Minggu, 01 April 2012

NOVEL : ANAK ANGKINANG MENGGAPAI BINTANG

Senin, 2 April 2012

A K H M A D H U S A I N I


Sebuah Novel
A n a k A n g k i n a n g
M e n g g a p a i
B i n t a n g


angkinang.hss
www.sketsahss212.blogspot.com
Semua Tentang Kabupaten Hulu Sungai Selatan Ada Disini

2012




TENTANG PENULIS

AKHMAD HUSAINI, lahir di Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 18 November 1979.

Karyanya berupa puisi, cerpen, artikel, dsb pernah disiarkan dan dipublikasikan di : BBC London Siaran Bahasa Indonesia, Radio Australia, RRI Nusantara III Banjarmasin, SKM Media Masyarakat, SKM Gawi Manuntung, SKH Banjarmasin Post, SKH Metro Banjar, Tabloid Bebas, Tabloid Serambi Ummah, Tabloid Gerbang, SKH Radar Banjarmasin, Buletin Berita HIFI, dan Tabloid Urbana.

Kegiatan sastra yang pernah diikuti antara lain : Diskusi Sastra “ Hijaz Yamani Dalam Pergaulan Sastra “ Desember 2003 di Banjarmasin ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan I , Tahun 2004 di Kandangan ; Workshop Penulisan Cerpen Dalam Rangka Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V Tahun 2007 di Taman Budaya Kalsel Banjarmasin ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV Tahun 2007 di Amuntai ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan V Tahun 2008 di Paringin ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI Tahun 2009 di Marabahan ; Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII Tahun 2010 di Tanjung : Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII Tahun 2011 di Barabai.

Puisinya dimuat dalam buku antologi penyair Kalimantan Selatan : Do’a Pelangi di Tahun Emas (2009) , Menyampir Bumi Leluhur (2010) dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).
Sekarang tinggal di Jl. A.Yani Km.8 Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. e-mail : beritahss@yahoo.co.id. blog : www.sketsahss212.blogspot.com


UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan izin Allah SWT, Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan novel ini. Namun tidak afdhal kiranya bila belum mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu atas terbitnya buku ini.

Yang pertama tentunya kepada kedua orangtua saya yang selalu mendorong untuk benar-benar menekuni dunia yang satu ini, dunia tulis-menulis. Do’a mereka selalu menyertai setiap gerak langkah yang saya lakukan.

Kemudian kepada rekan sejawat saya sastrawan Kandangan, Aliman Syahrani yang begitu besar jasanya terhadap saya dalam menggeluti dunia sastra. Yang memotivasi untuk terus berkarya. Juga menyediakan apa saja yang diperlukan. Seperti komputer untuk menulis naskah tulisan serta buku-buku seputar sastra.

Ucapan berikutnya kepada M. Abdan Shadieqi yang selalu setia meluangkan waktu walau sesibuk apapun membantu penyelesaian naskah karya ini menjadi sebuah buku.

Juga kepada mas Baban Sarbana, lewat tulisannya yang saya baca baik di blog Lebah Cerdas maupun Kompasiana, saya makin termotivasi dalam menulis.
Juga kepada mas Andrea Hirata yang secara tidak langsung lewat novel Laskar Pelangi telah memantik gairah saya untuk menulis tentang perjalanan hidup.

Juga kepada teman-teman saya yang tergabung dalam RIAK ( Regenerasi Islam Al-Kautsar ) : Ma’mun Syarif, Akhmad Syarifudin, Herry Supriadi, Rezki Anshari, Hendry Riswandi, Maulana Ahadi, Hairul Ilmi, Falkiani, Taufik Rahman, dan Silahudin. Semoga organisasi kita tetap eksis berkiprah di masyarakat.

Kepada rekan saya Azroni Rizza beserta isteri yang dulu gencar menyemarakkan kegiatan Islami. Kini berprofesi sebagai aparat hukum, jadi polisi. Kapan kita dapat bersama seperti dulu lagi ?

Tak akan pernah saya lupakan teman-teman alumni PSBR Budi Satria Angkatan XXXIX Tahun 2000. Terutama kepada Syam’ani, Tini Chalis Sari, Maria Olfah, Ernie Susiantie, Erma Ratnapuri, Ray Hairullah, Andrian, Alik Riduan, Syaiful Rahman, Abdul Majid, M. Abduh, Basuni, Zulkifli, M. Ali, Jayadi, M. Syafi’e, dll. Banyak inspirasi dari mereka yang memenuhi karya ini.

Juga ucapan terima kasih tak lupa saya persembahkan kepada Kepala PSBR Budi Satria saat itu, Drs. E. Kusmayadi yang selalu memacu untuk berdisiplin. Juga kepada Peksos Bapak Thamrin yang pernah mengatakan peluang emas tidak akan datang untuk kedua kali, oleh karena itu manfaatkanlah sebaik mungkin. Juga mengatakan agar setiap melakukan sesuatu harus dengan perasaan. Tak lupa juga kepada Peksos lainnya : Bapak Agus yang pernah berucap agar selalu menjadi pelopor, Ibu Safta, Ibu Ida, Ibu Tita Febriani yang bungaz en keren abiz, Ibu Sacik, Ibu Sutinah, Hadi, Idang, dan Kadek.

Lalu ucapan terima kasih banyak juga dihaturkan kepada rekan sejawat saya Akhmad Rizali yang selalu menemani dalam berbagai kegiatan.

Tak lupa juga kepada Bambang Rahmatullah dan Syamsu Rais, wartawan Tabloid BeBAS yang pernah datang ke tempat saya untuk mengkonfirmasi sebuah berita. Mereka memotivasi saya untuk terus menulis di media.

Juga kepada Ibrahim HN, Redaktur Gaib SKH Metro Banjar yang sudah memuat puluhan karya saya di medianya sejak Januari 2003.

Kepada Yusni Hardi dan Mahfuz Abdullah, wartawan SKH Radar Banjarmasin yang eksis membangun HSS di media mereka.

Juga kepada Hanani, SH, wartawati SKH Banjarmasin Post sering jadi teman berbincang soal pembangunan di Hulu Sungai Selatan. Juga Aliansyah Jumbawuya, wartawan Tabloid Serambi Ummah yang buku miliknya kumpulan cerpen Putu Wijaya berjudul BLOK pernah dipinjam untuk bahan referensi sastra saya.

Lalu tak lupa pula kepada Sumile Rusbandi, penyiar Radio Gema Kuripan Amuntai yang memberikan ilham tentang kreasi-kreasi baru dalam materi karya saya.

Untuk kesekian kali terima kasih saya ucapkan kepada sastrawan Kandangan yang turut mendorong saya lebih maju lagi dalam berkarya. Terima kasih kepada Burhanuddin Soebely, Djarani EM, Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, Muhammad Fuad Rahman, Imraatul Jannah, Muhammad Faried WSH. Juga kepada Jamal T Suryanata, sastrawan Kalsel kelahiran Kandangan yang bermukim di Pelaihari, Tanah Laut. Ternyata ia alumni MTsN Angkinang, urang Sungai Baru.

Juga kepada Bapak Bahdar Djoehan, anggota DPRD HSS, mantan wakil Bupati HSS yang pernah melontarkan ucapan agar terus menulis tentang HSS asal sesuai dengan koridor yang berlaku.

Kepada Drs. Jarkasi, Dosen FKIP Unlam Banjarmasin yang pernah perhatian terhadap diri saya dalam berkarya.

Juga kepada Adi Lesmana ( Pimpinan Hitro Computer ), Syaiful Rahman, dan Udin yang selalu menyediakan tempat dan waktu bagi saya dalam berbagi cerita.

Terima kasih banyak selanjutnya saya ucapkan kepada orang-orang yang dulu pernah seperjuangan mengelola Tabloid Gerbang : (Alm) Bapak Rahmady Radiany, Sufriatni Dharma, Abdaludin, Ruslan Faridi, M. Supeli AG, Fahrudin, (Alm) Zafuri Baseri, (Alm) Muhammad Faried, Wasnan Amri, dan Fitriansyah Hidayat. Kapan Gerbang terbit kembali ?

Juga kepada Bapak Rahmatullah AR, Pimpinan Duta Setia Komputer Kandangan yang juga Ketua MPC Poros Indonesia HSS yang mengatakan sebuah kesuksesan berawal dari aplikasi khayalan.

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada (Alm) Bapak H. Zuhdi Basyuni, Ahdizzairin, dan Bahrul Fikri AM, pengurus teras DPC PPNUI HSS. Yang memberikan pengalaman tentang betapa sulitnya mengelola sebuah partai politik.

Juga kepada Syamsul Muarif, pengurus PWI Reformasi Kalsel yang juga aktivis organisasi kepemudaan di Kalsel. Ia mewanti-wanti agar jangan terpengaruh dengan narasumber saat mengkonfirmasi berita.
Juga kepada Dewan Guru dan Staf Tata Usaha MTsN Angkinang yang selalu memberi ruang dalam meniti jalan hidup. Termasuk siswa-siswinya yang banyak mengilhami lahirnya karya ini.

Tak kalah penting juga saya ucapkan kepada M. Ibrahim, rekan saya yang kini menjadi guru di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng. Sering membantu dan memberitahu tentang karya saya yang dimuat di media massa.

Juga kepada Sandi Firly, Redaktur Sastra SKH Radar Banjarmasin. Lewat rubrik Cakrawala Sastra dan Budaya saya dapat memperkaya khazanah dalam berkarya. 

Juga kepada Joni Wijaya, mahasiswa Unlam yang ternyata adalah seorang cerpenis kelahiran Kandangan.

Juga kepada Rahmadiansyah, anggota KIPPP ( Komisi Independen Pemantau Pelayanan Publik ) Hulu Sungai Selatan yang selalu sejalan memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Tak lupa pula kepada Mas Suyadi, pengasuh Club HIFI ( Hobbies Information Friends Indonesia ) Jakarta yang menggairahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam wadah tersebut.

Juga kepada karyawan-karyawati Kantor Perpustakaan Dokumentasi dan Arsip Daerah ( KPDAD ) HSS terutama kepada Bapak Tajidinnor yang selalu terbuka terhadap kehadiran saya disana.

Kepada Muhammad Radi yang memotivasi saya untuk terus berkarya selagi masih muda dan sedang gairah-gairahnya.

Juga ucapan terima kasih banyak saya haturkan kepada Hertayuni dan Naisaburi, yang selalu mengawasi karya saya di media massa. Juga rekan saya Bastani yang pernah seia-sekata untuk membuat tulisan ke media massa.

Juga famili saya Jumliyani Sari, yang ikut memberikan semangat agar tetap terus berkarya. Juga yang selalu membantu, Mahmudin dan Akhmad Syarkawi. Juga M. Rasyid yang pernah mengemukakan agar saya dapat membuat sebuah buku. Ini menyusul seiring dengan tingginya frekuensi penerbitan karya saya di media massa.

Juga kepada Syaiful Kamrani, agen koran di Pasar Angkinang. Juga kepada pimpinan dan karyawan PT Pos Indonesia Angkinang. Juga kepada Yusril Jauhari yang selalu membantu saya.

Terima kasih juga saya persembahkan kepada rekan-rekan seperjuangan di dunia gelimang lumpur, keringat, dan matahari : Mulyadi, Raji, Fahri, Suhaimi, Ambin, Taberani, dan Jain. Semoga selalu tabah dan sabar dalam menjalani hidup yang begitu terjal ini.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatu yang turut mendukung keinginan saya sejak lama untuk menerbitkan sebuah buku.

Dengan kehadiran buku ini diharapkan kecintaan kita terhadap dunia sastra kian tinggi. Setidaknya dapat menghargainya sebagai sebuah karya yang monumental.

Saya berharap ada kritik dan saran dari pembaca untuk kemajuan buku ini. Karena buku ini masih banyak kekurangannya disana-sini. Atas perhatian semua pihak diucapkan terima kasih banyak. Selamat membaca semoga ada manfaatnya.

Kandangan, April 2012

Penulis



AKHMAD HUSAINI




NOVEL AKHMAD HUSAINI
Anak Angkinang
Menggapai Bintang


Petang ini petang yang indah. Teringat kisah masa lalu yang cukup mengesankan. Belajar mengaji tiap malam usai shalat Maghrib dengan Ahyar, Dudu, Yadi, Ashadi, dan Idim. Setiap naik juz kami selamatan batuturuk gasan manukar wadai dan banyu teh. Mengaji setiap malam usai shalat maghrib dengan teman-teman di kampung. Usai shalat saya, Ashadi, Yadi, Ahyar, Dudu, dan Idim ke rumah Abahnya Nisa, disamping langgar. Kami mulai belajar dari alif-alifan hingga bisa baca Al Qur’an. Suasana keakraban sangat terasa. Mengaji sekitar satu jam.
***
Suasana Desa Angkinang Selatan, tanah kelahiran dan juga tempat tinggal saya hingga sekarang. Tahun-tahun yang berkesan : Ke Kotabaru tahun 2009. Ke Tanah Grogot tahun 2001 ikut membantu tetangga berjualan. Mangangarun. Bekerja di MTsN Angkinang ( 2005 – sekarang ). Waktu di MAN 2 Kandangan ( 1995 – 1998 ). Waktu di PSBR ( 2000 ).
Waktu di MTsN Angkinang (1992-1995). Inilah masa yang cukup berkesan selama hidup saya. Waktu masih duduk dibangku MTsN Angkinang. Teman-teman se kelas yang masih saya ingat namanya : M. Ardani , Masrin Huzairin, Zainuddin, Khairil Anwar, Bastani, Maswansyah, Syarkani, Jayadi, Rifani, dll. Sementara teman perempuan : Margaretta Ayu, Sri Fajaryati, Ika Damayanti, Muhibbah, Khairunnisa, Rabiatul Adawiah, Maria Ulfah, Rahmi Pertiwi, Inna Yastika, Yuliani Missa, dll.
Pengalaman yang cukup berkesan adalah waktu kelas I yakni membolos bersama teman-teman. Ceritanya hari itu hari Jum’at. Biasa disekolah saat itu diadakan senam. Tapi kami sekitar lima orang malah tidak ikut. Lalu dikejar oleh Bapa Syamsu Qamar, guru Penjaskes. Kami kabur. Sampai melewati Tembok Rel. Karena hari Jum’at tentu pulang lebih awal. Tapi kami takut ke sekolah. Lantas pulang ke rumah masing-masing. Tas dan buku ditinggal.
Kenangan lain yang cukup berkesan adalah membohongi teman sekelas yang bernama Diding. Ada cewek di Angkinang, Rini namanya, yang ngirim surat kepadanya. Padahal kami sendiri yang nulis. Ia cukup antusias menerima surat cinta tersebut.
Nama-nama teman saya di tsanawiyah cukup unik dan lucu-lucu. Ada sejarahnya masing-masing.

Diding Japun, disebut demikian karena jalannya berlenggang seperti itik japun. Tubuhnya pendek. Jago main catur. Pernah mewakili MTsN Angkinang pada ajang seleksi Pekan Madrasah tingkat Kabupaten HSS.
Sementara Maswan Asep, dipanggil demikian karena matanya sedikit cacat. Mirip penyanyi Asep Irama.
Bastani Ancir dan Jayadi Ancir, karena berpenampilan kemayu. Senang bergaul dengan siswa perempuan.
Adi Cirit, pernah mencret saat upacara bendera. Sebelumya beberapa hari tidak turun ke sekolah karena sakit bahiraan. Saat hari Senin masih dipaksakan hadir ke sekolah.
Yayan King, namanya disebut demikian karena memakai sepeda unik dan antik tiap pergi ke sekolah.
Kani Iwak, karena nama ayahnya Syarkawi yang biasa dipanggil Kawi, kalau dibalik jadi Iwak.
Guru-guru yang pernah mengajari kami di tsanawiyah adalah : Bp. Hamdi Tanda, Bp. Kamsyahrani, Bp. H.Makmur, Bp. Surbaini Kaderi, Bp. Ahmid Simin, Bp. Maulani, Ibu Jaariyah, Ibu Sarbiah, Ibu Murdaniah, Ibu Maghfirah, dll.
***
Waktu SD (1987-1992). Waktu di TK/TPA. Tentang menjatu kasturi. Sambut Ramadhan. Sambut HUT Kemerdekaan RI. Tentang pambakal Madiuni. Saya pernah kencing di depan Langgar Al Kautsar, lalu disariki H. Johan.
***
Di tempat saya ada yang namanya kupang. Yang dimaksud dengan Kupang disini bukan ibukota Nusa Tenggara Timur. Bukan pula nama daerah di Kabupaten Tapin dan Hulu Sungai Tengah. Tapi merupakan nama kawasan di desa saya. Tempat tumbuhnya pohon besar bernama kupang. Tempat wanyi bersarang dan diduga pula sebagai tempat tinggal orang halus. Sementara Awang adalah tempat alur air pertanian. Tempat bahuma dan mencari ikan.
***
Ma’mun Syarif, kawan akrab saya waktu kecil. Anak dari Kaderi atau Udat. Orangnya pintar lagi cerdas. Waktu SD pernah mewakili Kabupaten HSS pada ajang lomba mata pelajaran IPA di Banjarbaru. Setamat SD ia melanjutkan pendidikan ke Ponpes Ibnul Amin Pamangkih dan Al Falah Banjarbaru.
Sejak kecil saya sudah akrab dengannya. Karena memang saya se kampung dengannya. Saat SD ia pernah mengirim atensi di radio swasta yang ada di kota Kandangan. Nama samarannya adalah Juragan Kangkung. Dia mengirim salam untuk teman-teman dan Bp. Syahrudin di SDN Angsa.
Sementara Dugal adalah judul cerpen Ma’mun Syarif yang dimuat di SKH Banjarmasin Post edisi hari Minggu. Dampak pemuatan cerpen tersebut menurutnya, nilai pelajaran Bahasa Indonesia cukup tinggi daripada siswa yang lainnya di Aliyah Ponpes Al Falah, Landasan Ulin, Banjarbaru, tempat ia menimba ilmu saat itu.
Sekarang Ma’mun berdiam di Gambut bersama isteri dan anaknya. Selain jadi guru ia juga berjualan di Pasar Gambut.
Saya pernah bermain dengannya. Mencari jejak. Saat shalat Maghrib ia pernah marah kepada saya saat dipamerkan tentang dikotil dan monokotil untuk praktek IPA di sekolah besok hari. Ia juga yang melarang saya merokok. Sehingga sampai kini saya tidak merokok. Terima kasih kawan !
***
Kejayaan Elmas, sebuah klub sepakbola Pasar Angkinang yang kesohor itu. Klub ini seringkali memenangi kejuaraan sepakbola baik tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Tentang Umanya Miji, pedagang makanan ringan di SDN Angsa.
Edi anak jagoan Utuh Kelua. Ia pernah berkelahi dengan Yasir, adik Adi Nanoy di sawah milik Uni dekat pohon binjai. Yasir saat itu memakai rantai.
Guru-guru yang mengajar di SDN Angsa : Bp. Ismi, Bp. Rifai, Bp.Zaini, Bp.As’ad, Bp. Syahrudin, Ibu Hj.Jauhartati, Ibu Mursyidah, dll. Terima kasih atas jasa-jasanya kepada kami, murid yang pernah dididiknya. Semoga diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah SWT.
Waktu SD bila istirahat makan nasi di tempat Mamanya Mudan dengan Ma’mun, Adi dan Razak. Iwaknya hintalu sabigi balah 8.
Pernah suatu sore dengan Adi Nanoy bersepeda arah ke Parincahan pulang senja. Pas ibu saya sakit perut mau melahirkan. Juga pas ada acara hiburan di Pasar Angkinang. Adi Nanoy sekarang bekerja di Barabai. Saat ketemu shalat Ied di masjid Al Aman Angkinang ia nanya saya sudahkah berkeluarga ? Saya jawab belum. Lalu ia mengingat kenangan masa SD dulu. Saya dan Banu memang kada katuju kabibinian, panyupan. ” Lain kaya Razak, raja !”ujar Adi. Adi ingat juga bila istirahat kami makan nasi di tempat mamanya Mudan.
Mengingat tentang orang-orang yang pernah berjasa terhadap saya. Juga orang-orang yang terkenal di kampung saya seperti Amat Caca, Muhlan, Cuking, Kacit, Gabau, Ajut, Pandi Dian, Yadi Tiklu.
***
Sejarah yang selalu terkenang adalah saat saya sekolah TK/TPA Al Aman setiap sore. Kami adalah perintis kala itu. Maksudnya, sebagai santri pertamanya. Berawal dari kegiatan baca tulis Al Qur’an di SD Inpres di Pulantan setiap sore. Lalu pindah ke Balai Desa Angkinang Selatan. Kemudian pindah lagi ke SDN Angkinang 2. Setelah itu ke masjid Al Aman Angkinang. Tak lama kemudian menempati bangunan baru di samping masjid.
Setiap sore Jum’at diadakan arisan / yasinan ke rumah santri secara bergantian. Saya ikut bersepeda dengan Adi Nanoy.
Guru-guru / ustadz yang mengajar di TK / TPA : Bp. Apul, Bp. Dahri, Ibu Norliani, Ibu Siti Aminah, Ibu Raudah, dll.
Ma’mun pernah berkelahi dengan Si Boy (Abdul Khair) di teras masjid Al Aman. Setiap ada kegiatan TK / TPA di Kandangan kami selalu diikutsertakan. Biasanya ke masjid Al Minnah. Kami naik mobil pick up Darlan, ayahnya Jannah. Kami juga pernah bajalanan ke Banjarmasin naik mobil colt L-300 H. Udin / H.Hadi. Ke Kalampayan, Mitra Plaza, dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
***
Bila sore tiba, angin ribut berhembus. Saat seperti itulah yang ditunggu anak-anak di desa saya. Mereka berbondong-bondong menuju pohon kasturi yang berbuah lebat.

Puluhan anak sudah lebih dulu berkumpul disana. Mereka siap adu kecepatan saling babanyakan baulih kasturi. Suasana hiruk-pikuk. Ramai. Asyiknya mendengar buah kasturi jatuh ke tanah. Yang sulit kala kasturi jatuh ke semak-semak atau ke sungai. Kasturi hanyut dibawa air.

***
Ramadhan tiba. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Mama bajual puracit di pasar. Saya selalu ikut membantu. Dekat H. Udin Maci. Malam lilikuran mamasang lampu dari karungkung kalimbuai.

Orangtua saya sering membelikan saya alili. Malamnya disulut. Duh asyiknya. Saya ikut tarawih di langgar Al Kautsar.
***
Perempuan-perempuan yang pernah memikat hati saya : Rusna Yulida (adik kelas waktu di MTsN Angkinang), Maria Ulfah (teman waktu di MAN 2 Kandangan), Tini Chalis Sari, Maria Olfah (teman waktu di PSBR Budi Satria), Fitrisari, Mariatul Qibtiyah, Siti Noor Rahmah, Yunisa Amalia (anak murid di MTsN Angkinang).
***
Mengenal radio. Hampir satu tahun saya tak mendengarkan radio lagi. Ini setelah saya memiliki televisi sendiri. Tapi radio telah punya banyak andil terhadap saya dalam menjalani hidup ini. Banyak kenangan terukir bersama radio. Karena radiolah saya bisa seperti ini, bisa menjadi penulis.
Radio milik saya itu bermerk National. Dibeli sekitar tahun 1999 silam. Itu berawal dari surat saya kepada acil saya yang bermukim di Mekkah. Tujuannya mau dibelikan walkman. Tapi karena tidak ada yang dimaksud atau ngalih babawaannya lalu diganti dengan duit saja. Duit itu dikirimkan kepada tetangga saya yang saat itu sedang naik haji.
Uang itu lantas dibelikan radio di pasar Kandangan yang saat itu harganya Rp.35.000,-. Kalau sekarang menurut beberapa teman radio seperti milik saya itu harganya Rp.100 ribu lebih.
Radio itu menggunakan dua buah baterai ukuran besar yang berkekuatan 1.5 volt. Lewat radio saya mendengarkan informasi, hiburan, dan dakwah keagamaan. Dengan radio juga berita lebih cepat saya peroleh.
Karena usianya sudah tua, kerapkali radio itu ”sakit-sakitan”. Lantas diservis ke tempat teman saya bernama Wahyu. Syukurlah walau sering ”sakit-sakitan” tapi masih bisa digunakan.
Lewat radiolah saya dapat mengikuti perkembangan daerah saat ini. Sehingga dapat membawa menggapai cita-cita sebagai seorang penulis handal dan profesional.
Saat masa keemasan Barito Putera saya sering menjadikan radio sebagai wadah menerima info juga mendengar laporan pandangan mata RRI Nusantara III Banjarmasin. Saya bangga karena Barito sering menang bila main di kandang.
Berita-berita akurat saya dengar dari BBC London Siaran Bahasa Indonesia, Radio Singapore International (RSI), Radio Australia, dsb. Walau cuma mendengar tapi seakan-akan saya berdekatan langsung dengan apa yang disampaikan.
Karena radio saya pernah dapat hadiah tape radio jumbo dari Pemkab HSS. Ceritanya, Humas Pemkab HSS dalam rangka Harjad HSS menggelar kuis udara di RRI Banjarmasin. Dalam kuis itu diberikan beberapa pertanyaan seputar HSS. Jawaban ditulis di kartu pos dan dikirimkan ke RRI Banjarmasin. Saya mengirim sekitar 5 kartu pos. Alhamdulillah setelah diundi, saya menang. Kemudian saya diundang berhadir mengikuti upacara di Lapangan Lambung Mangkurat, Kandangan untuk mengambil hadiahnya. Saat itulah pertama kalinya saya berada di depan orang banyak. Juga menerima hadiah dan bersalaman langsung dengan pejabat Pemkab HSS.
Lewat radio pula saya kenal nama-nama radio di Kalimantan Selatan. Termasuk yang ada di HSS. Di kota Kandangan ada tiga radio yang sampai sekarang tetap mengudara. Yakni Radio Purnama Nada FM, Amandit FM, dan Tranza FM. Yang paling tua adalah Purnama Nada. Dulu namanya Ankathrees. Radio Gema Amandit pertama kali mengudara saat saya duduk dibangku Aliyah. Pemiliknya H. Umar Salmin orangtua dari teman saya waktu di Aliyah, Robbi namanya. Penyiar radio yang terkenal di Kandangan adalah mas Ucha dan mas Aji Permana.
Nama mata acara di Radio Swara Barabai yanga sampai saat ini masih saya ingat : Kikibaal (Kindai Kisah Batang Alai), dan Jalur Dua (Jalan Lurus Dunia Akhirat). Penyiar Swara Barabai yang cukup terrenal adalah Mas Imam, orang Longawang. Nama aslinya M. Thalha. Pernah jadi anggota DPRD HSS.
Saya mendapatkan banyak manfaat dari radio. Saya jadi terhibur dengan lagu-lagu yang diputar. Saya bertambah wawasan karena berita. Saya tercerahkan setelah mendengar ceramah agama. Saban malam Sabtu saya mendengar ceramah KH. Ahmad Bakeri yang disiarkan secara langsung oleh RRI Banjarmasin dari ruang induk Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin.
***
Warung sederhana di tepi jalan raya depan Pasar Angkinang. Setiap hari buka dan cukup ramai dikunjungi pembeli. Baik oleh warga setempat maupun orang yang singgah baduhara. Pemilik warung itu adalah Galuh Kaum. Anaknya Unai, Rini, dll. Biasanya saya ke warung itu beli guguduh panas.
***
Duh segarnya berbuka puasa kali ini. Selain nasi dan lauknya juga ada bilungka langkang / timun suri.

Timun suri diiris tipis dimasukkan ke gelas atau piring. Lalu ditaburi gula dan sirup. Lebih segar lagi kalau ditambah dengan es batu.

Sudah berhari-hari kami berbuka dengan bilungka langkang. Kami tidak sulit mendapatkannya. Kami tinggal memetik dipersawahan yang sudah kering-kerontang karena kemarau. Dari ukuran kecil hingga sebesar paha orang dewasa.

Ayah saya menanamnya beberapa bulan lalu. Kini tinggal menikmatinya. Selain bilungka langkang ada juga jagung dan kacang hijau. Setiap pagi dan sore saya ke sawah. Walau panas menggantang. Gatal tubuh tidak saya hiraukan. Yang penting saya gembira. Ikut membantu orangtua.

Bila sore usai menyiram tanaman saya nonton orang bermain layang-layang. Saya tidak suka bermain layang-layang. Membuat layang-layang pun saya tak bisa. Cuma senang melihat. Sambil saya pergi ke sawah yang tak jauh dari anak-anak desa berkumpul main layang-layang.

Tiap sore saya membawa ember dari rumah. Untuk menyiram tanaman. Sumur kecil sudah dibuat dekat pohon rumbia.

Walau tidak untuk dijual. Namun cukup memenuhi kebutuhan sendiri. Bahkan kalau lebih bisa dijual atau diberikan kepada orang lain. Bilungka langkang memerlukan air yang banyak bisa tumbuh subur atau sempurna. Juga sedikit pupuk. Rumput perlu dibersihkan.

***

Namanya Ardiani. Biasa dipanggil dengan Yayan. Tapi ketika masuk tsanawiyah dipanggil King. Ia anak Abdul Hadi, seorang tukang bangunan di Desa Angkinang Selatan. Cucu H. Said Abdullah.

Dia teman akrab saya sejak duduk dibangku SD. Masuk tsanawiyah pun dengannya. Kenapa dipanggil King ? Karena saat sekolah ke tsanawiyah ia selalu memakai sepeda yang unik dan antik. Berbeda dengan yang lain.

Kelakuan di kelas pun berbeda dengan siswa yang lain. Pernah mau disumpali dengan wadai untuk oleh guru. Karena saat pelajaran sedang berlangsung ia menguap seluas samudera. Mulut tidak ditutup. Sayang ia berhenti di tengah jalan. Tidak melanjutkan lagi.
***
Pohon jambu itu terletak persis di belakang langgar. Beberapa meter dari kuburan. Tiap ada kesempatan kami naik ke atas. Lantas ke atap seng langgar. Duduk santai. Cerita ngalur-ngidul sambil menikmati buah jambu biji. Aku, Ahyar, dan Ashadi kerap berada disana.
***
Kalau musim kemarau bakacal dan manangguk. Biasanya dilakukan saat pulang sekolah dan cuaca yang panas. Saya, Ashadi, dan Yadi kali ini berangkat mencari ikan. Kami sudah berpakaian ke sawah. Membawa wadah untuk membuat ikan yang akan diperoleh nantinya. Ashadi membawa jambih. Yadi membawa tangguk. Saya juga membawa tangguk. Kami ke arah hilir dulu. Menyusuri sawah yang masih ada puntalannya. Masih belum ditanami, tapi airnya kacap-kacapan. Kami mencoba menangguk. Mencari ikan yang banyak.
***
Saat libur sekolah maupun pulang sekolah saya pergi memancing ke Awang maupun Kupang. Pertama memancing menggunakan kail yang terbuat dari batang salak. Keluarga saya memang bukan penghobi memancing. Maupun pencari ikan. Pangulir. Disaat orang lain tengah ramainya mencari ikan saya hanya berdiam diri di rumah.
***
Di Desa Angsela terdapat dua nama Umanya Utui. Yakni Umanya Utui Ambrun dan Umanya Utui Sapida/Isak. Umanya Utui Ambrun ini sudah tua tinggal di gubuk kecil dekat rumah Ahyar. Suka menginang. Saat bulan Ramadhan pernah dikunjungi Yayan Hatma bersama seorang turis asing dan direkam dengan kamera video saat menerima zakat fitrah.

Sementara Umanya Utui Isak berjualan apam batil. Tempatnya di SDN Angsa setiap hari, kecuali hari Kamis. Dia berjualan di Pasar Angkinang.
***
Apa yang ada dibenak Anda tatkala disuguhi kata Angkinang ? Beragam jawaban tentunya akan muncul. Mungkin ada yang teringat dengan Desa Bamban yang merupakan sentra industri kerupuk berbahan baku ubi kayu. Sekarang, produksinya kian meningkat mampu menembus pasar Kalsel, bahkan Kalteng, Kaltim, hingga ke Pulau Jawa.

Juga makam keramat Datu Taniran, keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu Kalampayan). Makam ini terletak sekitar enam kilometer dari Kandangan.

Nama sebenarnya Datu Taniran adalah H. Sa’duddin, kerabat dekat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau dikenal dengan Datu Kalampayan. Dia dilahirkan di Dalam Pagar, Martapura pada tahun 1774, meninggal pada tahun 1856 di kampung Taniran. Taniran, tempat H. Sa’duddin menyiarkan agama Islam selama hidupnya sekitar 45 tahun.

Mungkin pula ada yang masih asing dengan Angkinang ?

Angkinang adalah nama sebuah desa yang juga nama kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kini Angkinang telah banyak berubah dan makin berbenah.

Mengingat Angkinang selalu terkenang masa kecil yang indah. Karena Angkinang merupakan tanah kelahiran saya. Tak akan terlupakan seumur hidup. Masa dimana hari-hari untuk bermain dan bermain.

Tembok Rel (eks jalan kereta api pada zaman penjajahan Jepang yang menghubungkan Nagara – Mangunang, sebagian besar melintasi wilayah di Kecamatan Angkinang) merupakan tempat favorit saya. Kenapa ? Karena memang tempat tinggal saya tak jauh dari kawasan tersebut.

Disana saya dan teman-teman asyik memancing. Ikan yang didapat berupa ikan haruan (gabus) dan papuyu (betok). Disana juga kami bermain petak umpet, perang-perangan, dan bapidak (adu kekuatan biji karet).

Tempat favorit lainnya waktu masih anak-anak adalah sungai Angkinang. Mandi di sungai, berceburan kala air sedang pasang. Juga naik rakit yang terbuat dari pelepah rumbia kering (kumbar). Naik pohon sangkuang lalu terjun bebas ke sungai. Ber salto ria dari atas jembatan. Membuat rumah-rumahan dari pasir kala sungai surut berpantai.

Mencari ikan di sungai sangatlah mudah saat itu. Biasanya saat air sungai dangkal aku dan teman-teman menangkap ikan dengan tangan telanjang atau bakacal. Ikan yang didapat seperti puyau, betok, gabus, dsb. Apalagi kalau sedang buka tabat duh ramainya sungai Angkinang. Buka tabat di bendungan Telaga Langsat diadakan untuk membersihkan saluran irigasi setahun sekali. Ikan-ikan mudah didapatkan ketika sungai mulai mengeruh dengan lumpur. Bisa dapat ikan baung, ikan mas, puyau, dsb.

Sekarang di Angkinang bertebaran warung makanan / minuman. Tempat persinggahan yang cukup strategis bagi penumpang taksi maupun kendaraan umum jurusan Banjarmasin – Banua Enam atau sebaliknya. Juga bus-bus tujuan Kaltim dan Kalteng. Buka sejak siang sampai malam.

Di Angkinang juga ada pasar tradisional mingguan yang sering dikunjungi pedagang dan pembeli. Pasar Bamban setiap hari Senin. Pasar Angkinang tiap hari Kamis. Pasar Bagambir tiap hari Jum’at.

Ingin menikmati ketupat dan soto Banjar, bisa datang ke Pasar Angkinang yang banyak menyediakan kedua menu tersebut. Juga kue-kue tradisional seperti untuk, pais, ruti galambin, suntul, sumapan, dsb dapat ditemui di tempat yang sama setiap subuh.

Angkinang boleh berbangga karena melahirkan orang-orang sukses dan sekarang menduduki jabatan penting di pemerintahan maupun swasta. Ada yang jadi wartawan, sastrawan, camat, kepala dinas, anggota DPRD, rektor perguruan tinggi, dsb.

Siapa saja yang tertarik dengan Angkinang, ditunggu campurtangannya untuk membawa Angkinang ke arah yang baik, lebih maju, dan sejahtera dari saat ini.
****
Bulan suci Ramadhan telah tiba. Suasana bulan Ramadhan kali ini sangat semarak. Seperti halnya di Hulu Sungai Selatan. Ini dapat dilihat dari antusiasnya para warga mendatangi tempat ibadah seperti langgar dan masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Tarawih dan tadarrus Al Qur’an. Juga yang lebih penting pada siang harinya menunaikan ibadah puasa.

Melakukan puasa di bulan suci Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang lima. Berarti akan menentukan bagi sempurna tidaknya Islam seseorang.

Puasa itu pada pokonya ialah menahan diri dari tiga hal yaitu : menahan makan, menahan minum, dan menahan diri dari melakukan hubungan seksual pada waktu-waktu tertentu. Itu semua dilakukan dalam rangka membentuk jiwa dan membina batin kepada kesucian dan kemuliaan.

Namun dibalik semua itu ternyata kedatangan bulan Ramadhan justru menghadirkan masalah baru. Seperti adanya warung sakadup, yakni warung yang buka sembunyi-sembunyi di siang hari. Juga maraknya petasan, mercon, dan kembang api yang diperjual-belikan secara bebas di pasaran. Karena dapat membahayakan diri sendiri juga dapat membahayakan orang lain. Selain itu kekhusuan umat Islam dalam beribadah jadi terganggu.

Masalah lain adalah keberadaan warung malam yang menjamur. Seperti sudah menjadi kebiasaan di malam bulan Ramadhan di daerah HSS bermunculan bak jamur di musim hujan warung-warung dengan sajian khasnya seperti pancuk (rujak).

Keberadaan warung-warung itu ditunjang dengan keberadaan bangunan yang dibuat secara permanen. Namun ada pula yang apa adanya. Mereka tidak mementingkan bangunan. Lagian dalam setahun cuma sekali saja pada bulan Ramadhan dipakai. Di bulan lain tentu akan menganggur.

Mereka lebih mengedepankan pelayanan. Memang pelayan warung-warung tersebut melakukan berbagai cara untuk menarik pengunjung. Yang penting jualan mereka laku.

Biasanya warung pencok itu buka usai bedug maghrib hingga dinihari. Warung-warung itu selain menjadi tempat jual beli juga sebagai ajang kencan anak muda.

Warung-warung tersebut banyak terdapat di tepi jalan raya. Di kawasan Kecamatan Angkinang saja dapat disaksikan pululan buah warung yang berada di kiri-kanan jalan. Belum lagi masuk arah kiri-kanan jalan kabupaten.

Entah ada semacam kesepakatan atau apa ¿ Yang pasti malam bulan Ramadhan ramai bertebaran warung pencok. Mereka melakukan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus menambah pundi-pundi ekonomi. Yakni persiapan lebaran nanti. Untuk membeli pakaian baru.

Namun bagi warga yang lain warung itu justru dapat mengganggu ibadah mereka. Lihat saja saat warga tengah khusyu’ melakukan shalat tarawih maupun tadarrus Al Qur’an di masjid / langgar. Di warung pencok justru asyik ngobrol dengan suara yang nyaring. Mereka tak sadar perbuatan itu justru mengganggu ketenangan orang lain dalam beribadah.

Memang benar seperti kata pepatah ada gula ada semut. Kalau pelayannya cantik dan pelayanan yang diberikan cukup baik tentulah banyak pengunjung yang datang.

Yang banyak datang ke warung pencok biasanya anak muda. Mereka datang dari berbagai daerah yang masih dalam wilayah di HSS. Selalu rombongan naik motor. Datang menggoda pelayan wanita di warung yang mereka singgahi. Ada semacam kepuasan dikalangan pangampasan – istilah ABG Kandangan yang senang mengunjungi warung malam bila berhasil menggaet pelayan warung.

Puncak kemenangan dibuktikan saat lebaran nanti. Kalau di bulan Ramadhan ada yang jago mawarung. Maka disinilah dibuktikan siapa yang berhasil menggaet penjaga warung untuk diajak rekreasi ke tempat wisata yang banyak dikunjungi orang tiap usai lebaran. Ia adalah sang jawara selama kehadiran warung pencok di bulan Ramadhan.
***
Di Desa Angsela terdapat Karang Taruna yang bernama KT Anggrek. Berdiri tahun 1984 yang pada saat itu kepala desa dibawah kendali Baseran.

Asal mula terbentuknya organisasi sosial ini adalah ide yang dipelopori Mariatul Noraina seorang TKS (Tenaga Kerja Sukarela) BUTSI bersama tokoh pemuda yang mempunyai wawasan dan pendidikan yang lebih tinggi serta keinginan untuk menggali potensi generasi muda yang ada di Desa Angsela diantaranya Daud Suryana, Hasan HS, Suhaimi, Musdzalifah, dan Rasunadiah.

Pada waktu itu mereka berencana ingin membentuk karang taruna dan rencana tersebut kemudian disampaikan kepada pambakal Baseran. Rencana itu disetujui. Dibentuklah panitia pembentukan karang taruna dengan ketua Hasan HS, sekretaris Daud Suryana.
***
Saat ada waktu lowong saya sempatkan untuk membaca riwayat Datu Taniran, begini ceritanya :

Sa’duddin bernama asli Haji Muhammad Thaib bin Haji Muhammad As’ad bin Puan Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ia dilahirkan di kampung Dalam Pagar, Martapura pada tahun 1194 H. Yang bertepatan dengan tahun 1774 M. Ia sempat hidup dan bertemu dengan datuknya Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Sejak kecil dia telah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya sendiri, yaitu Haji Muhammad As’ad, yang ketika itu menjabat sebagai mufti di kerajaan Banjar. Dia selalu berkhidmat dan melayani kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad (Mufti Lamak). Dimanapun dan kemanapun Mufti Haji Muhammad Arsyad berada, dia selalu berada disampingnya.

Setelah tampak pertumbuhan bakat dan kecerdasannya, terutama dalam bidang pemahaman agama Islam. Maka oleh orangtuanya di usia 25 tahun dia diberangkatkan ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji serta memperdalam ilmu pengetahuan agama dengan belajar kepada guru-guru besar atau para ulama besar di kota Mekkah saat itu.

Di usia 35 tahun, setelah bermukim dan menimba ilmu di tanah suci Mekkah selama 10 tahun , ia kembali ke tanah air dengan membawa ilmu pengetahuan yang sarat dan luas serta gelar al-alim al-alamah. Sekembalinya dari berhaji dan menuntut ilmu di tempat sumbernya, ia tidak langsung berdakwah namun ia langsung berkhadam kepada orang tuanya, yaitu Mufti Haji Muhammad As’ad dan juga selalu mengikuti saudara-saudaranya yang berdakwah ke berbagai daerah.

Dua tahun sekembalinya dari berhaji dan menimba ilmu di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka pada tahun 1812 M ia berhijrah dari kampung Dalam Pagar, Martapura menuju kampung Taniran, Angkinang, HSS. Ia menetap di kampung Taniran adalah untuk menjadikan kampung tersebut sebagai tempat untuk mengajar dan sebagai pusat atau basis penyiaran agama Islam untuk daerah Banua Enam.

Adapun penyebab kedatangan dan berhijrahnya ia ke Taniran adalah karena kedatangan tokoh masyarakat kampung Taniran pada masa itu kepada Mufti Haji Muhammad As’ad serta bermohon kepada orangtuanya agar dapat berkenan mengirim seorang guru agama ke kampung Taniran guna memberikan pendidikan agama dan memantapkan keyakinan agama Islam serta pengamalannya, dan bermohon agar guru agama tersebut bersedia untuk tinggal menetap di kampung Taniran.

Demi mengetahui hal yang demikian, maka Haji Muhammad As’ad selaku seorang ulama yang berkewajiban menyampaikan dimanapun juga dan selaku Mufti Kerajaan Banjar merasa bertanggung jawab atas pendidikan agama di wilayah kekuasaan kerajaan Banjar, maka dengan senang hati dan dengan penuh keikhlasan ia menunjuk dan mengutus anaknya sendiri, yang baru saja pulang dari berhaji dan menuntut ilmu di tanah suci, yaitu Haji Muhammad Thaib, karena dianggap mampu dan sanggup untuk melaksanakan tugas tersebut.

Dimasa itu kampung Taniran dipimpin oleh oleh seorang pambakal yang bernama Abah Saleh. Pambakal dan seluruh masyarakat kampung Taniran sangat gembira demi mengetahui kesediaan Tuan Mufti untuk mengutus seorang guru agama guna memimpin masyarakat kampung Taniran dalam masalah keagamaan, lebih-lebih lagi mereka sangat bersyukur karena akan memperoleh seorang guru agama dari keturunan Tuan Mufti sendiri yang akan membawa mereka untuk meningkatkan keyakinan beragama dan meningkatkan amaliah.

Segera setelah kabar gembira itu diterima, masyarakat kampung Taniran segera mengatur penjemputannya ke kampung Dalam Pagar, Martapura. Penjemputannya dilakukan melalui perjalanan sungai Nagara (Daha) menggunakan perahu yang khusus didatangkan dari kampung Taniran, yaitu perahu bagiwas, lengkap dengan awak serta juru mudi yang bernama Su Salum.

Untuk menyatakan rasa syukurnya, masyarakat kampung Taniran menghibahkan tanah perkebunan kelapa kepadanya seluas kurang lebih sepuluh borongan (28,900 m). Tanah tersebut dipergunakannya untuk komplek pengajian dan perumahan. Di tanah itulah sekarang berdiri masjid As-Sa’adah, yang didirikan pada tahun 1923 M, beserta rumah tempat tinggal beberapa juriatnya.

Pemerintah Belanda menawarkan kepadanya jabatan mufti yang kosong setelah ditinggal wafat kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad. Namun, ia menolak untuk menjadi pejabat pemerintah dan lebih memilih kedudukan nonformal sebagai tokoh masyarakat, suatu pilihan yang sangat berani dan tepat disaat mana pemerintah Belanda dengan gigihnya tengah memperkuat kedudukannya.

Di kampung Taniran inilah awal bermula tempat pendidikan agama atau basis Haji Sa’duddin, dimana setiap harinya didatangi orang untuk belajar selain dari masyarakat Taniran sendiri, juga berasal dari berbagai daerah dan tempat di Hulu Sungai seperti dari Barabai, Nagara, Amuntai, dsb.

Haji Sa’duddin, seorang ulama cicit Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang berkiprah sebagai generasi penerus datuknya, berjuang tanpa pamrih dalam membina masyarakat dan mencetak kader-kader ulama di Hulu Sungai, khususnya di Taniran.

Ia terkenal sebagai seorang ulama yang wara’, qana’ah, lemah lembut, pemurah, tawadhu, adil, kasih sayang, berani dalam menegakkan yang hak dan memberantas kebatilan. Ia juga seorang ulama yang terkenal dengan tingkah laku yang menjadikan pelajaran kepada murid yang tanggap melihatnya (bilhal), sehingga bagi murid-muridnya yang selalu berada disampingnya serta banyak bergaul dengannya secara tidak langsung dapat memetik atau mengambilnya terus-menerus ilmu yang ia berikan.

Dalam ketelitiannya menjaga diri dan memelihara hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak sifat-sifat terpuji (mahmudah) yang melekat pada dirinya, maka setiap kali ia akan mandi, ia tidak mau membuka bajunya, karena menjaga agar badannya jangan sampai terbuka sehingga auratnya tampak kelihatan orang lain. Karena itu apabila ia mandi selalu dengan pakaiannya yang melekat pada badannya waktu itu.

Disamping itu, dalam kebiasaanya melaksanakan selamatan atau haul atau jamuan makan, maka setiap kali ia membeli ayam atau kambing dan sebagainya, ia tidak mau langsung menyembelihnya, namun ia pelihara dulu beberapa waktu dengan memberi makanan atau umpan yang ia sediakan sendiri sehingga ternak itu makanannya dijamin tidak memakan makanan yang mungkin memakan tumbuh-tumbuhan milik orang atau lainnya, selain itu ia juga tidak mau membeli ayam atau itik di pasar melainkan di kampung-kampung, dalam arti kata langsung dari pemiliknya.

Demikian bilhal Haji Sa’duddin yang merupakan pelajaran yang sangat mahal nilai dan artinya dalam kita menjalani hidup dan kehidupan ini. Ia adalah seorang ulama yang selalu menyukai khalwat sehingga jika ingin melihat atau bertemu dengannya hanyalah pada saat ia mengajar atau shalat di masjid. Apalagi sejak kakaknya Mufti Haji Muhammad Arsyad berpulang ke Rahmatullah di Pagatan pada hari Sabtu, 23 Rabiul Awwal 1275 H. Maka Haji Sa’duddin lebih banyak menyendiri, dan khalwat dan jarang sekali ke Martapura, karena kakak yang selalu dikunjungi sudah tidak ada lagi.

Haji Sa’duddin menikah di Amawang, Kandangan dengan Puan Halimah (Gelar Diyang Gunung) memperoleh enam orang anak, lima putera dan seorang puteri :
1. Aisyah
2. Muhammad Nashir
3. Haji Abdul Ghani
4. Haji Abdul Jalil
5. Haji Abdul Qadir
6. Haji Muhammad Sa’id

Kemudian ia menikah lagi di Amuntai dengan Puan Angka dan mendapatkan lima orang anak, dua orang putera dan tiga orang puteri yakni :
1. Haji Muhammad Thaher
2. Zainab
3. Kamaliyyah
4. Haji Abdurrasyid
5. Hasanah

Lebih kurang 45 tahun guru besar ini mencurahkan darma baktinya terhadap agama, bangsa, dan umatnya, setelah berhasil mencetak ulama-ulama penerus yang tersebar di sekitar Hulu Sungai tempo dulu, maka pada tanggal 5 Shafar 1278 H atau sekitar tahun 1858 M, ia berpulang ke Rahmatulah dalam usia 84 tahun. Tiga hari menjelang kewafatan, ia mencuci kain kafan. Salah seorang sahabatnya yang bernama Ninggal mengatakan bahwa tuan akan pulang.
***
Saya pergi ke tempat keluarga saya di Desa Bamban. Saya minta diajari cara membuat kerupuk Bamban.

Dalam pembuatan kerupuk Bamban, karena proses pengolahannya dilakukan penjemuran dua kali, maka mau tidak mau sangat tergantung dengan cuaca. Bila musim hujan, jelas produksi kerupuk akan terganggu.

” Sebenarnya ada cara pengeringan dengan cahaya lampu neon, tapi hasilnya kurang bagus,” ungkap seorang perajin.

Yang perlu diperhatikan sebelum mengolah kerupuk, bahan baku yang digunakan harus diteliti terlebih dahulu. Jangan sampai pada saat pemotongan, adonan rusak karena tidak bisa dipotong kecil-kecil. Adapun cara pembuatan kerupuk Bamban bisa diurai sebagai berikut :

Ubi kayu yang sudah dikupas, dibersihkan dari sisa-sisa tanah dengan cara dicuci. Kemudian ubi kayu dilunakkan secara merata, jangan sampai masih tersisa gumpalan-gumpalan keras. Bisa dengan diparut manual atau dengan pemarut kelapa. Karena kadar airnya masih sangat tinggi, sebelum pencampuran bahan dengan bumbu, tiriskan selama satu hari satu malam. Setelah itu campur dengan bumbu yang dikehendaki rasa pedas manis, rasa ketumbar, rasa bawang, atau rasa udang.

Masukkan adonan ke dalam plastik bulat yang panjangnya antara 60 – 70 cm. Tusuk dengan paku permukaan plastik pembungkus adonan untuk membuat lubang-lubang kecil untuk menjaga kelembaban dan respirasi (pernapasan).

Adonan langsung direbus di dalam air dan panci besar atau potongan drum (kalau volume rebusan besar) sekitar 2 jam. Adonan yang telah direbus (dalam bentuk batangan dan padat) masih terbungkus plastik, kembali ditiriskan selama satu hari satu malam. Usai itu jemur selama dua hari. Begitu kering, potong menjadi bagian yang lebih kecil. Sampai disini sudah terbentuk kerupuk mentah. Sebelum dikemas plastik (packaging), hasil potongan tadi kembali dijemur hingga benar-benar kering dan siap untuk dijual dalam bentuk kerupuk mentah. Kerupuk mentah tadi siap untuk digoreng sesuai dengan keinginan.
***
” Katupat cil lah, iwaknya haruan. Santannya nang likat dibanyaki,” ucap seorang bapak tua di suatu sore mendatangi satu warung yang menyediakan menu ketupat di kawasan Angkinang.

Dalam hitungan menit berikutnya bapak yang datang berombongan inipun asyik melahap potongan ketupat yang disuguhkan penjual. Tangannya dengan terampil menghancurkan bongkahan rebusan beras di dalam kurung janur kelapa ini menjadi butiran nasi yang masih lekat satu sama lain, bercampur dengan santan kental berwarna putih. Dengan sambal pedas makanan ini menjadi sangat lezat.

Ketupat Kandangan menu khas ini bisa jadi sangat akrab dengan masyarakat Kalsel pada umumnya. Apalagi di kota asalnya Kandangan, penganan yang satu ini sangat terkenal selain dodol.



Melangkahkan kaki ke daerah HSS tersebut setiap warung makanan disana nyaris semuanya menyediakan menu yang namanya ketupat Kandangan.

Parincahan adalah satu daerah yang bisa dikatakan sentranya ketupat Kandangan yang terkenal sejak era 1980 an sampai sekarang. Di ruas jalan A. Yani, tepatnya mulai Simpang Lima sampai arah Angkinang anda akan melihat deretan ratusan warung ketupat Kandangan disana.

Jadi, jangan heran jika di Kandangan dan HSS pada umumnya setiap harinya puluhan ribu kurung ketupat beredar. Tidak hanya itu, juga ratusan kilogram ikan haruan (gabus) juga tauman dan ribuan butir kelapa untuk memenuhi keperluan ketupat Kandangan.

Menu khas ini memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketupat pada umumnya. Kalau di tanah Jawa juga di daerah lainnya hanya menemukan ketupat disaat hari raya Idul Fitri atau hari-hari tertentu saja. Tidak dengan di Kandangan, setiap saat anda bisa menemukan yang namanya ketupat. Tidak hanya itu, ketupat ini pun katanya lebih nikmat jika dimakan tanpa mempergunakan alat bantu seperti sendok dan garpu. Mengaturnya dengan tangan dan adonan menu ketupat yang sudah diremas adalah kenikmatan tersendiri saat melahap lezatnya ketupat Kandangan.

Konon, ketupat Kandangan tidak terkenal seperti saat ini. Dulunya hanya sebagai menu rumahan saja. Setiap rumah yang berpenduduk asli HSS sangat senang dengan yang namanya ketupat. Ini tak lepas dari potensi pohon kelapa di daerah ini. HSS sejak dulu memang terkenal dengan pohon kelapa.

Kekayaan alam inipun dimanfaatkan. Daun kelapa untuk membuat kurung ketupat sementara buah kelapanya tak ketinggalan dimanfaatkan untuk kuah ketupat. Pun dengan haruan yang memang disediakan di alam HSS.

” Pokoknya sejak saya kecil sudah makan yang namanya ketupat. Urang Kandangan itu hobi makan ketupat. Haruan dan pohon kelapanya banyak. Sampai akhirnya banyak yang kemudian menjualnya. Karena itulah jadi terkenal,” ujar Sanah, pemilik warung ketupat di Angkinang yang mengaku sudah puluhan tahun berjualan ketupat Kandangan.

Tidak hanya di Kandangan rupanya menu yang telah tersohor ratusan silam ini semakin dikenal banyak orang. Awalnya mencicipi sampai akhirnya terdorong untuk membawanya jadi oleh-oleh, buah tangan saat berkunjung ke Kandangan, membuat nama ketupat Kandangan menjadi ciri khas.

” Ini bisa jadi oleh-oleh. Kami sering menerima pesanan untuk dibawa ke daerah lain seperti Jawa dan Kaltim,” terang penjual lainnya.

Entah disengaja atau tidak, ketupat Kandangan yang dijadikan oleh-oleh ini membuat rapat antar si pembeli dan si penerima. Mungkin ada benarnya, makanan yang menurut filosofi kuno mengandung makna lekat karena jalinan anyaman kurung ketupat yang rapat. Demikian juga yang memakannya kemudian berniat memberikannya kepada orang lain.
***
Saya membaca biodata sastrawan Kalsel. Bangga setelah mengetahuinya. Ternyata ia alumni MTsN Angkinang.

Nama : Jamal T Suryanata (Jamaludin)
TTL : Kandangan, 1 September 1966
Pendidikan : 1. SDN Bakarung Tengah, Kec. Angkinang, Kab. HSS (1974-1983)
2. MTsN Angkinang, Kab. HSS (1980-1983)
3. SPGN Rantau, Kab. Tapin (1983-1986)
4. STKIP PGRI Banjarmasin
5. Pascasarjana PBSID FKIP Unlam, Banjarmasin
Pekerjaan : Staf Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut
Alamat : Kompleks Matah Raya, Pelaihari, Kab. Tanah Laut
Isteri : Fahriani Mafruzie
Anak : Nisa Khairina, Nizhar Helmi Tasaufi, Nina Ulfatin Khaira

Jamal T Suryanata, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September 1966. Peserta Writing Program Majelis Sastera Asia Tenggara (1999) dan Ubud Writer’s and Reader’s Festival (2004). Bukunya yang sudah terbit antara lain : Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (2003), Galuh (2003), Debur Ombak Guruh Gelombang (2010), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (2010). Puisinya terhimpun dalam antologi bersama antara lain, Festival Puisi Kalimantan (1992), Mimbar Penyair abad 21 (1997), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Menyampir Bumi Leluhur (2010)

PNS pada Dinas Pendidikan Tanah laut ini kini jadi Wakil Ketua Dewan Kesenian Tanah Laut. Menerima Hadiah Seni (Sastra) dari Gubernur Kalsel tahun 2006 dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).

Bagi kalangan sastrawan Kalimantan Selatan, nama Jamal T Suryanata memang sudah tak asing lagi. Sederet prestasi dibidang tulis-menulis lokal dan nasional menjadi bagian dari perjalanannya di dunia sastra.

Jamal T Suryanata adalah sekadar nama pena dari nama aslinya Jamaluddin. Awal ketertarikan dalam dunia sastra memang tak sengaja. Berawal dari tamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Agustus 1986 ia diangkat jadi guru SD.

“ Sekolahnya terletak di ujung kampung, bisa disebut paling sepi di Tanah Laut,” cerita lelaki kelahiran Kandangan, 1 September 1966 ini.

Selalu ada hikmah dibalik suatu peristiwa, kata orang bijak. Demikianlah, kesepiannya selama tinggal di desa tersebut ternyata membuka babak baru dalam kehidupannya.

“ Untuk menghalau sepi, saya memanfaatkan waktu senggang mendengarkan radio, korespondensi dengan sahabat-sahabat lama, dan membaca buku-buku di perpustakaan sekolah,” ujar alumni MTsN Angkinang tahun 1983 ini.

Secara otodidak diapun mulai belajar menulis. Mula-mula menulis sajak-sajak pendek yang dikirimkannya ke RRI Nusantara III Banjarmasin untuk acara Untaian Mutiara Sekitar ilmu dan Seni yang diasuh penyair Kalsel, Hijaz Yamani.

Kemudian, karena rasa tertantang pula membuat Jamal nekad ke Banjarmasin membeli mesin tik sendiri. Uang rapel gajinya empat bulan pertama bekerja. Bermodal mesin tik pribadi itulah, penghujung 1988 Jamal menyelesaikan naskah buku cerita (novel anak-anak) berjudul Boneka Untuk Dinda. Naskah ini dikirimkannya ke sebuah penerbit besar Jakarta, PN Balai Pustaka. “ Berselang beberapa bulan, suatu hari tukang pos datang ke sekolah saya menyerahkan amplop besar. Dengan riang saya menerima dab segera membukanya. Ternyata isinya justru penolakan dan pengembalian naskah dengan banyak catatan kritis penerbit,” jelasnya.

Ini tidaklah membuatnya langsung jera. Malah makin tertantang menulis. Setelah direvisi sana-sini, naskah itu kemudian dikirimkannya lagi ke penerbit lain. Namun, setelah sekian lama ditunggu-tunggu ternyata tak kunjung dapat jawaban. “ Tak ada tanggapan dalam bentuk apapun dari penerbit yang satu ini. Naskah yang saya kirimkan seperti raib ditelan bumi. Tak ada kabar beritanya lagi,” ungkapnya.

Selepas itu, ia beralih haluan dengan memasuki jalur penulisan cerpen remaja. Karyanya kemudian dikirimkannya ke beberapa majalah remaja terbitan Jakarta seperti Anita Cemerlang, Aneka, Hai, dan Cerita Remaja.

Namun, setelah menulis dan mengirimkan puluhan cerpen dan tak kunjung dimuat pula, ia pun memilih diam. Semangat kepengarangannya kembali bangkit setelah ia berkenalan dengan penulis dan seniman muda Teater Pena di Kompleks Mulawarman, Banjarmasin. Di markas inilah, ia banyak menimba pengalaman dan pengetahuan kesastraan, terutama dari YS Agus Suseno dan Noor Aini Cahya Khairani.
Naskah cerita anak-anaknya berjudul Untuk Sebuah Pengabdian menjadi Pemenang I Nasional Tahun 1993. Popularitas kepengarangannya makin berkibar dalam jagat sastra Kalsel setelah cerpennya berjudul Sosok jadi juara III Sayembara Penulisan Cerpen Indonesia yang diadakan Taman Budaya Kalsel.
Eksestensi Jamal T Suryanata mulai diperhitungkan dalam percaturan sastra nasional setelah tahun 1994, dua puisi dan sebuah cerpennya berjudul Sebelas dimuat di majalah Horison, majalah sastra yang cukup bergengsi di negeri ini.
Saya senang orang Angkinang ada yang sukses. Mudahan bisa diikuti yang lain. Saya bangga jadi orang Angkinang. Bintang-bintang akan terus gemerlapan.

Kandangan, 2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Didatangi Tokoh Nasional

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Senin (13/02/2023)  Guru Ibad perkenalkan Maulid Habsyi di Martapura tahun 1960-an. Sela...