LEBARAN
DAN KEBIASAAN KITA
Bagi
umat Islam di Indonesia, berlebaran adalah suatu tradisi yang telah mendarah
daging. Sulit dipisahkan dari kaitan adat istiadat dan kebiasaan yang telah
membudaya, telah berakar sejak masa nenek moyang kita memeluk agama Islam
berabad-abad yang lalu. Antara ritual keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku pada hari lebaran itu, seakan-akan telah menyatu, sulit dipisahkan.
Kalau tidak menjadi inti seluruh kegiatan, sekurang-kurangnya merupakan
rangkaian yang melengkapi.
Memang
tak bisa dipungkiri. Kebiasaan membeli pakaian baru yang bagus-bagus untuk
berlebaran itu, misalnya, merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan.
Pertama-tama pakaian yang bagus-bagus itu tentunya diperlukan untuk shalat idul
fitri. Membuat ketupat dan penganan yang
enak-enak menjelang hari raya itu, biasanya disediakan untuk tamu-tamu yang
bersilaturrahmi, disamping untuk dimakan sendiri sekeluarga dan sanak keluarga.
Bahkan biasa juga dikirimkan kepada tetangga dekat atau kerabat dekat maupun
jauh. Hingga seringkali terjadi, saling kirim mengirim makanan antara sesama
tetangga atau kerabat dan karenanya saling mencicipi makanan masing-masing.
Dalam
hal bersilaturrahmi, seringkali terjadi saling kunjung-mengunjungi antara satu
sama lain. Namun kebiasaan yang paling umum adalah orang-orang yang lebih muda
mengunjungi para orangtua, sesepuh atau pemimpin panutan yang berpengaruh.
Itu
semua, biasanya berlangsung pada hari-hari lebaran, terutama hari pertama
setelah turun mimbar. Yakni setelah selesai shalat Ied di masjid atau lapangan.
Bagaimanapun,
kebiasaan-kebiasaan tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dilewatkan begitu saja.
Akan timbul perasaan kurang enak bila kebiasaan itu tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Sedih sekali rasanya bila kita tidak ikut berlebaran
seperti itu. Terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari kampung halaman, jauh
dari sanak famili, terlebih-lebih dari orangtua. Rasanya seperti terkucil dari
kaum atau kelompok sendiri, terasing dari teman dan handai taulan dan
seakan-akan tercabut dari akar kebudayaan yang telah melekat erat dalam jiwa
kita. Kebiasaan-kebiasaan itu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan kita.
Namun,
bumi berputar terus pada porosnya dan perubahan pun terjadi. Saya kira, tak
sedikit diantara kita yang tak mampu melaksanakan kebiasaan- kebiasaan itu
sebagaimana yang senantiasa mereka alami dimasa yang sudah-sudah. Mungkin
karena urbanisasi, karena transmigrasi dan sebab-sebab lain yang timbul akibat
perubahan dan perkembangan zaman. Ini merupakan kenyataan hidup kita masa kini.
Pembangunan nasional yang tengah kita galakkan sekarang ini, mau tak mau,
membawa efek dan konsekuensi tertentu yang tidak selalu sesuai dengan harapan
dan keinginan disamping dampak positif yang menguntungkan. Itulah kehidupan.
Diantara yang harus kita terima sebagai kenyataan tak terhindarkan itu, ialah
berjauhan dengan sanak famili dan handai taulan, karena harus meninggalkan
kampung halaman atau tempat tinggal. Mungkin buat sementara mungkin juga untuk
selama-lamanya. Hingga tak bisa tidak, kita terputus dari kebiasaan-kebiasaan
masa lalu yang telah melembaga. Atau sekurang-kurangnya tidak bisa seperti
dimasa yang sudah –sudah dengan segala
suka duka dan suasana kekeluargaan sebagaimana terjadi pada waktu kita masih
terikat pada kebiasaan itu.
Lalu,
bagaimana harus kita lakukan manakala kita tidak bisa lagi berlebaran seperti
dulu-dulu ? Pertama-tama, mungkin kita harus ingat, bahwa yang terpenting dari
semua rangkaian kebiasaan berlebaran itu ialah shalatnya. Melaksanakan shalat
Idul Fitri secara berjamaah, mendengarkan khutbah dan kemudian bersalam-salaman
atau bersilaturrahmi. Itulah yang terpokok. Bahkan sebelumnya, yang juga tidak
kurang pentingnya, ialah melaksanakan
ibadah puasa (shaum), tarawih, dan tadarus Al-Qur’an pada hari-hari dan
malam-malam selama bulan Ramadhan. Kemudian, yang juga termasuk inti berlebaran
ialah menunaikan zakat fitrah. Apabila kesemua rangkaian pokok itu telah
dilaksanakan, telah ditunaikan, sebenarnya kita telah berlebaran secara tuntas.
Hal-hal
lainnya hanyalah pelengkap yang takkan mengurangi nilai ibadah kita manakala
kita tidak mampu melakukannya. Karena sebenarnya, hanya orang-orang yang telah
berhasil menempuh rangkaian ibadah itulah yang paling berhak berlebaran. Bukan
pakaian baru, makanan serba enak atau minuman berlimpah. Bukan pula sentuhan
angan atau kata-kata permohonan saling memaafkan yang bersifat formalitas yang
terpenting, tapi keikhlasan hati untuk saling membebaskan diri kita dari rasa
iri, dengki, hasud, dan perangai-perangai buruk lainnya. Lagipula, bukan hanya
pada hari-hari lebaran saja seharusnya berlebaran itu dilaksanakan, tapi juga
untuk hari-hari selanjutnya sepanjang tahun. Lebaran hanyalah motivator, bukan
motor. Sebab, motornya yang menggerakkannya ialah iman dan taqwa. Bila
demikian, kita sebenarnya dapat berlebaran setiap hari.
Yang
patut kita tekankan pula pada saat berlebaran itu ialah bersyukur kepada Tuhan.
Bersyukur karena nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kita, karena kita telah
mampu melaksanakan titah dan perintah-Nya dengan tulus.
Kandangan, 15 Maret 2012
GEGER
WARUNG PAKUMPAYAN
Malam
ini saya tak bisa tidur. Lapar. Tadi tidak makan. Sementara hujan turun hujan
cukup lebatnya. Dingin.
Saya
coba buka koran . Pada SKH Banjarmasin Post edisi Selasa, 13 Maret 2012 halaman
28 terdapat judul : ALFI DITEMBAK DI PERUT. Dengan subjudul Diduga Mabuk dan
Ngamuk di Mapolsek Angkinang. Ada
ilustrasi : 1) Minggu (12/3) pukul 19.40 Wita Alfi (25) naik taksi. 2) Karena
membuat ulah diturunkan di Angkinang. 3) Warga emosi, memukuli Alfi. 4) Polisi
datang bawa Alfi. Di Polsek,menyerang petugas.
5) Akhirnya, ditembak, kena perut.
Alfi
berasal dari Amuntai. Dilarikan ke RS Bhayangkara Banjarmasin. Di perutnya
bersarang timah panas setelah pistol yang coba direbutnya menyalak.
Saya
benar-benar tidak tahu kejadian ini kalau tidak baca koran. Saya kurang
pergaulan. Padahal lokasi kejadian dan Polsek tidak jauh dari rumah saya.
Warung Pakumpayan sekitar 500 meter. Polsek Angkinang 200 meter.
Dari BPost lah saya tahu kejadian ini. Alfi diduga mabuk
obat.
Sementara
hal lain yang berhubungan dengan warung Pakumpayan adalah beredarnya VCD lagu.
Lagu tentang keberadaan warung tersebut bersama H. Sofyan Kandangan. Latarnya
adalah warung Merry, MIN, MTsN Angkinang, dsb.
Kandangan, 31 Maret 2012
CERITA
DARI HAMAK
Minggu
pagi sekitar pukul 10.00 Wita saya berangkat dari rumah ke Hamak. Mendatangi
anak-anak MTsN Angkinang yang mengikuti perkemahan LT III disana.
Saya
membawa jaket. Lewat Pakuan, Mandampa, Lokbinuang, Telaga Langsat. Masuk Hamak.
Saya mendapatkan tantangan. Dalam kesendirian bersepeda motor ada tanjakan dan
turunan yang tinggi. Sangat bernuansa pedesaan. Ada orang menyadap karet dikiri-kanan jalan.
Sampai di Hamak Timur. Cari lokasi. Ketemu Khulaifi dan bubuhan Hipta. Mereka
datang dari Air Terjun Sumaragi.
Saya
mencari lokasi kemah regu putera. Ketemu dua personel. Yang lain berada di
lapangan utama yang juga lokasi peserta regu puteri.
Saya
kesana. Ternyata peserta sedang mengikuti lomba. Di tenda ada dua yang tinggal.
Saya nongkrong sebentar. Ada Dedi Wahyudi dan Muchei Rifai. Saya mau ke lokasi
air terjun tapi setengah jalan saya balik kembali.
Kembali
ke tenda puteri. Tapi saya tidak betah. Saya kembali ke tenda putera yang
berjarak sekitar 300 meter. Duduk disana. Ke sungai buang air kecil. Duh
segarnya. Saya betah berlama-lama disana.
Kegiatan
ini ditutup oleh Kakwarcab Pramuka HSS, H. Achmad Fikry. Pada even ini MTsN
Angkinang mendapatkan dua gelar juara lomba yakni diperoleh regu putera.
Menurunkan
tenda adalah momen yang sangat melelahkan. Selesai dirapikan beserta
barang-barang lainnya. Lalu membawa
kembali barang-barang tersebut ke tempat mobil truk yang menunggu di tepi
jalan. Berjarak sekitar 300 meter dari lokasi kemah. Berat juga. Saya membantu
seadanya saja. Semampu saya. Kami pulang lewat Mawangi.
Di
Jembatan Merah saya berhenti. Hujan cukup lebat. Saat teduh saya meneruskan
pulang.
Membantu
menurunkan barang dan menempatkannya di sekolah.
Kandangan, 25-03-2012
RINDU
URBANA
Saya
rindu menulis kembali ke Tabloid Urbana. Bila ada waktu dan kesempatan saya
akan kirim tulisan kesana. Pas sekali bila dilengkapi dengan foto.
Saya
akan menulis ke rubrik Mubina, Pustaka, dan Oase. Lalu kalau bisa juga rubrik
Seni dan Budaya, Kini dan Dulu, dsb.
Alangkah
serunya bila saya diberi kartu pers oleh pihak Urbana . Ada
duit olah baju kaos berlabel Urbana .
Buat stiker Urbana . Lalu disebar kemana-mana. Sebagai
bentuk promosi murah Seperti saat ke Air Terjun Haratai. Banyak-banyak saya
tempeli stiker Urbana
di tempat peristirahatan.
.Setiap hari Senin khusus cari berita
/ liputan ke sumber berita di HSS, HST, dan Tapin. Bisa pula ke HSU, Balangan
dan Tabalong. Sekaligus membantu Zaidinnor, perwakilan Urbana di Banua Enam.
Biar
penampilan sederhana tapi otak cerdas. Ternyata kamu wartawan ya ? Untuk apa
kamu menulis ? Begitu banyak pertanyaan yang disuguhkan kepada saya. Saya
menulis karena hobi dan sudah menjadi bagian hidup saya.Titik.
Alangkah
indahnya saya buat tulisan ke Urbana .
Walaupun tidak dimuat tapi saya sudah berusaha. Masih ada blog pribadi. Jadi
sewaktu-waktu kirim lagi. Terus menulis ! Menulis terus !
Pada
Dulu dan Kini saya mengulas tentang dunia pariwisata Loksado. Saya kan wawancara dengan
Kadinasparbud HSS. Juga dengan warga dan pemerhati Loksado. Dilengkapi beberapa
foto seperti Gunung Kantawan, Balanting Paring, dan jembatan gantung.
Pada
Pustaka saya mengulas buku Mohammad Sobary berjudul Singgasana dan Kutu Busuk.
Pada
rubrik Oase saya menulis profil penjual es keliling di HST. Lalu pada Surat
Dari Kandangan saya menulis masa lalu suling Bamban yang fenomenal saat itu.
Kandangan, 27-03-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar