Sabtu, 11 Oktober 2025
Foto ini, yang saya abadikan pada Jumat pagi (10/10/2025), adalah sebuah bisikan pilu tentang perubahan.
Di sana, di tengah bebatuan dan kerikil yang kini menjadi dasar, berdiri seorang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS).
Ia bukan sedang bermain, melainkan menjadi saksi bisu dari apa yang tersisa dari urat nadi kehidupan masyarakat kami: Sungai Angkinang.
Lokasinya, di sekitaran RT 3 Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten HSS, adalah titik di mana ingatan akan kemakmuran mengalir deras.
Namun, airnya kini hanya tinggal genangan kecil, merangkak malu-malu di antara tumpukan batu yang mengeras. Apa yang dilihat anak muda ini, dan yang kini kita lihat, adalah cermin keprihatinan yang mendalam.
Bagi generasi yang lebih tua, termasuk kakek-nenek kami, Sungai Angkinang bukan sekadar aliran air. Sekitar tahun 1970-an, ia adalah jalan tol peradaban, nadi yang memompa denyut ekonomi dan sosial.
Bayangkanlah : setiap hari pasar di Pasar Angkinang, yakni pada hari Kamis, sehari sebelumnya hiruk pikuk kehidupan tumpah ruah di sini.
Para pedagang, dengan senyum dan semangat, mendayung jukung (perahu) mereka, memuat aneka hasil bumi dan dagangan. Perahu-perahu itu berjejer, menjadi jembatan perjumpaan, membawa rezeki dari hulu ke hilir.
Air sungai yang dalam dan jernih adalah saksi bisu tawar-menawar, canda, dan harapan. Sungai itu adalah denyut nadi yang tak pernah berhenti. Namun, kini semuanya telah berubah.
Jukung-jukung itu lenyap, tergantikan oleh suara mesin kendaraan di darat. Aliran air yang dulu membawa berkah, kini hanya menyisakan kerikil dan puing-puing kayu.
Melihat siswa MTsN 3 HSS ini berdiri di dasar sungai yang seharusnya berair, hati terasa tersentuh. Ia berdiri di atas sejarah yang mengering, di atas kenangan yang terabaikan.
Apa yang akan ia ceritakan kepada anak cucunya kelak ? Bahwa di tempat ia berpijak itu, dulu perahu-perahu berlayar ?
Kekeringan Sungai Angkinang bukan hanya tentang hilangnya air, tetapi juga hilangnya sebuah cara hidup, hilangnya kemeriahan pasar air, dan terputusnya warisan budaya sungai kami.
Ini adalah panggilan. Panggilan untuk merenungi, untuk bertindak, dan untuk menjaga sisa-sisa warisan alam yang masih ada.
Sebelum ‘urat nadi’ ini benar-benar terputus dan hanya menyisakan foto, cerita, dan kesedihan. Sungai Angkinang, semoga kau tidak hanya tinggal nama. (ahu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar