Sabtu, 13 April 2013

SENI BUDAYA HSS

Sabtu, 13 April 2013

Mengenal Tarian Khas
 Hulu Sungai Selatan
Tari Kanjar / Kakanjaran : Selamatan Banih Ringan 
dan Banih Barat

    Tari Kanjar atau Kakanjaran adalah kesenian rakyat asli dari Hulu Sungai Selatan (HSS). Tumbuh dan berkembang di pedalaman pegunungan Meratus di Kecamatan Loksado. Tari ini merupakan hiburan adat bagi suku Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan peninggalan nenek moyang mereka. Setiap penghuni Balai sejak kecil hingga dewasa terkecuali usia lanjut telah dibebani keahlian tari Kakanjaran.
    “ Tari Kakanjaran digelar pada selamatan banih ringan dan banih barat. Banih ringan adalah padi yang baru dipanen pada kelompok persawahan dengan curah hujan yang sedikit. Banih ringan merupakan jenis padi yang bisa dengan cepat dipanen. Areal ladang tempat menanam banih ringan biasanya tidak terlalu jauh dari lokasi Balai. Tanah huma tugal berpindah ini biasanya dapat ditanami padi lima tahun sekali atau lebih cepat lagi dan hasil panennya pun tidak seberapa. Banih ringan yang sudah dipanen itu adalah untuk persediaan cadangan jangka pendek oleh penduduk Balai,” tutur Aliman Syahrani, Budayawan HSS.
    Sedangkan banih barat, menurut Aliman Syahrani adalah padi tunggal pada tanah pegunungan yang bisa memakan waktu tujuh sampai sepuluh tahun sekali digarap untuk ditanami padi. Pekerjaan tersebut memerlukan kerjasama dan tanggung jawab yang besar bagi seluruh penduduk Balai. Hasil huma banih barat biasanya mampu menjamin kebutuhan kelompok penghuni Balai hingga lima tahun bahkan lebih. Huma tugal digarap setahun sekali oleh penduduk Balai, hanya persawahan untuk menanam banih ringan saja yang cenderung berpindah-pindah.
    “ Seni Tari Kanjar atau Kakanjaran ini bagi penduduk Balai bermakna gerak olah tari menahan kejahatan serta membuka pintu kebahagiaan agar warga Balai sehat, gagah, berani, kuat bekerja dan mendapat hasil yang melimpah. Tari Kakanjaran dilaksanakan secara massal tua muda, seluruh penghuni Balai yang sebelumnya didahului oleh tetuha adat atau Damang sebagai pembukaan,” ujar lelaki kelahiran Datar Balimbing, Loksado, 30 Desember 1976 ini.
    Gerak tari dan tangan dalam kesibukan mengatasi segala untuk mencapai hasil anugerah Sang Dewata, sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa bagi suku Dayak di Pegunungan Meratus.
    Dikatakan oleh Aliman, tari ini masih bisa dijumpai di sejumlah Balai di Kecamatan Loksado. Seperti di Balai Papangkaan di Desa Muara Ulang. Balai Kukundu di Desa Urui. Balai Padang dan Balai Bidukun di Desa Malinau. Serta di Balai Malaris di Desa Loklahung.
    “ Tarian ini  termasuk ke dalam jenis tari tradisi. Tari ini juga terdapat dalam upacara adat Aruh Ganal atau Bawanang. Khusus dilakukan oleh kaum laki-laki. Tarian ini menggambarkan sikap persatuan dan kegotong royongan masyarakat Dayak Meratus,” pungkas Aliman Syahrani.

Kandangan, 11-03-2013



Musik Panting
Berurat Berakar 
di Hulu Sungai Selatan

    Kesenian musik Panting sangat berurat-berakar bagi masyarakat di Hulu Sungai Selatan (HSS) sejak waktu yang sangat lama. Penamaan kesenian ini berdasarkan bahasa daerah masyarakat HSS sendiri yaitu Bahasa Banjar. Panting dalam pengertiannya adalah persamaan dengan kata petik, yaitu membunyikan senar atau tali dengan teknik sentilan.
    Secara umum bentuk alat musik panting ini mirip dengan gitar, bedanya hanya lebih ramping dan kecil. Selain itu pada panting tidak terdapat grif-grif untuk pengatur kunci nada seperti pada gitar. Perbedaan lainnya adalah, senar pada alat musik panting terdiri dari dua bilah senar kembar dengan ukuran nada yang sama dan hanya berjumlah enam bilah dengan tiga nada berbeda.
    Memainkan alat panting sama dengan gitar yaitu dipetik. Seorang yang memainkan musik panting dinamakan pamantingan. Pada awalnya musik panting hanya dimainkan oleh seorang pamantingan yang diiringi oleh seorang yang membawakan lagu atau biduan, baik pria atau wanita. Antara seorang pamantingan dan seorang biduan duduk berdampingan untuk memudahkan mencocokkan lagu dengan petikan panting.
    Pada perkembangan selanjutnya musik panting tidak hanya dimainkan tunggal melainkan sudah dikolaborasi dengan beberapa alat musik lainnya seperti babun, gong, biola, tamborin, dan suling serdam atau suling bambu biasa. Meski musik panting sekarang sudah dikolaborasikan dengan sejumlah alat musik lainnya, namun tidak menghilangkan kekhasan musik panting sebagai musik tradisional.
    Dahulu musik panting lebih digunakan untuk mengiringi tari Japin, saat ini digunakan pula untuk mengiringi berbagai tarian tradisional lainnya seperti Tari Ahui, Tari Tirik, Japin Anak Delapan, dsb.
    Lagu-lagu tradisional dalam musik panting yang biasa dimainkan sejak dahulu sampai sekarang adalah Lagu Dua Sisip, Paris Tangkawang, Hujan Hangat, Marista Bajanji, Lalan Sisip, lagu-lagu Arab dan lagu-lagu yang besifat bebas lainnya.
    Saat ini musik panting tidak hanya untuk mengiringi Tari Japin, tetapi sudah berdiri sendiri sebagai seni musik tradisional. Arena dan fasilitas pagelaran juga tidak lagi terikat dengan ketentuan yang biasa dilakukan pada awal kehadirannya, tetapi sudah disesuaikan dengan perlengkapan penunjang lainnya seperti pengeras suara, panggung tempat pemain musik panting, tempat duduk penonton, dsb.
    Musik panting diperkirakan sudah ada di Kalimatan Selatan sejak abad ke-18 atau jauh sebelumnya, tentu dalam bentuk yang sangat sederhana jika dibandingkan dengan keadaannya yang sekarang.
    Beberapa grup musik panting di Hulu Sungai Selatan yang saat ini masih aktif bermain dan melakukan pembinaan adalah Arjuna Singakarsa di Pandai, Kandangan. Lalu grup Sampuraga di Karang Jawa. Saraba Cakap di Ambarai. Serta Sahibar, Sakawah, Halang Ginari, dan Pancar Nada, semuanya di Desa Tabihi Kec. Padang Batung.***

Kandangan, 11-03-2013



Kerajinan Kuningan di HSS
Pernah Dapat Penghargaan 
Dari Presiden

    Seni kriya masyarakat di Hulu Sungai Selatan yang menggunakan bahan baku logam kuningan ada di  Kecamatan Daha Utara dan Daha Selatan. Proses pembuatan benda-benda logam baik logam biasa maupun dari kuningan di daerah Nagara pada awalnya menggunakan cara a cire perdue, yakni pembuatannya menggunakan acuan yang terbuat dari lilin wanyi atau lilin lebah. Lilin acuan dibungkus dengan tanah liat kemudian dipanaskan ke tungku pembakaran. Setelah lilin acuan meleleh ke luar, lalu dituangkan cairan logam ke dalam lobang acuan. Pada benda-benda logam tersebut juga diberi ukiran dengan berbagai motif tradisional.
    Saat ini pengrajin kuningan di Nagara sebagian sudah menggunakan cetakan dari bahan logam yang sama sebagai acuan. Adalah Burhan Nawi, penerima Penghargaan Upakarti Tahun 1989 dari Presiden Soeharto, sebagai pengrajin logam di Nagara yang menciptakan alat cetakan logam pertama yang terbuat dari bahan logam yang sama.
    Seni kriya berbahan dasar kuningan yang dihasilkan sebagian besar adalah peralatan rumah tangga, terutama yang terbuat dari bahan kuningan. Pada alat-alat ini biasanya juga diberi hiasan ukiran berbagai bentuk seperti pada abun, tempat sirih, sasanggan, ceper, dll. Motif-motif yang umum menghiasi peralatan tersebut adalah tumpal, yang dikenal dengan dua macam bentuk. Jika tumpalnya besar maka disebut pucuk rabung, sedangkan tumpal yang kecil dinamakan gigi haruan. Hal ini biasanya digunakan sebagai pembatas antara bagian yang berukir dan bagian yang tidak berukir. Motif-motif lainnya adalah motif tumbuh-tumbuhan, motif binatang, motif wayang, motif garis-garis, kaligrafi, pohon hayat, motif spiral, dsb.
    Beberapa jenis hasil seni kriya berbahan kuningan adalah paludahan (tempat sepah atau ampas makan sirih serta kucur atau air liur yang bercampur bahan kinangan), sasanggan (tempat piduduk atau wadah beras fitrah di malam lebaran Idul Fitri), gayung mandi danuraja (untuk mencucurkan air pada upacara tradisional mandi-mandi, seperti tian mandaring, mandi baya badudus, dll), sarung katam (wadah mata ketam, alat untuk melicinkan kayu), panginangan bokor (wadah bahan kinangan), panginangan burung (wadah bahan kinangan, bisa juga digunakan untuk tempat mas kawin atau jujuran pada waktu upacara maatar jujuran), talam berukir (tempat nasi ketan atau kue-kue tradisional dalam upacara batamat Qur’an, batumbang, dsb), kukuran buaya (mirip alat memarut / menghaluskan daging kelapa, digunakan hanya sebagai hiasan berbentuk buaya dan bersifat magis), tempat ragi (wadah ragi), dll.

Kandangan, 11-03-2013


Mengenal Kesenian Tradisional HSS
Merenda Cerita Dalam Mamanda

    Mamanda adalah seni teater tradisional yang sangat populer di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan. Meskipun belum didapat data pasti mengenai kelahirannya, namun menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa mamanda sudah ada di HSS dan Kabupaten Tapin sejak abad ke -17 dan kemudian muncul di daerah lainnya sekitar abad ke-18 dan ke-19.
    Mamanda dimainkan dalam bentuk arena sentral, dimana posisi para pemain saat berlakon berada di tengah-tengah penonton. Sedangkan lakon yang dibawakan diambil berdasarkan cerita-cerita rakyat, hikayat, sejarah, dan bahkan juga cerita kekinian (karangan baru). Mamanda di dalam perkembangannya mengalami berbagai proses sampai akhirnya tumbuh aliran-aliran baru. Benar atau tidak istilah aliran tersebut, yang jelas dapat diketahui ada dua aliran, yaitu mamanda Batang Banyu dan kedua adalah Mamanda Tubau. Mamanda Batang Banyu yang berasal dari daerah Margasari sering pula disebut Mamanda Periuk. Sedangkan Mamanda Tubau merupakan perkembangan baru dari seni Mamanda yang pengaruhnya cukup kuat dan terkenal di daerah asalnya Desa Tubau Kab. HST. Mamanda Tubau dewasa ini berkembang dengan pesat di daerah di seluruh pelosok Kalimantan Selatan, tetapi tidak lagi disebutkan istilah Mamanda Tubau. Struktur menganut suatu sistem yang sudah dibakukan, yaitu dimulai dengan ladon atau kanon, siding kerajaan dan kemudian cerita.
    Mamanda termasuk ke dalam jenis kesenian tradisional (teater rakyat) yang ada di Hulu Sungai Selatan, bahkan juga berkembang hampir di seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Pada awalnya, mamanda menceritakan seputar kehidupan istana dimasa kerajaan. Dalam waktu yang sangat lama sejak kehadirannya, mamanda begitu berurat-berakar dalam kehidupan kesenian lokal masyarakat HSS dengan bentuk yang hampir tidak berubah; peran-peran yang hampir serupa, bentuk arena pagelaran yang sama yaitu arena sentral segi empat, tata lakon yang statis, struktur cerita yang tak pernah berubah, namun ia tetap digemari dan bahkan berkembang sampai ke pelosok pedesaan yang paling terpencil sekalipun. Masyarakat HSS umumnya menggelar mamanda pada saat upacara perkawinan, pesta keramaian kampung, dsb.
    Dari sejumlah data yang dihimpun, baik dari sejumlah referensi tertulis dan wawancara dengan para pelaku dan grup mamanda, didapat keterangan bahwa pada awalnya cerita yang dipentaskan dalam mamanda mengambil sumber dari sastra lama, seperti syair Abdul Muluk, Hikayat Si Miskin, Hikayat Cindra Hasan, Cerita Seribu Satu Malam dan yang lainnya. Namun saat ini para seniman mamanda sudah berani mencari model-model baru yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat modern untuk diangkat dalam mamanda. Cerita-cerita yang ditampilkan berkembang dengan mengambil tema dari problem masyarakat yang disesuaikan dengan kehidupan dalam kerajaan.
    Peranan baku dalam mamanda ialah raja, wajir, mangkubumi, perdana menteri, kepala pertanda (panglima perang), harapan pertama dan harapan kedua.
    Pada mulanya mamanda dikenal dengan nama badamuluk atau Ba Abdul Muluk (“ba” dalam bahasa Banjar membentuk kata kerja). Setelah berkembang sekian lama masyarakat lebih mengenal dengan sebutan mamanda. Penamaan ini mungkin bersumber dari peniruan dialog Sultan atau Raja dengan Mamanda Mangkubumi Wajir. Hal ini tidak aneh karena seorang raja atau sultan merupakan aktor utama diantara pemain yang ada. Sehingga gerak lakon maupun isi dialognya dalam berperan menjadi tiruan dari penonton.
    Namun pertanyaannya adalah, apa arti mamanda ? Karena dalam kosakata Bahasa Banjar tidak ditemukan arti kata mamanda yang mengandung arti kata kerja, kata sifat maupun kata benda. Ada dua penjelasan yang memberikan keterangan tentang kata mamanda. Pertama, mamanda boleh jadi berasal dari kata “panda” yang artinya “persis” atau “mirip”. Dalam bahasa Banjar, apabila sebuah kata membentuk kata kerja maka ditambah dengan awalan “ma”. “Pinda” mendapat awalah “ma” maka menjadi “maminda” (huruf “p” menjadi lebur atau hilang). Berbuat persis atau mirip menjadi sama dengan berperan sebagai…….di daerah pelosok di Hulu Sungai Selatan, “maminda” juga diucapkan dengan “mainda”. Contoh, “Si Galuh nintu handak banar balaki, inya maindaakan kalakuan kaya urang pangantin hanyar.” Di sejumlah pelosok di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan, mamanda sering disebut orang dengan kata “manda” saja. “Manda” (urang manda)= urang balakun, diberi awalan “ma” untuk membentuk kata kerja sehingga menjadi “mamanda”
    Kedua, mamanda dimungkinkan pula berasal dari kata “mamakda” yang artinya paman atau mamarina. Dalam dialognya, seorang raja dalam peran mamanda sering menyanyikan kepada Mangkubumi dengan kalimat berikut,” Bagaimana Mamanda Wajir ?” atau “ Bagaimana pendapat Pamanda Mangkubumi?”. Penonton lalu menamakan pertunjukan tersebut dengan sebutan Mamanda. Dalam dialek masyarakat Hulu Sungai Selatan khususnya di Kandangan diucapkan pula dengan bamanda.
    Dalam sejarah pagelaran mamanda, seperti sudah disebutkan diatas, ada dua aliran teknis tatacara pelaksanaan, yang pertama disebut mamanda Batang Banyu atau Periuk dan kedua dinamakan Mamanda Tubau. Baik kata periuk maupun kata Tubau merujuk pada asal yang sama yaitu nama desa.
    Mamanda periuk dinamakan juga Mamanda Batang Banyu. Batang Banyu berarti aliran sungai. Barangkali, karena dipengaruhi oleh kehidupan sungai, maka lagu-lagu mamanda periuk ini bernada panjang dan berkelok-kelok. Adapun lagu pada Mamanda Tubau bernada pendek, meninggi dan rendah dengan irama yang cukup cepat, barangkali juga menyesuaikan dengan dataran tinggi tempat asal para pelakon.
    Kedua aliran mamanda ini pada mulanya juga membawakan cerita yang berkisar seputar kehidupan istana dengan tokoh raja dan para stafnya, jongos, puteri, raja jin, atau perampok. Namun kemudian masing-masing mengalami perkembangan dalam cerita. Perbedaan lain dari kedua aliran mamanda ini adalah, mamanda periuk lebih sering membawakan cerita-cerita Abdul Muluknya yang terkenal, sedangkan Mamanda Tubau lebih sering membawakan cerita-cerita bertema kerakyatan dan kekinian. Lagu-lagu yang dibawakan dalam Mamanda Tubau tidak lagi bernuansa tradisional tetapi sudah diganti dengan lagu-lagu pop atau melayu. Alat musik yang digunakan pun juga mengalami kolaborasi, meski alat musik seperti babun, suling atau biola masih ada, tetapi tidak difungsikan untuk keseluruhan lakon seperti pada awal kehadiran mamanda, hanya digunakan pada saat-saat tertentu seperti pada waktu adegan staf kerajaan. Singkatnya, Mamanda Tubau sudah tidak lagi semurni sebagaimana awal kehadirannya, sudah berubah menjadi sandiwara rakyat semi modern yang mempergunakan arena sentral.
    Sebelum para pelakon dalam pagelaran mamanda bermain, terlebih dahulu ditampilkan sesi parados, yaitu menampilkan para pelaku dalam acara lagu dan tari. Pada Mamanda Periuk sesi ini disebut dengan baladon, menampilkan tiga, lima sampai tujuh orang. Pada Mamanda Tubau dibawakan oleh tiga orang yang disebut kanon. Sesi baladon ini semacam acara pendahuluan atau salam pembukaan.
    Sebagaimana kesenian pada umumnya, mamanda juga menggunakan pakaian khusus yang dikenakan oleh para pemainnya, terutama peran seorang raja. Seorang yang memerankan lakon raja biasa mengenakan baju yang dinamakan baju raja. Baju ini juga digunakan oleh para penari dan penyanyi saat membawakan sesi baladon (pembukaaan). Pada sesi baladon, para peladon mengenakan baju raja dan celana panjang tanpa mengenakan tutup kepala. Pada waktu dahulu para peladon menggunakan kaca mata hitam.
    Ada beberapa kelompok atau grup pamandaan (para seniman mamanda) yang pernah ada di Hulu Sungai Selatan, diantaranya adalah Sampuraga dari Karang Jawa pimpinan Bahrani, Ambang Fajar di Desa Amawang pimpinan Ismail, Tanjung Pusaka (juga di Desa Amawang), Rangganala di Kandangan Hulu dan Kumba di Muara Banta. Selain itu, hampir di seluruh daerah lain di wilayah Hulu Sungai Selatan pernah pula ada komunitas pamandaan, seperti Angkinang, Telaga Langsat, Bamban, Riam Tajam, Tabihi, Kaliring Dalam, Ambarai, Jalatang, Tanah Bangkang, Sungai Kudung, Tanayung, Ambutun, Binjai Tiga, Parincahan, dll.
    Satu-satunya grup mamanda di Hulu Sungai Selatan yang masih bertahan sampai hari ini adalah Sampuraga dari Karang Jawa, memadukan antara pemain senior dan junior. Berikut diantara pamandaan yang tergabung dalam grup Sampuraga. Bahrani, selain sebagai pimpinan juga sering ikut berlakon dengan berbagai peran. Iyus, bisa berlakon sebagai raja, hadam atau pembawa ladon. Ibu Itah, sering berperan sebagai permaisuri. Rika Ayu Zainab atau Icha, kena lakon sebagai putri raja. Idang (puteri dari Bahrani), juga sebagai putri raja. Unat dan Iwan, memerankan anak muda. Asmuni, berlakon sebagai panglima perang. Nafiah, kena peran sebagai perdana menteri. M. Riduan, memerankan wajir. Aspar, Norman dan Ipul sebagai harapan. Udin Apam sebagai amban. Bagan Topeng, sering kena bagian memerankan kepala rampok, bisa juga sebagai harapan, anak muda atau panglima perang, didukung pula oleh Anton dan Mamar sebagai anak buah rampok. Khalik sebagai Gigiwal atau mantra. Jumberi berlakon menjadi orangtua, dll.
    Terdapat banyak sekali nama seniman mamanda atau pamandaan yang sangat kesohor di Hulu Sungai Selatan, baik yang sudah pensiun atau masih aktif bergelar, diantaranya A. Syarmidin  dari Kandangan. Ancah dari Parincahan. H Syahrani dari Pisangan. Semasa aktif menggelar mamanda biasanya berlakon sebagai raja. Pambakal Aan asal Karang Jawa, sering berperan sebagai rampok. Asikin asal Karang Jawa membawa lakon seorang perempuan. Ruslan Faridi (alm) asal Tibung Raya. Muliadi (alm) dari Teluk Masjid, Bahtiar (alm) dari Karang Jawa. Hairin Najrin dari Jambu Hlir Baluti. Bahrani dari Karang Jawa. Jafuri Baseri (alm) dari Padang Panjang. Ahmad Riduan dari Gambah Luar. Desi Alisa Pujianti dai Gambah Luar Muka. Abdaludin dari Kandangan. Fakhruddin dari Jambu Hulu Banua Hanyar. Jumberi dari Jalatang. Burhan dari Tabihi Lajar. Beberapa tokoh muda yang juga sering ikut berperan dalam mamanda adalah Rahman Rizani atau Bagan Topeng dari Taniran Kubah. Rika Ayu Zainab atau Icha, dll.
    Saat ini pagelaran mamanda di Hulu Sungai Selatan sudah dijadikan agenda wajib tahunan. Setiap tahun digelar sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 17 Mei, bertepatan dengan peringatan ALRI Divisi IV, tanggal 2 Desember saat Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan tanggal 17 Agustus pada peringatan Hari Kemerdekaan RI.***

Kandangan, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aktivitas Selama di Aceh

 Sabtu, 23 November 2024 Dari Diary Akhmad Husaini, Ahad (21/08/2022)  Semua akan abadi setelah diposting Dugal ke blog pribadi, tentu denga...