Sabtu, 11 Oktober 2025
Sudah lama sekali saya tidak menjejakkan kaki di Birayang, sebuah kota kecil yang menjadi bagian dari Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Rasanya seperti menapaki kembali halaman lama kehidupan—yang pernah saya lewati, namun kini tampak sedikit berubah. Hari Ahad, 24 November 2024, menjadi momentum kecil tapi bermakna ketika saya akhirnya kembali ke sana bersama seorang teman sekampung.
Kami berdua menempuh perjalanan dari Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berjarak sekitar 31 kilometer jauhnya, dengan sepeda motor.
Saya duduk di belakang, menikmati setiap hembusan angin yang membawa aroma tanah basah dan suara lalu lintas pedesaan yang khas.
Perjalanan itu sederhana, tapi penuh cerita. Dari jalanan yang meliuk di antara kebun-kebun warga hingga deretan rumah dan warung kecil yang setia berdiri di tepi jalan.
Setibanya di Birayang, kami memilih berhenti sejenak di sekitaran Taman Batu Sembilan—ikon yang mudah dikenali dari bentuk menaranya yang unik. Dari tempat kami berdiri, suasana Birayang siang itu terasa hidup.
Di depan taman, beberapa pedagang kecil berjejer rapi di bawah payung warna-warni, menghadirkan denyut ekonomi rakyat yang tak pernah padam.
Saya menyaksikan seorang penjual gorengan sibuk menggoreng tempe dan tahu yang menari di atas minyak panas.
Tak jauh dari situ, ada gerobak pentol yang menggoda, lengkap dengan sambal kacang kental dan aroma bawang goreng yang membuat siapa pun ingin singgah.
Ada juga penjual es dengan ember besar berisi es serut dan sirup warna-warni—menjadi pelipur dahaga di tengah terik matahari siang. Kami duduk di bangku plastik biru yang tersedia, sambil menyeruput es dan mencicipi gorengan hangat.
Dari tempat itu, saya memandangi lalu lintas yang tak begitu ramai namun tetap hidup. Sesekali terdengar tawa anak-anak yang berlarian di dekat taman, dan percakapan ringan para pedagang yang saling menyapa.
Suasana sederhana yang justru terasa hangat dan menenangkan. Entah mengapa, saya merasa waktu berjalan lebih lambat di Birayang.
Tidak ada hiruk-pikuk kota besar, tidak pula kebisingan kendaraan yang memekakkan telinga. Yang ada hanyalah kehidupan yang mengalir apa adanya—dengan kesederhanaan yang membumi.
Saya tersadar, betapa pentingnya momen seperti ini : berhenti sejenak dari rutinitas, menyapa tempat-tempat lama, dan menikmati suasana tanpa terburu-buru. Ketika sore mulai turun, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Desa Angkinang Selatan.
Namun ada sesuatu yang tertinggal di Birayang—bukan hanya jejak langkah atau aroma gorengan yang masih menempel di pakaian, melainkan sejumput kenangan yang menghangatkan hati.
Birayang, dalam kesederhanaannya, mengajarkan saya bahwa perjalanan tak selalu soal jarak, tetapi tentang bagaimana kita meresapi setiap detiknya dengan rasa syukur. (ahu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar