AKHMAD HUSAINI
Kumpulan Cerpen
Kai Imbran
dan
Sepedanya
SKETSA HSS
www.sketsahss212.blogspot.com
Menguak Hulu
Sungai Selatan Lebih Jauh
2012
TENTANG PENULIS
AKHMAD HUSAINI, lahir di
Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 18 November 1979.
Karyanya
berupa puisi, cerpen, artikel, dsb pernah disiarkan dan dipublikasikan di : BBC
London Siaran Bahasa Indonesia, Radio Australia, RRI Nusantara III Banjarmasin,
SKM Media Masyarakat, SKM Gawi Manuntung, SKH Banjarmasin Post, SKH Metro
Banjar, Tabloid Bebas, Tabloid Serambi Ummah, Tabloid Gerbang, SKH Radar
Banjarmasin, Buletin Berita HIFI, dan Tabloid Urbana.
Kegiatan
sastra yang pernah diikuti antara lain : Diskusi Sastra “ Hijaz Yamani Dalam
Pergaulan Sastra “ Desember 2003 di Banjarmasin ; Aruh Sastra Kalimantan
Selatan I , Tahun 2004 di Kandangan ; Workshop Penulisan Cerpen Dalam Rangka
Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V Tahun 2007 di Taman Budaya Kalsel Banjarmasin
; Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV Tahun 2007 di Amuntai ; Aruh Sastra
Kalimantan Selatan V Tahun 2008 di
Paringin ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI Tahun 2009 di Marabahan ; Aruh
Sastra Kalimantan Selatan VII Tahun 2010 di Tanjung : Aruh Sastra Kalimantan
Selatan VIII Tahun 2011 di Barabai.
Puisinya
dimuat dalam buku antologi penyair Kalimantan Selatan : Do’a Pelangi di Tahun Emas (2009) , Menyampir
Bumi Leluhur (2010) dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).
Sekarang
tinggal di Jl. A.Yani Km.8 RT.1 No.40 Angkinang
Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kode
Pos 71291 e-mail : beritahss@yahoo.co.id. blog : www.sketsahss212.blogspot.com
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan izin
Allah SWT, Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan Kumpulan Cerita Pendek : Kai
Imbran dan Sepedanya
ini. Namun tidak afdhal kiranya bila belum mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu atas terbitnya buku ini.
Yang pertama tentunya kepada kedua
orangtua saya yang selalu mendorong untuk benar-benar menekuni dunia yang satu ini, dunia
tulis-menulis. Do’a mereka selalu
menyertai setiap gerak langkah yang saya lakukan.
Kemudian kepada rekan sejawat saya
sastrawan Kandangan, Aliman Syahrani yang begitu besar jasanya terhadap saya
dalam menggeluti dunia sastra. Yang memotivasi untuk terus berkarya. Juga
menyediakan apa saja yang diperlukan. Seperti komputer untuk menulis naskah
tulisan serta buku-buku seputar sastra.
Ucapan berikutnya kepada M. Abdan
Shadieqi yang selalu setia meluangkan waktu walau sesibuk apapun membantu
penyelesaian naskah karya ini menjadi sebuah buku.
Juga kepada mas Baban Sarbana, lewat
tulisannya yang saya baca baik di blog Lebah Cerdas maupun Kompasiana, saya
makin termotivasi dalam menulis.
Juga kepada teman-teman saya yang
tergabung dalam RIAK ( Regenerasi Islam AlKautsar ) : Ma’mun Syarif, Akhmad
Syarifudin, Herry Supriadi, Rezki Anshari, Hendry Riswandi, Maulana Ahadi,
Hairul Ilmi, Falkiani, Taufik Rahman, dan Silahudin. Semoga organisasi kita
tetap eksis berkiprah di masyarakat.
Kepada rekan saya Azroni Rizza
beserta isteri yang dulu gencar menyemarakkan kegiatan Islami. Kini berprofesi
sebagai aparat hukum, jadi polisi. Kapan kita dapat bersama seperti dulu lagi ?
Tak akan pernah saya lupakan
teman-teman alumni PSBR Budi Satria Angkatan XXXIX Tahun 2000. Terutama kepada
Syam’ani, Tini Chalis Sari, Maria Olfah, Ernie Susiantie, Erma Ratnapuri, Ray
Hairullah, Andrian, Alik Riduan, Syaiful Rahman, Abdul Majid, M. Abduh, Basuni,
Zulkifli, M. Ali, Jayadi, M. Syafi’e, dll. Banyak inspirasi dari mereka yang
memenuhi karya ini.
Juga ucapan terima kasih tak lupa
saya persembahkan kepada kepala PSBR Budi Satria saat itu, Drs. E.
Kusmayadi yang selalu memacu untuk
berdisiplin. Juga kepada Peksos Bapak Thamrin yang pernah mengatakan peluang
emas tidak akan datang untuk kedua kali, oleh karena itu manfaatkanlah sebaik
mungkin. Juga mengatakan agar setiap
melakukan sesuatu harus dengan perasaan. Tak lupa juga kepada Peksos lainnya :
Bapak Agus yang pernah berucap agar selalu menjadi pelopor, Ibu Safta, Ibu Ida,
Ibu Tita Febriani yang bungaz en keren abiz, Ibu Sacik, Ibu Sutinah, Hadi, Idang,
dan Kadek.
Lalu ucapan terima kasih banyak juga
dihaturkan kepada rekan sejawat saya Akhmad Rizali yang selalu menemani dalam berbagai kegiatan.
Tak lupa juga kepada Bambang
Rahmatullah dan Syamsu Rais, wartawan Tabloid BeBAS yang pernah datang ke tempat
saya untuk mengkonfirmasi sebuah berita. Mereka memotivasi saya untuk terus
menulis di media.
Juga kepada Ibrahim HN, Redaktur
Gaib SKH Metro Banjar yang sudah memuat puluhan
karya saya di medianya sejak Januari 2003.
Kepada Yusni Hardi dan Mahfuz Abdullah,
wartawan SKH Radar Banjarmasin yang eksis membangun HSS di media mereka.
Juga kepada Hanani, SH, wartawati
SKH Banjarmasin Post sering jadi teman berbincang soal pembangunan di Hulu
Sungai Selatan. Juga Aliansyah Jumbawuya, wartawan Tabloid Serambi Ummah yang
buku miliknya kumpulan cerpen Putu Wijaya berjudul BLOK pernah dipinjam untuk
bahan referensi sastra saya.
Lalu tak lupa pula kepada Sumile
Rusbandi, penyiar Radio Gema Kuripan Amuntai yang memberikan ilham tentang
kreasi-kreasi baru dalam materi karya saya.
Untuk kesekian kali terima kasih
saya ucapkan kepada sastrawan Kandangan yang turut mendorong saya lebih maju
lagi dalam berkarya. Terima kasih kepada Burhanuddin Soebely, Djarani EM, Iwan
Yusi, Hardiansyah Asmail, Muhammad Fuad Rahman, Imraatul Jannah, Muhammad
Faried WSH. Juga kepada Jamal T Suryanata, sastrawan Kalsel kelahiran Kandangan
yang bermukim di Pelaihari, Tanah Laut. Ternyata ia alumni MTsN Angkinang,
urang Sungai Baru.
Juga kepada Bapak Bahdar Djoehan,
anggota DPRD HSS, mantan wakil Bupati HSS yang pernah melontarkan ucapan agar
terus menulis tentang HSS asal sesuai dengan koridor yang berlaku.
Kepada Drs. Jarkasi, Dosen FKIP
Unlam Banjarmasin yang pernah perhatian terhadap diri saya dalam berkarya.
Juga kepada Adi Lesmana ( Pimpinan
Hitro Computer ), Syaiful Rahman, dan
Udin yang selalu menyediakan tempat dan waktu bagi saya dalam berbagi cerita.
Terima kasih banyak selanjutnya saya
ucapkan kepada orang-orang yang dulu pernah seperjuangan mengelola Tabloid
Gerbang : Bapak Rahmady Radiany, Sufriatni Dharma, Abdaludin, Ruslan Faridi, M.
Supeli AG, Fahrudin, (Alm) Zafuri Baseri, (Alm) Muhammad Faried, Wasnan Amri,
dan Fitriansyah Hidayat. Kapan Gerbang terbit kembali ?
Juga kepada Bapak Rahmatullah AR,
Pimpinan Duta Setia Komputer Kandangan yang juga Ketua MPC Poros Indonesia HSS
yang mengatakan sebuah kesuksesan berawal dari aplikasi khayalan.
Ucapan terima kasih juga saya
haturkan kepada Bapak H. Zuhdi Basyuni, Ahdizzairin, dan Bahrul Fikri AM,
pengurus teras DPC PPNUI HSS. Yang memberikan pengalaman tentang betapa
sulitnya mengelola sebuah partai politik.
Juga kepada Syamsul Muarif, pengurus
PWI Reformasi Kalsel yang juga aktivis organisasi kepemudaan di Kalsel. Ia
mewanti-wanti agar jangan terpengaruh dengan narasumber saat mengkonfirmasi
berita.
Juga kepada Dewan Guru dan Staf Tata
Usaha MTsN Angkinang yang selalu memberi ruang dalam meniti jalan hidup.
Termasuk siswa-siswinya yang banyak mengilhami lahirnya karya ini.
Tak kalah penting juga saya ucapkan
kepada M. Ibrahim, rekan saya yang kini menjadi guru di Sampit, Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kalteng. Sering membantu dan memberitahu tentang karya saya
yang dimuat di media massa.
Juga kepada Sandi Firly, Redaktur
Sastra SKH Radar Banjarmasin. Lewat rubrik Cakrawala Sastra dan Budaya saya
dapat memperkaya khazanah dalam berkarya.
Juga
kepada Joni Wijaya, mahasiswa Unlam yang ternyata adalah seorang cerpenis
kelahiran Kandangan.
Juga kepada Rahmadiansyah, anggota
KIPPP ( Komisi Independen Pemantau Pelayanan Publik ) Hulu Sungai Selatan yang
selalu sejalan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Tak lupa pula kepada Mas Suyadi,
pengasuh Club HIFI ( Hobbies Information Friends Indonesia ) Jakarta yang
menggairahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam wadah tersebut.
Juga kepada karyawan-karyawati Kantor Perpustakaan Dokumentasi dan Arsip
Daerah ( KPDAD ) HSS terutama kepada Bapak Tajidinnor yang selalu terbuka
terhadap kehadiran saya disana.
Kepada Muhammad Radi yang memotivasi
saya untuk terus berkarya selagi masih muda dan sedang gairah-gairahnya.
Juga ucapan terima kasih banyak saya
haturkan kepada Hertayuni dan Naisaburi, yang selalu mengawasi karya saya di
media massa. Juga rekan saya Bastani yang pernah seia-sekata untuk membuat
tulisan ke media massa.
Juga famili saya Jumliyani Sari,
yang ikut memberikan semangat agar tetap terus berkarya. Juga yang selalu
membantu, Mahmudin dan Akhmad Syarkawi. Juga M. Rasyid yang pernah mengemukakan
agar saya dapat membuat sebuah buku. Ini menyusul seiring dengan tingginya
frekuensi penerbitan karya saya di media massa.
Juga kepada Syaiful Kamrani, agen
koran di Pasar Angkinang. Juga kepada pimpinan dan karyawan PT
Pos Indonesia Angkinang. Juga kepada Yusril Jauhari yang selalu membantu saya.
Terima kasih juga saya persembahkan
kepada rekan-rekan seperjuangan di dunia gelimang lumpur, keringat, dan
matahari : Mulyadi, Raji, Fahri, Suhaimi, Ambin, Taberani, dan Jain. Semoga
selalu tabah dan sabar dalam menjalani hidup yang begitu terjal ini.
Serta semua pihak yang tidak dapat
disebut satu-persatu yang turut mendukung keinginan saya sejak lama untuk
menerbitkan sebuah buku.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan
kecintaan kita terhadap dunia sastra kian tinggi. Setidaknya dapat
menghargainya sebagai sebuah karya yang monumental.
Saya berharap ada kritik dan saran
dari pembaca untuk kemajuan buku ini. Karena buku ini masih banyak
kekurangannya disana-sini. Atas perhatian semua pihak diucapkan terima kasih
banyak. Selamat membaca semoga ada manfaatnya.
AKHMAD
HUSAINI
KAI IMBRAN
DAN
SEPEDANYA
Kai
Imbran ribut. Sepeda kesayangannya tak ada di rumahnya. Akibatnya dia mendadak
temperamental. Nini Ipat, isterinya pun jadi sasaran.
” Aku bosan mendengar ocehanmu,”
ucap Kai Imbran singkat.
Kenapa Kai
Imbran begitu fanatik dengan sepedanya itu ?
” Karena ia punya sejarah tersendiri
bagi kehidupanku,” ujar Kai Imbran saat ditanya tetangganya yang turut prihatin
melihat keadaan Kai Imbran setelah kehilangan sepedanya. Baginya sepeda itu
adalah harta pusakanya.
” Kalau sepintas lalu sepeda itu
adalah biasa-biasa saja. Di pasar pun banyak dijual,” beritahu
Kai Imbran. Sepedanya itu ujar Kai Imbran sudah tua.
“ Sepeda itu dibeli saat aku masih
bujangan dulu hasil dari bertani,” ujar Kai Imbran.
Menurut Kai Imbran saat pacaran
dengan Nini Ipat dulu sepeda itu jadi saksi bisu. Karena saat pacaran sepeda
tersebut selalu dibawa. Kai Imbran sudah puluhan tahun pensiun. Ia dulu jadi
guru di daerah terpencil. Kini bersama dengan Nini Ipat mendiami sebuah rumah
di sudut kampung kelahiran yang indah dan damai. Kai Imbran dan Nini Ipat
dikaruniai dua orang anak. Kini bermukim di pulau Jawa. Saban lebaran mereka
pulang kampung untuk bersilaturrahmi dengan orangtua dan sanak famili lainnya.
Kenapa Kai Imbran
ngotot mencari kemanapun sepedanya itu. Ternyata sepeda itu mempunyai sejarah
tersendiri baginya. Banyak kenangan tersimpan di sepeda itu. Yang tak dapat
digambarkan dengan kata-kata.
Kai Imbran sibuk mencari ke kolong
rumah kalau-kalau sepedanya itu ada disana. Kai Imbran mencari ke pasar loak.
Kalau-kalau sepedanya bisa ditemukan di tempat itu. Setiap sepeda
diamati secara detail dan hati-hati. Berjam-jam Kai Imbran berada disana. Namun
usahanya tetap nihil.
Minggu berikutnya ia kembali
melakukan hal yang sama.
” Bagaimana kalau beli yang baru
untuk mengganti sepeda itu ?” ujar Nini Ipat.
Namun Kai Imbran tetap pada
pendiriannya. ” Sepeda itu punya sejarah tersendiri yang tak bisa dilupakan,”
ujar Kai Imbran.
Hal ini tentu
saja membuat Nini Ipat tak berkutik. Menurut apa kata suami. Namun ia tetap
turut berusaha memecahkan masalah ini.
Dulu sepeda itu selalu digunakan Kai
kemanapun juga seperti ke kenduri, pasar, sawah, dan tempat lainnya.
Entah kenapa hari itu Kai Imbran
tidak memakai sepeda itu lagi. Ia terlihat seperti seorang gadis cantik yang
kehilangan pesona. Tak ada lagi yang berani memandangnya. Seperti orang
yang buruk rupa. Bahkan anak-anak yang tinggal se kampung dengan Kai Imbran
berani mengejek.
” Hilang sepeda seperti orang Kayu Tangi
Ujung,” ucap anak-anak itu sembari memperlihatkan pantat mereka ke arah muka
Kai Imbran. Sungguh terlalu.....
Tentu saja Kai jadi berang melihat
pelecehan diri tersebut, sekaligus juga merasa tersinggung. Sampai-sampai mau
melempar anak-anak tersebut dengan batu. Tapi anak-anak itu keburu kabur.
Sepeda itu sangat khas. Tidak ada
yang menyamainya. Karena sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Tampil unik dan
elegan. Saat di sawah pun sepeda itu selalu dibawa. Karena jarak rumah dengan
sawah lumayan jauh. Lalu, bila bekerja sepeda itu akan disimpannya ke dalam
rampa.
Kai Imbran bahkan ingin melaporkan
kejadian ini ke Komnas HAM segala. Biar tuntas. Tapi
isterinya tidak mendukung.
“ Buru-buru ngurus masalah kita,
yang lain saja masih banyak yang belum terselesaikan,” ucap isterinya ketus.
Kai Imbran tak lagi bergairah
menjalani hidup. Sawahnya dibiarkan saja terbengkalai. Dia tak mampu lagi
mengurus rumah tangga. Akhirnya berantakkanlah kehidupan mereka. Seperti
mengurus kota yang semrawut oleh berbagai masalah. Dari pasar yang kumuh,
penertiban PKL, hingga terminal. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan.
Bagi Kai Imbran sepeda itu adalah
pusaka berharga yang tak dapat dipisahkan dari sejarah hidupnya.
“ Sudahlah Pak, kalau memang Tuhan
menghendaki hilang bagaimana lagi. Manusia saja bisa mati,” ujar isterinya.
Memang benar juga kenapa memikirkan
sepeda yang usianya sudah tua itu. Hidup didunia saja tak ada yang abadi.
” Jabatan bupati saja bisa berakhir
belum saatnya bila ada yang menggoyang ataupun bupatinya yang keburu meninggal
dunia,” ujar Nini Ipat lagi.
Tapi Kai Imbran bingung. Apakah
sepedanya itu hilang karena lupa meletakkan atau diembat oleh maling.
Tatapan orang
tak lagi bersahabat terhadap Kai Imbran. Mereka menganggap Kai Imbran sudah kehilangan
wibawa dan kharismanya. Setelah sepedanya itu hilang. Sungguh kejam sekali
hukum masyarakat ini. Dunia ! Dunia !
Kai Imbran masih ingat dengan
sepedanya itu. Ban depan dan ban belakang baru diganti. Sementara velg-nya
dicat warna hijau muda. Rantai dan bagian lainnya masih terlihat mengkilap.
Karena memang tiap pagi selalu diberi minyak kelapa biar tidak berkarat. Itu
semua dilakukan karena kecintaan kepada sepeda kesayangannya itu. Di usia
tuanya Kai Imbran berharap sepeda itu jadi manfaat untuk menjalani sisa-sisa
hidup.
Dulu sepeda itu tiap subuh dibawa
oleh isterinya untuk berjualan sayuran ke pasar subuh. Paginya giliran Kai
Imbran yang memakai untuk keperluan lainnya.
Kai Imbran sadar. Hidupnya penuh
dengan liku-liku yang tentu dia jalani dengan ikhlas. Sepeda yang hilang itu
jadi salah satu bahan pemikirannya.
” Kenapa sampai terjadi kesenjangan
dimuka bumi ini Pak ?” ujar Nini Ipat kepada suaminya untuk mengalihkan pokok
pembicaraan. Yang ditanya malah diam saja bahkan terlihat melamun.
” Pak,” ucap Nini Ipat sembari
tangannya menggoyang-goyang bahu suaminya itu.
Kai Imbran
melihat jalan hidup ini betapa terjalnya. Sepeda itu tak akan kembali lagi
kepadanya. Tapi Kai Imbran tak mau berputus asa. Ia menghubungi temannya yang
berprofesi sebagai paranormal. Kai Imbran menyerahkan masalah tersebut kepada
teman lamanya itu.
” Sepeda itu tidak hilang cuman ada
yang meminjam saja,” ucap temannya itu yang sudah puluhan tahun menggeluti
profesinya itu. Kai Imbran tambah bingung. Perjalanan itu terlalu jauh. Bagai
roda sepedanya yang hilang itu.
” Tidak punya pekerjaan tetapi tetap
bekerja. Tidak punya penghasilan tetap tetapi punya penghasilan,” ujar Kai
Imbran.
Isterinya
tertawa lebar mendengar kalimat-kalimat manis sang suaminya itu.
” Kaya dulu baru idealis, bukan
idealis baru kaya,” timpal Nini Ipat.
Begitu harmonisnya hubungan Kai
Imbran dengan Nini Ipat. Walau sepeda mereka hilang tak tahu entah kemana
rimbanya.
Tertatih Kai Imbran meniti kehidupan
ini. Sepeda tuanya bukanlah bagian penting hidupnya. Namun sepeda itulah yang
membuatnya bergairah menjalani hidup.
Walaupun zaman sudah berubah. Semua
orang memakai motor dan mobil. Tapi Kai Imbran tetap eksis dengan sepedanya.
Sementara anak muda saat ini bangga memakai motor dan mobil, terlihat gagah dan
angkuh, padahal milik orangtua mereka. Yang belum tentu lunas bayar kreditnya.
Kai Imbran masih ingat saat zamannya
dulu. Naik sepeda menonton orkes dangdut. Begitu ramai sekali. Dijalan menggoda
wanita. Tapi sekarang anak muda sudah naik motor semua. Yang memakai sepeda
pancal diketawakan. Dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Ke sekolahpun sekarang
jarang yang memakai sepeda. Kalau tidak naik motor, naik mobil orang alias naik
taksi. Juga wanita tidak ada yang naksir kepada cowok yang memakai sepeda.
Mereka lebih suka mendambakan laki-laki yang menggunakan jimat Jepang.
Keterlaluan memang !
Ternyata sepeda tak lagi punya
kharisma dimata seorang wanita sekarang ini. Tapi di
kota-kota lain di dunia sepeda malah jadi alat transportasi primadona. Seperti
di negeri Tirai Bambu, China. Karena dapat mengatasi masalah kemacetan lalu
lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan polusi
pabrik industri yang tumbuh kian pesat.
Kandangan,
Maret 2004
KSATRIA MANDALA
Mortal BX dan
Mortal BY adalah dua sarana transportasi canggih yang dimiliki oleh Ksatria
Mandala. Mortal (Modifikasi RIAK untuk Teknologi Asli Banjar) BX untuk jenis
motor dengan bodi anti peluru. Sedangkan Mortal BY adalah jenis mobil multifungsi
yang bisa digunakan di darat maupun di air.
Sebagai putera Banua membuat Ksatria
Mandala turun tangan untuk menumpas
Jaringan Teroris Banjar (JTB) dibawah pimpinan Professor Boentadh dan Jenderal
Bhanganx.
Saat Bandara Syamsudin Noor diblokir
oleh JTB terpaksa Ksatria Mandala mendaratkan jet pribadinya di Bandara
Warukin, Tanjung. Namun naas ketika landing
pesawat itu ditembak oleh kelompok JTB yang sudah tahu akan kedatangan
Ksatria Mandala dari Jerman. Akibatnya pesawat hancur berkeping-keping. Namun
untunglah Ksatria Mandala berhasil menyelamatkan diri. Ia terhindar dari
ancaman kematian setelah melarikan diri ke belantara Meratus.
Mendengar tentang hancurnya pesawat
jet pribadi Ksatria Mandala, Professor Boentadh sangat gembira sekali. Keinginan untuk menguasai
tanah Banjar sudah berada dalam genggaman.
” Mari kita rayakan kemenangan ini
dengan pesta pora, ” ujar Professor Boentadh kepada Jenderal Bhanganx. Saat itu
mereka sedang berada di markas JTB menyaksikan rekaman video hancurnya pesawat
jet milik Ksatria Mandala. Juga saat itu hadir beberapa perwakilan divisi
kontak JTB dari beberapa kawasan di Tanah Banjar. Mereka sedang bersuka ria
merayakan sebuah kemenangan.
Sementara itu Kapten Dartamian
sahabat Ksatria Mandala di Jerman ketika mendengar rekannya tertembak ikut
prihatin. Kapten Dartamian adalah warga Jerman keturunan Banjar. Ia pun merasa
terpanggil untuk menumpas JTB.
Ksatria Mandala ternyata terdampar
di pemukiman masyarakat Dayak Meratus setelah pesawatnya ditembak kelompok JTB.
Akibatnya ia mengalami luka-luka yang agak serius. Gerak tubuhnya pun menurun.
Dia berupaya untuk tetap tegar. Dalam keadaan lemah ia tetap tabah melewati
batu terjal yang menghambat.
Selama berminggu-minggu ia mendapat
pertolongan warga disana. Ternyata warga sangat peduli dengan nasib manusia
yang sedang menderita walau bukan warga setempat sekalipun. Mereka
merasa bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami oleh Ksatria Mandala .
Yang paling peduli adalah pimpinan adat setempat, Damang Karojudde. Juga
isterinya, Dianx Chalemood dan seorang anak gadisnya yang berwajah rupawan,
Inoer Gharyta.
Mereka setiap saat memantau keadaan
Ksatria Mandala yang terbaring di dalam Balai Batunx Batulesse yang ukurannya
cukup luas dan besar. Dihuni sekitar 50 KK.
Sementara itu juga beberapa
fasilitas umum di Tanah Banjar mulai dibidik oleh JTB sebagai target pemboman.
Terutama yang agak vital seperti Bandara Syamsudin Noor, Kantor Redaksi
Landasan Ulin Post (Lupost), Kantor Walikota Banjarbaru, Pasar Kandangan, Hotel
Sungai Kupang Palace, dan Museum Rekor Banjar.
Sebagian anggota JTB dikerahkan
untuk merampok pedagang emas di Tanah Banjar. Serta juga kantor bank swasta
seperti Bank Crode International. Uangnya nanti digunakan untuk kelangsungan
hidup JTB. Mereka tersebar di tiga tempat yakni di Loksado, Pantai Batakan, dan
Tanah Grogot.
Menengok bangunan markas JTB sungguh
mengagumkan. Walau berada di pedalaman ternyata bangunannya sangat megah.
Seperti gedung putih yang ada di Amerika Serikat. Apalagi ditunjang dengan
fasilitas lengkap dan gudang persenjataan modern yang cukup lengkap. Diatas
markas terdapat dua buah helikopter yang sedang parkir. Menurut perkiraan
jumlah anggota JTB mencapai separo jumlah penduduk tanah Banjar. Sebagian dari
mereka pernah mengikuti pelatihan di luar negeri dalam rangka menjalankan
tugas.
Malam terus merayap. Di dalam balai
Ksatria Mandala masih belum tidur. Dia merasa damai disini. Walau begitu ia
mencoba menghubungi keluarga dan temannya lewat sebuah IT mini yang ada disaku
celana.
Ia lebih dahulu menghubungi Paman
Hatavsinx keluarganya yang ada di kota Kandangan. ” Untuk sementara kamu jangan
ke Kandangan dulu. Karena suasana disini belum kondusif. JTB masih bergerilya
mencari kamu,” ujar pamannya.
Atas usul Paman Hatavsinx Ksatria
Mandala untuk sementara tinggal di balai. Sekaligus memulihkan rasa sakitnya.
Hubungan dengan sahabat dekatnya yang seorang fotomodel yaitu Chadda Tafharra
jadi terputus. Juga dengan Guru Besar Iaphanx yang selalu mensupport dalam
menjalani hidup ini.
Professor Boentadh mengerahkan
anggotanya ke kawasan Taman Cahaya Bumi Selamat (CBS) Martapura. Disana
mobil canggih di parkir. Lalu menyerbu toko-toko permata dan perhiasan lainnya.
Kemudian mengambilnya dengan paksa.
Sementara itu juga sebuah meriam
temuan warga di Pasar Martapura beberapa waktu lalu juga ikut dirampas oleh
anggota JTB. Padahal meriam itu oleh pihak Pemkab Banjar akan dipajang di depan
Kantor Bupati setempat. Bupati Banjar sempat sewot tapi setelah tahu yang
membikin olah itu Professor Boentadh Cs ia hanya diam dan membiarkan saja.
Kehadiran JTB di tanah Banjar walau
tidak mengganggu aktivitas pemerintahan dan masyarakat umum namun sedikit
banyaknya cukup meresahkan.
Di Pantai Batakan Polres Tanah Laut
dibuat kelimpungan. Karena di pantai itu para nelayannya melakukan aksi
pembakaran penginapan wisata. Diduga aksi para nelayan itu dikompori oleh JTB.
Akibatnya pantai Batakan jadi lautan api. Tak lagi ada pemandangan indah disana
yang selama ini jadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Sementara itu juga di Pantai
Pagatan, Tanah Bumbu saat digelar pesta adat Mappanretasi ternyata diantara
sekian banyak pengunjung terlihat puluhan anggota JTB ikut menyelusup disana.
Mereka merencanakan untuk menggagalkan puncak pesta pantai dengan membom
kawasan tersebut.
Diduga juga para anggota JTB itu
terlibat atas tewasnya 4 anggota Polsek Satui. Dimana korban sengaja ditabrak.
Kijang yang ditumpangi Kapolsek dan anggotanya ditabrak dengan tronton
batubara.
JTB tidak
menginginkan tanah Banjar dipimpin oleh orang luar. JTB ingin setiap jabatan
penting dan strategis di tanah Banjar harus urang Banjar sendiri yang jadi
pimpinannya. JTB resah kalau tanah Banjar dijajah oleh suku lain dalam segala
bidang kehidupan. Lihat saja rumah makan Padang dan Jawa mendominasi
setiap kota di tanah Banjar.
Kandangan,
2002-2011
PEREMPUAN FIKSI
Perempuan Fiksi
adalah perempuan idaman hati Adit. Perempuan salehah pendamping hidup di dunia
dan akhirat. Teman dikala suka maupun duka. Perempuan paling cantik di dunia. Kadada nang manyainginya tu pang.
Dia membuat hidup Adit bersemangat.
Tampak anggun mempesona. Apalagi sikapnya yang ramah dan sopan santun. Adit tak
akan pindah kelain hati. Perempuan Fiksi, siapa yang tak terpikat dengannya.
Sungguh anugerah Tuhan yang tiada taranya.
Lelaki seperti
Adit tentu tak tahan melihat kecantikannya. Duh bangganya
bila Adit disapanya. Ditegurnya dengan ramah.
” Ka
pian hakunlah mangawani ulun ?” ujarnya.
”
Mangawanikah ? mangawinikah ?” jawab Adit.
” Han
Kaka. Mangawani Ka ai,” ujar PF.
” Kemana ?”
tanya Adit.
” Kamana pian nang katuju.”
” Ka Loksado hakunlah?”
” Tasarah pian haja. Pabila pian
kada aur ?”
” Hari Minggu baisukan.”
” Ayuha.”
Perempuan Fiksi mengajak Adit
jalan-jalan. Hari Minggu adalah hari yang tepat untuk jalan-jalan. Karena hari
lainnya Adit sibuk bekerja. Juga Perempuan Fiksi sangat sibuk. Loksado jadi
pilihan tempat untuk jalan-jalan karena adalah wadah wisata favorit Adit. Dalam
sebulan minimal satu kali Adit menginjakkan kaki disana.
Kebetulan kali ini Perempuan Fiksi
mengajak Adit kesana. Tepat sekali.
Adit ingin mengukir keindahan di Loksado bersamanya.
Bersama Perempuan Fiksi Adit merasa
lebih berani menghadapi hidup. Sejatinya Adit adalah lelaki pemalu. Tidak
kemanusiaan. Maksudnya, pemalu. Bila melihat orang merasa ingin menjauh. Tidak
pede kata orang istilahnya. Lekas tersinggung. Seakan orang membicarakan kekurangan kita terus.
Tapi
sejak berkenalan dengan Perempuan Fiksi gairah hidup Adit sebagai seorang
laki-laki kian meningkat.
Pukul 10.00 Wita Adit ke Kandangan.
Seperti janji lewat handphone Perempuan Fiksi (sekarang disingkat PF) menunggu
Adit di masjid Istiqamah. Sepeda motor diparkir disana. Ke Loksado memakai
motor milik PF. Adit yang nyetir. ” Ka kita singgahan di warung simpang tiga
Jalan Hanyar dulu lah,” ujar PF. ” Ayuha,”
Mereka singgah dulu minum. Mereka
memesan es campur. PF mengambil tahu dan bakwan. Sedang Adit mengambil tahu,
tempe, dan pisang goreng. Mencari tempat
kosong. Saat itu ada beberapa pengunjung warung yang jadi favorit warga
Kandangan tersebut.
Penampilan PF
kian meyakinkan. Apalagi pakai jilbab seperti ini. ” Ka ulun haja gin
mambayari,” ujar PF setelah mereka selesai minum. Merasa malu juga ceweknya
yang membayari. Semestinya yang cowok yang mentraktir. Tapi berduit ceweknya jadi bagaimana lagi ?
Mereka berangkat
ke Loksado pukul 11.00 Wita. PF bawa tas berisi baju ganti. Kamera digital,
dompet, dan HP. Sebelum ke Loksado Adit dan PF ke Bendungan Amandit.
Sebelum Tanuhi ada pos retribusi /
karcis masuk objek wisata Loksado. Dalam karcis terdapat tulisan Rp.1000,-
sekali masuk. Tapi petugas malah memungut Rp.2000,-/orang. Adit agak kesal juga
menyaksikan hal ini.
Tiba di Loksado tengah hari. Seperti
biasa Adit ke Malaris, ke Riam Anai. Disana tempat favoritnya bersantai dan
rileks mengusir kepenatan selama satu minggu bekerja. Ternyata hari itu
orangnya banyak juga. Ini terlihat dari beberapa buah motor yang diparkir dekat
gubuk. Jembatan gantung kian rusak. Mereka harus hati-hati melewatinya. PF
memegang tangan Adit. ” Ka ulun takutan,” ujar PF.
Mereka berjalan naik ke atas. Disana
ada beberapa orang asyik mandi. Adit dan PF lantas menuju ke tempat yang lebih
sunyi. Kali ini perasaan hati mereka kian membuncah. Pikiran makin membersit
kepada hal-hal yang abstrak.
Kandangan,
November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar