OUTLINE NOVEL : AAMB
1. Ayah dan Ibu
2. Kakek dan Nenek
3. Masa SD
4. Masa MTsN
5. Masa Aliyah
6. Masa PSBR
7. Bakat Menulis
8.
Perempuan-Perempuan Pemikat
9. Radio Kesayangan
10. TK Al-Qur’an
11. Tembok Rel
12. Buka Tabat
13. Sawah Keluarga
14. Pemuda Kampung
15. Buruh Tani
16. Mangangarun
17. Kerja di MTsN
Angkinang
18. Ke Kotabaru
19. Kegiatan Pagi
Hari
20. Kegiatan Sore
Hari
21. Kegiatan Malam
Hari
22. Kegiatan Hari
Minggu / Libur
23. Ikut ASKS
24. Ikut Kemah KT
25. Ikut Napak
Tilas
26. Ikut ke Grogot
27. Gerbang
28. Keluarga Besar
(alm) H. Saderi
29. Punya Televisi
30. Punya Kamera
Digital
31. Punya Sepeda
Motor
32. Jamal T
Suryanata
33. Datu Taniran
34. Makam Muhammad
Ra’is Loknyiur
35. Naik Haji
36. Bulan Ramadhan
37. Ketupat
Kandangan
38. Loksado
39. Jelajah HSS
40. Teman Wartawan
41. Agustusan
42. Yadi Tiklu
43. Deskripsi
Kampung Halaman
44. Profil Teman
45. Menjatu Kasturi
46. KT Anggrek
47. Membuat Kerupuk
Bamban
48. Aisyatur Ridha
49. Sri Wartinah
50. Dalang Igus
51. Bilungka
Langkang
52. Momen Membahagiakan
53. Artis dan Lagu
54. Overa Van Java
Anak Angkinang
Menggapai Bintang
PROLOG
Petang
ini petang yang indah. Teringat kisah masa lalu yang cukup mengesankan. Belajar
mengaji tiap malam usai shalat Maghrib dengan teman se kampung seperti Ahyar,
Dudu, Yadi, Ashadi, dan Idim. Setiap naik juz kami selamatan patungan untuk
membeli kue dan air teh. Usai shalat
saya, Ashadi, Yadi, Ahyar, Dudu, dan Idim ke rumah Abahnya Nisa, disamping
langgar. Kami mulai belajar dari alif-alifan hingga bisa baca Al Qur’an.
Suasana keakraban sangat terasa. Mengaji sekitar satu jam.
MASA DI MTsN ANGKINANG
Waktu
di MTsN Angkinang (1992-1995). Inilah masa yang cukup berkesan selama hidup
saya. Waktu masih duduk dibangku MTsN Angkinang. Teman-teman se kelas yang
masih saya ingat namanya : M. Ardani , Masrin Huzairin, Zainuddin, Khairil
Anwar, Bastani, Maswansyah, Syarkani, Jayadi, Rifani, dll. Sementara teman
perempuan : Margaretta Ayu, Sri Fajaryati, Ika Damayanti, Muhibbah,
Khairunnisa, Rabiatul Adawiah, Maria Ulfah, Rahmi Pertiwi, Inna Yastika,
Yuliani Missa, dll.
Pengalaman
yang cukup berkesan adalah waktu kelas I yakni membolos bersama teman-teman.
Ceritanya hari itu hari Jum’at. Biasa disekolah saat itu diadakan senam. Tapi
kami sekitar lima
orang malah tidak ikut. Lalu dikejar oleh Bapa Syamsu Qamar, guru Penjaskes.
Kami kabur. Sampai melewati Tembok Rel. Karena hari Jum’at tentu pulang lebih
awal. Tapi kami takut ke sekolah. Lantas pulang ke rumah masing-masing. Tas dan
buku ditinggal.
Kenangan
lain yang cukup berkesan adalah membohongi teman sekelas yang bernama Diding. Ada cewek di Angkinang, Rini namanya, yang ngirim surat kepadanya. Padahal
kami sendiri yang nulis. Ia cukup antusias menerima surat cinta tersebut.
Nama-nama
teman saya di tsanawiyah cukup unik dan lucu-lucu. Ada sejarahnya masing-masing.
Diding
Japun, disebut demikian karena jalannya berlenggang seperti itik japun.
Tubuhnya pendek. Jago main catur. Pernah mewakili MTsN Angkinang pada ajang
seleksi Pekan Madrasah tingkat Kabupaten HSS.
Sementara
Maswan Asep, dipanggil demikian karena matanya sedikit cacat. Mirip penyanyi
Asep Irama.
Bastani
Ancir dan Jayadi Ancir, karena berpenampilan kemayu. Senang bergaul dengan
siswa perempuan.
Adi
Cirit, pernah mencret saat upacara bendera. Sebelumya beberapa hari tidak turun
ke sekolah karena sakit bahiraan.
Saat hari Senin masih dipaksakan hadir ke sekolah.
Yayan
King, namanya disebut demikian karena memakai sepeda unik dan antik tiap pergi
ke sekolah.
Kani
Iwak, karena nama ayahnya Syarkawi yang biasa dipanggil Kawi, kalau dibalik
jadi Iwak.
Guru-guru
yang pernah mengajari kami di tsanawiyah adalah : Bp. Hamdi Tanda, Bp.
Kamsyahrani, Bp. H.Makmur, Bp. Surbaini Kaderi, Bp. Ahmid Simin, Bp. Maulani,
Ibu Jaariyah, Ibu Sarbiah, Ibu Murdaniah, Ibu Maghfirah, dll.
KUPANG DAN AWANG
Di tempat saya ada yang namanya
kupang. Yang dimaksud dengan Kupang disini bukan ibukota Nusa Tenggara Timur.
Bukan pula nama daerah di Kabupaten Tapin dan Hulu Sungai Tengah. Tapi
merupakan nama kawasan di desa saya. Tempat tumbuhnya pohon besar bernama
kupang. Tempat wanyi bersarang dan diduga pula sebagai tempat tinggal orang
halus. Sementara Awang adalah tempat alur air pertanian. Tempat bahuma dan
mencari ikan.
TEMANKU MA’MUN SYARIF
Ma’mun Syarif, kawan akrab saya waktu
kecil. Anak dari Kaderi atau Udat. Orangnya pintar lagi cerdas. Waktu SD
pernah mewakili Kabupaten HSS pada ajang lomba mata pelajaran IPA di
Banjarbaru. Setamat SD ia melanjutkan pendidikan ke Ponpes Ibnul
Amin Pamangkih dan Al Falah Banjarbaru.
Sejak kecil saya sudah akrab
dengannya. Karena memang saya se kampung dengannya. Saat
SD ia pernah mengirim atensi di radio swasta
yang ada di kota
Kandangan. Nama samarannya adalah Juragan Kangkung. Dia mengirim salam untuk
teman-teman dan Bapak Syahrudin di SDN Angkinang 1.
Sementara Dugal adalah judul cerpen
Ma’mun Syarif yang dimuat di SKH Banjarmasin Post edisi hari Minggu. Dampak
pemuatan cerpen tersebut menurutnya, nilai pelajaran Bahasa Indonesia cukup
tinggi daripada siswa yang lainnya di Aliyah Ponpes Al Falah, Landasan Ulin,
Banjarbaru, tempat ia menimba ilmu saat itu.
Sekarang Ma’mun berdiam di Gambut
bersama isteri dan anaknya. Selain jadi guru ia juga berjualan di Pasar Gambut.
Saya pernah bermain dengannya. Mencari
jejak. Saat shalat Maghrib ia pernah marah kepada saya saat dipamerkan tentang
dikotil dan monokotil untuk praktek IPA di sekolah besok hari. Ia juga yang
melarang saya merokok. Sehingga sampai kini saya tidak merokok. Terima kasih
kawan !
TEMANKU ADI NANOY
Pernah suatu sore dengan Adi Nanoy
bersepeda arah ke Parincahan pulang senja. Pas ibu saya sakit perut mau
melahirkan. Juga pas ada acara hiburan di Pasar Angkinang. Adi Nanoy sekarang
bekerja di Barabai. Saat ketemu shalat Ied di Masjid Al Aman Angkinang ia nanya
saya sudahkah berkeluarga ? Saya jawab belum. Lalu ia mengingat kenangan masa
SD dulu. Saya dan Banu memang kada katuju
kabibinian, panyupan. ” Lain kaya Razak, raja !”ujar Adi. Adi ingat juga
bila istirahat kami makan nasi di tempat mamanya Mudan yang berada di samping
sekolah.
PEMUDA KAMPUNG
Mengingat tentang orang-orang yang
pernah berjasa terhadap saya. Juga orang-orang yang terkenal di kampung saya
seperti Amat Caca, Muhlan, Cuking, Kacit, Gabau, Ajut, Pandi Dian, Yadi Tiklu.
BERMAIN MUSIK DAN MENYADAP KARET
Ingat
masa kecil dengan Idim (M. Ibrahim) teman se kampung. Ia 2 (dua) tahun lebih
muda dari saya. Setiap hari usai pulang sekolah SD. Kami berdua berteman akrab.
Yang tak terlupakan adalah main musik dan menyadap karet di belakang rumah
saya. Saya buat dua alat musik sederhana. Drum dan gitar. Jangan bayangkan drum
dan gitar benaran. Tapi ini benar-benar sederhana dan buatan sendiri. Drumnya
terbuat dari panci bekas, kaleng bekas, seng bekas, dsb. Sementara gitar
terbuat dari papan dengan senarnya kawat rem yang sudah dilepas dari ikatannya.
Jadilah musik menghentak yang cukup asyik. Mimpi saya jadi pemusik handal
dengan lagu hits saat itu. Kami menempatkan drum tersebut di belakang rumah
saya. Bila selesai dirapikan lalu diletakkan di kolong rumah untuk kemudian
digunakan besok hari. Sementara karet yang disadap berada beberapa puluh meter
dari rumah saya. Milik orang lain. Ada
beberapa batang karet yang pohonnya sudah tua. Rimbun dengan tanaman lainnya
seperti pohon bamban. Karet ini getahnya digunakan orang untuk perekat layang-layang.
Juga untuk anai-anai umpan memancing.
TK ALQUR’AN
Sejarah yang selalu terkenang adalah
saat saya sekolah TK/TPA Al Aman setiap sore. Kami adalah perintis kala itu.
Maksudnya, sebagai santri pertamanya. Berawal dari kegiatan baca tulis Al Qur’an
di SD Inpres di Pulantan setiap sore. Lalu pindah ke Balai Desa Angkinang
Selatan. Kemudian pindah lagi ke SDN Angkinang 2. Setelah itu ke Masjid Al Aman
Angkinang. Tak lama kemudian menempati bangunan baru di samping masjid.
Setiap sore Jum’at diadakan arisan /
yasinan ke rumah santri secara bergantian. Saya ikut bersepeda dengan Adi
Nanoy.
Guru-guru / ustadz yang mengajar di TK
/ TPA : Bp. Apul, Bp. Dahri, Ibu Norliani, Ibu Siti Aminah, Ibu Raudah, dll.
Ma’mun pernah berkelahi dengan Si Boy
(Abdul Khair) di teras masjid Al Aman. Setiap ada kegiatan TK / TPA di
Kandangan kami selalu diikutsertakan. Biasanya ke masjid Al Minnah. Kami naik
mobil pick up Darlan, ayahnya Jannah. Kami juga pernah bajalanan ke Banjarmasin naik mobil
colt L-300 H. Udin / H.Hadi. Ke Kalampayan, Mitra Plaza ,
dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
MENJATU KASTURI
Bila sore tiba, angin ribut berhembus.
Saat seperti itulah yang ditunggu anak-anak di desa saya. Mereka
berbondong-bondong menuju pohon kasturi yang berbuah lebat.
Puluhan anak sudah lebih dulu
berkumpul disana. Mereka siap adu kecepatan saling babanyakan baulih kasturi.
Suasana hiruk-pikuk. Ramai. Asyiknya mendengar buah kasturi jatuh ke tanah.
Yang sulit kala kasturi jatuh ke semak-semak atau ke sungai. Kasturi hanyut dibawa
air.
BULAN RAMADHAN
Ramadhan tiba. Inilah waktu yang
ditunggu-tunggu. Mama bajual puracit di pasar. Saya selalu ikut membantu. Dekat
H. Udin Maci. Malam lilikuran mamasang lampu dari karungkung kalimbuai.
Orangtua saya sering membelikan saya
alili. Malamnya disulut. Duh asyiknya. Saya ikut tarawih di langgar Al Kautsar.
BAKAT
MENULIS
Saya punya mimpi ingin menjadi penulis
jutawan. Walau pendidikan saya Aliyah tapi raja menulis. Hingga di Hulu Sungai
Selatan jadi penulis top. Akrab dengan pejabat, pengusaha, dan insan pers.
Rekening
saya jadi gendut. Pandai memanfaatkan peluang. Saya punya blog. Setiap tulisan
selalu saya posting dulu kesana. Baru bila perlu di ekspor ke media lain.
Terutama ke teman-teman wartawan yang akrab dengan saya.
Nanti
mereka bisa mengirimi uang ke rekening bila tulisan tersebut dimuat medianya.
Selain bekerja sebagai honorer tata usaha di MTsN Angkinang. Tambahan sebagi
penulis lepas ini rekening saya kian membengkak.
Bila
mengirim tulisan selalu saya cantumkan nomor handphone dan rekenig bank.
Memanfaatkan momen Pemilukada HSS 2013 saya bersama rekan dari Banjarbaru
menggarap buku profil pasangan calon Bupati dan Wabup HSS. Lumayan penggarapan
cukup melelahkan namun diimbangi dengan profit yang mantap. Selain itu saya menjadi
akrab dengan pasangan calon, isteri, dan keluarganya. Juga rekeningnya gendut.
Bersama
rekan wartawan bertandang ke rumah pengusaha. Pulangnya disangui. Bagi dua.
Hingga saya bisa beli notebook dan modem. Tak perlu mumet lagi ke warnet. Cukup
di rumah saja menulis dan posting tulisan. Target saya menulis di Kompasiana
adalah terverifikasi. Atau menulis lebih 100 artikel / tulisan. Semoga target
ini tercapai sebelum tanggal 18 November 2013. sebagai kado ulang tahun saya ke
34.
Ke
Haratai sama wartawan rileks sekaligus cari berita. Ia membagi rejeki kepasda
saya karena turut andil membantu garapan laporan tulisannnya.
Enaknya
jadi penulis lepas. Ke lapangan pakai tas berisi kamera, catatan, dsb.
Bersepatu. Pakai baju bertuliskan nama media. Saya mengaku dari media online.
Tapi bertugas sebagai pembantu umum teman-teman wartawan yang bertugas di HSS.
Juga menguirim ke mdia lain yang bonafid. Sewaktu-waktu di media online ada
kiriman ke rekening saya.
Hasil
dari menulis ini saya beternak ayam jago, ayam Bangkok , dan kampung. Saya senang beternak.
Saya
kembali bermasyarakat. Selama ini saya seakan menarik diri dari pergaulan.
Shalat fardhu berjamah di Langgar Al Kautsar.
Memberi
orangtua duit setiap hari. Duh puas dan bangganya. Selain terkenal juga puas
dengan materi. Tak lupa bersedajah ke orang yang membutuhkan dan tempat ibadah.
Beli pakaian baru. Tidak tahi lambuan lagi nang dipakai. Jadi bergairah dalam
bertugas. Semangat ini harus tetap dipertahankan.
MEMBANTU
ORANGTUA
Saya sedang libur. Saya disuruh ibu
mengangkut kayu. Usai mandi dan cuci pakaian saya langsung berangkat. Sudah
berbulan-bulan saya tidak ke luar rumah. Ke sawah pun tidak pernah lagi. Jarak
tempat mengambil kayu sekitar 300 meter dari rumah. Harus menyebanranrang jalan
raya dan jembatan kecil.
Saya
membawa apa adanya. Melintasi jalan setapak penuh Lumpur dan rimbun tetumbuhan
liar. Kayu itu sudah bertumpuk di dalam karung bekas padi. Saya langsung
mengangkat ke atasd bahu untuk pulang. Singgah sebentar di dekat jembatan. Mau
menengok sawah. Saya lihat sawah saya sudah berbuah padi dan mulai menguning.
Mungkin beberapa minggu lagi akan panen. Kerjaan saya bakalan berat. Setelah
itu puklang ke rumah. Mandi lagui.
PEREMPUAN-PEREMPUAN PEMIKAT
Perempuan-perempuan yang pernah memikat
hati saya : Rusna Yulida (adik kelas waktu di MTsN Angkinang), Maria Ulfah
(teman waktu di MAN 2 Kandangan), Tini Chalis Sari, Maria Olfah (teman waktu di
PSBR Budi Satria), Fitrisari, Mariatul Qibtiyah, Siti Noor Rahmah, Yunisa
Amalia (anak murid di MTsN Angkinang).
SW
Yang terakhir kali saat saya bekerja
di sekolah ada teman se kantor yang memikat hati. Sebut saja inisialnya SW. Ia
jago komputer. Hari-hari jadi bergairah saya jalani. Hidup terasa indah. Tak
ada gundah. Entah kenapa pikiran saya selalu terbayang dengan wajahnya yang
cantik. Ingin diperhatikan dan selalu dicintai.
Aku mengagumimu. Karena kau cantik,
ramah-tamah, dan cerdas. Aku suka kamu. Kubayangkan kau tergila-gika padaku.
Kita selalu bertatap muka. Kau tersenyum. Aku jadi linglung dibuatnya. SW…entah
kenapa hari itu kau selalu mengikuti aku. Aku duduk dikursi kau mendekatiku.
Aku tak puas memandang wajahmu yang caem.
SW….kamu harus percaya terhadap
diriku. Harus mengikuti apa yang kumau. Kamu harus menghormatiku. Kamu selalu
rindu aku.
Tiba-tiba kau datangi aku. Aku
gelegapan. Kamu belingsatan. Kita saling beradu pandang. Kau memang cantik.
Entah apa yang kau bayangkan terhadap diriku yang hidup apa adanya ini.
SW….kau memang kaya. Datang ke sekolah
saja dengan pakaian wah. Bawa HP dua biji. Gigi pakai behel. Kamu sudah
sarjana. Sepatu aja di tingggal di sekolah.
Sementara aku hidupnya apa adanya dan
pas-pasan. Sederhana. Mungkin berada di garis ketidakmampuan. Tidak sarjana.
Andai saja aku kaya. Secepatnya kau
kulamar jadi pendamping hidup. Takut keduluan orang lain. Bungas pang pian.
Alangkah indahnya dunia bila aku bisa mempersuntingmu jadi isteri.
Tapi nyatanya itu Cuma impian saja.
Hidupku begini adanya. Tapi aku tak akan patah arang. Aku bisa menaklukanmu.
Dengan cara berdo’a dan berusaha.
SW maukah kau membahagiakanku.
Mahimungani aku. Suatu waktu aku ingin mendengarkan sapaanmu berubah padaku.
Dari Bapak….menjadi Kakak…
SW apa yang kau lakukan tiap pulang sekolah
kea rah hulu ? Kemana ? Sementara kamu kan
pulangnya ke R ?
Kudengar cerita kamu hidup berdua di
rumah dengan nenekmu ? Maaf, ayah, ibu, dan saudara-saudaramu dimana ?
SW apakah kamu tipe perempuan yang mau
menerima apa adanya keadaan diriku ini ?
Sejak kehadiran SW di sekolah aku kian
bergairah bekerja. Mudahan ada jodoh. Aku kawin dengannya. Aku berjkhayal. Dia
suka denganku. Ramah-tamah. Memanggilku Bapak tapi kemudian berubah menjadi
Kakak.
Dia tidak ku suruh lagi. Tapi SW
sendiri yang menawarkan diri : Kak ada yang bisa ulun Bantu ?
SW aku cinta kamu. Mudah-mudahan kita
sejodoh. Aku semakin rajin beribadah selama ada kamu .
Tiba-tiba malam itu ada SMS masuk.
Ternyata SMS dari SW. “ Kak ulun tidak bisa tidur. Memikirkan pian.” Akai Ding
!
Beberapa minggu ini aku mengamalkan
do’a mencari simpati SW. Juga amalan yang lain. Berharap aku menikah dengan SW.
Ada rejeki untuk selamatan resepsi dan jujuran.
Setiap hari aku dan SW berdua terus
duduk di ruang computer. Dia mengetik aku yang membaca naskah tulisan.
Jadi setiap hari selalu berdekatan. SW
lah yang memulai kata cinta. Tapi aku terus terang ada hati juga dengannya.
Terbayang terus wajah cantik dan
lenggok tubuh SW. Mudahan tidak ada lelaki lain yang kepincut dengannya. Aku
saja.
Aku bermimpi kawin dengan SW. Aku jadi
warga R.
MASA DI ALIYAH
Pendidikan
terakhir saya MAN 2 Kandangan. Saya masuk tahun 1995 dan tamat tahun 1998.
Sebelumnya saya sekolah di MTsN Angkinang dari tahun 1992-1995. Sementara SD
di SDN Angkinnag 1 1987-1992.
Setamat
Aliyah saya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi : KULIAH
DI PERGURUAN TINGGI. Karena terbentur masalah ekonomi.
Banyak
kenganga saat saya sekolah di MANDAKA. Karya saya pertama kali masuk koran
berupa kreasi remaja di SKH Banjarmasin
Post. Saya dipuji guru dan teman atas pemuatan karya tersebut.
Lalu
pergi ke sekolah saat kelas I naik sepeda. Kelas II dan III naik taksi
mikrolet. Mikrolet Cuma sampai di terminal saja. Ke Aliyah jalan kaki sekitar 3
kilometer.
Aku
sering berkunjung ke perpustakaan sekolah. Saya menemukan bacaan lawas berupa
majalah Intan Sari terbitan tahun 1970-an. Berisi tentang hal-hal yang berbau
Kalimantan Selatan. Mirip Intisari terbitan Jakarta .
Maria
Ulfah binti H Lamsi adalah cewek paling cantik di Aliyah saat itu. Selain Lisna
Mariani.
Adapun
urutan kelas ku semanjak awal hingga tamat Kelas I C, II C, dan III Bahasa.
Pernah
jadi juara pada classmeeting cabang basket. Bapak Bahrudin adalah wali kelas
saat kelas III Bahasa. Ia berasal dari Marabahan. Paling kenal denganku.
Nama-nama
teman seangkatan ku di Aliyah baik se kelas atau satu sekolah : A. Khairani,
Arsyad, Abdurrahman, Rustam. Maswan, Bastani, Suradi, Rini, Hj. Saidah, Yusma,
Yasir, Saidah, Lina, Mailina, dsb.
Sementara
saat ku di Aliyah kepala sekolah adalah saat kelas I H Amberi Pane. Kelas II
dan III H Saberi Ismail
RADIO KESAYANGAN
Mengenal radio. Hampir satu tahun saya
tak mendengarkan radio lagi. Ini setelah saya memiliki televisi sendiri. Tapi
radio telah punya banyak andil terhadap saya dalam menjalani hidup ini. Banyak
kenangan terukir bersama radio. Karena radiolah saya bisa seperti ini, bisa
menjadi penulis.
Radio milik saya itu bermerk National.
Dibeli sekitar tahun 1999 silam. Itu berawal dari surat saya kepada acil saya yang bermukim di
Mekkah. Tujuannya mau dibelikan walkman. Tapi karena tidak ada yang dimaksud
atau ngalih babawaannya lalu diganti dengan duit saja. Duit itu dikirimkan
kepada tetangga saya yang saat itu sedang naik haji.
Uang itu lantas dibelikan radio di
pasar Kandangan yang saat itu harganya Rp.35.000,-. Kalau sekarang menurut
beberapa teman radio seperti milik saya itu harganya Rp.100 ribu lebih.
Radio itu menggunakan dua buah baterai
ukuran besar yang berkekuatan 1.5 volt. Lewat radio saya mendengarkan
informasi, hiburan, dan dakwah keagamaan. Dengan radio juga berita lebih cepat
saya peroleh.
Karena usianya sudah tua, kerapkali
radio itu ”sakit-sakitan”. Lantas diservis ke tempat teman saya bernama Wahyu.
Syukurlah walau sering ”sakit-sakitan” tapi masih bisa digunakan.
Lewat radiolah saya dapat mengikuti
perkembangan daerah saat ini. Sehingga dapat membawa menggapai cita-cita
sebagai seorang penulis handal dan profesional.
Saat masa keemasan Barito Putera saya
sering menjadikan radio sebagai wadah menerima info juga mendengar laporan
pandangan mata RRI Nusantara III Banjarmasin. Saya bangga karena Barito sering
menang bila main di kandang.
Berita-berita akurat saya dengar dari
BBC London Siaran Bahasa Indonesia, Radio Singapore International (RSI), Radio Australia ,
dsb. Walau cuma mendengar tapi seakan-akan saya berdekatan langsung dengan apa
yang disampaikan.
Karena radio saya pernah dapat hadiah
tape radio jumbo dari Pemkab HSS. Ceritanya, Humas Pemkab HSS dalam rangka
Harjad HSS menggelar kuis udara di RRI Banjarmasin .
Dalam kuis itu diberikan beberapa pertanyaan seputar HSS. Jawaban ditulis di
kartu pos dan dikirimkan ke RRI Banjarmasin. Saya mengirim sekitar 5 kartu pos.
Alhamdulillah setelah diundi, saya menang. Kemudian saya diundang berhadir
mengikuti upacara di Lapangan Lambung Mangkurat, Kandangan untuk mengambil
hadiahnya. Saat itulah pertama kalinya saya berada di depan orang banyak. Juga
menerima hadiah dan bersalaman langsung dengan pejabat Pemkab HSS.
Lewat radio pula saya kenal nama-nama
radio di Kalimantan Selatan. Termasuk yang ada di HSS. Di kota Kandangan ada tiga radio yang sampai
sekarang tetap mengudara. Yakni Radio Purnama Nada FM, Amandit FM, dan Tranza
FM. Yang paling tua adalah Purnama Nada. Dulu namanya Ankathrees. Radio Gema
Amandit pertama kali mengudara saat saya duduk dibangku Aliyah. Pemiliknya H.
Umar Salmin orangtua dari teman saya waktu di Aliyah, Robbi namanya. Penyiar
radio yang terkenal di Kandangan adalah mas Ucha dan mas Aji Permana.
Nama mata acara di Radio Swara Barabai
yanga sampai saat ini masih saya ingat : Kikibaal (Kindai Kisah Batang Alai),
dan Jalur Dua (Jalan Lurus Dunia Akhirat). Penyiar Swara Barabai yang cukup
terrenal adalah Mas Imam, orang Longawang. Nama aslinya M. Thalha. Pernah jadi
anggota DPRD HSS.
Saya mendapatkan banyak manfaat dari
radio. Saya jadi terhibur dengan lagu-lagu yang diputar. Saya bertambah wawasan
karena berita. Saya tercerahkan setelah mendengar ceramah agama. Saban malam
Sabtu saya mendengar ceramah KH. Ahmad Bakeri yang disiarkan secara langsung
oleh RRI Banjarmasin dari ruang induk Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin.
WARUNG GALUH KAUM
Warung sederhana di tepi jalan raya
depan Pasar Angkinang. Setiap hari buka dan cukup ramai dikunjungi pembeli.
Baik oleh warga setempat maupun orang yang singgah baduhara. Pemilik warung itu
adalah Galuh Kaum. Anaknya Unai, Rini, dll. Biasanya saya ke warung itu beli
guguduh panas.
BILUNGKA LANGKANG
Duh
segarnya berbuka puasa kali ini. Selain nasi dan lauknya juga ada bilungka
langkang / timun suri.
Timun
suri diiris tipis dimasukkan ke gelas atau piring. Lalu ditaburi gula dan
sirup. Lebih segar lagi kalau ditambah dengan es batu.
Sudah
berhari-hari kami berbuka dengan bilungka langkang. Kami tidak sulit
mendapatkannya. Kami tinggal memetik dipersawahan yang sudah kering-kerontang
karena kemarau. Dari ukuran kecil hingga sebesar paha orang dewasa.
Ayah
saya menanamnya beberapa bulan lalu. Kini tinggal menikmatinya. Selain bilungka
langkang ada juga jagung dan kacang hijau. Setiap pagi dan sore saya ke sawah.
Walau panas menggantang. Gatal tubuh tidak saya hiraukan. Yang penting saya
gembira. Ikut membantu orangtua.
Bila
sore usai menyiram tanaman saya nonton orang bermain layang-layang. Saya tidak
suka bermain layang-layang. Membuat layang-layang pun saya tak bisa. Cuma
senang melihat. Sambil saya pergi ke sawah yang tak jauh dari anak-anak desa
berkumpul main layang-layang.
Tiap
sore saya membawa ember dari rumah. Untuk menyiram tanaman. Sumur kecil sudah
dibuat dekat pohon rumbia.
Walau
tidak untuk dijual. Namun cukup memenuhi kebutuhan sendiri. Bahkan kalau lebih
bisa dijual atau diberikan kepada orang lain. Bilungka langkang memerlukan air
yang banyak bisa tumbuh subur atau sempurna. Juga sedikit pupuk. Rumput perlu
dibersihkan.
TEMANKU YAYAN KING
Namanya
Ardiani. Biasa dipanggil dengan Yayan. Tapi ketika masuk tsanawiyah dipanggil
King. Ia anak Abdul Hadi, seorang tukang bangunan di Desa Angkinang Selatan.
Cucu H. Said Abdullah, tokoh agama di Desa Angkinang Selatan.
Yayan
King teman akrab saya sejak duduk dibangku SD. Masuk tsanawiyah pun dengannya.
Kenapa dipanggil King ? Karena saat sekolah ke tsanawiyah ia selalu memakai
sepeda yang unik dan antik. Berbeda dengan yang lain.
Kelakuan
di kelas pun berbeda dengan siswa yang lain. Pernah mau disumpali dengan wadai untuk oleh guru. Karena saat
pelajaran sedang berlangsung ia menguap seluas samudera. Mulut tidak ditutup.
Sayang ia berhenti di tengah jalan. Tidak melanjutkan lagi.
POHON JAMBU
Pohon
jambu itu terletak persis di belakang langgar. Beberapa meter dari kuburan.
Tiap ada kesempatan kami naik ke atas. Lantas ke atap seng langgar. Duduk
santai. Cerita ngalur-ngidul sambil menikmati buah jambu biji. Aku, Ahyar, dan
Ashadi kerap berada disana.
MENCARI IKAN
Kalau
musim kemarau bakacal dan manangguk. Biasanya dilakukan saat
pulang sekolah dan cuaca yang panas. Saya, Ashadi, dan Yadi kali ini berangkat
mencari ikan. Kami sudah berpakaian ke sawah. Membawa wadah untuk membuat ikan
yang akan diperoleh nantinya. Ashadi membawa jambih. Yadi membawa tangguk. Saya
juga membawa tangguk. Kami ke arah hilir dulu. Menyusuri sawah yang masih ada
puntalannya. Masih belum ditanami, tapi airnya kacap-kacapan. Kami mencoba
menangguk. Mencari ikan yang banyak.
Saat
libur sekolah maupun pulang sekolah saya pergi memancing ke Awang maupun
Kupang. Pertama memancing menggunakan kail yang terbuat dari batang salak.
Keluarga saya memang bukan penghobi memancing. Maupun pencari ikan. Pangulir.
Disaat orang lain tengah ramainya mencari ikan saya hanya berdiam diri di
rumah.
UMANYA UTUI
Di
Desa Angkinang Selatan terdapat dua nama Umanya Utui. Yakni Umanya Utui Ambrun
dan Umanya Utui Sapida / Isak. Umanya Utui Ambrun ini sudah tua tinggal di
gubuk kecil dekat rumah Ahyar. Suka menginang. Saat bulan Ramadhan pernah
dikunjungi Yayan Hatma bersama seorang turis asing dan direkam dengan kamera
video saat menerima zakat fitrah.
Sementara
Umanya Utui Isak berjualan apam batil. Tempatnya di SDN Angsa setiap hari,
kecuali hari Kamis. Dia berjualan di Pasar Angkinang.
TENTANG ANGKINANG
Apa
yang ada dibenak Anda tatkala disuguhi kata Angkinang ? Beragam jawaban
tentunya akan muncul. Mungkin ada yang teringat dengan Desa Bamban yang
merupakan sentra industri kerupuk berbahan baku ubi kayu. Sekarang, produksinya kian
meningkat mampu menembus pasar Kalsel, bahkan Kalteng, Kaltim, hingga ke Pulau
Jawa.
Juga
makam keramat Datu Taniran, keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu
Kalampayan). Makam ini terletak sekitar enam kilometer dari Kandangan.
Nama
sebenarnya Datu Taniran adalah H. Sa’duddin, kerabat dekat Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari atau dikenal dengan Datu Kalampayan. Dia dilahirkan di Dalam
Pagar, Martapura pada tahun 1774, meninggal pada tahun 1856 di kampung Taniran.
Taniran, tempat H. Sa’duddin menyiarkan agama Islam selama hidupnya sekitar 45
tahun.
Mungkin
pula ada yang masih asing dengan Angkinang ?
Angkinang
adalah nama sebuah desa yang juga nama kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Kini Angkinang telah banyak berubah dan makin berbenah.
Mengingat
Angkinang selalu terkenang masa kecil yang indah. Karena Angkinang merupakan
tanah kelahiran saya. Tak akan terlupakan seumur hidup. Masa dimana hari-hari
untuk bermain dan bermain.
Tembok
Rel (eks jalan kereta api pada zaman penjajahan Jepang yang menghubungkan
Nagara – Mangunang, sebagian besar melintasi wilayah di Kecamatan Angkinang)
merupakan tempat favorit saya. Kenapa ? Karena memang tempat tinggal saya tak
jauh dari kawasan tersebut.
Disana
saya dan teman-teman asyik memancing. Ikan yang didapat berupa ikan haruan
(gabus) dan papuyu (betok). Disana juga kami bermain petak umpet,
perang-perangan, dan bapidak (adu kekuatan biji karet).
Tempat
favorit lainnya waktu masih anak-anak adalah sungai Angkinang. Mandi di sungai,
berceburan kala air sedang pasang. Juga naik rakit yang terbuat dari pelepah
rumbia kering (kumbar). Naik pohon
sangkuang lalu terjun bebas ke sungai. Ber salto ria dari atas jembatan.
Membuat rumah-rumahan dari pasir kala sungai surut berpantai.
Mencari
ikan di sungai sangatlah mudah saat itu. Biasanya saat air sungai dangkal aku
dan teman-teman menangkap ikan dengan tangan telanjang atau bakacal. Ikan yang
didapat seperti puyau, betok, gabus, dsb. Apalagi kalau sedang buka tabat duh
ramainya sungai Angkinang. Buka tabat di bendungan Telaga Langsat diadakan
untuk membersihkan saluran irigasi setahun sekali. Ikan-ikan mudah didapatkan
ketika sungai mulai mengeruh dengan lumpur. Bisa dapat ikan baung, ikan mas,
puyau, dsb.
Sekarang
di Angkinang bertebaran warung makanan / minuman. Tempat persinggahan yang
cukup strategis bagi penumpang taksi maupun kendaraan umum jurusan Banjarmasin – Banua Enam
atau sebaliknya. Juga bus-bus tujuan Kaltim dan Kalteng. Buka sejak siang
sampai malam.
Di
Angkinang juga ada pasar tradisional mingguan yang sering dikunjungi pedagang
dan pembeli. Pasar Bamban setiap hari Senin. Pasar Angkinang tiap hari Kamis.
Pasar Bagambir tiap hari Jum’at.
Ingin
menikmati ketupat dan soto Banjar, bisa datang ke Pasar Angkinang yang banyak
menyediakan kedua menu tersebut. Juga kue-kue tradisional seperti untuk, pais,
ruti galambin, suntul, sumapan, dsb dapat ditemui di tempat yang sama setiap
subuh.
Angkinang
boleh berbangga karena melahirkan orang-orang sukses dan sekarang menduduki
jabatan penting di pemerintahan maupun swasta. Ada yang jadi wartawan, sastrawan, camat, kepala
dinas, anggota DPRD, rektor perguruan tinggi, dsb.
Siapa
saja yang tertarik dengan Angkinang, ditunggu campurtangannya untuk membawa
Angkinang ke arah yang baik, lebih maju, dan sejahtera dari saat ini.
BULAN RAMADHAN
Bulan
suci Ramadhan telah tiba. Suasana bulan Ramadhan kali ini sangat semarak.
Seperti halnya di Hulu Sungai Selatan. Ini dapat dilihat dari antusiasnya para
warga mendatangi tempat ibadah seperti langgar dan masjid untuk melaksanakan
ibadah shalat Tarawih dan tadarrus Al Qur’an. Juga yang lebih penting pada
siang harinya menunaikan ibadah puasa.
Melakukan
puasa di bulan suci Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang lima . Berarti akan
menentukan bagi sempurna tidaknya Islam seseorang.
Puasa
itu pada pokonya ialah menahan diri dari tiga hal yaitu : menahan makan,
menahan minum, dan menahan diri dari melakukan hubungan seksual pada
waktu-waktu tertentu. Itu semua dilakukan dalam rangka membentuk jiwa dan
membina batin kepada kesucian dan kemuliaan.
Namun
dibalik semua itu ternyata kedatangan bulan Ramadhan justru menghadirkan
masalah baru. Seperti adanya warung sakadup, yakni warung yang buka
sembunyi-sembunyi di siang hari. Juga maraknya petasan, mercon, dan kembang api
yang diperjual-belikan secara bebas di pasaran. Karena dapat membahayakan diri
sendiri juga dapat membahayakan orang lain. Selain itu kekhusuan umat Islam
dalam beribadah jadi terganggu.
Masalah
lain adalah keberadaan warung malam yang menjamur. Seperti sudah menjadi
kebiasaan di malam bulan Ramadhan di daerah Hulu Sungai Selatan bermunculan bak
jamur di musim hujan warung-warung dengan sajian khasnya seperti pancuk (rujak).
Keberadaan
warung-warung itu ditunjang dengan keberadaan bangunan yang dibuat secara
permanen. Namun ada pula yang apa adanya. Mereka tidak mementingkan bangunan.
Lagian dalam setahun cuma sekali saja pada bulan Ramadhan dipakai. Di bulan
lain tentu akan menganggur.
Mereka
lebih mengedepankan pelayanan. Memang pelayan warung-warung tersebut melakukan
berbagai cara untuk menarik pengunjung. Yang penting jualan mereka laku.
Biasanya
warung pencok itu buka usai bedug maghrib hingga dinihari. Warung-warung itu
selain menjadi tempat jual beli juga sebagai ajang kencan anak muda.
Warung-warung
tersebut banyak terdapat di tepi jalan raya. Di kawasan Kecamatan Angkinang
saja dapat disaksikan pululan buah warung yang berada di kiri-kanan jalan.
Belum lagi masuk arah kiri-kanan jalan kabupaten.
Entah
ada semacam kesepakatan atau apa ? Yang pasti malam bulan Ramadhan ramai
bertebaran warung pencok. Mereka melakukan ini untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sekaligus menambah pundi-pundi ekonomi. Yakni persiapan lebaran
nanti. Untuk membeli pakaian baru.
Namun
bagi warga yang lain warung itu justru dapat mengganggu ibadah mereka. Lihat
saja saat warga tengah khusyu’ melakukan shalat tarawih maupun tadarrus Al
Qur’an di masjid / langgar. Di warung pencok justru asyik ngobrol dengan suara
yang nyaring. Mereka tak sadar perbuatan itu justru mengganggu ketenangan orang
lain dalam beribadah.
Memang
benar seperti kata pepatah ada gula ada semut. Kalau pelayannya cantik dan
pelayanan yang diberikan cukup baik tentulah banyak pengunjung yang datang.
Yang
banyak datang ke warung pencok biasanya anak muda. Mereka datang dari berbagai
daerah yang masih dalam wilayah di Hulu Sungai Selatan. Selalu rombongan naik
motor. Datang menggoda pelayan wanita di warung yang mereka singgahi. Ada semacam kepuasan
dikalangan pangampasan – istilah ABG Kandangan yang senang mengunjungi warung
malam bila berhasil menggaet pelayan warung.
Puncak
kemenangan dibuktikan saat lebaran nanti. Kalau di bulan Ramadhan ada yang jago
mawarung. Maka disinilah dibuktikan siapa yang berhasil menggaet penjaga warung
untuk diajak rekreasi ke tempat wisata yang banyak dikunjungi orang tiap usai
lebaran. Ia adalah sang jawara selama kehadiran warung pencok di bulan
Ramadhan.
***
Di
Desa Angkinang Selatan terdapat Karang Taruna yang bernama KT Anggrek. Berdiri
tahun 1984 yang pada saat itu kepala desa dibawah kendali Baseran.
Asal
mula terbentuknya organisasi sosial ini adalah ide yang dipelopori Mariatul
Noraina seorang TKS (Tenaga Kerja Sukarela) BUTSI bersama tokoh pemuda yang
mempunyai wawasan dan pendidikan yang lebih tinggi serta keinginan untuk
menggali potensi generasi muda yang ada di Desa Angsela diantaranya Daud
Suryana, Hasan HS, Suhaimi, Musdzalifah, dan Rasunadiah.
Pada
waktu itu mereka berencana ingin membentuk karang taruna dan rencana tersebut
kemudian disampaikan kepada pambakal Baseran. Rencana itu disetujui.
Dibentuklah panitia pembentukan karang taruna dengan ketua Hasan HS, sekretaris
Daud Suryana.
DATU TANIRAN
Saat
ada waktu lowong saya sempatkan untuk membaca riwayat Datu Taniran, begini
ceritanya :
Sa’duddin
bernama asli Haji Muhammad Thaib bin Haji Muhammad As’ad bin Puan Syarifah
binti Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ia dilahirkan di kampung Dalam Pagar,
Martapura pada tahun 1194 H. Yang bertepatan dengan tahun 1774 M. Ia sempat
hidup dan bertemu dengan datuknya Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Sejak
kecil dia telah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya sendiri, yaitu Haji
Muhammad As’ad, yang ketika itu menjabat sebagai mufti di kerajaan Banjar. Dia
selalu berkhidmat dan melayani kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad (Mufti
Lamak). Dimanapun dan kemanapun Mufti Haji Muhammad Arsyad berada, dia selalu
berada disampingnya.
Setelah
tampak pertumbuhan bakat dan kecerdasannya, terutama dalam bidang pemahaman
agama Islam. Maka oleh orangtuanya di usia 25 tahun dia diberangkatkan ke tanah
suci Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji serta memperdalam ilmu pengetahuan
agama dengan belajar kepada guru-guru besar atau para ulama besar di kota Mekkah saat itu.
Di
usia 35 tahun, setelah bermukim dan menimba ilmu di tanah suci Mekkah selama 10
tahun , ia kembali ke tanah air dengan membawa ilmu pengetahuan yang sarat dan
luas serta gelar al-alim al-alamah. Sekembalinya dari berhaji dan menuntut ilmu
di tempat sumbernya, ia tidak langsung berdakwah namun ia langsung berkhadam
kepada orang tuanya, yaitu Mufti Haji Muhammad As’ad dan juga selalu mengikuti
saudara-saudaranya yang berdakwah ke berbagai daerah.
Dua
tahun sekembalinya dari berhaji dan menimba ilmu di kota kelahiran Nabi
Muhammad SAW, maka pada tahun 1812 M ia berhijrah dari kampung Dalam Pagar,
Martapura menuju kampung Taniran, Angkinang, HSS. Ia menetap di kampung Taniran
adalah untuk menjadikan kampung tersebut sebagai tempat untuk mengajar dan
sebagai pusat atau basis penyiaran agama Islam untuk daerah Banua Enam.
Adapun
penyebab kedatangan dan berhijrahnya ia ke Taniran adalah karena kedatangan
tokoh masyarakat kampung Taniran pada masa itu kepada Mufti Haji Muhammad As’ad
serta bermohon kepada orangtuanya agar dapat berkenan mengirim seorang guru
agama ke kampung Taniran guna memberikan pendidikan agama dan memantapkan
keyakinan agama Islam serta pengamalannya, dan bermohon agar guru agama
tersebut bersedia untuk tinggal menetap di kampung Taniran.
Demi
mengetahui hal yang demikian, maka Haji Muhammad As’ad selaku seorang ulama
yang berkewajiban menyampaikan dimanapun juga dan selaku Mufti Kerajaan Banjar
merasa bertanggung jawab atas pendidikan agama di wilayah kekuasaan kerajaan
Banjar, maka dengan senang hati dan dengan penuh keikhlasan ia menunjuk dan
mengutus anaknya sendiri, yang baru saja pulang dari berhaji dan menuntut ilmu
di tanah suci, yaitu Haji Muhammad Thaib, karena dianggap mampu dan sanggup
untuk melaksanakan tugas tersebut.
Dimasa
itu kampung Taniran dipimpin oleh oleh seorang pambakal yang bernama Abah
Saleh. Pambakal dan seluruh masyarakat kampung Taniran sangat gembira demi
mengetahui kesediaan Tuan Mufti untuk mengutus seorang guru agama guna memimpin
masyarakat kampung Taniran dalam masalah keagamaan, lebih-lebih lagi mereka
sangat bersyukur karena akan memperoleh seorang guru agama dari keturunan Tuan
Mufti sendiri yang akan membawa mereka untuk meningkatkan keyakinan beragama
dan meningkatkan amaliah.
Segera
setelah kabar gembira itu diterima, masyarakat kampung Taniran segera mengatur
penjemputannya ke kampung Dalam Pagar, Martapura. Penjemputannya dilakukan
melalui perjalanan sungai Nagara (Daha) menggunakan perahu yang khusus
didatangkan dari kampung Taniran, yaitu perahu bagiwas, lengkap dengan awak
serta juru mudi yang bernama Su Salum.
Untuk
menyatakan rasa syukurnya, masyarakat kampung Taniran menghibahkan tanah
perkebunan kelapa kepadanya seluas kurang lebih sepuluh borongan (28,900 m).
Tanah tersebut dipergunakannya untuk komplek pengajian dan perumahan. Di tanah
itulah sekarang berdiri masjid As-Sa’adah, yang didirikan pada tahun 1923 M,
beserta rumah tempat tinggal beberapa juriatnya.
Pemerintah
Belanda menawarkan kepadanya jabatan mufti yang kosong setelah ditinggal wafat
kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad. Namun, ia menolak untuk menjadi pejabat
pemerintah dan lebih memilih kedudukan nonformal sebagai tokoh masyarakat,
suatu pilihan yang sangat berani dan tepat disaat mana pemerintah Belanda
dengan gigihnya tengah memperkuat kedudukannya.
Di
kampung Taniran inilah awal bermula tempat pendidikan agama atau basis Haji
Sa’duddin, dimana setiap harinya didatangi orang untuk belajar selain dari
masyarakat Taniran sendiri, juga berasal dari berbagai daerah dan tempat di
Hulu Sungai seperti dari Barabai, Nagara, Amuntai, dsb.
Haji
Sa’duddin, seorang ulama cicit Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang
berkiprah sebagai generasi penerus datuknya, berjuang tanpa pamrih dalam
membina masyarakat dan mencetak kader-kader ulama di Hulu Sungai, khususnya di
Taniran.
Ia
terkenal sebagai seorang ulama yang wara’, qana’ah, lemah lembut, pemurah, tawadhu,
adil, kasih sayang, berani dalam menegakkan yang hak dan memberantas kebatilan.
Ia juga seorang ulama yang terkenal dengan tingkah laku yang menjadikan
pelajaran kepada murid yang tanggap melihatnya (bilhal), sehingga bagi
murid-muridnya yang selalu berada disampingnya serta banyak bergaul dengannya
secara tidak langsung dapat memetik atau mengambilnya terus-menerus ilmu yang
ia berikan.
Dalam
ketelitiannya menjaga diri dan memelihara hal-hal yang dapat mengganggu atau
merusak sifat-sifat terpuji (mahmudah) yang melekat pada dirinya, maka setiap
kali ia akan mandi, ia tidak mau membuka bajunya, karena menjaga agar badannya
jangan sampai terbuka sehingga auratnya tampak kelihatan orang lain. Karena itu
apabila ia mandi selalu dengan pakaiannya yang melekat pada badannya waktu itu.
Disamping
itu, dalam kebiasaanya melaksanakan selamatan atau haul atau jamuan makan, maka
setiap kali ia membeli ayam atau kambing dan sebagainya, ia tidak mau langsung
menyembelihnya, namun ia pelihara dulu beberapa waktu dengan memberi makanan
atau umpan yang ia sediakan sendiri sehingga ternak itu makanannya dijamin
tidak memakan makanan yang mungkin memakan tumbuh-tumbuhan milik orang atau
lainnya, selain itu ia juga tidak mau membeli ayam atau itik di pasar melainkan
di kampung-kampung, dalam arti kata langsung dari pemiliknya.
Demikian
bilhal Haji Sa’duddin yang merupakan pelajaran yang sangat mahal nilai dan
artinya dalam kita menjalani hidup dan kehidupan ini. Ia adalah seorang ulama
yang selalu menyukai khalwat sehingga jika ingin melihat atau bertemu dengannya
hanyalah pada saat ia mengajar atau shalat di masjid. Apalagi sejak kakaknya
Mufti Haji Muhammad Arsyad berpulang ke Rahmatullah di Pagatan pada hari Sabtu,
23 Rabiul Awwal 1275 H. Maka Haji Sa’duddin lebih banyak menyendiri, dan
khalwat dan jarang sekali ke Martapura, karena kakak yang selalu dikunjungi
sudah tidak ada lagi.
Haji
Sa’duddin menikah di Amawang, Kandangan dengan Puan Halimah (Gelar Diyang
Gunung) memperoleh enam orang anak, lima
putera dan seorang puteri :
1.
Aisyah
2.
Muhammad Nashir
3.
Haji Abdul Ghani
4.
Haji Abdul Jalil
5.
Haji Abdul Qadir
6.
Haji Muhammad Sa’id
Kemudian
ia menikah lagi di Amuntai dengan Puan Angka dan mendapatkan lima orang anak, dua orang putera dan tiga
orang puteri yakni :
1.
Haji Muhammad Thaher
2.
Zainab
3.
Kamaliyyah
4.
Haji Abdurrasyid
5.
Hasanah
Lebih
kurang 45 tahun guru besar ini mencurahkan darma baktinya terhadap agama,
bangsa, dan umatnya, setelah berhasil mencetak ulama-ulama penerus yang
tersebar di sekitar Hulu Sungai tempo dulu, maka pada tanggal 5 Shafar 1278 H
atau sekitar tahun 1858 M, ia berpulang ke Rahmatulah dalam usia 84 tahun. Tiga
hari menjelang kewafatan, ia mencuci kain kafan. Salah seorang sahabatnya yang
bernama Ninggal mengatakan bahwa tuan akan pulang.
MEMBUAT KERUPUK BAMBAN
Saya
pergi ke tempat keluarga saya di Desa Bamban. Saya minta diajari cara membuat
kerupuk Bamban.
Dalam
pembuatan kerupuk Bamban, karena proses pengolahannya dilakukan penjemuran dua
kali, maka mau tidak mau sangat tergantung dengan cuaca. Bila musim hujan,
jelas produksi kerupuk akan terganggu.
”
Sebenarnya ada cara pengeringan dengan cahaya lampu neon, tapi hasilnya kurang
bagus,” ungkap seorang perajin.
Yang
perlu diperhatikan sebelum mengolah kerupuk, bahan baku yang digunakan harus diteliti terlebih
dahulu. Jangan sampai pada saat pemotongan, adonan rusak karena tidak bisa
dipotong kecil-kecil. Adapun cara pembuatan kerupuk Bamban bisa diurai sebagai
berikut :
Ubi
kayu yang sudah dikupas, dibersihkan dari sisa-sisa tanah dengan cara dicuci.
Kemudian ubi kayu dilunakkan secara merata, jangan sampai masih tersisa
gumpalan-gumpalan keras. Bisa dengan diparut manual atau dengan pemarut kelapa.
Karena kadar airnya masih sangat tinggi, sebelum pencampuran bahan dengan bumbu,
tiriskan selama satu hari satu malam. Setelah itu campur dengan bumbu yang
dikehendaki rasa pedas manis, rasa ketumbar, rasa bawang, atau rasa udang.
Masukkan
adonan ke dalam plastik bulat yang panjangnya antara 60 – 70 cm. Tusuk dengan
paku permukaan plastik pembungkus adonan untuk membuat lubang-lubang kecil
untuk menjaga kelembaban dan respirasi (pernapasan).
Adonan
langsung direbus di dalam air dan panci besar atau potongan drum (kalau volume
rebusan besar) sekitar 2 jam. Adonan yang telah direbus (dalam bentuk batangan
dan padat) masih terbungkus plastik, kembali ditiriskan selama satu hari satu
malam. Usai itu jemur selama dua hari. Begitu kering, potong menjadi bagian
yang lebih kecil. Sampai disini sudah terbentuk kerupuk mentah. Sebelum dikemas
plastik (packaging), hasil potongan
tadi kembali dijemur hingga benar-benar kering dan siap untuk dijual dalam
bentuk kerupuk mentah. Kerupuk mentah tadi siap untuk digoreng sesuai dengan
keinginan.
KETUPAT KANDANGAN
”
Katupat cil lah, iwaknya haruan. Santannya nang likat dibanyaki,” ucap seorang
bapak tua di suatu sore mendatangi satu warung yang menyediakan menu ketupat di
kawasan Angkinang.
Dalam
hitungan menit berikutnya bapak yang datang berombongan inipun asyik melahap
potongan ketupat yang disuguhkan penjual. Tangannya dengan terampil
menghancurkan bongkahan rebusan beras di dalam kurung janur kelapa ini menjadi
butiran nasi yang masih lekat satu sama lain, bercampur dengan santan kental
berwarna putih. Dengan sambal pedas makanan ini menjadi sangat lezat.
Ketupat
Kandangan menu khas ini bisa jadi sangat akrab dengan masyarakat Kalsel pada
umumnya. Apalagi di kota
asalnya Kandangan, penganan yang satu ini sangat terkenal selain dodol.
Melangkahkan
kaki ke daerah Hulu Sungai Selatan (HSS) tersebut setiap warung makanan disana
nyaris semuanya menyediakan menu yang namanya ketupat Kandangan.
Parincahan
adalah satu daerah yang bisa dikatakan sentranya ketupat Kandangan yang
terkenal sejak era 1980 an sampai sekarang. Di ruas jalan A. Yani, tepatnya mulai
Simpang Lima
sampai arah Angkinang anda akan melihat deretan ratusan warung ketupat
Kandangan disana.
Jadi,
jangan heran jika di Kandangan dan HSS pada umumnya setiap harinya puluhan ribu
kurung ketupat beredar. Tidak hanya itu, juga ratusan kilogram ikan haruan (gabus) juga tauman dan ribuan
butir kelapa untuk memenuhi keperluan ketupat Kandangan.
Menu
khas ini memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketupat pada
umumnya. Kalau di tanah Jawa juga di daerah lainnya hanya menemukan ketupat disaat
hari raya Idul Fitri atau hari-hari tertentu saja. Tidak dengan di Kandangan,
setiap saat anda bisa menemukan yang namanya ketupat. Tidak hanya itu, ketupat
ini pun katanya lebih nikmat jika dimakan tanpa mempergunakan alat bantu
seperti sendok dan garpu. Mengaturnya dengan tangan dan adonan menu ketupat
yang sudah diremas adalah kenikmatan tersendiri saat melahap lezatnya ketupat
Kandangan.
Konon,
ketupat Kandangan tidak terkenal seperti saat ini. Dulunya hanya sebagai menu
rumahan saja. Setiap rumah yang berpenduduk asli HSS sangat senang dengan yang
namanya ketupat. Ini tak lepas dari potensi pohon kelapa di daerah ini. HSS
sejak dulu memang terkenal dengan pohon kelapa.
Kekayaan
alam inipun dimanfaatkan. Daun kelapa untuk membuat kurung ketupat sementara
buah kelapanya tak ketinggalan dimanfaatkan untuk kuah ketupat. Pun dengan
haruan yang memang disediakan di alam HSS.
”
Pokoknya sejak saya kecil sudah makan yang namanya ketupat. Urang Kandangan itu
hobi makan ketupat. Haruan dan pohon kelapanya banyak. Sampai akhirnya banyak
yang kemudian menjualnya. Karena itulah jadi terkenal,” ujar Sanah, pemilik
warung ketupat di Angkinang yang mengaku sudah puluhan tahun berjualan ketupat
Kandangan.
Tidak
hanya di Kandangan rupanya menu yang telah tersohor ratusan silam ini semakin
dikenal banyak orang. Awalnya mencicipi sampai akhirnya terdorong untuk
membawanya jadi oleh-oleh, buah tangan saat berkunjung ke Kandangan, membuat
nama ketupat Kandangan menjadi ciri khas.
”
Ini bisa jadi oleh-oleh. Kami sering menerima pesanan untuk dibawa ke daerah
lain seperti Jawa dan Kaltim,” terang penjual lainnya.
Entah
disengaja atau tidak, ketupat Kandangan yang dijadikan oleh-oleh ini membuat
rapat antar si pembeli dan si penerima. Mungkin ada benarnya, makanan yang
menurut filosofi kuno mengandung makna lekat karena jalinan anyaman kurung
ketupat yang rapat. Demikian juga yang memakannya kemudian berniat
memberikannya kepada orang lain.
TENTANG JAMAL T
SURYANATA
Saya
membaca biodata sastrawan Kalsel. Bangga setelah mengetahuinya. Ternyata ia
alumni MTsN Angkinang.
Nama
: Jamal T Suryanata (Jamaludin)
TTL
: Kandangan, 1 September 1966
Pendidikan
: 1. SDN Bakarung Tengah, Kec. Angkinang, Kab. HSS (1974-1983)
2.
MTsN Angkinang, Kab. HSS (1980-1983)
3.
SPGN Rantau, Kab. Tapin (1983-1986)
4.
STKIP PGRI Banjarmasin
5.
Pascasarjana PBSID FKIP Unlam, Banjarmasin
Pekerjaan
: Staf Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut
Alamat
: Kompleks Matah Raya, Pelaihari, Kab. Tanah Laut
Isteri
: Fahriani Mafruzie
Anak
: Nisa Khairina, Nizhar Helmi Tasaufi, Nina Ulfatin Khaira
Jamal
T Suryanata, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September
1966. Peserta Writing Program Majelis Sastera Asia Tenggara (1999) dan Ubud
Writer’s and Reader’s Festival (2004). Bukunya yang sudah terbit antara lain :
Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematik
Pembelajaran Bahasa dan Sastra (2003), Galuh (2003), Debur Ombak Guruh
Gelombang (2010), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (2010). Puisinya terhimpun
dalam antologi bersama antara lain, Festival Puisi Kalimantan (1992), Mimbar
Penyair abad 21 (1997), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris
Barantai (2006), Menyampir Bumi Leluhur (2010)
PNS
pada Dinas Pendidikan Tanah laut ini kini jadi Wakil Ketua Dewan Kesenian Tanah
Laut. Menerima Hadiah Seni (Sastra) dari Gubernur Kalsel tahun 2006 dan
Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).
Bagi
kalangan sastrawan Kalimantan Selatan, nama Jamal T Suryanata memang sudah tak
asing lagi. Sederet prestasi dibidang tulis-menulis lokal dan nasional menjadi
bagian dari perjalanannya di dunia sastra.
Jamal
T Suryanata adalah sekadar nama pena dari nama aslinya Jamaluddin. Awal
ketertarikan dalam dunia sastra memang tak sengaja. Berawal dari tamat Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) Agustus 1986 ia diangkat jadi guru SD.
“
Sekolahnya terletak di ujung kampung, bisa disebut paling sepi di Tanah Laut,”
cerita lelaki kelahiran Kandangan, 1 September 1966 ini.
Selalu
ada hikmah dibalik suatu peristiwa, kata orang bijak. Demikianlah, kesepiannya
selama tinggal di desa tersebut ternyata membuka babak baru dalam kehidupannya.
“
Untuk menghalau sepi, saya memanfaatkan waktu senggang mendengarkan radio,
korespondensi dengan sahabat-sahabat lama, dan membaca buku-buku di
perpustakaan sekolah,” ujar alumni MTsN Angkinang tahun 1983 ini.
Secara
otodidak dia pun mulai belajar menulis. Mula-mula menulis sajak-sajak pendek
yang dikirimkannya ke RRI Nusantara III Banjarmasin untuk acara Untaian Mutiara
Sekitar ilmu dan Seni yang diasuh penyair Kalsel, Hijaz Yamani.
Kemudian,
karena rasa tertantang pula membuat Jamal nekad ke Banjarmasin membeli mesin tik sendiri. Uang
rapel gajinya empat bulan pertama bekerja. Bermodal mesin tik pribadi itulah,
penghujung 1988 Jamal menyelesaikan naskah buku cerita (novel anak-anak)
berjudul Boneka Untuk Dinda. Naskah ini dikirimkannya ke sebuah penerbit besar Jakarta , PN Balai Pustaka.
“ Berselang beberapa bulan, suatu hari tukang pos datang ke sekolah saya
menyerahkan amplop besar. Dengan riang saya menerima dab segera membukanya.
Ternyata isinya justru penolakan dan pengembalian naskah dengan banyak catatan
kritis penerbit,” jelasnya.
Ini
tidaklah membuatnya langsung jera. Malah makin tertantang menulis. Setelah
direvisi sana-sini, naskah itu kemudian dikirimkannya lagi ke penerbit lain.
Namun, setelah sekian lama ditunggu-tunggu ternyata tak kunjung dapat jawaban.
“ Tak ada tanggapan dalam bentuk apapun dari penerbit yang satu ini. Naskah
yang saya kirimkan seperti raib ditelan bumi. Tak ada kabar beritanya lagi,”
ungkapnya.
Selepas
itu, ia beralih haluan dengan memasuki jalur penulisan cerpen remaja. Karyanya
kemudian dikirimkannya ke beberapa majalah remaja terbitan Jakarta seperti Anita Cemerlang, Aneka, Hai,
dan Cerita Remaja.
Namun,
setelah menulis dan mengirimkan puluhan cerpen dan tak kunjung dimuat pula, ia
pun memilih diam. Semangat kepengarangannya kembali bangkit setelah ia
berkenalan dengan penulis dan seniman muda Teater Pena di Kompleks Mulawarman, Banjarmasin . Di markas
inilah, ia banyak menimba pengalaman dan pengetahuan kesastraan, terutama dari
YS Agus Suseno dan Noor Aini Cahya Khairani.
Naskah
cerita anak-anaknya berjudul Untuk Sebuah Pengabdian menjadi Pemenang I
Nasional Tahun 1993. Popularitas kepengarangannya makin berkibar dalam jagat
sastra Kalsel setelah cerpennya berjudul Sosok jadi juara III Sayembara
Penulisan Cerpen Indonesia
yang diadakan Taman Budaya Kalsel.
Eksestensi
Jamal T Suryanata mulai diperhitungkan dalam percaturan sastra nasional setelah
tahun 1994, dua puisi dan sebuah cerpennya berjudul Sebelas dimuat di majalah
Horison, majalah sastra yang cukup bergengsi di negeri ini.
KE KOTABARU (TAHUN 2009)
Bus yang membawa rombongan kami melaju
kencang. Lumpangi dan Malinau dilalui. Berarti wilayah HSS terlewati. Tapin dan
Tanah Bumbu bakalan menanti. Aku duduk dibagian belakang. Libur semester ganjil
kali ini Kepala Sekolah, Dewan Guru dan Tata Usaha di sekolahku berlibur ke
Kotabaru.
Kami
berangkat dalam suasana dingin. Karena sejak dinihari hingga pagi hujan turun
dengan lebatnya. Rasa khawatir muncul. “ Kak jadikah kita ke Kotabaru hari ini
? Hujan lebat sekali,” ujar SW lewat sms kepadaku. “ Insya Allah jadi.”
Apa
saja yang kubawa ke Kotabaru ?
1. Tas besar + tas kecil
2. Celana panjang 3 lembar
3. Baju hem 2 lembar
4. Baju kaos 2 lembar
5. Baju singlet 2 lembar
6. Handuk
7. Tapih 2 lembar
8. Kamera digital + baterai alkaline +
kabel data
9. Handphone + charge
10. Dompet berisi duit + tanda
pengenal
11. Buku catatan kecil + bolpoint
12. Sisir + cermin
13. Sepatu + sandal jepit
Di
Batung, Tapin kami singggah. Mau buang air kecil. Kami singgah di sebuah
masjid. Lalu ramai-ramai mencari kamar kecil di masjid tersebut. Aku paling
akhir kesana. Ada
kejadian lucu. Usai BAK Lia, salah seorang anggota rombongan buru-buru keluar
dan kembali ke bus. Tiba-tiba seekor anjing menyalak. Lantas Lia takut dan
lari. Tentu saja anjing itu mengejarnya. Wajah Lia pun berubah merah. Tapi
untung saja anjing itu balik haluan kala diusir beberapa teman lainnya.
Kejadian ini menjadi bahan candaan hangat saat berada di dalam bus menuju
Kotabaru.
Semangatku
ikut ke Kotabaru kian bergairah kala SW juga ikut. SW adalah teman saya di TU. SW selalu memperhatikanku. Disaat
kerja di sekolahpun ia selalu menomorsatukanku. Semisal saat istirahat. Ketika
minum ia yang menuangkan ke gelas. “ Pian
minum apa ? Nih ampun pian sudah ulun tuangakan.” Saya jadi merasa tidak
nyaman. SW selalu perhatian. Aku jadi suka.
Fakta Tentang SW :
1. Cantik
2. Ringan tangan / suka membantu
3. Jago komputer
4. Pernah berkata : Pian nih….
5. Pernah membelikan nasi bungkus
untuk aku atas perintah K.TU
6. Pakai behel
7. Sepatu dan sandal di tinggal di
sekolah
8. Main HP dimanapun berada
9. Jarang SMS
10. Mau disuruh
11. Selalu membawa peralatan make up
Ketika
berduaan di ruang komputer saat menyelesaikan tugas SW rela pulang malam
membantuku. “ Demi pian Ka ai,”
ujarnya.
SW
tak penah mengeluh akan tugas. Ia tiga tahun lebih muda dari usiaku. SW setia
duduk berdampingan denganku. Ternyata SW dulu sekolah di Mandaka juga. Aku
kelas III ia kelas I. Buku-buku karyaku
kuberikan kepada SW seperti buku kumpulan puisi, cerpen, cerita misteri, dsb.
Saat
beristirahat di sebuah masjid kami makan lapat.
Aku tadudi makan. Karena pergi
ke sungai yang berada di seberang kami
singgah untuk cuci muka. Sementara yang lain asyik makan lapat dan sangu lainnya
seperti kacang goreng, kerupuk, macaroni, dsb.. Aku ikut nimbrung. Karena perut
lapar. “ Ka nih ampun pian,”
tiba-tiba SW berucap padaku. Lalu aku duduk berdampingan dengannya.
Lalu
aku duduk menikmati sebiji lapat
buatan Ibu Rabi. SW memandang ku. Aku membalasnya dengan senyuman. Akai ding ! Ada perasaan sayang pada SW. Tak habis pikir
ia begitu perhatian padaku.
Setelah
makan kami istirahat menunggu shalat Dzuhur tiba. Usai Dzuhur kami akan
meneruskan perjalanan panjang ke Kotabaru.
Aku
dan SW mojok. Yang lain juga melakukan hal yang sama. Maksudnya, duduk
istirahat bersandar di dinding masjid. Aku buka kamera digital lihat foto-foto
jepretan sebelumnya. “ Ka maliatam,”
ujar SW.
Berada
di ferry dari Batulicin ke Kotabaru. Beberapa puluh menit berada disana. Kami
berada di ruang aula menikmati indahnya laut Kotabaru. Ada ruang kafetaria. Aku ikut kesana sambil
nonton teve.
Tiba
di Kotabaru malam hari. Kami langsung menuju rumah keluarga salah satu
rombongan. Setibanya di rumah kami langsung mencari tempat mandi. Tapi harus
antre. Kamar mandi cuma dua. Sementara rombongan kami puluhan orang banyaknya.
Aku tak mempedulikan hal itu. Aku harus duluan
mandi. Awak tarasa liir sudah.
Usai
mandi aku berkemas diri. Meletakkan tas dan pakaian ke tempat yang aman. Ganti
pakaian. Shalat maghrib dan Isya. Lalu
nonton teve. Buka handphone kalau kalau ada sms masuk . Juga nulis
catatan perjalanan hari ini di catatan HP.
SW
baru saja mau mandi. “ Kak titip dompet dan HP. Ulun handak mandi,” kata SW sambil menyerahkan kepadaku. Lalu
kumasukan ke saku celana.
Aku
ke palatar cari angin bersama Hilman
anak Ibu Rabi. Beberapa saat kemudian setelah anggota rombongan selesai mandi
waktunya makan malam.
Asyiknya
makan malam banyak orang. Duduk lesehan. Indahnya kebersamaan. Makan malam
terasa nikmat. Apalagi SW selalu ada disamping. Selalu memperhatikan aku.
Nyiapain makan dan air teh. Sementara gangannya
sepiring berdua. Saat laukku habis. Ia rela lauknya diberikannya padaku.
Usai
makan malam teman-teman rombongan yang wanita berisitirahat. Sementara yang
laki-laki ada yang berada di palatar.
Ada yang main
domino. Nonton teve, dsb. Ngobrol ngalur ngidul.
“ Ka ulun datang bulan. Cariakan ulun
obat penghilang nyeri dan softex lah ?”
ujar SW via SMS.
“ Berapa ?”
“ Obat 4 biji. Softex sebungkus ganal nang isi 10. Gasan parsadiaan.”
Demi SW yang kucintai aku rela mencari
toko walau sudah larut malam. Sebelumnya aku bertanya kepada tuan rumah dimana
toko terdekat. Katanya ada toko jaraknya sekitar 200 meter ke arah selatan.
Dengan Mahmud aku kesana. Ternyata tkonya tutup. Lalu mencari kelain. Ternyata
ada tapi jaraknya sekitar 1 kilometer. Selain beli S dan obat juga saya beli
koran, mie instant, cokelat, the gelas, dan Teb’s. Setelah itu kami pulang.
Tiba di rumah aku dan Mahmud ke tempat
kami meletakkan tas. Yang juga tempat tidur kami sementara. Buka belanjaan. SMS
SW “ Ambil ke belakang.”
“ Barapa Ka ?”
“ Kada usah gin.”
Selain S dan obat juga kuberikan the
gelas dan cokelat.
Malam
kian larut. Saya tak tahan lagi untuk pergi merebahkan diri dekat ruang makan.
Aku tidur disana bersama Mahmudin dan Sani. Tas dijadikan sebagai bantal.
Berselimutkan tapih dan handuk. Malam
ini tentu tidurku akan lelap dan mimpi indah.
Sementara
SW tidur di kamar dengan Lia, Atma, Rusna dan
rombongan perempuan lainnya. Beberapa meter dari tempatku tidur. Di
kamar ada sekitar sepuluh orang termasuk ibu-ibu yang membawa serta anaknya.
Saat
saya membaringkan tubuh sms dari SW masuk. “ Ka kaya apa pian guring dimana ? Kada kadinginan kalo ? Ulun di kamar subalah
sasak banar,” ujar SW.
“
Parak ruang makan. Kada dingin ada
salimut. Handak pindah kah ?”
“
Kada Ka ai disini haja.”
“
Lagi napa pian ?”
“
Bapanderan lawan buhan Atma. Masih kada
mangantuk”
Tengah
malam aku terbangun. Perut kembali garurukan.
Cari nasi. Ada
ketemu. Ditambah dengan mie instant yang baru dibeli tadi. Ternyata SW juga
bangun. Ia baru saja datang dari kamar kecil. Melihat aku makan ia juga
singgah. “ Makankah ?”
“
Kada. Ulun mangawani pian haja.”
SW
membantu membuatkan aku the manis dan susu. Sambil mengetik tulisan ke
notebook. Pas Tami bangun BAK melihat kami berduaan.
Jadilah
tengah malam itu aku dan SW berduaan di ruang makan. Sementara yang lain
terlelap tidur dengan mimpi indah masing-masing.
Saat
asyik makan keluar dari kamar pemilik rumah. Seorang perempuan berusia 50-an
yang merupakan adik dari salah seorang anggota rombongan. Dia mau ke kamar
kecil.
“
Kami makanan cil ai” ujarku
“
Oh silakan haja. Nasi dan lauknya di lemari ambil saja,” jawab ibu itu ramah.
Jam
dinding menunjukkkan pukul 03.30 WITA (waktu Kotabaru). Mataku cerah secerah
hubunganku dengan SW yang kian memuncak. Hubungan akrab antar anak manusia.
Beberapa
saat kemudian juga bangun yang lainnya. Aku menyempatkan bangun agar bisa mandi
lebih awal. Tapi SW takut mandi pagi. “ Ulun jam 6 haja mandi Ka ai.”
Usai
mandi aku shalat tahajud. Sementara SW
melenggang pergi ke kamarnya.
Hari
ini kami akan ke Pantai Gedambaan / Sarang Tiung. Berjarak sekitar 30 kilometer
dari tempat kami menginap. Sekitar pukul 09.00 WITA kami berangkat. Aku memakai
T-Shirt bertuliskan Komunitas Blogger
Kandangan dengan alamat web-nya. Bersendal jepit khas pencinta alam. Bawa
tas kecil berisi kamera. Sementara SW tampil cantik luar biasa. Berjilbab dan
memakai kaos lengan panjang dan pakai
celana jeans. Tak lupa bawa tas kecil. Mungkin berisi peralatan make-up. Memakai sandal dan kaos kaki.
Bus
pun berangkat. Saya kembali memilih duduk dideretan belakang paling kanan.
Tempat paling kusukai namun penuh resiko.
Setibanya
di pantai. Suasananya kurang ramai karena bukan hari libur. Jadi kami bisa
sepuasnya melangkah tanpa ada halangan. Aku mencari momen pas untuk
foto-foto. Sebagai kenangan nantinya.
Sorenya
kami bersantai di rumah. Kebetulan hujan gerimis malas jalan-jalan. Kami dudukan di palatar rumah haja. Tuan rumah membawa nampan berisi roti khas
Kotabaru. Juga membuat guguduh
dibantu teman-teman. Tak lupa teh manis.
Tentu dibantu yang perempuan. Sementara kami yang laki-laki tinggal nikmatin
saja.
Kami
duduk di palatar. Saling berkelompok
ngobrol apa saja yang ditemui. Aku asyik baca koran yang diambil dari meja
tamu. Ada
banyak koran. Tapi koran lama. Ada Barito Post, Kalimantan Post, Mata Banua,
Radar Banjarmasin , Media Kalimantan dan Banjarmasin Post.
Aku
selalu dicandai soal hubunganku dengan SW oleh teman-teman. Aku cuek saja. Juga
SW pura-pura tidak mendengar. Apalagi Dedi candaannya panas sekali. “ Bulik di
Kotabaru ini sakuai batajak sarubung.”
SW
tersenyum mendengarnya. Yang lain menimpalin, “ Acaranya orkes H Ijun .”
Saling
bercerita kisah-kisah lucu yang cenderung mengarah ke hal-hal tabu dan sedikit
berbau porno. Gelak tawa hadir usai cerita.
Kelompok
aku yang bergabung ngobrol Atma, Rusna, Lia, Ibu Dewi, SW, dan Mahmud.
Kami
rebutan ketika tiba sepiring guguduh
panas yang dibawa tuan rumah. Tak sampai semenit sudah ludes. Kembali yang
lain mengambil ke dapur. Kewalahan tuan rumah membuatnya.
SW
mengambilkan aku sabuting guguduh.
Dalam sebuah piring. Aku melihat SW tak kebagian. Jadilah sabuting guguduh kami nikmati berdua. Membuat iri yang lain.
“
Umai setia banar bibiniannya yat bu,”
ujar Atma kepada ibu Dewi melihat tingkah polah aku dan SW.
Usai
shalat Isya kami ke Siring Laut Kotabaru. Disini ada hiburan dan segala
permainan. Juga warung yang menyajikan makanan khas laut. Lampu warna-warni.
Juga keindahan laut Kotabaru di malam hari dengan segala aktifitasnya. Aku,
Tami, Reza, Mahmud, Sani, Mukhli dan Dedi duduk santai di bawah patung ikan
Todak yang merupakan maskot Kabupaten Kotabaru. Sambil bercengkerama.
Rombongan
Bapak Kepala beserta keluarga dan yang lain tak terlihat. Juga pujaan hatiku SW
tak terlihat. HP tertinggal di rumah jadi tak bisa menghubunginya. Ah biarkan
saja.
Beberapa
saat berada di patung Todak kami beranjak keliling liat suasana sekitar Siring
Laut. Malam itu banyak sekali pengunjungnya. Ternyata buhan Bapak Kepala makan di sebuah warung. Menikmati seafood dengan harga wah-nya.
Kami
tidak singgah terus ketempat lain. Ketika berpapasan dengan SW mereka sedang
membeli sesuatu. Mereka terdiri dari SW, Lia, Rusna, dan Ratna. Beli boneka dan
alat dapur portable.
“
Pak…. tukarakan sabuting ujar SW,”
kata Lia kepadaku.
“
Kada usah gin..” ujar SW.
Kami
terus.
Malam
di Kotabaru cukup mengesankan.
Karena
kelaparan aku, Tami, Dedi, dan Mukhli minta disinggahkan di tengah jalan.
Tepatnya 1 kilometer dari tempat kami menginap. Bus pun berjalan meninggalkan
kami. Kami berempat mencari warung makanan. Ketemu warung bakso. Kami memesan
bakso dan secangkir teh. Aku memesan teh es. Bayar masing-masing.
Setelah
itu pulang. Sebelumnya beli Teb’s dan Radar
Banjarmasin edisi terbaru. Jalan kaki menuju penginapan. Lumayan jauh dan
melelahkan. Olahraga malam. Saat kami
tiba yang lain sudah terlelap tidur. Hanya sopir bus dan temannya yang masih
berada di teras rumah sambil mengepulkan asap rokoknya.
Kami
masuk. Saya lantas menuju tempat saya berbaring. Tepatnya di sekitar ruang
makan. Mahmud dan Sani sudah merebahkan diri. Saat saya datang mereka
terbangun.
Mataku
belum bisa dipejamkan. Aku menikmati bacaan Radar
Banjarmasin yang baru dibeli. Serta koran Banjarmasin Post yang aku beli tadi pagi saat pulang dari Pantai
Gedambaan / Sarang Tiung. Tak lupa menenggak Teb’s. Duh segarnya.
EPILOG
Saya senang orang Angkinang ada yang
sukses. Mudahan bisa diikuti yang lain. Saya bangga jadi orang Angkinang.
Bintang-bintang akan terus gemerlapan seiring waktu yang terus berjalan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar