satu bulan bekerja bulan berikutnya tidak ada lagi pekerjaan.

Kini Madan terganggu oleh perubahan sikap Ipah. Bukankah tidak patut bagi seorang anak, sebelum sanggup berdikari dan membalas bakti kepada orangtua sudah memikirkan soal cinta ?

Namun apapula yang mesti dilakukan apabila perasaan itu datang tanpa diundang.

" Dan, kamu kok murung saja. Ada kesulitan apa Dan ?" tanya ibunya seraya menyusupkan benang terakhir dibaju robek itu.

Madan tidak menjawab. Ia bangkit dan duduk berjuntai di pinggiran dipan.

" Ah nggak apa-apa Bu. Biasa saja," kilah Madan akhirnya.

" Lho. Aku kan ibumu. Katakan terus terang apa masalahnya ?" desak ibu.

" Soal Ipah ? "

Madan terperangah. Ia mau menjawab bukan namun mulutnya terasa terkunci. Ingin menggeleng tapi ternyata mengangguk.

" Begini Dan. Ibu telah berbuat lancang. Mendahului rencanamu," ujar ibu sambil meletakkan dan melipat baju Madan di lemari tua.

" Lancang bagaimana ? " Madan deg-degan.

" Ibu telah mendatangi Acil Bayah, mamanya Ipah. Tadi siang."

" Ha ? " Madan terbelalak. Pasti ibunya meminta agar Ipah jangan terus mengganggunya. Padahal Ipah tidak pernah mengganggunya. Justru Madanlah yang sering menggodanya, yang menginginkan dia.

" Ibu katakan terus terang bahwa engkau mencintai Ipah dan aku melamar Ipah untuk jadi isterimu," ucap ibu hampir tidak tertelan oleh pendengaran Madan. Suaranya yang cukup keras bagi Madan terlalu pelan.

Mata Madan berputar-putar, bukan kepalanya yang tujuh keliling sebagai mana dirasakannya sejak beberapa waktu lalu.

Madan berbunga-bunga hingga tak mampu mengemukakan sesuatu kecuali lenguhan "ah ibu".

" Bagaimana pendapat mama Ipah ?" tanya Madan berdebar.

Ibu Madan tidak langsung menjawab. Ia mengitar dulu.

" Apa engkau yakin Ipah mencintaimu ? "

Madan terhentak bingung. Benar juga. Mengapa ia menanyakan pendapat mamanya, Acil Bayah? Mengapa ia tidak menanyakan pendapat Ipah sendiri.

" Saya menyangka begitu Bu," jawab Madan diliputi dengan kebimbangan. Bu Madan menatap anaknya. Ada cahaya memelas terpancar dari pandangannya. Iba.

" Soal mamanya sudah beres Dan. Acil Bayah gembira sekali engkau bermaksud memperisteri anak gadisnya."

" Alhmbdulillah," Madan terhenyak senang di tempatnya.

" Tapi urusan belum selesai," potong ibunya, menebang kebahagiaan Madan.

" Urusan apa Bu ?" gumam Madan gemetar.

" Besok pagi engkau ditunggu Acil Bayah untuk bicara empat mata."

Ditunggu Acil Bayah ? Mengapa bukannya ditunggu Ipah ? Mengapa yang minta bicara empat mata ibunya ? Ada persoalan apa ? Aneh. Ketika dengan sudah susah payah jam-jam pada hari itu dilewatinya dalam tidur serba gelisah. Pagi sekali jauh sebelum Subuh ia sudah bangun tidur dan i'tikaf di Langgar Al Kautsar.

Kyai Abduh bahkan baru datang setengah jam kemudian. Padahal biasanya Kyai Abduh yang berada di langgar pertama kali.

Madan mencegat Kyai Abduh menjelang Pak Saberi tiba untuk memukul bedug dan mengumandangkan adzan.

" Kyai, saya memohon restu kyai," ucap Madan setengah berbisik sebab tak kuat menahan kelembaban hatinya memikirkan bagaimana bakal dihadapinya nanti apabila berjumpa dengan Acil Bayah, mamanya Ipah.

" Untuk apa nak Madan ? " tanya kyai Abduh dalam pandangan Madan wajahnya makin bersinar dalam usianya yang kian lanjut.

" Saya ingin mengawini Ipah Kyai, " ujar Madan takut-takut. Sejelek-jelek dirinya ia adalah murid Kyai Abduh dimasa kecilnya. Madan masih ingat waktu duduk dibangku SD dengan teman-temannya se kampung belajar mengaji pada Kyai Abduh setiap hari usai shalat Maghrib. Karena beliaulah Madan dan kawan-kawannya bisa mengaji.

Madan khawatir Kyai Abduh akan merintangi niatnya. Sebab Acil Bayah dulu adalah bekas panjapinan. Sementara Ipah didesas - desuskan sebagai anak jadah.

" Alhamdulillah, " ternyata Kyai Abduh berwajah terang mendengar niat suci itu.

" Tapi mama Ipah bekas panjapinan. Kabarnya Ipah anak tidak sah Kyai," sanggah Madan, takut Kyai Abduh alhamdulillahnya basa-basi.

Kyai Abduh menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.

" Dan. Panjapinan itukan pekerjaannya. Tidak ada hubungannya dengan kelakuan atau buruknya seseorang. Sedangkan kabar tentang Ipah anak tidak sah itukan cuma kabar angin saja. Kalaupun benar dosa itu tidak sepatutnya menjadi beban si anak. Karena anak dilahirkan dari pernikahan atau perzinahan, tetap suci Dan. Yang bertanggung jawab adalah orangtuanya. "

Kini Madanlah yang menggumamkan alhamdulillah dibibir dan hatinya. Dengan hati besar, pukul delapan pagi Madan sudah duduk di rumah Ipah, menanti Acil Bayah yang sedang tanggung menggoreng kerupuk Bamban. Ipah tidak muncul sama sekali.

Beberapa saat dilanda tanda tanya dan kecemasan sendirian Madan sempat berjanji, apapun yang diminta Acil Bayah ia akan bersedia meluluskannya asalkan boleh mengawini Ipah.

" Maaf ya Dan, kamu terpaksa menunggu agak lama," ucap Acil Bayah setelah duduk menemui Madan.

" Ah tidak apa-apa," jawab Madan setengah menunduk.

" Begini Dan. Apa tekadmu sudah bulat hendak menikahi Ipah ?" tanya Acil Bayah langsung memasuki persoalan pokok.

" Dari dulu saya mencintai Ipah," ujar Madan pasti.

" Aku senang Dan. Tapi Ipah sedang dilanda kebingungan. Ia bimbang hendak menerima lamaranmu."

Geledek menyambar Madan ditelinganya. Gempa menindih Madan didadanya.

" Mengapa Bu ? Apakah Ipah sudah punya pilihan lain ?"

Acil Bayah tersenyum. " Tidak Dan. Ia mengaku sebetulnya sangat mencintaimu."

Geledek berlalu. Gempa menyurut. Cuma angin sepoi belum bertiup. Madan bertanya ragu-ragu. " Jadi apa keberatannya Bu ?"

Acil Bayah memandang ke langit-langit yang atapnya terbuat dari daun rumbia dan mulai tiris bila hujan turun karena sudah tiga tahun belum diganti. Semenjak berhenti jadi panjapinan tambahan lagi setelah menjanda, Acil Bayah hampir tak bisa memberi makan cukup buat anak satu-satunya, Latifah. Sesudah mengumpulkan keberaniannya, Acil Bayah lalu berkata, " Ipah merasa telah mengkhianatimu selama di Banjarmasin. Ia tergoda oleh pemuda asal Amuntai bernama Hafiz. Tubuhnya telah dinikmati pemuda itu, meskipun untungnya ia tetap tak mau menyerahkan kehormatannya. Apakah engkau tidak keberatan menerima Ipah dalam keadaan seperti itu ? "

Diam. Itulah yang terjadi saat itu. Madan diam. Acil Bayah diam. Barangkali Ipah di dalam biliknya pun diam. Bahkan daun kalangkala disamping rumah ikut diam. Kemudian mata Madan membasah. Nafasnya tersengal-sengal, betapapun ia berusaha menekan kegalauan hatinya. Namun akhirnya ia memaksa diri untuk menjawab. " Lebih dari itupun takkan menggagalkan tekad saya Bu. Saya tetap mencintainya."

Pilar itupun roboh. Pilar ketegangan. Mendung itupun sirna. Mendung ketakutan. Matahari itupun makin benderang. Matahari kecerahan. Ipah tiba-tiba keluar dari dalam biliknya dan menjatuhkan diri dimuka lutut Madan.

" Maafkan saya, Kak."

Atas persetujuan kedua belah pihak, hari perkawinan ditentukan dua bulan lagi. Oh alangkah indahnya dari detik setelah itu. Madan dan Ipah menyatu kembali dalam cinta yang tulus.

Kandangan, Februari - April 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...